Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 57
Hati tidak tenang, aku mendengarkan para prajurit ‘dengan sopan’ memberitahu kami bahwa sang jenderal memiliki urusan penting untuk diumumkan mengenai keamanan kota dan meminta semua orang berkumpul di alun-alun publik. Adoly Dasao sepertinya tidak menganggap serius hal itu, hanya menggumam di antara napasnya: ‘kenapa para pejabat ini suka mengubah hal kecil menjadi masalah besar, selalu mengancam akan memberangkatkan prajurit pada provokasi terkecil sekali pun, membuat semua orang tak bisa beristirahat dengan tenang’. Di masa kuno, jasa-jasa penyampaian kabar seperti radio dan televisi tidak ada, jadi satu-satunya cara untuk membuat pengumuman publik apa pun adalah dengan mengumpulkan orang-orang seperti ini. Dengan pemikiran semacam itu, hatiku pun merasa sedikit lebih tenang.
Adoly Dasao dan aku meletakkan barang-barang belanjaan kami di rumah, dan kemudian mengikuti para prajurit kembali ke pasar. Pasar yang ramai tadi telah berubah dalam sekejap. Semua kios sudah mengemasi barang-barang mereka. Di area di mana hewan-hewan ternak ditempatkan, barang-barang berat saat ini digantung di di atas semua kuda dan keledai tampaknya semua orang dari Kota Subashi telah berkumpul di sini, mengerumuni alun-alun hingga jumlahnya ribuan. Ada banyak orang yang masih memegang keranjang di tangan mereka – takutnya mereka pasti telah ebrkumpul di sini langsung dari pasar karena tak ada cukup waktu untuk kembali ke rumah. Aku tak melihat Bai Zhen dan Lu Guang di bagian depan panggung yang ditinggikan; hanya melihat Lu Zuan berdiri di sana dengan sekelompok orang.
Melihat sosok Lu Zuan memberiku perasaan tidak enak. Aku berpikir pada diriku sendiri kalau aku harus pergi sesegera mungkin, tapi tertangkap oleh para prajurit yang berdiri di belakangku, yang mengatakan maaf kepadaku karena telah bersikap tidak sopan, dan kemudian lanjut menarikku ke panggung. Adoly Dasao berseru protes dan langsung ditahan oleh dua orang prajurit. Aku tak bisa memakai stun gun-ku karena ada terlalu banyak orang di sini. Mengetahui bahwa melawan adalah hal yang sia-sia, aku pun menenangkan diriku sendiri dan memasang wajah tenang lalu berjalan ke arah Lu Zuan. Dalam hatiku penuh oleh amarah – setelah hanya seminggu kedamaian dan ketenangan, apa yang Lu Guang inginkan sekarang?
Lu Zuan tampak tercengang dengan betapa tenang aku terlihat ketika aku menghampirinya. Rona di wajahnya pun menggelap.
Dia mengangguk untuk mengisyaratkan semua orang agar diam, kemudian berkata lantang:
“Semuanya, para tetua dan warga kota, kalian semua telah dikumpulkan di sini hari ini untuk merayakan akhir dari seminggu masa pernikahan Guru Kumarajiva dari Kuil Cakuri.”
Dia menjeda, menunggu orang di sebelahnya selesai menerjemahkan, dan kemudian meneruskan:
“Setelah menikah, sang Guru telah terus-menerus menyimpan orang tercintanya di dalam rumah emas*, jadi semua orang belum mendapatkan kesempatan untuk melihat raut wajah sang nyonya. Hari ini, saya yang rendah ini telah mengundang nyonya kemari sehingga semua orang bisa bertemu satu sama lain. Nyonya saat ini tinggal di kediaman pribadi sang Guru, jadi sejak saat ini, para penduduk Kota Subashi diharapkan agar bisa diandalkan dalam menjaganya.”
(T/N: 金屋藏娇 (jīnwūcángjiāo) – merupakan idiom Tiongkok terkenal yang secara literal diterjemahkan sebagai ‘menyimpan Jiao di dalam rumah emas’. Asal mula dari idiom ini berasal dari kisah Kaisar Wu dari Han (157 – 87 SM), diyakini ditulis antara abad ke 2 – 4 Masehi), tentang bagaimana sang Kaisar yang waktu itu masih merupakan pangeran berusia lima tahun, ketika melihat kakak sepupunya, A Jiao, telah membual bahwa bila dia bisa mendapatkan A Jiao sebagai miliknya, dia akan membangun sebuah rumah emas untuk ditempati olehnya. ‘A Jiao’ kemudian menjadi Permaisuri Chen (nama aslinya tak pernah dicatat dalam sejarah, namun secara umum diyakini kalau namanya adalah Chen Jiao berkat cerita ini), istri pertama dari Kaisar Wu, hingga kemudian dia diturunkan dari posisi pada tahun 130 SM karena praktek sihir. Seiring dengan berjalannya waktu, idiom ini pun menjadi ekspresi yang berarti menyimpan seorang selir / wanita simpanan di dalam rumah emas / mewah)
Aku mengarahkan pandanganku, sarat dengan amarah, ke arah Lu Zuan. Jadi Lu Guang masih memiliki pemikiran ini! Setelah menikah, Rajiva tidak lantas mengasingkan diri karena depresi dan malah menjadi lebih aktif dengan menjalankan kembali operasi sehari-hari kuil. Rajiva juga tak mendapatkan pandangan merendahkan dari para rahib, sebuah hasil yang benar-benar menyimpang dari rencana semula Lu Guang. Dan aku telah diberi gelar sebagai seorang Putri Kucha, jadi pasangan ayah dan anak marga Lu itu juga tak bisa melakukan hal yang terlalu kotor dalam menanganiku. Karenanya, mereka ingin menarik dukungan dari masyarakat umum dengan mengeksposku (seperti skandal) di tempat umum dengan banyak orang, memanfaatkan ‘gosip adalah hal menakutkan’ (T/N: 人言可畏 – rényánkěwèi) untuk membuat Rajiva lepas jubah atau untuk memaksa kami meninggalkan Kucha.
Sudah barang tentu, kerumunan langsung meledak. Banyak di antara mereka yang pasti telah menghadiri pernikahan kami, tetapi karena pada hari itu aku mengenakan cadar, tak ada seorang pun yang tahu siapa diriku. Juga, fokus pada malam itu adalah Lu Guang yang memaksa para rahib untuk minum arak, jadi gelombang kemarahan pun diarahkan kepadanya. Sekarang karena aku telah muncul di muka umum seperti ini, fokus dari konfliknya sekali lagi telah beralih pada diriku. Ingin tetap tidak menonjol – hal itu sulit. Aku berdiri diam di sana. Dalam situasi ini, aku tak seharusnya mengatakan apa-apa untuk membela diri. Opini publik bisa melelehkan emas*; kalau aku gegabah dalam kata-kataku dan menyebabkan suatu kesalahpahaman, hal itu akan memiliki efek yang sangat buruk pada Rajiva.
(T/N: 众口烁金 – zhòngkǒushuòjīn – idiom yang berarti bahwa opini publik / gosip bisa menyimpangkan / menutupi kebenaran)
“Nyonyalah yang membuat sang Guru melanggar Silanya. Nyonya pada umumnya lemah lembut dan berperilaku manis, tapi juga bisa pergi ke aula* dan tahu bagaimana bersikap di kamar**. Pada hari itu, sang Guru bersikeras untuk tidak melanggar Sila; akan tetapi, daya pikat Nyonya tak terbatas, menggoda orang masuk ke dalam jeratnya. Sang Guru tetaplah seorang pria, jadi tentu saja, Beliau tak bisa menahannya.”
(T/N: 上得厅堂 – shàng dé tīngtáng – tingtang / aula mengacu pada tempat di mana orang menyambut tamu. Secara tradisional di Tiongkok, peranan wanita (khususnya istri) dibatasi di dapur; mereka tak diizinkan menyambut tamu di aula. 入得闺房 – rù dé guīfáng – Guifang mengacu para kamar pribadi wanita, namun dalam frase ini dipahami sebagai kamar tidur, dan frase ini berarti sangat hebat di atas ranjang (IYKWIM))
“Kau – ” Aku mendongakkan kepalaku dan memelototi senyum keji Lu Zuan.
Tepat saat aku sudah akan bicara, sesuatu mengenai kepalaku. Aku berbalik dan melihat kalau benda itu adalah sepotong naan. Meski tidak terlalu sakit, serta merta, sebuah perasaan telah difitnah membuncah dalam hatiku. Sorot mata orang-orang di bawah membuatku bergidik. Rasanya seakan aku adalah Hester Prynne dalam buku ‘The Scarlet Letter’ karya Nathaniel Hawthorne, dan tatapan kerumunan sedang mengukirkan sebuah huruf ‘A’ yang tak terlihat ke dadaku. Aku tahu kalau aku akan dikecam karena menikahi seorang rahib, yang mana kukira sanggup kutanggung. Namun kini ketika saatnya tiba, mau tak mau aku merasa sedih dan disalahi.
(T/N: Dalam novel itu, Hester Prynne adalah seorang wanita muda yang melahirkan anak tanpa diketahui ayahnya dan ditempatkan di depan kerumunan orang untuk menghadapi hukuman dipermalukan oleh publik. Dia diharuskan memakai aksara “A’ pada gaunya sepanjang waktu dan untuk seumur hidupnya, yang meski tak pernah dinyatakan secara eksplisit di dalam novel, dipahami merupakan singkatan dari ‘Adulteress’ / Pezina)
Lebih banyak benda mengenai tubuhku. Aku menggertakkan gigi dan lanjut berdiri tegak. Biarkanlah mereka melempar. Aku tak bisa bicara. Kerumunan telah dikendalikan oleh Lu Zuan, jadi berusaha membela diriku sendiri sekarang ini hanya akan memberi hasil yang berkebalikan. Aku berpikir pada diriku sendiri, Lu Zuan tak bisa menahanku di sini selamanya; hal ini akan berlalu jadi aku hanya perlu menanggungnya sebentar lagi. Jalan di depan kami masih panjang, dan kami telah sepakat untuk menjalaninya bersama, jadi aku tak boleh dikalahkan sekarang.
“Berhenti!”
Sebuah teriakan pilu dan tertekan berkumandang. Kerumunan membelah. Itu dia! Berlari menghampiri dengan panik, terengah menarik napas, dicekam rasa takut dan panik. Aku berusaha memberi sinyal dengan mataku kepadanya agar jangan mendekatiku. Dalam situasi ini, kemunculannya tidaklah membantu dan malah hanya akan menempatkan dirinya dalam posisi yang tak menguntungkan.
Dia mengabaikan sinyalku, melompat ke atas panggung dengan langkah-langkah lebar, dan membentangkan lengannya lebar-lebar untuk menutupiku. Kerumunan langsung berhenti berdengung, dan lengan yang sudah akan melemparkan barang-barang kepadaku juga terhenti dalam ayunannya. Berdiri di belakangnya, aku tak bisa melihat dengan jelas seperti apa ekspresinya. Aku hanya melihat dia menyentuhkan kedua telapak tangannya menjadi satu dan membungkuk, sebelum berkata dengan suara lantang dan jernih, masing-masing kata dilafalkan dengan jelas dalam telinga semua orang:
“Semuanya, para penderma, melanggar Sila dan mengambil istri semuanya adalah perbuatan Rajiva. Semua kebencian kalian, Rajiva sendiri yang akan menanggungnya, istriku tak ada hubungannya dengan hal itu.”
Istriku!
Dia benar-benar berdiri di depan kerumunan orang dan berseru ‘istriku’! Aku berjuang untuk menahan air mata yang lepas dari kendaliku. Apa dia tahu kalau deklarasi ini akan memberinya kritikan seumur hidup, selama lebih dari seribu tahun?
“Betapa bersemangatnya sang Guru dalam melindungi istrinya!” Lu Zuan mencibir dingin, “Tampaknya hati sang Guru masih berada di dunia fana. Bahwa Anda masih melekat pada kesenangan duniawi, tidaklah sulit (untuk melihat sebabnya).”
Punggung tegak, kepala terangkat tinggi, Rajiva berdiri dengan percaya diri dan berkata dengan suara penuh dengan tekad:
“Memang suatu hal mustahil bagi seorang rahib untuk mengambil istri. Tetapi karena Rajiva telah bersumpah akan bersama dengan wanita ini untuk seumur hidup di hadapan sang Buddha, dia adalah istri Rajiva, dan aku takkan pernah mengecewakannya. Lalu mengenai kegagalan Rajiva untuk menaati Sila, dia memang merasa malu di depan sang Buddha. Rajiva bersedia dimasukkan ke dalam Neraka Avici, tak pernah terlahir kembali. Namun Rajiva masih memiliki sebuah harapan besar di dalam hatinya: menyebarkan ajaran Buddha, membimbing tiga ribu orang ke jalan yang benar. Rajiva berharap untuk menyebarkan Dharma ke seluruh ribuan dunia yang luas*, menyeberangkan seluruh makhluk hidup dari penderitaan dan menuju pencerahan.”
(T/N: 大千世界(dà qiān shì jiè) merupakan singkatan dari 三千大千世界(sān qiān dà qiān shì jiè), yang secara harafiah berarti tiga ribu dari ribuan dunia besar, yang menggambarkan kosmologi Buddhisme)
Dia terdiam dan berbalik untuk menatapku dengan seulas senyum cemerlang di bibirnya. Pada saat dia menghadapi kerumunan sekali lagi, volume suaranya telah meningkat:
“Setelah menyelesaikan Dharma, Rajiva dan istri akan memasuki neraka bersama-sama tanpa mengernyitkan alis kami.”
Aku menatap pada punggungnya, begitu tinggi sehingga menghadang seluruh langit untukku, dan tertawa. Bagaimana bisa aku bersembunyi di belakangnya! Aku pun melangkah maju untuk berdiri di sampingnya, bersama-sama dengannya menautkan tangan kami, dan mendongakkan kepalaku tinggi-tinggi. Pada saat ini, kebahagiaan membanjir di dalam diriku. Memasuki neraka – lantas kenapa? Tempat mana pun yang ada dirimu di dalamnya adalah surga bagiku.
Kerumunan di bawah kami tampak terbengong-bengong; kami berdua, bersikap tanpa sedikit pun rasa malu seperti ini, tampaknya telah membuat mereka tak mampu berbuat apa-apa. Melihat bahwa kerumunan tidak bergerak dalam waktu lama, aku pun melirik pada Lu Zuan dan menyadari wajahnya yang tak enak dilihat tiba-tiba menjadi tenang sebelum mengangguk. Aku mengikuti arah pandangannya dan melihat seseorang di dalam kerumunan menaikkan lengannya dan melemparkan sesuatu kepada kami.
Rajiva berteriak kesakitan, tubuhnya terguncang. Kali ini ternyata adalah batu. Orang itu, bahkan bila dia mengenakan pakaian Kucha, jelas-jelas bukan orang dari Kucha. Amarah membuncah dalam diriku. Ternyata Lu Zuan telah menyusupkan prajurit di dalam kerumunan untuk memancing masalah. Mungkinkah semua benda yang dilemparkan kepada kami sebelumnya dilakukan oleh orang-orangnya?
Seperti yang telah diperkirakan, hal itu langsung menggerakkan semuanya. Kerumunan kembali berteriak-teriak dan yang mengerumuni kami adalah ratusan pasang mata yang memelototi kami dengan penuh kebencian, membuat kami tak mampu bernapas. Mereka pun mulai melemparkan lebih banyak benda ke arah kami. Rajiva mengarahkan punggungnya pada kerumunan dan membentangkan lengannya lebar-lebar untuk menutupiku. Terlindung di dalam pelukannya, diam-diam aku mencabut keluar stun gun-ku. Aku sanggup menanggung orang-orang melemparkan barang-barang padaku, tapi tidak pada Rajiva. Dia adalah seorang guru besar Buddhis dan harus mempertahankan martabatnya di mata umum. Sebelumnya saat di kuil aku menahan diri karena menembak Lu Guang akan mempengaruhi situasi politis. Akan tetapi, Lu Zuan hanya seorang kaki tangan, jadi menembak dia tidak seberbahaya menembak Lu Guang.
Lu Zuan berbalik ke arahku dengan seringai puas, hendak mengatakan sesuatu, namun matanya tiba-tiba melebar, wajah tertahan pada kekagetan yang tak tergambarkan, sebelum sekujur tubuhnya meluncur ke depan dan roboh, membubungkan awan debu.
“Jenderal Kecil Lu!”
Orang-orangnya bergegas ke sisinya, membalik tubuhnya dan mengguncangkannya dengan putus asa, tapi tak ada respon. Kerumunan langsung heboh, suasanya dengan cepat berubah jadi tak terkendali.
Rajiva berpaling untuk menatapku, separuh kebingungan, separuh curiga. Aku mengangguk secepat mungkin tanpa disadari oleh siapa pun. Dia tampak agak tertegun karenanya dan hanya menggandengku. Seseorang meletakkan tangan di bahuku, membuatku beringsut menjauh dengan ketakutan. Ternyata orang itu adalah Pusydeva, yang memberiku cengiran lemah seraya terengah berat, bajunya berantakan.
“Semuanya, rakyat sekalian, harap tenang dan dengarkan aku,” Pusydeva melambaikan tangannya dan berteriak ke arah kerumunan dengan segenap tenaganya.
Kedudukannya sebagai Guru Negara mungkin membantu karena kerumunan perlahan-lahan menjadi diam dan mengalihkan segenap perhatian mereka padanya.
“Semuanya, ini adalah cara sang Buddha untuk membantu sang Guru.” Pusydeva mengarahkan pandangannya ke sekeliling, kemudian berkata lantang, “Buddha tak bisa tinggal diam lebih lama lagi dan ingin memberitahu Jenderal Lu Kecil agar berhenti menipu orang dengan begitu berlebihan. Mereka yang ada di sana pada hari sang Guru menikah, kalian pasti ingat paksaan yang dialami oleh sang Guru.”
Pusydeva berjalan bolak-balik di atas panggung dan berseru:
“Sang Guru adalah orang yang memiliki kebajikan yang luar biasa besar. Karena sumpah pernikahannya telah digenapkan di hadapan sang Buddha, maka takkan pernah bisa dihancurkan. Akan tetapi, memikirkan tentang rakyat, sang Guru masih berharap bisa menyeberangkan semua makhluk hidup. Bahwa Kucha kita ini memiliki seorang Guru yang begitu peduli tentang rakyat, bukankah hal itu adalah sebuah berkah yang sangat besar?”
Wajah dari orang-orang dalam kerumunan mulai menjadi tenang. Banyak yang mengangguk setuju. Aku jadi agak tercengang. Kemampuannya untuk menyesuaikan dengan situasi yang baru itu sungguh menakjubkan! Pidato dadakan di hadapan rakyat Kucha macam ini, yang selalu memercayai Sang Buddha, pasti akan membantu Rajiva mengatasi krisis kredibilitasnya.
“Dan nyonya ini….” Pusydeva tiba-tiba berbalik dan menunjuk ke arahku, “Dia bukan hanya putri dari rajaku, Putri Agayamati, namun juga seseorang yang dikirimkan oleh Sang Buddha untuk membantu sang Guru mengatasi ujiannya. Buddha tak tahan menyaksikan mereka menderita lebih lama lagi, jadi Beliau pun mempertunjukkan kekuatannya untuk memperingatkan kalian. Kalau ada siapa pun yang berusaha mempersulit sang Guru dan istrinya….”
Dia menjeda, melontarkan pandangannya pada kerumunan, kemudian berhenti pada Lu Zuan yang masih terbaring di tanah, dan berpura-pura tampak cemas, “Aku ingin tahu hukuman macam apa yang akan dikirimkan oleh Buddha?”
*****
Pusydeva duduk di seberang kami, mengamati aku mengoleskan oba pada Rajiva di bawah cahaya lampu minyak. Lebam-lebam pada lengan dan wajahnya membuat hatiku sakit, namun Rajiva masih tampak tenang.
“Yang telah kau katakan hari ini, meski telah mendobrak kepungan*, tetap saja merupakan kebohongan, jadi jangan disebut-sebut lagi di masa mendatang,” Rajiva berkata pada adiknya, suaranya lembut namun tegas.
(T/N: 解围 (jiě wéi) – frase ini berarti membantu seseorang melepaskan diri dari kepungan, seperti dalam pertempuran, tapi juga bisa berarti membantu seseorang keluar dari masalah atau situasi yang memalukan)
Aku menatapnya dengan kaget.
“Bagaimana bisa dibilang kebohongan?” Pusydeva melompat bangkit, “Ai Qing mulanya adalah makhluk kahyangan. Lu Zuan-lah yang tak tahu baik dan buruk. Dia telah mempermalukan kalian berdua di muka umum seperti itu. Kau bisa menahannya, tapi aku tidak.”
“Aku….” Aku meragu, bertanya-tanya apakah aku seharusnya memberi tahunya tentang siapa aku sebenarnya, tapi Rajiva dengan lembut menekan tanganku.
“Kamu telah beberapa kali menyatakan bahwa Ai Qing adalah makhluk kahyangan di muka umum. Hal ini menempatkan dia dalam bahaya,” Rajiva berkata lambat-lambat, “Bila Lu Guang tahu kalau Ai Qing memiliki kekuatan, seperti mampu memprediksi masa depan, tak ada yang bisa menjamin kalau dia takkan berusaha memanfaatkan dia.”
“Ini….” Pusydeva hanya bisa menatap nanar, lidah kelu selama sesaat sebelum dirinya mengempis dan dengan enggan meminta maaf kepada Rajiva, “Aku terburu-buru, jadi aku tak berpikir terlalu dalam.”
“Oh, benar juga, apa yang akan terjadi pada Lu Zuan?” Rajiva berputar untuk bertanya padaku.
“Dia dapat satu dosis obat bius, akan tidur sehari semalam, dan saat dia terbangun, takkan ada jejak yang tersisa.”
Rajiva mengangguk, menimbang-nimbang selama sesaat, kemudian meremas tanganku kuat-kuat.
“Kelak, kau tak boleh bertindak begitu gegabah seperti ini.”
Aku mengangguk. Memikirkannya kembali, sebenarnya memang adalah situasi yang berbahaya. Kalau Pusydeva tidak tiba tepat pada waktunya, aku tak tahu bagaimana aku akan mengakhiri semua ini.
Tiba-tiba, terdengar suara anjing menggonggong dari halaman. Suara banyak langkah kaki dari kejauhan juga semakin mendekat. Tampaknya sekelompok besar orang sedang menghampiri. Kami bertiga pun saling bersitatap dan bangkit berbarengan.
Gerbang depan terbuka dan langkah-langkah kaki tergesa menggema di sepanjang dinding. Di bagian depan kelompok itu adalah Lu Guang yang tampak gelisah, diikuti oleh putra dan keponakannya, Lu Shao dan Lu Long, serta juga Du Jin dan Bai Zhen. Kamar berukuran kecil itu pun tiba-tiba penuh sesak dengan orang. Bai Zhen, yang berdiri di samping Lu Guang, memakai matanya untuk mengisyaratkan sesuatu pada Pusydeva.
Lu Guang bahkan tak menunggu kami menyelesaikan salam kami; dia merangkapkan telapak tangannya ke arah Rajiva:
“Guru, tanpa seizin marga Lu ini, putra anjingku ini telah bertindak sendiri dan bersikap tidak patut, menyinggung Sang Buddha, dan untuk itu dia patut mati sepuluh ribu kali.” Wajahnya tampak agak tidak rela, tapi dia masih menahan diri dan lanjut bicara, “Aku hanya bisa berharap Guru berbelas kasihan dan menyelamatkan nyawa putra anjingku ini. Dia sudah tak sadarkan diri selama dua shichen dan tak peduli pengobatan apa pun yang diberikan, dia tak kunjung bangun juga. Kalau hal ini berlanjut, nyawanya akan berada dalam bahaya.”
(T/N: 1 shichen = 2 jam)
Rajiva telah memandangi Lu Guang, ekspresinya tak berubah. Begitu Lu Guang selesai bicara, Rajiva merangkapkan telapak tangannya dan memberitahu Lu Guang, “Jenderal Lu Kecil tidak -”
“Jenderal Lu, semua ini Sang Buddha yang melakukan, bagaimana bisa dia diselamatkan hanya karena Anda menginginkannya?” Pusydeva menyela Rajiva dengan suara dingin.
Lu Guang mendongak, mengepalkan tangannya, menarik napas, dan kemudian bertanya, “Oh? Kalau begitu menurut Guru Negara, bagaimana putra anjingku itu bisa diselamatkan?”
“Ada dua alasan untuk tindakan penghukuman dari Sang Buddha: Satu, Beliau tak mau kakakku kembali ke dunia fana (T/N: maksudnya kembali jadi orang awam), dan dua, Beliau tak bisa melihat pasangan suami istri itu berpisah. Kalau Jenderal Lu bisa menyempurnakan kualitas-kualitas baik*, tidak menyebabkan perselisihan lebih jauh lagi, Buddha pasti akan memberkati Jenderal Lu Kecil.”
(T/N: 成人之美(chéngrénzhīměi) , sebuah ekspresi idiomatis dari Analek Kongzi / Konfusius – Yan Yuan: 子曰:「君子成人之美,不成人之惡。小人反是。Terjemahan Inggris oleh – Sang Guru berkata, “Manusia yang unggul ingin menyempurnakan kualitas-kualitas manusia yang patut dikagumi, dan tidak mau menyempurnakan kualitas-kualitas buruk mereka. Manusia yang rendah berkebalikan dari ini.”)
“Baiklah, yang Guru Negara katakan, marga Lu ini berjanji untuk mengikutinya,” Lu Guang berkata dengan urat-urat biru menyembul di lehernya, kemudian bertanya dingin, “Tapi, bagaimana aku bisa membangunkan putra anjingku itu?”
Pusydeva melirik pada Rajiva, penuh dengan makna, kemudian memberi bungkukan samar ke arah Lu Guang: “Aku akan meminta Kakak mengumpulkan para rahib dan membacakan mantra untuk Jenderal Lu Kecil. Buddha pasti akan mendengarnya. Setelah sehari semalam, Jenderal Lu Kecil akan bangun.”
“Bagaimana kalau dia tidak bangun pada saat ini besok?”
“Selama Jenderal Lu dengan tulus menepati kedua janji itu, Pusydeva akan memakai leherku sendiri sebagai jaminannya.”
“Bagus! Kalau putra anjingku itu bangun sebelum waktu yang sama dengan ini besok, marga Lu ini pasti akan menepati janjinya.”
Lu Guang membuat gestur mengundang ke arah Rajiva, “Aku akan harus meminta Guru bekerja keras.”