Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 58
Malam itu, Rajiva tetap tinggal di kuil dan tidak pulang, jadi Pusydeva membawa Xian Xuan ke rumah untuk menemaniku. Pada siang hari berikutnya, Pusydeva datang dan memberitahuku kalau Rajiva telah menyuruh para rahib untuk membaca mantra semalaman. Lu Zuan tersadar tepat pada waktunya namun jadi agak ketakutan saat melihat Rajiva. Lu Guang kehilangan muka habis-habisan dan tak mau tinggal di Kota Subashi lebih lama lagi, jadi dia memerintahkan agar mereka berangkat ke Ibu Kota pagi-pagi diri hari berikutnya. Pusydeva dan istrinya telah merindukan anak-anak mereka, jadi mereka juga akan pulang ke rumah bersama Bai Zhen besok.
Pasangan itu duduk bersamaku hingga Rajiva kembali dari kuil lalu dengan enggan berpamitan pada kami setelah makan malam. Sebelum mereka pergi, Pusydeva meminta kami agar tetap tenang karena setelah insiden ini, Lu Guang semestinya telah menyadari bahwa dia bisa mengerahkan semua metode namun takkan mampu mengalahkan Rajiva. Meski dia cenderung untuk memfitnah tanpa pikir panjang, Lu Guang masih adalah seorang pria yang menepati kata-katanya. Karena dia telah mengumumkan persetujuannya (atas syarat tersebut) di depan begitu banyak orang, dia pasti akan menepati janjinya dan berhenti menyiksa kami.
Rajiva dan aku sama-sama mendesah lega. Semuanya akhirnya akan menjadi tenang. Lu Guang takkan meninggalkan Kucha hingga Bulan Maret tahun 385 Masehi, yang mana adalah tahun depan. Pada saat itu, dia akan membawa Rajiva bersama dengannya, namun setidaknya, kami akan menjalani kehidupan yang damai selama empat bulan. Malamnya aku memberitahukan hal ini kepada Rajiva. Dia memelukku dalam dekapannya dan terdiam selama sesaat sebelum berkata:
“Pergi ke Dataran Tengah sejak awal adalah misi Rajiva, jadi aku tidak akan menghindarinya. Tapi, apakah kamu akan menemaniku?”
“Aku akan menemanimu sampai mati,” aku mendongak menatap mata murninya yang telah menjeratku sejak dirinya berusia tiga belas tahun dan memberitahunya dengan suaraku yang paling penuh keyakinan, “Aku akan melindungimu, berdiri di belakangmu, dan membantumu menyelesaikan misimu.”
Seulas senyum cemerlang mencerahkan dirinya; dia berkilau bagikan dewa. Namun dia tampak tiba-tiba teringat pada sesuatu, karena senyumnya memudar dan dia menatapku dengan tegas:
“Ai Qing, jangan bicara pada orang lain selain Rajiva tentang identitasmu yang sebenarnya, dan jangan katakan kepada siapa pun tentang masa depan mereka. Juga, jangan pakai kemampuanmu dari masa depan kecuali kau benar-benar terpaksa.”
Dia menatap ke luar jendela. Benaknya sepertinya penuh dengan pikiran-pikiran kacau balau. Dirinya terlihat seakan ada awan menggelantung di atasnya, membuat alisnya mengernyit.
“Aku takut kalau, dirimu yang bisa melihat masa depan, pada masa-masa penuh kekacauan ini, akan menjadi lebih menarik bagi mereka yang ambisius dan berkarakter kejam daripada identitasmu sebagai makhluk kahyangan….”
Jantungku bergemuruh. Cara dia bicara serupa dengan bosku, tapi ‘bos’ mengatakan hal ini kepadaku karena dia tak mau aku mengubah sejarah, sementara Rajiva hanya mencemaskan tentang keselamatanku. Sebelumnya, aku tak peduli tentang hal ini karena aku memikirkan diriku sendiri sebagai turis dan bahwa bila ada sesuatu yang besar terjadi, aku bisa langsung kembali ke masa modern. Tetapi bila kau benar-benar ingin selamat di era kekacauan yang penuh penderitaan ini, begitu kau lengah, mungkin bisa menghasilkan ‘kemalangan dari mulut’*. Kini karena aku tak lagi sendirian, aku tak bisa lari – aku tak bisa menyakiti dirinya.
(T/N: 祸从口出 – huò cóng kǒu chū = sebuah chengyu / idiom empat kata ala Tiongkok, yang berarti ucapan yang gegabah bisa menyebabkan masalah. Mungkin padanannya dalam bahasa Indonesia adalah ‘mulutmu harimaumu’.)
Aku memberinya salam ala militer modern dan bersumpah dengan sungguh-sungguh:
“Jangan khawatir, aku hanya akan fokus pada peranan sebagai istrimu; sepenuhnya hanya memiliki ‘mata menatap hidung, hidung menatap hati’*. Berhati-hati dalam bertutur, berhati-hati dalam bertindak**, bersikap rendah hati, dan takkan pernah mengungkapkan rahasiaku.”
(T/N: *眼观鼻,鼻观心 – yǎn guān bí, bí guān xīn; yang di atas adalah terjemahan harafiah yang bisa berarti dua makna: mengindikasikan menundukkan kepala karena malu, atau memusatkan pikiran, hati tak terganggu. Dalam konteks kalimat di atas, arti kedua lebih tepat.
**谨言慎行 – dīdiào zuòrén – sebuah chengyu tyang berasal dari《礼记 · 缁衣》 atau Lǐjì – Zī Yī (Book of Rites – “Jubah Hitam”) yang merupakan naskah klasik dalam kitab Konfusianisme)
Dia tertawa, mencerahkan ruangan dengan wajahnya yang elegan dan tampan. Sudah lama sejak aku melihat dia tertawa dengan bgitu lepasnya sehingga selama sesaat, sebuah hasrat yang tak senonoh bangkit dan seperti seorang bodoh yang tersihir, aku menganga menatap dirinya.
Dia mengusap hidungku dan bertanya pelan, “Hanya seorang istri?”
“Huh?” Aku menelan ludahku dan menatap dirinya, kebingungan.
Sebuah rona yang familier menyelimuti wajahnya. Dia memelukku dari belakang, kepala bersandar di pundakku, telapak tangan ramping dengan lembut menutupi perutku yang rata.
“Mungkinkah…,” dia terdiam, napasnya agak berat, suaranya hanya bisikan kecil tepat ke dalam telingaku, “Kamu tak mau menjadi ibu?”
Aku membeku. Ibu? Anak? Anak-anak dia dan aku?
Aku berbalik dan melihat bahwa wajahnya yang bersih dan tenang merona, namun dia juga menatapku dengan tatapan lurus, seulas senyum malu-malu dan penuh harap tampak di bibirnya.
“Kau….” Merasa agak tidak yakin, aku berbisik dan bertanya, “Kau ingin punya anak?”
“Rajiva tak pernah berani berpikir kalau akan ada seorang anak yang memiliki darahnya di dunia ini.” Wajahnya terus merona selama dia bicara, namun matanya tegas, “Akan tetapi, setelah tinggal bersama denganmu, aku benar-benar ingin memiliki anak. Kalau mungkin, lahirkanlah anak perempuan yang mirip sepertimu. Rajiva pasti akan mencintai anak itu dengan segenap hatinya.”
Hidungku serasa tersengat: “Apa kau tidak takut didakawa oleh orang-orang?”
“Melanggar Sila, mengambil istri, mana yang patut untuk didakwakan? Kau tahu tentangku, komentar-komentar oleh generasi ini ataupun generasi berikutnya, Rajiva tak peduli sama sekali.” Wajahnya tampak tenang, namun masih ada nada melankolia ketika dia menjeda dalam perenungan, “Aku hanya ingin memiliki anak kita sendiri, sehingga kelak, kalau kau harus kembali, izinkanlah aku memelihara anak ini -”
“Aku takkan pergi!” aku menutupi mulutnya dan berkata garang, “Jangan lupa, kita sudah mengikat ujung baju kita untuk menjanjikan seratus tahun. Kau ingin menyingkirkanku? Mimpi!”
Matanya tampak membara sebagai responnya, alis akhirnya melonggar, dan kemudian sebuah kecupan ringan diberikan pada telapak tanganku yang menutupi mulutnya. Sesuatu yang membuat kebas merayap ke tulang belakangku, sekujur tubuhku bergidik pelan. Dia mengangkatku – akhir-akhir ini dia suka menggendongku ke ranjang. Telinga dan pelipis saling bergesekan*, berdebar dan bertahan, namun pada momen ketika puncak dicapai, dia tiba-tiba menarik diri. Dia tak pernah bertindak seperti ini sebelumnya, jadi aku tak bisa untuk tidak bertanya, terengah: “Ada apa?”
(T/N: 耳鬓厮磨 (ěr bìn sī mó) – ini adalah chengyu yang juga merupakan eufemisme untuk hubungan intim, yang berasal dari kisah Impian di Bilik Merah)
Dia masih bernapas dengan berat, membutuhkan sesaat untuk beristirahat, kemudian menyibakkan rambutku yang basah oleh keringat lalu berkata lembut:
“Saat ini, masih belum waktunya untuk mengandung anak. Kita akan berangkat pada bulan ketiga tahun depan, dan akan butuh setengah tahun untuk tiba di Guzang*. Akan ada banyak guncangan di jalan, dan bila kau hamil, bagaimana kau akan bisa bertahan?” Dia mengulurkan tangan dan menarikku ke dalam pelukannya, lalu mencium dahiku. “Begitu kita tiba di Guzang dan semuanya sudah tenang, rumah tangga kita akan memiliki satu tambahan penghuni lagi.”
(T/N: Guzang (saat ini adalah bagian dari Wenwu, Gansu) adalah Ibu Kota dari Liang Awal (320-376 Masehi) dan Liang Akhir (386-403 Masehi) – negara yang didirikan oleh Lu Guang, serta Liang Utara (397-439) – didirikan oleh Duan Ye.)
Aku menguburkan kepalaku dalam dekapannya dan mendengarkan detak jantungnya yang kuat. Aku tersenyum malu-malu namun jauh di dalam hatiku, diriku sarat dengan kecemasan. Kami belum pernah berusaha mencegah kehamilan, namun yang dia katakan hari ini telah mengingatkanku. Setengah tahun di perjalanan, menempuh jarak jauh dan memakai alat transportasi di masa kuno, pasti takkan senyaman bepergian di masa modern. Dalam situasi semacam itu, aku benar-benar tak boleh hamil sebelum kami mencapai Guzang. Namun yang paling kucemaskan bukanlah ini melainkan: Apakah aku bahkan bisa hamil? Tubuh ini telah beberapa kali masuk dan keluar dari mesin perjalanan waktu. Aku tak tahu apakah iradiasinya telah merusak kesuburanku atau tidak. Dan bahkan bila aku bisa hamil, akankah aku bisa melahirkan dengan mulus? Aku tidak takut pada teknik-teknik persalinan primitif dari zaman kuno, tapi aku tak mampu mengalami luka apa pun. Bukankah melahirkan juga bisa dianggap sebagai luka?
(T/N: Bila lupa, yang membuat Ai Qing harus pulang ke masa modern pada perjalanannya yang kedua adalah karena tangannya terkena luka gores yang makin lama makin parah sampai hampir menyebabkan pembusukan; karena tubuhnya menyembuhkan diri lebih lambat daripada orang biasa. Padahal-itu-cuma-luka-gores. Jadi sekarang kalau dia hamil dan melahirkan….)
Aku telah berusaha untuk memberitahunya berkali-kali, tapi melihat pada bagaimana sudut-sudut mulutnya melengkung dan betapa bersemangatnya dia tentang masa depan, pada akhirnya aku pun menahan diri. Kalau dia mengetahui harga sesungguhnya yang telah kubayar untuk perjalananku, seberapa besar kecemasan dan rasa bersalah yang akan didatangkan oleh hal itu kepadanya? Kebahagiaan kami sudah begitu sulit untuk diraih – aku tak bisa menghancurkannya.
Aku menatap ke luar. Tas ranselku saat ini tergeletak di suatu ruang penyimpanan, bersama dengan jam perjalanan waktu dan jaket anti-radiasiku yang tersimpan di dalamnya. Sudah berkali-kali aku ingin membuang sumber dari radiasi ini, tapi aku terus memikirkan tentang kata-kata bosku. Ragu dan tidak tegas, pada akhirnya, aku tak mampu memutuskan ikatan dengan abad kedua puluh satu. Aku hanya bisa menyimpan tas itu jauh-jauh dari pandanganku and berharap aku takkan pernah perlu menggunakannya lagi.
(T/N: kalau lupa, barang-barang yang dia bawa dari masanya, seperti dirinya juga, telah terkontaminasi oleh radiasi selama terjadi lompatan waktu. Inilah sebabnya kenapa Ai Qing tak pernah membawa benda organik apa pun.)
“Apa yang kau pikirkan, sampai tampak sebodoh itu?”
Dia sedang berbaring menyamping, menatapku, tangannya bermain-main dengan rambutku, matanya dibanjiri oleh cinta kasih.
“Ada cara lain untuk mencegah kehamilan.”
Aku mendapatkan kembali semangatku dan menjelaskan kepadanyaa konsep tentang ovulasi dan periode aman (dalam siklus menstruasi). Dia mendengarkan secara seksama dan bertanya kepadaku secara mendetil tentang pengetahuan fisiologis modernku, seringkali berseru kagum pada kebijaksanaan yang diperoleh setelah seribu tahun kemudian. Dalam hati aku tak tahan untuk tertawa. Dia benar-benar sudah menerima bahwa istrinya adalah orang dari masa depan.
Hari-hari singkat yang bahagia untuk sesaat membuat kami melupakan kecemasan kami. Kemampuan memasakku telah banyak meningkat, jadi dia sering membawa kotak bekal yang kubuatkan untuknya ke kuil. Setelah belajar cara memasak di masa kuno, aku juga mulai belajar cara mencuci pakaian dengan cara kuno. Tak ada mesin cuci, tak ada deterjen, tak ada pelembut kain, hanya ada bola-bola locust madu*, sebuah papan penggilasan, serta sebatang tongkat kayu. Kali pertama aku mengikuti Adoly Dasao untuk mencuci pakaian di Sungai Tongchang, karena aku tak tahu bagaimana cara menggunakan tongkatnya, aku nyaris melakukan postur ‘Wu Song Memukul Harimau’**, mendatangkan tawa dari wanita-wanita lain di tepi sungai.
(T/N:*Gleditsia sinensis, dalam bahasa Mandarin disebut 皂角 (zào jiǎo). Biji-biji dari tanaman ini digiling menjadi bubuk dan diadon membentuk bola, yang mana menghasilkan gelembung ketika digunakan, sehingga sangat efektif untuk mencuci pakaian. ‘Sabun’ dalam bahasa mandarin adalah 肥皂 (féi zào), yang bisa dilihat, merupakan turunan dari nama tanaman ini)
** Wu Song adalah salah seorang tokoh dalam novel Tepi Air / Shui Hu Zhuan, yang seringkali bertarung dengan tongkat sebagai senjatanya. Ada sebuah kisah tentang Wu Song mengalahkan harimau dalam novel itu)
Di perjalanan pulangku setelah mencuci baju, orang-orang yang kutemui di jalan menghindariku. Aku memberitahu diriku sendiri bahwa ini tidak apa-apa, bahwa aku tak perlu memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang diriku. Aku berdiri tegak, mengangkat kepalaku tinggi-tinggi, dan terus berjalan. Namun tiba-tiba, seorang wanita melangkah maju untuk menghentikan jalanku, membuatku takut. Dia memberiku segenggam penuh caisim dan berkata ragu:
“Putri, ini baru saja dipetik. Guru telah melakukan doa pemberkahan untuk merawat anakku, dan hati Bodhisattva dari sang Gurulah yang telah menyelamatkannya. Keluargaku miskin, kami tak punya barang lainnya, jadi kuharap Putri tak keberatan. Semoga Putri dan sang Guru diberkahi dengan kedamaian dan keberuntungan!”
Terbengong-bengong, aku mengambil caisimnya, yang masih memiliki titik-titik air menetes dari daun-daun mudanya yang hijau. Ini adalah kali pertama aku menerima ucapan berkat dari orang asing. Selain berterima kasih kepadanya, aku tak sanggup mengatakan hal lainnya. Saat aku tiba di rumah, aku terus memandangi caisim itu hingga rajiva pulang. Dengan penuh semangat aku memberitahunya asal usul dari sayuran itu. Dia hanya tersenyum, larut dalam pemikiran.
Keesokan harinya, tanpa disangka-sangka dia pulang ke rumah lebih awal dari biasanya. Aku sedang belajar cara membuat naan di dapur. Dia memintaku untuk membasuh tepung pada tangan dan wajahku lalu berganti pakaian, tapi tak mengatakan untuk apa. Setelah aku selesai berganti pakaian sesuai dengan permintaannya yang tanpa penjelasan, dia lalu meraih tanganku dan melangkah keluar menuju jalanan.
Hatiku merasa kaget. Aku tak pernah berjalan bersamanya dengan begitu terbuka, apalagi sambil bergandengan tangan! Aku ingin menarik tanganku, namun dia hanya menggenggamnya lebih erat lagi. Dia tersenyum kepadaku, seulas senyum yang bagaikan hembusan angin musim semi, memenuhi hatiku dengan sehembus kehangatan. Aku menegakkan diriku dan balas tersenyum kepadanya. Bersama-sama, kami berjalan menyusuri jalanan Kota Subashi.
Siapa pun yang melihat kami tak mampu menyembunyikan kekagetan mereka. Rajiva memberi salam kepada orang-orang seperti biasanya, rendah hati dan penuh hormat, namun pembawaannya istimewa. Telah menjadi kepala biara dari Kuil Cakuri selama bertahun-tahun, dia sudah mengenal semua waga dari Subashi. Dia membawaku ke setiap pintu, bercakap-cakap dengan orang-orang seakan kami adalah pasangan biasa yang sedang berjalan-jalan sore setelah makan. Kecanggungan awal pun akhirnya mereda menjadi penerimaan ketika lebih dan lebih banyak lagi orang yang mulai bicara dengan kami, beberapa memanggilku ‘Putri’. Juga ada banyak rahib di jalanan. Mereka menatap kaget padaku ketika mereka melintas, namun masih merangkapkan tangan mereka untuk memberi salam kepada rajiva. Dia membalas salam mereka seperti biasanya, namun juga bersikeras agar mereka memanggilku ‘Ibu Guru’*. Hari sudah gelap pada saat kami kembali. Tanganku dan tangannya penuh dengan barang – segala macam sayuran, buah-buahan, serta kebutuhan sehari-hari. Kesemuanya itu diberikan kepada kami oleh penduduk, dan tidaklah berguna untuk bahkan berusaha menolaknya.
(T/N: 师母 (shī mǔ) – panggilan hormat untuk istri dari 师父 (shī fu) – guru)
Sejak saat itu, setiap kali aku meninggalkan rumah, aku tak lagi menerima tatapan curiga. Setiap harinya, selalu ada seseorang yang datang untuk mengunjungiku, memberiku barang-barang, dan bicara kepadaku. Meski aku tak terbiasa menjadi obyek rasa ingin tahu, diterima oleh masyarakat membuatku cukup gembira.
****
Rajiva sedang membaca di dekat lampu minyak, sementara aku duduk dengan keranjang benang dan jarumku. Aku meletakkan sehelai kertas sketsa di lantai, menyuruhnya melepas sepatunya dan menginjaknya, kemudian aku memakai pensil untuk menggambar garis luar dari kakinya. Beberapa hari terakhir ini, Adoly Dasao sudah mengajariku cara membuat sepatu kain dan bagaimana cara mengisi solnya. Kertas gambarku telah menemukan kegunaan baru. Di dalam keranjang jahitan terdapat baju miliknya yang berlubang di bagian siku, yang tak mau dia buang. Setelah menandai garis luar untuk sepatunya, aku duduk tenang di sampingnya, memotong sehelai kain dengan warna yang sama, dan menambal bajunya.
“Hss!”
Sudah barang tentu, dia langsung menjatuhkan bukunya dan memeriksa jariku. Kemudian, seperti yang sudah kuperkirakan, dia memasukkan jariku ke dalam mulutnya dan mengisap. Haha, aku sudah menanti-nanti adegan hangat ini!
“Kenapa kau perlu melakukan pekerjaan ini?” Dia menaikkan tatapannya dan ketika melihatku terkikik, jadi tampak agak marah, “Kenapa tak membiarkan Dasao mengerjakannya?”
Aku menaikkan alisku kepadanya, penuh kejahilan, tak mau menjelaskan kepadanya kalau aku ingin mengalami ini. Ada sebuah adegan yang seringkali muncul dalam drama-drama historis: si suami cendekia sedang membaca; istrinya yang lemah lembut duduk di sisinya, mengerjakan jahitan. Kemudian jari si istri tertusuk jarum, dan si suami mengisap jarinya, penuh dengan rasa sakit hati. Pria dan wanita pada abad ke-21 selalu sibuk. Bahkan bila pasangan suami istri sedang ada di rumah pada saat yang sama, yang satu menonton sepak bola dan yang lain menjelajah internet. Sulit untuk menemukan adegan hangat ‘memangkas sumbu lilin bersama-sama di samping jendela barat’*.
(T/N: Ini adalah sebuah referensi pada sebuah baris dalam puisi 《夜雨寄北》karya Li Shangyin:
《夜雨寄北》 – Ditulis Kala Hujan, Dikirim Kembali Ke Utara
君問歸期未有期
Engkau bertanya kapan aku kembali, tak ada tanggal yang pasti;
巴山夜雨漲秋池
Di Gunung Ba kala malam, hujan meluap pada kolam musim gugur
何當共剪西窗燭
Kapan kita akan memangkas sumbu lilin, bersama di samping jendela barat
卻說巴山夜雨時
Dan membincangkan kembali tentang momen ini, kala malam di Gunung Ba.
– Stephen Owen, Anthology of Chinese Literature (Beginnings to 1911), halaman 515
Kondisi pikiran semacam itu, aku tahu tahu bagaimana harus menjelaskan kepadanya, jadi aku hanya bisa mengilaskan cengiran bodohku kepadanya dan berusaha mengubah topik:
“Buku apa yang kau baca?”
Pertanyaan asal-asalanku entah kenapa membuatnya merona. Dengan penasaran, aku memungut bukunya. Rajiva mempelajari area yang sangat luas, membaca hampir setiap jenis buku, dan juga merupakan pembaca yang cepat dengan ingatan luar biasa. Apa yang dibacanya adalah buku teks medis dalam Bahasa Han. Aku tahu kalau dia kadang-kadang mempelajari pengobatan dan sesekali mengobati orang, tapi kenapa merona? Merasa curiga, aku membuka halaman yang dia baca. Kata ‘gui shui‘* langsung melompat ke dalam pandanganku. Pipiku memerah.
(T/N: 癸水 (guǐ shuǐ) adalah istilah Tiongkok Kuno tentang menstruasi. 癸 = Batang Langit kesepuluh (Batang Langit adalah nama-nama hari dalam seminggu), dan 水 = air. Sepuluh Batang Langit juga berhubungan dengan 五行 (wǔ xíng) – Lima Elemen – masing-masing elemen mengandung dua Batang Langit, dan lebih jauh lagi dibagi menjadi yin dan yang. 癸 berhubungan dengan yin dari elemen air)
Ketika kami sedang dalam tahanan rumah, dia pernah melihatku membungkuk, dan memegangi perutku dengan kesakitan. Merasa ketakutan, dia dengan cepat memeriksa denyut nadiku untuk mendiagnosa. Aku pun merona dan menjelaskan kepadanya tentang keram menstruasi, dan bagaimana keram itu akan membuatku menderita selama berjam-jam pada hari pertama (periode menstruasi). Dia jadi begitu gelagapan sehingga tak tahu harus melakukan apa dengan tangannya dan terus bertanya kepadaku,”Apa masih sakit?”
Kali kedua dia menyaksikannya adalah setelah kami menikah. Telah memperoleh sedikit pengalaman, dia jadi bersikap luar biasa lembut kepadaku selama hari-hari itu dan berusaha membantu dengan mengusap perutku. Aku tak menyangka kalau dia sekarang membaca sebuah buku tentang bagaimana cara merawat keram menstruasi. Serbuan rasa hangat melandaku. Menatap wajahnya yang merona, aku jadi tak bisa menahan tawaku.
“Kamu akan merasakan sakit dalam waktu tiga hari.” Melihatku tertawa, dia jadi tampak agak kesal. “Besok, aku akan minta Kaodura membawakan obat. Kau harus coba meminumnya, karena obat itu akan membantu.”
Aku membeku selama sesaat.
“Bagaimana kau tahu waktunya?”
“Aku adalah suamimu, tentu saja aku harus tahu,” dengan lembut dia mengetuk dahiku, wajahnya masih merah, “hanya kamu, si wanita kepala bodoh* ini, yang bahkan takkan mengingatnya.”
(T/N:傻头傻脑 (shǎ tóu shǎ nǎo), sebuah chengyu yang berasal dari Impian di Bilik Merah. 傻 = bodoh/ konyol, 头 = kepala, and 脑 = otak.)
Aku menjulurkan lidahku. Sejujurnya saja, aku tak pernah memerhatikan siklus menstruasiku. Karena siklus menstruasi rata-rata adalah 28 hari, yang mana berbeda dengan jumlah hari pada bulan di kalendar Gregorian, jadinya aku selalu dibingungkan. Kapan pun aku merasa kalau menstruasiku hampir tiba, aku akan membawa-bawa pembalut bersamaku. Dalam persiapan untuk lompatan waktu ini, aku sudah memasukkan pembalut untuk persediaan selama dua tahun di dalam tas ranselku, mengambil ruang yang cukup besar di dalamnya.
(T/N: Ai Qing seharusnya mempertimbangkan menstrual cup buat perjalanan ini ketimbang nyetok pembalut sekali pakai. Serius….)
Aku mengalungkan tanganku pada pinggangnya dan bersandar pada bahunya, bertingkah manja*:
“Ingatanmu lebih baik daripada ingatanku, jadi kau saja yang mengingatnya untukku!”
(T/N: 撒娇 (sā jiāo) – istilah ini tergantung pada konteksnya, bisa diterjemahkan sebagai membujuk / merengut / cemberut / manja / genit / menggoda, dll. Orang bisa menggunakannya sebagai anak-anak, orang dewasa, dan pihak penerimanya bisa menjadi anggota keluarga, teman, atau kekasih. Ini semacam bertingkah imut dengan kesan nakal, tapi tidak menjengkelkan. Bisa ber-sajiao kepada seseorang mengindikasikan kedekatan yang santai dan bahwa kau merasa percaya diri pada cinta mereka kepadamu.)
“Kamu….”
Aku mengeratkan lenganku pada pinggangnya dan menguburkan kepalaku pada dadanya, menghidu aromanya: “Orang yang dicintai memiliki kualifikasi untuk menjadi malas.”
Dia tertawa dan menarikku ke pangkuannya. Aku mengaitkan lenganku pada lehernya, menyandarkan kepalaku pada bahunya, dan tanpa bersuara membaca buku itu bersamanya. Dia adalah bangkuku yang nyaman, selamanya bangkuku.
Sebuah lagu lama terbersit dalam benakku: ‘Aku pernah bertanya lagi dan lagi, diam-diam di dalam gelap / Hanya mengetahui bahwa kehidupan sederhana dan santai adalah yang kebenaran’*. Tak peduli betapa pun memukau dan indahnya sebuah cinta, pada akhirnya akan menjadi hambar. Namun sebuah kehidupan yang hambar di mana orang bisa saling membasahi dengan semburan**, berbagi kehangatan bersamanya sedikit demi sedikit***, sudah membuatku merasa semanis sirup****.
(T/N: *Lirik dari lagu 《再回首》”menatap ke belakang” oleh penyanyi Taiwan, Su Rui, yang dirilis tahun 1988.
**相濡以沫 (xiāng rú yǐ mò), sebuah chengyu, menggambarkan bagaimana dua ikan akan saling bertukar air di mulut mereka antara satu sama lain demi bertahan hidup; ini berarti saling mmembantu satu sama lain pada masa-masa sulit dengan kekuatan sekecil apa pun yang kau miliki.
***点点滴滴 (diǎn diǎn dī dī), sebuah chengyu, harafiahnya dot, dot, drip, drip – sedikit demi sedikit)
****甘之如饴 (gān zhī rú yí), sebuah chengyu, berarti sukarela dan senang hati menanggung kesulitan bersama-sama)
Dalam cara ini, kami pun memasuki musim dingin tahun 384 Masehi tanpa ada angin dan gelombang besar. Upayanya mulai membuahkan hasil: Sebagian besar dari para rahib yang telah melarikan diri sebelumnya telah kembali, dan semua hal di dalam kuil telah kembali ke normal. Penderitaan yang orang-orang alami selama perang telah membuat mereka lebih taat dan setia kepada Buddha, yang pada gilirannya membuat Rajiva sibuk namun dengan gembira melakukannya. Dan aku juga telah menguasai lebih banyak keahlian bertahan hidup dari masa kuno – bisa memasak, mencuci baju, menjahit, membuat sepatu, dan membuat acar. Setiap hari, aku mengikuti Adoly Dasao pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan, dan juga membina hubungan baik dengan para wanita tetangga. Perlahan-lahan, aku mulai berasimilasi ke dalam kehidupan dari 1.650 tahun yang lalu.
Tentu saja, cepat atau lambat, Lu Guang akan memanggil kami. Itulah sebabnya, setelah Kucha mengalami hujan salju pertamanya, aku melihat para prajurit Di berdiri di luar gerbang. Aku tersenyum pahit. Jadi waktunya telah tiba lebih awal.
———-
T/N: bila ingin tahu penjelasan lebih banyak tentang chengyu dalam chapter ini, bisa kunjungi langsung terjemahan inggrisnya, karena saya terlalu malas untuk menerjemahkan semua catatan kakinya.