Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 59
Kami dibawa kembali ke Ibu Kota dan diatur untuk tinggal di istana. Meski tempat ini tak semewah istana Putri Wusun dari sebelumnya, di sini tak kurang apa pun dan tidak kekurangan wanita-wanita istana untuk melayani kami. Dan bila dibandingkan dengan sebelumnya, kami memiliki lebih banyak kebebasan. Lu Guang berkata kalau dia ingin mendengarkan ajaran Buddha dan menyuruh Rajiva menemani dia setiap hari. Alhasil, Rajiva menjadi semacam penasihat dan muncul di sisi Lu Guang setiap hari, sehingga tak bisa ikut serta dalam aktivitas apa pun di Kuil Cakuri.
Mendengarkan Rajiva menggambarkan urusan-urusan administratif hariannya yang membosankan, aku pun mulai menyadari tujuan Lu Guang yang sebenarnya. Dia tak lagi ingin menekan Rajiva dan telah menyerah pada upayanya untuk menjadikan Rajiva sebagai corongnya. Akan tetapi, komitmen mendalam Rajiva atas pekerjaannya membuat Lu Guang was-was. Kuil Cakuri hanya berjarak empat puluh li dari Ibu Kota. Jumlah rahib ditambah penghuni Kota Subashi mencapai sekitar puluhan ribu orang. Bisa dikatakan bahwa bila Rajiva mau melawan, dia akan memiliki kekuatan besar di belakangnya. Lu Guang tidak merasa tenang bila membiarkan Rajiva tetap berada di luar kedalinya. Dia ingin Rajiva ada di sisinya setiap hari sehingga dia bisa mengawasi Rajiva.
Aku memberitahu Rajiva bahwa mereka yang memegang kekuasaan memang seperti ini. Secara historis, para Kaisar tak pernah suka bila ada rahib yang memiliki kekuatan untuk menghimpun pendukung tinggal di suatu gunung terpencil, di luar kendalinya. Karena bagaimana bila rahib itu mengumpulkan cukup banyak umat untuk mendirikan panji-panji (militer) dan memberontak? Xuanzhang memiliki kepercayaan Kaisar Taizong dari Tang, namun ketika dia meminta untuk pergi ke Kuil Shaolin di Gunung Song pada tahun-tahun terakhir hidupnya demi menerjemahkan naskah, dirinya ditolak dengan keras. Dari peristiwa ini, orang bisa melihat bukti* dari egoisme ekstrim seorang Kaisar.
(T/N: istilah yang digunakan adalah 一斑 (yī bān), yang secara harafiah berarti satu belang (pada macan tutul); yang berarti satu hal dalam suatu skema yang besar)
Rajiva tetap diam dalam waktu lama. Terlahir dari kelas atas, dirinya kebal dan mengabaikan otoritas sekuler. Sebenarnya, dia masih belum menyadari bahwa agama takkan pernah bisa menyingkirkan ataupun melampaui otoritas sekuler. Kekuatan dari Gereja Katolik pada abad pertengahan telah menyebar keseluruh penjuru Eropa, membuatnya tampak seakan gereja adalah penguasa sebenarnya dari seluruh Eropa. Akan tetapi, keluarga-kelaurga kerajaan dari negara-negara Eropa yang lebih kecil tak bersedia menakhluk dan memulai reformasi keagamaan satu demi satu. Contoh paling berani adalah Henry VIII dari Inggris, yang menetapkan agama negara yang baru dan memproklamirkan pencopotan Paus Katolik Roma dari kedudukannya sebagai kepala Gereja. Perselisihan antara agama dan otoritas sekuler telah mengambil bagian yang besar pada sejarah Eropa abad pertengahan. Pada akhirnya, agama harus mundur selangkah dan menjadi alat spiritual dan tergantung pada otoritas kerajaan.
Semenjak Lu Guang menguasai Kucha, Rajiva telah melindungi semua dengan nyawa serta martabatnya, namun dalam konfrontasi ganas dengan mereka yang berkuasa, dirinya selalu berada dalam posisi tak menguntungkan. Bahkan bila perubahan kejadian yang tak disangka-sangka telah menyatukan kami, dari sudut pandang lain, bukankah hal itu adalah kekalahan bagi agama? Tetapi teori-teori ekonomi politis ini, aku tak mau memberitahu dia. Bahkan bila dia bisa mengerti dan menerima teori-teori ini, aku tak boleh memengaruhi dirinya dengan pemikiran modernku. Namun aku percaya kalau pada akhirnya dia akan menyadari kebenarannya, karena ketika Yao Xing muncul, dia akan memakai kekuatan sekuler untuk menyelesaikan misinya. Akan tetapi, pemahaman semacam ini akan membutuhkan waktu tujuh belas tahun – tujuh belas tahun tidak melakukan apa-apa di Guzhang. Tidakkah hal itu patut disesalkan olehnya? Atau dari sudut pandang optimis, tujuh belas tahun ini di mana dia tetap tak mencolok penting demi mempersiapkan dirinya untuk perjalanannya yang terakhir serta paling penuh kejayaan dalam hidupnya.
Bersandar pada bahunya, tanpa bersuara aku mengalirkan kekuatanku kepadanya. Tak peduli apa pun yang terjadi pada tujuh belas tahun berikutnya, kuharap keberadaanku bisa membawa kegembiraan baginya.
“Nona Ai Qing! Ah, salah, saya seharusnya memanggil Putri.”
Aku menolehkan kepalaku dan melihat Duan Ye berjalan ke arahku, mengenakan mantel wol besar. Pada saat itu, aku baru saja meninggalkan istana dan akan mengunjungi kedua anak manis di kediaman Guru Negara.
Duan Ye melangkah lebih dekat dan menyalamiku seraya tersenyum, “Sudah lama sejak saya bertemu dengan Putri, tetapi berkebalikan dari yang saya perkirakan, Anda tampak lebih ceria daripada sebelumnya.”
Aku buru-buru membalas salamnya. Dia telah menemani Lu Guang ke Kuil Cakuri pada waktu itu, namun baru mengenaliku ketika kami kembali ke Ibu Kota. Budaya Kucha cukup terbuka, dan tak ada banyak larangan di istana. Karena itu, jenderal-jenderal Lu Guang diizinkan untuk keluar masuk ke istana. Pada saat itu, dia mengikuti Du Jin ketika mereka berpapasan denganku. Du Jin telah memberitahu dia kalau aku adalah putri Kucha yang menikahi Guru Kumarajiva. Ketercengangan di wajahnya berlangsung selama beberapa waktu.
(T/N: Duan Ye pada saat ini adalah seorang pejabat tingkat rendah di bawah Du Jin, salah satu jenderal Lu Guang. Mereka berdua adalah sosok historis. Bila lupa, Ai Qing pertama kali bertemu dengan Duan Ye ketika kembali ke Kucha (lihat chapter 40). pada saat itu Ai Qing berpura-pura menjadi selir Duan Ye agar dia bisa keluar dari dalam lubang mayat, dan kemudian harus menyuap yang bersangkutan dengan suatu ‘ramalan’ untuk membuat Duan Ye mau bekerjasama dengannya)
“Putri, di sini sangat dingin. Bagaimana kalau marga Duan ini mengundang Putri minum secangkir arak hangat?”
Duan Ye mengisyaratkan ke arah sebuah kedai arak di pinggir jalan, sebuah sinyal tanpa tampak di matanya. Aku mengangguk. Tepat sekali, karena aku juga ingin mendapatkan sejumlah kabar darinya.
Duan Ye meminta tempat duduk, dan kami meminta si pelayan menunggu di luar. Begitu kami hanya berdua di dalam ruangan, Duan Ye melirihkan suaranya dan berkata:
“Putri, Chang’an saat ini berada dalam pengepungan oleh Murong Chong. Raja Langit (Fu Jian) tak berdaya dan telah mengeluarkan empat titah, mendesak Jenderal Lu agar kembali ke Chang’an sesegera mungkin.”
Aku menatapnya dalam diam. Mengenai Murong Chong, ‘Kitab Jin’ menulis bahwa dia ‘memiliki penampilan seorang Longyang* dan merupakan putra terkecil dari Kaisar Yan Awal, Kaisar Murong Jun. Setelah Yan Awal dihancurkan oleh Fu Jian, pada usia dua belas tahun, Murong Chong mengikuti kakak perempuannya, Putri Qinghe, dan pindah ke dalam istana belakang Fu Jian. Pasangan kakak beradik itu kemudian menerima cinta kasih bagian mereka. Wang Meng** harus berulang kali menegur Fu Jian agar dia melepaskan Murong Chong dari istana, menganugerahi yang bersangkutan gelar Gubernur dari Komanderi Pingyang***.
(T/N: Longyang(龙阳) adalah eufemisme dari pria gay. Asal dari kata ini adalah dari nama Longyang-jun / Tuan Bangsawan Longyang, yang merupakan kekasih Raja Ai dari Wei pada peride Negara Berperang (475 – 221 SM). Kisah ini dicatat dalam Catatan Negara-negara Berperang. Catatan historis mengindikasikan bahwa Murong Chong memiliki hubungan seksual dengan Fu Jian.
**Wang Meng (325-375 M), nama kehormatan Jinglue, dengan gelar Marquis Wu dari Qinghe, melayani sebagai perdana menteri Kaisar Fu Jian dari Qin Awal. Berkat bantuan Wang Meng-lah Fu Jian bisa membawa kekuasaanya hingga ke posiis tinggi (Wang Meng sudah wafat pada titik waktu di novel ini.)
***Pingyang saat ini kira-kira wilayah Linfen, Provinsi Shanxi.)
Duan Ye mencibir: “Murong si barbar* putih ini memiliki nama kesayangan Phoenix. Dahulu, orang-orang Chang’an memiliki pepatah: ‘Phoenix, phoenix berhenti di Epang**’. Raja Langit berpikir kalau ini adalah pertanda baik dan telah menyuruh agar ribuan pohon wutong*** serta bambu ditanam, menanti seekor phoenix tiba. Ironisnya, Murong Chong mengalahkan pasukan Raja Langit tepat di Epang, jadi bukankah itu berarti ramalannya telah menjadi nyata. Raja Langit tak mendengarkan nasihat Wang Jinglue, memanjakan orang Xianbei, dan sekarang berakhir dalam kondisi ini.”
(T/N: 白虏 (bái lǔ): 白 = ‘putih’, dan 虏 = ‘tawanan perang / orang barbar / budak utara’. Ini adalah istilah merendahkan yang dipakai oleh orang Di dari Qin Awal untuk menyebut orang Xianbei. Hal ini dicatat dalam biografi Fu Jian pada Kitab Jin. (Murong Chong secara teknis adalah tawanan perang, tetapi karena Xianbei adalah salah satu dari lima suku non-Han yang secara kolektif disebut sebagai Wu Hu atau Lima Kaum Barbar oleh Tiongkok Han kuno, akhirnya Haru memakai istilah orang barbar)
** 阿房 – E pang, mengacu pada Istana Epang, terletak di Chang’an dan yang kini adalah Xi’an barat, Provinsi Shaanxi, yang mana merupakan kompleks istana dari Qin Shi Huang. Konstruksi dari istana ini dimulai pada tahun 212 SM tetapi tak pernah selesai.
*** 梧桐 (wú tóng), nama ilmiah firmiana simpleks, secara umum dikenal sebagai pohon Payung China. Dalam kisah rakyat Tiongkok Kuno, pohon wutong dan bambu merupakan pohon favorit untuk ditenggeri burung phoenix.)
Orang-orang Xianbei dan Han tidak berasal dari etnis yang sama. Kulit kaum Xianbei putih; mereka adalah orang-orang yang riang, sehat, dan kuat. Keluarga kerajaan Murong penuh dengan pria-pria tampan dan wanita-wanita cantik – orang-orang Di menyebut mereka sebagai ‘orang barbar putih’. Murong Chong hanya berusia dua puluh lima tahun pada saat ini dan memimpin sekelompok orang yang tak beraturan, namun pasukan Fu Jian kalah kuat dan karenanya dipaksa keluar dari Chang’an. Ketika dalam pelarian, Fu Jian ditangkap oleh Yao Chang*, orang Qiang. Pada Mei tahun 385 Masehi, Fu Jian, pahlawan tragis dari periode Enam Belas Kerjaan, dibunuh oleh Yao Chang, yang melemparkan batu kepadanya ketika dirinya sudah terjatuh ke dalam sumur**. Lalu untuk orang yang memiliki penampilan yang mampu menyebabkan ‘kejatuhan kota, kejatuhan negara’***, Murong Chong: Setelah menakhlukkan Chang’an, dia membiarkan para prajurit untuk membakar, menjarah, dan melakukan segala macam kejahatan, mengubah Guanzhong yang berukuran ribuan Li menjadi neraka Avici. Dan karena dia takut pada kekuatan pasukan pamannya, Murong Chui, Murong Chong pun tak berani kembali ke kampung halamannya. Kurang dari setahun setelah dia memproklamirkan dirinya sendiri sebagai Kaisar, Murong Chong dibunuh oleh orang-orangnya sendiri; pada saat itu dia berusia dua puluh tujuh tahun.
(T/N: * Yao Chang adalah Kaisar pendiri Qin Akhir.
**落井下石 (luò jǐng xià shí) – melempari batu pada orang yang jatuh ke dalam sumur; berarti mencelakai lebih jauh orang yang telah mengalami kesulitan.
*** 倾国倾城 (qīng guó qīng chéng) – merupakan chengyu yang umumnya diatribusikan pada kisah Selir Li, seorang selir dari Kaisar Wu dari Han, yang dipanggil ke istana setelah saudaranya, seorang pemusik istana, bernyanyi tentang kecantikan tanpa tanding sehingga membuat sang Kaisar penasaran. Akan tetapi, para cendekia percaya kalau asal mula dari chengyu ini adalah dari sebuah puisi dalam Shijing / Kitab Lagu, yang mana mengolok-olok Kaisar yang terlalu menyukai wanita, sehingga membawa kehancuran negara)
Bagian mengerikan* dari sejarah ini terjadi di Ibu Kota kuno, Chang’an, yang terletak ribuan li jauhnya dariku, membuatku secara alamiah sarat dengan emosi. Tetapi mengapa Duan Ye memberitahuku tentang semua ini?
(T/N: istilah aslinya adalah 惊心动魄 (jīng xīn dòng pò), sebuah chengyu yang secara harafiah berarti ‘mengejutkan hati, menggerakkan raga)
Membaca kebingungan di mataku, Duan Ye lanjut merendahkan suaranya dan berkata: “Pada saat ini, Jenderal Lu sedang ragu-ragu. Kalau dia kembali ke Chang’an, di mana Raja Langit sedang menghadapi serangan gabungan dari orang-orang Xianbei dan Qiang, prospeknya suram. Kepulangan Jenderal Lu akan menjadi kerugian bagi pasukan maupun jenderal*, jadi hatinya tidak rela. Tetapi bila dia tak kembali, begitu Raja Langit berhasil mengatasi bencana ini dan pada suatu hari memutuskan untuk menyelidiki, maka Jenderal Lu akan menghadapi masalah besar**.”
(T/N: *损兵折将 (sǔn bīng zhé jiàng) – chengyu yang berarti ‘kehilangan pasukan, kehilangan jenderal.
**大难临头 (dà nàn lín tóu) – chengyu yang secara harafiah berarti ‘kesulitan besar menghampiri kepala’)
“Lantas apa yang Duan-canjun ingin saya yang rendah ini lakukan?” Dengan tenang aku menyesap teh panas.
“Sekarang karena sang Guru menemani Jenderal Lu, bila Guru bisa menggunakan kekuatan chenwei dan membujuk Jenderal Lu untuk kembali ke Chang’an sesegera mungkin, bahkan bila Jenderal Lu tidak percaya pada Buddha, dia akan mendengarkan kata-kata chenwei.”
(T/N: Chenwei adalah ramalan yang dikombinasikan dengan filosofi Konfusius mistis, terkenal pada masa Dinasti Han Timur)
Sebuah pemikiran muncul dalam hatiku. Aku bertanya, “Mengapa Duan-canjun ingin Jenderal Lu kembali?”
“Seperti sebagian besar prajurit di pasukan, keluarga Duan-mou ada di Guanzhong. Saya merindukan orangtua, istri dan anak-anak saya, jadi saya telah menanti-nantikan untuk kembali.” Dia mengeluarkan seulas senyum penuh perhitungan dan kembali menurunkan suaranya, “‘Sebuah lingkaran cahaya akan muncul di Jiankang, dan pencapaian besar menanti di Hexi’*. Tak peduli Jiankang dan Hexi ada di mana, tempat-tempat itu pasti takkan berada di Xi Yu. Bila Duan-mou ingin meraih kesuksesan, dia tak bisa tinggal di Kucha selamanya.”
(T/N: Bila lupa, inilah kata-kata ‘ramalan’ Ai Qing kepadanya. Lihat di Chapter 41)
Aku membuka mulutku, namun tak ada kata-kata yang keluar. Jadi inilah niat dia yang sebenarnya! Tanpa memedulikan kemampuan Duan Ye, dia setidaknya sama ambisiusnya dengan orang-orang yang menyatakan dirinya sendiri sebagai pahlawan di masa ini. Aku tetap diam selama sesaat sebelum berkata, “Saya yang rendah ini telah berada di luar cukup lama dan harus pamit.”
Aku berdiri dan melangkah ke pintu, kemudian terdiam dan berkata:
“Sang Guru sendiri kecil kemungkinannya untuk bisa membuat Jenderal Lu membuat keputusan. Mengapa Duan-canjun tidak coba-coba membujuk sang Jenderal? Kalau tidak segera mengambil tindakan, begitu semuanya selesai dan seluruh tanah telah dibagi-bagi, Jenderal Lu hanya akan mendapatkan sisaan.”
Keputusan akhir Lu Guang, tentu saja, adalah akan pergi. Saat ini adalah akhir bulan dua belas, dan Jalur Sutra tertutup oleh salju tebal. Karena hal itu, dia akan harus menunggu selama beberapa bulan sebelum dia bisa berangkat.
Hari itu, setelah menganalisa situasi di Dataran Tengah, aku memberitahu Rajiva:
“Rajiva, kau harus membujuk dia agar kembali ke Dataran Tengah.”
Menurut catatan sejarah, Lu Guang baru kembali setelah mendengar nasihat dari Rajiva. Tetapi aku tak percaya kalau Rajiva memiliki pengaruh sebesar itu terhadapnya. Lu Guang meragu – di satu sisi, ini adalah karena dia masih ingin menjarah kekayaan Kucha, dan di sisi lain, ini karena dia ingin mengamati situasi di Dataran Tengah. Dia kembali bukan karena dia takut pada Fu Jian, melainkan karena dia berniat mendapatkan sepetak tanah ketika Kekaisaran Qin (Awal) hancur. Lagipula, sesuai dengan alasan-alasan geografis, Xi Yu terbentuk dari kerajaan-kerajaan kecil yang merupakan oase di sekitar padang pasir, dan meski kekuatan dari kerajaan-kerajaan itu kecil, untuk mendapatkan semua kerajaan itu akan membutuhkan manajemen biaya yang terlalu besar. Sementara itu, tanah di Dataran Tengah luas dan subur, jauh lebih mudah untuk mendirikan sebuah rezim yang stabil. Terlebih lagi, semua prajuritnya berasal dari Guanzhong. Mereka telah berada jauh dari keluarga cukup lama, jadi mereka semua pasti ingin pulang. Itulah sebabnya, setelah banyak menimbang-nimbang dan memperhitungkan, kembali ke Chang’an adalah kebijakan paling baik. Kini, asalkan Rajiva dan Duan Ye melancarkan serangan gabungan, Lu Guang pasti akan memutuskan tak lama lagi.
“Rajiva mengerti. Kalau dia pergi, maka hal itu akan menjadi berkah bagi Kucha.”
Dia menatap salju yang berjatuhan bagai bulu-bulu angsa di luar jendela, mata sarat dengan melankolia. Dalam waktu beberapa bulan, dia akan harus meninggalkan kampung halamannya, dan takkan pernah kembali. Aku mengaitkan tanganku dengannya dan bersandar di bahunya, bersama-sama kami mendengarkan suara salju yang berguguran di luar. Ini akan menjadi kali terakhir kami bisa melihat pemandangan bersalju yang indah ini.
Untuk Tahun Baru (Lunar) Han, Lu Guang mengadakan perayaan besar. Orang-orang Di telah disinifikasi* untuk waktu yang lama, sehingga adat mereka tak ada bedanya dengan orang Han. Di semua tempat di dalam istana dihias dengan lentera dan panji-panji penuh warna. Pada Malam Tahun Baru, kami menerima undangan untuk makan malam di aula utama. Lu Guang mengumumkan kalau dia akan kembali ke Chang’an pada musim semi yang akan datang dan mendapat sorakan gembira dari para prajurit dan jenderalnya. Dia lalu berpaling pada Rajiva dan berkata bahwa dengan perintah Raja Langit dari Qin yang Agung, dia mengundang Rajiva agar ikut serta ke Chang’an untuk mengajar. Rajiva menerima dengan tenang. Lu Guang tak membiarkan dia pergi lebih awal, dan hanya mengizinkan dia minum teh untuk menggantikan arak. Barulah ketika tengah malam tiba, kembang api menyinari angkasa dan musik telah berhenti, perjamuan itu berakhir. Dan dengan seperti itu saja, tahun 385 masehi telah tiba. Kejadian bersejarah terbesar yang akan terjadi tahun ini adalah kematian Fu Jian. Dengan kematiannya, Dataran Tengah akan memasuki babak yang baru.
(T/N: mengacu pada proses di mana masyarakat non-Tiongkok (baik itu etnis minoritas ataupun negara-negara tetangga di Asia Timur atau Tenggara), mulai berada di bawah pengaruh budaya dan adat Tiongkok – lebih khususnya, Tiongkok-Han.)
Pada tahun yang sama, Murong Chong, pria gay Xianbei yang pernah melayani Fu Jian, mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai Kaisar dan negaranya akan dicatat dalam sejarah sebagai Yan Utara. Tetapi karena masa kekuasaannya kacau dan sirna dalam waktu satu tahun, Yan Utara tidak dimasukkan dalam daftar Enam Belas Kerajaan.
Pada tahun yang sama, Yao Chang, Kaisar pendiri Qin Akhir, akan mencekik Fu Jian dengan tali busur dan kemudian menyerang Murong Chong di Chang’an. Pada tahun berikutnya, Yao Chang akan memasuki Chang’an dan menjadikannya Ibu Kota Qin Akhir, hingga Liu Yu menjalankan ekspedisi Utaranya dan mengakhiri Qin Akhir.
Pada tahun yang sama juga, orang-orang Xianbei di Longxi memohon Qifu Guoren agar menetapkan kekuasaan politis di wilayah yang kini adalah bagian selatan Gansu dan utara Qinghai. Tetapi karena kekuatannya yang lemah, wilayah itu akan harus menempelkan dirinya sendiri pada wilayah-wilayah yang lebih kuat, dan para penguasanya akan menyebut diri mereka sendiri sebagai Chanyu, Gubernur, atau Raja Qin. Daerah ini nantinya akan disebut dalam catatan sejarah sebagai Qin Barat.
Juga pada tahun yang sama, seorang pahlawan akan muncul di padang rumput Mongolia Dalam. Suku Tuoba dari Xianbei, di bawah kepemimpinan Tuoba Gui yang berusia enam belas tahun, dipulihkan dan kemudian Wei Utara didirikan. Pada tahun 439 Masehi, Wei Utara menghancurkan Liang Akhir, yang terakhir dari Enam Belas Kerajaan. Tiongkok Utara, setelah kekacauan dan perang selama 135 tahun, pada akhirnya akan bersatu. Setelah itu, Dinasti-dinasti Utara dan Selatan akan bertahan selama 150 tahun, hingga Dinasti Sui menyatukan seluruh Tiongkok.
(T/N: bila bingung dengan semua urusan sejarah ini, di sini ada chart dari wikipedia untuk mengetahui kronologinya: en.wikipedia.org/wiki/Sixteen_Kingdoms#Chronology )
Aku sedang membuat orang-orangan salju di halaman dengan Qiu Si dan Yong Si (anak-anak Pusydeva). kedua anak itu terbungkus dalam pakaian tebal serta hangat, dan pipi merah mungil mereka sungguh menggemaskan, benar-benar membuat orang tak sanggup berpisah dengan mereka. Setelah membuat orang-orangan salju, kami kemudian bermain batu-gunting-kertas; siapa pun yang kalah harus mengenakan penutup mata sementara yang lainnya bersembunyi. Suara tawa berkumandang di seluruh halaman. Aku kalah dengan sengaja, mengenakan penutup mata, dan berpura-pura menjadi serigala besar yang jahat; kedua Tudung Merah kecil itu bersenang-senang habis-habisan.
“Ha! Tertangkap!”
Huh, sosok ini jelas bukan anak-anak. Aku menurunkan penutup mata dan melihat Pusydeva sedang berdiri di depanku seraya tersenyum.
“Ai Qing, kamu masih saja sama bodohnya dengan dirimu pada lebih dari dua puluh tahun yang lalu!”
Sebuah bola salju mendarat di tubuhnya. Bukan aku yang melemparkannya, meski aku benar-benar ingin melakukannya. Qiu Si tergelak dan kabur. Sekarang giliran Pusydeva yang jadi serigala besar jahatnya. Setelah bermain-main selama beberapa waktu, Pusydeva melihat kalau anak-anak sudah bermandi keringat dan menyuruh para pelayan membawa mereka untuk mengganti baju dengan yang bersih.
Aku menatap anak-anak itu dan mendesah, “Oh, betapa aku ingin punya anak-anak seimut itu.”
“Kalau pada waktu itu kau bersedia menikahiku, mereka akan menjadi anak-anak kita.”
Aku mendongakkan kepalaku dengan kaget dan melihat dia menggerak-gerakkan alisnya dengan senyum nakal di wajahnya. Ketampanannya masih mencengangkan. Aku terpana, merasa seakan aku tengah menatap Pusydeva yang pernah bertanya kepadaku, “Tidakkah kau ingin suamimu menjadi orang biasa?”
Melihatku membisu, dia berdehem dan berkata pelan, “Ayo masuk. Kau berkeringat, jadi jangan sampai kena flu.”
Xiao Xuan sedang duduk di samping tungku api di aula, menjahit sambil juga menambahkan arang. Melihat Pusydeva, wajahnya menjadi cerah dengan kesukacitaan. Dia lalu berdiri dan mengambil mantel suaminya.
“Akhir-akhir ini, aku luar biasa sibuk. Lu Guang orang yang serakah. Dia menginginkan semuanya, hampir seakan dia ingin membawa seluruh Kucha bersamanya.” Pusydeva menegrutkan bibirnya dan mengeluh dengan tidak puas, “Sang Raja menyetujui semuanya hanya agar dia pergi.”
Dia melangkah lebih dekat ke tungku api, memasukkan sepotong arang ke dalamnya, dan meneruskan, “Lu Guang telah memutuskan untuk pergi pada hari pertama bulan tiga. Dia bilang dia akan membawa kakak bersamanya karena Fu Jian ingin mendengarkan ajaran Buddha.”
Dia mencibir, “Seperti kalau Fu Jian punya minat untuk mendengarkan ajaran Buddha pada saat-saat ini saja. Kalau dia sampai diturunkan dari tahta, Dataran Tengah akan jatuh dalam kekacauan.”
Pusydeva mendongak menatapku, matanya sarat dengan kecemasan: “Ai Qing, berbahaya bagimu dan kakak untuk pergi ke Dataran Tengah pada saat ini.”
“Bukan kami yang bisa memutuskannya.” Aku menunduk menatap tungku api. “Jangan cemas, takkan ada masalah apa-apa di jalan. Kami takkan langsung pergi ke Chang’an dan alih-alih akan tinggal di Guzang.”
“Apa kau akan kembali?” Setelah terdiam beberapa saat, dia akhirnya menyebutkan topik sedih ini.
“Aku tak tahu. Aku hanya bisa berharap.” Aku tak berani menatap matanya, mengetahui bahwa tak ada harapan untuk bertemu kembali. Hatiku rasanya terpilin.
“Sudah malam. Aku harus pergi.” Aku berdiri dan berpamitan pada Xiao Xuan dan buru-buru pergi.
“Tunggu.”
Pusydeva menangkap tanganku. Mata kelabunya berhenti di wajahku. Dia membuka mulutnya tapi tak ada kata-kata yang keluar.
“Aku….” Dadanya naik turun, sorot matanya menerawang jauh, sebelum dia kemudian berkata dengan nada tertahan, “Saljunya sangat lebat. Biar kuantar kau pulang.”
“Tak usah….” Aku juga memalingkan muka, namun kemudian melihat Xiao Xuan membawakan mantel Pusydeva dan tanpa bersuara memasangkannya pada sang suami.
Kami berjalan di tengah salju, menjaga jarak di antara kami. Salju terus berjatuhan seperti bulu angsa dan tak lama kemudian, selapis tipis warna putih telah menyelimuti bahu kami. Pusydeva tak mengambil jalan utama yang biasa dan malah membawaku memutar lewat sebuah gang di belakang istana. Tak ada seorang pun di luar, hanya suara gemerisik langkah kaki kami di salju yang menghasilkan gema.
Sosok tinggi di depanku tiba-tiba berhenti. Dia berputar untuk menatapku dan berkata sungguh-sungguh:
“Ai Qing, katakan yang sebenarnya padaku, apa aku akan bisa bertemu lagi denganmu?”
Aku memejamkan mataku selama sesaat dan ketika aku membukanya lagi, aku berusaha mengukir wajah Pusydeva, segores demi segores dalam benakku seraya menggumam:
“行行重行行,与君生别离。相去万余里,各在天一涯。
道路阻且长,会面安可知。胡马依北风,越鸟巢南枝。
相去日已远,衣带日已缓。浮云蔽白日,游子不顾返。
思君令人老,岁月忽已晚。弃捐勿复道,努力加餐饭。”
“Pergi pergi, terus pergi pergi,
jauh darimu ‘tuk hidup terpisah,
Sepuluh ribu li antara kita,
Masing-masing di ujung langit.
Jalan kutempuh curam dan panjang;
Siapa tahu kapan ‘kan jumpa?
Kuda Hu mencondong angin utara;
Burung Yueh bersarang di ranting selatan;
Hari demi hari perpisahan kian jauh;
Hari demi hari sabuk dan jubah melonggar.
Awan berarak menghadang mentari putih;
Musafir tak mencari jalan pulang.
Memikirkan kamu membuat orang menua;
Tahun dan bulan berlalu tiba-tiba.
Ditinggalkan, aku takkan berkata lagi
Menghimpun tenaga dan makan kenyang.”
(T/N: terjemahan inggris oleh Watson, Burton (1971). CHINESE LYRICISM: Shih Poetry from the Second to the Twelfth Century. New York: Columbia University Press)
“Ai Qing….”
Bersamaan dengan suara melankolisku, deru napasnya menjadi lebih berat dan semakin berat lagi sementara air mata menggenang di mata besarnya. Dia mengulurkan lengan yang gemetaran dan meletakkannya ke bahuku. Ketika aku selesai membacakan baris terakhir, dia mengeluarkan suara tangisan dan menarikku ke dalam pelukannya. Aku bersandar pada bahunya dan merasakan dada bidangnya naik turun. Keping-keping salju yang berjatuhan di wajahku dengan cepat meleleh dan menjadi satu dengan air mata, meninggalkan titik-titik air dingin menggelincir turun, sama dinginnya dengan kondisi benakku saat ini.
“Perlakukan Xiao Xuan dan anak-anak dengan baik…,” aku berkata, tercekat, “aku akan selalu merindukanmu.”
“Pasti….” Dia menyeka air mataku namun tak melakukan hal yang sama pada air matanya sendiri.
Sudut-sudut mulutnya gemetar namun dia tak bisa menyusun satu kalimat lengkap. Dia menarik napas dalam-dalam dan berusaha mengerahkan seulas senyum untukku:
“Jaga dirimu.”
“Pasti!” Aku juga menjawabnya dengan segenap tenagaku, seakan ini adalah satu-satunya cara untuk mengekspresikan hatiku. “Pusydeva, terima kasih atas semua yang telah kau lakukan untukku.”
Dia menarikku kembali ke dalam pelukannya, kali ini dengan ledakan tenaga tambahan.
“Kau tahu dengan jelas, asalkan kau bisa bahagia, aku akan melakukan segalanya….”
“Aku sangat bahagia, sungguh, sangat bahagia. Kamulah yang memberikan kebahagiaan seperti ini padaku, terima kasih….”
****
Aku bersandar pada jendela, menatap nanar pada tusuk rambut indah dan halus di tanganku. Seuntai manik-manik tergantung dari paruh sang phoenix, masing-masing maniknya terbuat dari emas. Benda ini diberikan kepadaku oleh Pusydeva saat kami saling berpamitan. Dia masih mengingat ulang tahunku. Dia bahkan meninggalkan sebuah kecupan musim dingin di dahiku, persis seperti ketika aku meninggalkan era ini pada kali terakhir. Sebuah kecupan yang akan bertahan selama satu masa kehidupan….
“Kamu sedang lihat apa?”
Aku buru-buru menyeka air mata dengan kedua tangan, memutar kepalaku dan tersenyum pada Rajiva. Pandangannya tertuju pada tusuk rambut itu. Lama kemudian, dia mengeluarkan sebuah kotak dan memberikannya padaku.
Aku membukanya dan menemukan sepasang cincin emas kecil; desain bunganya sederhana, tetapi sangat halus. Dia mengangkat tangan kiriku dan menyisipkan satu cincin pada jari manisku. Kemudian dia mengulurkan tangannya di depanku dan menatapku seraya tersenyum.
Dia pernah bertanya padaku seperti apa pernikahan modern itu. Aku telah mendeskripsikannya pada dia dan memberitahunya bahwa mempelai pria dan wanita akan bertukar cincin, dan bahwa mereka akan mengenakannya pada jari di samping jari kelingking tangan kiri. Dia mengingatnya, sungguh tak disangka.
Aku memasangkan cincin yang lebih besar pada jarinya dan mendongak menatapnya. Dia tersenyum lembut, kemudian mengambil tusuk rambutnya lalu menyisipkannya ke rambutku.
“Selamat ulang tahun!”
Dia mencondongkan diri dekat-dekat pada telingaku dan bernyanyi lirih. Nadanya agak salah, tapi aku masih bisa mengingatnya sebagai lagu ulang tahun yang pernah kuajarkan padanya dan Pusydeva dua puluh tiga tahun yang lalu. Suara bernyanyinya yang lembut bagaikan musik surgawi, memetik dawai hatiku pada setiap kalinya.
“Aku telah melihatmu menahan diri dalam waktu lama.” Setelah dia selesai bernyanyi, dia mengalungkan lengannya padaku, “Kalau kau ingin menangis, menangislah.”
Dalam pelukan hangatnya, akhirnya aku tak bisa menahan diri untuk menangis sepenuh hati.