Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 60
Area luas di luar gerbang timur kota benar-benar padat. Ada lebih dari dua puluh ribu ekor unta yang membawa kantong-kantong berat penuh dengan harta-harta langka dan berharga, lebih dari sepuluh ribu kuda bagus Xi Yu, bersama dengan ribuan jenis burung langka dan makhluk-makhluk aneh yang tak bisa ditemukan di Dataran Tengah. Ada enam puluh ribu lebih orang prajurit; lima ribu lebih kavaleri; dan ribuan musisi, penari, wanita penghibur, dan seniman. Saat kau melihatnya, tempat itu begitu padat hingga hanya ujung corong yang bisa diselipkan. Bai Zhen memimpin keluarga kerajaan Kucha serta para pejabat pemerintahan yang berdiri di depan gerbang untuk mengantar Lu Guang pergi. Pusydeva berdiri di belakangnya, pikirannya terlalu sibuk untuk bertukar sapa dengan orang-orang Di, jadi alih-alih dia mengalihkan tatapannya pada Rajiva dan aku.
Semalam, dia dan Xiao Xuan membawa anak-anak untuk mengucapkan salam perpisahan. Semua orang menangis. Kedua kakak beradik itu saling berpelukan untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, namun sayangnya pelukan itu adalah pada saat perpisahan. Pusydeva dan istrinya membungkuskan banyak pakaian dan uang untuk kami, memenuhi seluruh kereta.
Bai Zhen mengucapkan selamat tinggal dengan sopan pada Lu Guang ketika tiba-tiba, sekelompok rahib mendesakkan diri di antara kerumunan pengantar dengan tas-tas tersampir di bahu mereka dan menghambur ke arah Rajiva.
“Guru, mohon ajak kami bersamamu!” Ratusan rahib berteriak kepada Rajiva.
Sebenarnya, bukan hanya mereka rahib-rahib yang ingin mengikuti Rajiva. Beberapa hari yang lalu, rahib-rahib terus berdatangan ke istana dari Kuil Tsio-li, Kuil Cakuri, Biara ‘Aneh’*, dan kuil-kuil lain dari luar Kucha, memohon agar Rajiva membawa mereka bersamanya – jumlahnya mencapai ribuan. Rajiva meminta izin kepada Lu Guang namun ditolak. Mudah untuk menerka isi benak Lu Guang. Dia tak percaya pada Buddha, jadi membawa para rahib bersamanya tidaklah bermanfaat dan hanya akan menghabiskan perbekalan. Terlebih lagi, ada begitu banyak rahib yang hanya mendengarkan Rajiva, dan bila sampai terjadi sesuatu di perjalanan, maka hanya akan menyebabkan masalah bagi Lu Guang. Alasan mengapa dia membawa Rajiva bersamanya adalah karena dia belum memastikan situas Fu Jian. Bila Fu Jian mampu mengatasi bencana dan kembali berkuasa, dia akan menawarkan Rajiva sebagai hadiah kepada Fu Jian.
(T/N: Mengacu pada Biara Ascharya, lihat Chapter 13)
Rajiva tentu saja memahami pemikiran Lu Guang, jadi setiap hari hingga pada hari keberangkatan, dia harus membujuk para rahib. Kami kira akan sudah cukup bila membuat mereka menyerah dan tak menyangka kalau masih akan ada begitu banyak rahib yang gigih. Melihat ketidakpuasan di mata Lu Guang, Rajiva buru-buru melangkah maju untuk membubarkan mereka. Pada akhirnya, rahib-rahib itu pergi dengan berlinangan air mata.
Suara cambuk kuda berkumandang; iring-iringan di depan mulai bergerak, dan kerumunan yang mengantar kami meledakkan tangis. Wajah Rajiva sedikit memucat; dia meraih tanganku dan mengucapkan perpisahan pada keluarga Pusydeva. Dia kemudian menarik napas dalam-dalam dan mendongak para langit biru Kucha, seakan dia ingin mengukirkan tempat ini dalam ingatannya. Melihat melankolia dan kesepian dalam matanya ini, hatiku terasa sedih. Aku berjongkok dan meraup tanah sebanyak sebungkus sapu tangan dan memberikannya pada Rajiva.
“Ini adalah tanah Kucha. Bawalah bersamamu, dan akan seperti melihat kampung halamanmu.”
Rajiva mengambilnya dan menatap tanah itu selama sesaat, sebelum membungkusnya dengan sepenuh hati dan memasukkannya ke dalam jubahnya. Setelah itu, kami masuk ke dalam kereta. Begitu roda mulai berputar, aku menyibakkan tirai. Bersama-sama, kami menatap ke belakang pada Pusydeva, yang tampak kehilangan saat berdiri dihembus angin musim semi awal bulan tiga. Lipatan-lipatan bajunya berkelepak tertiup angin, bergesekan satu sama lain. Sosok tinggi itu semakin lama semakin mengecil dalam pandangan kami sebelum menjadi satu dengan titik-titik hitam lainnya, tak lagi bisa dibedakan. Pandanganku menjadi kabur dengan air mata.
Selamat tinggal, Pusydeva. Aku akan selalu mengingatmu. Terima kasih…
Dada hangat Rajiva melingkupiku dari belakang. Dia melingkarkan lengannya pada pinggangku, bahkan matanya tampak agak berkaca-kaca. Aku berbalik dan memeluknya, membiarkan air mata terakhir untuk kampung halaman dan keluarganya menitik dan tetap bertahan di lenganku. Kereta membawa kami melaju ke daratan kepedihan dan kekacauan yang disebabkan oleh konflik-konflik tanpa henti. Sejak saat ini, takdir kami akan terhubung erat dengan Dataran Tengah.
Di masa kuno, bila kau melakukan perjalanan dengan kereta kuda, kau bisa menempuh jarak sekitar tiga puluh kilometer dalam sehari. Akan tetapi, kelompok kami jumlahnya terlalu besar: Ada dua puluh ribu unta dan lebih dari enam puluh ribu infanteri, sehingga kecepatan perjalanannya hanya lima belas kilometer per hari. Tak mengherankan bila kami sampai membutuhkan waktu hingga setengah tahun untuk mencapai Guzang. Jalan yang kami tempuh ada di bagian selatan Jalur Sutera, menyusuri tepian Tarim Basin. Jalan ini masih tetap ada di masa modern, sekarang dikenal sebagai National Highway 314 (G314). Jalan ini membentang dari Daerah Toksun menuju Perlintasan Khunjerab yang berbatasan dengan Pakistan, dan akhirnya tiba di India. Inilah jalan yang diambil Xuanzhang untuk pergi ke barat.
大漠孤烟直. – Di gurun nan luas, asap tunggal membubung lurus;
长河落日圆. – Di sungai nan panjang, mentari terbenam membulat.
(T/N: ini adalah baris-baris dari puisi ‘使至塞上’ atau ‘Misiku ke Perbatasan’ oleh Wang Wei (699 – 759 Masehi) yang merupakan seorang penyair, pelukis, dan politisi terkenal dari Dinasti Tang)
Di sepanjang perjalanan, aku menyaksikan pemandangan-pemandangan yang merupakan karakteristik dari Tiongkok bagian barat, seperti Gurun Gobi yang tak berujung dan bentuk-bentuk berbeda dari bentangan yadan*. Saat ini adalah musim air dangkal, jadi sungai di sepanjang jalan sebagian besarnya mengering. Karena tanah di sungai penuh dengan mineral, dasar bergaram itu menjadi bentangan warna-warni yang terdiri dari warna dan tekstur yang berubah-ubah, yang berkilauan di bawah cahaya mentari dan menciptakan sebuah pemandangan yang begitu indah sehingga membuat orang berdecak kagum. Garis luar bentangan Tian Shan menutupi cakrawala bagai garis tanpa akhir. Di atas padang pasir Gurun Gobi terdapat kumpulan-kumpulan tanaman yang tahan pada kekeringan seperti sea bucthorn dan tamariska. Dari waktu ke waktu, kami akan melihat unta, keledai, atau kuda-kuda liar yang merumput dengan santai. Di masa modern, semenjak minyak dan gas bumi ditemukan, di mana-mana di padang pasir ini akan dipenuhi dengan alat-alat pengebor minyak dan dentuman pengambil gas alam, memompakan asap ke udara. Ketika aku pergi ke Kucha (modern) untuk melakukan riset, kami berkendara di sepanjang National Highway 314 dan dalam jangkauan penglihatan kami, bor-bor dan mesin-mesin tak pernah berhenti bekerja. Pada kemilau akhir mentari terbenam, hal itu adalah pemandangan yang menakjubkan.
(T/N: dalam bahasa Inggris lebih dikenal sebagai ‘yardang’, dari kata Turki yang berarti tepian curam, sementara kata Mandarinnya berasal dari Bahasa Uyghur)
Setelah tiba di Luntai, kami melakukan perjalanan di tengah-tangah hutan poplar selama beberapa hari. Hutan ini adalah salah satu hutan poplar terbesar di Xinjiang. Setiap tahunnya pada bulan sepuluh, hutan poplar ini akan mewarnai seluruh daratan dan langit dengan warna emas. Di Luntai, aku pergi melihat benteng-benteng dan menara-menara jaga kuno yang dibangun pada masa Dinasti Han, di mana prajurit ditempatkan untuk membuka daratan dan berjaga. Ketika pasukan ekspedisi melewati tempat ini pada masa Dinasti Han (202 SM – 9 M), untuk memecahkan masalah persediaan makanan jangka panjang, para prajurit harus bercocok tanam dan berswasembada. Pertanian-pertanian itu kemudian menjadi semakin dan semakin maju, membantu penyebaran kekuasaan militer Han menuju ke Xi Yu. Kota kuno Kugelake, kota kuno Zorkut, dan kota Wulei semuanya adalah bagian dari sistem tuntian* pada Dinasti Han. Ibu Kota Luntou, sebuah kerajaan yang terletak di perbatasan luar Kucha, dihancurkan sepenuhnya oleh dua ekspedisi Li Guangli saat melawan Negara Dayuan, yang ketika melintasi Luntou, ‘menyerang selama beberapa hari dan melakukan pembantaian’. Kami tinggal di Kota Kuno Luntou untuk semalam. Hanya ada beberapa desa tak beraturan di sekitar sini. Pembantaiannya telah terjadi lebih dari empat ratus tahun yang lalu, namun negara kecil ini masih belum dipulihkan, yang secara jelas menunjukkan sungguh betapa tragisnya pembantaian itu.
(T/N: 屯田 (tún tián): harafiah berarti ‘menempatkan [prajurit] untuk bertani, mengacu pada pertanian militer seperti yang telah disebutkan.)
Di masa modern, Luntai adalah titik awal dari Highway Gurun Tarim, yang dibangun untuk memfasilitasi transportasi minyak untuk industri petroleum di Gurun Taklamakan. Highway ini dianggap sebagai pencapaian besar di sejarah arsitektur dunia, dengan panjang lebih dari 500 km (persisnya 552 km), yang 450 km-nya dibangun di atas padang pasir yang terus berubah-ubah, membuatnya menjadi highway terpanjang dibangun di padang pasir di abad ke-21. padang pasir luas yang kami lihat dari kejauhan dari kereta ini – itulah Gurun Taklamakan. Tanpa ada tetumbuhan yang terlihat, Gurun Taklamakan dikenal sebagai tempat di mana ‘begitu kau masuk, kau tak bisa keluar darinya’.
Dengan penuh semangat aku menceritakan pada Rajiva bahwa demi bisa merasakan highway yang melintasi gurun terbesar di Tiongkok dan kedua terbesar di dunia ini, aku telah menghabiskan empat jam melintasi ‘lautan kematian’ ini. Hal itu tentu saja membuat dia terbengong-bengong dan tidak percaya. Dengan bangga, aku memberitahunya bahwa demi menangkal angin dan pasir, sebuah pompa air dipasang pada jarak tiap lima ratus meter, memompakan air melewati pipa-pipa tipis di sepanjang highway untuk menyirami tanaman. Asalkan ada air, maka ada rumput. Pada setiap beberapa langkah, akan ada sesemakan rumput yang membentang dengan pola saling bersilangan untuk menghadang pasir agar tidak membanjir. Di sepanjang highway ini sejauh lebih dari lima ratus kilometer, satu-satunya pemandangan mencolok adalah serangkaian gardu-gardu pompa air, rumput hijau tumbuh di sekitar pipa-pipa air, dan kolom-kolom tinggi padang pasir yang melingkupi angkasa. Butuh lebih dari enam jam melihat pemandangan monoton ini sebelum kau bisa melintasi Sungai Tarim dan melihat hutan poplarnya.
Semenjak dia mengetahui identitasku sebagai orang dari masa depan, Rajiva seringkali menanyakan padaku tentang pemandangan masyarakat dan pengetahuan dari seribu tahun kemudian. IQ-nya yang tinggi, kemampuan pemahamannya yang tinggi, serta kepercayaannya padaku membuatku tak mampu menyembunyikan apa-apa darinya. Itulah sebabnya, meski perjalanan ini sangat panjang, kami tak pernah merasa lelah ataupun bosan berkat semua diskusi yang kami jalani setiap harinya. Biarlah kami menebus waktu yang hilang pada sepuluh tahun yang lalu dengan menceritakan semua kisah yang bisa kami ceritakan. Aku bicara padanya tentang geografi dasar, fisika, sejarah, meteorologi, dan pengetahuan lainnya tentang fitur-fitur istimewa Gurun Gobi saat kami melintasinya, yang mana seringkali mengejutkan dirinya, entah dalam kekaguman ataupun dalam keheranan. Aku sepenuhnya membuka hatiku kepadanya, kecuali mengenai harga dari lompatan waktuku.
Butuh waktu sebulan bagi kami untuk mencapai Yanqi*. Titik masuk pertama adalah Perlintasan Tiemen (Gerbang Besi), pos depan paling luar di Yanqi. Perlintasan itu dibangun oleh Dinasti Han pada tepian barat Sungai Kongque (Sungai Merak). Zhang Qian dikirim dua kali kemari ketika dirinya menjadi utusan ke Xi Yu, dan Ban Chao juga pernah sekali melewati tempat ini, berhenti untuk membiarkan kudanya minum air di Sungai Kongque, sehingga Sungai Kongque juga dikenal sebagai Sungai Yinma (Sungai Kuda Minum). Sungai Kongque bermula dari Danau Bosten, berakhir di Lop Nur, dan tak terhubung dengan sungai manapun lainnya. Sungai yang aneh ini merupakan tempat kelahiran sebuah peradaban kuno – Kerajaan Krorän (Loulan).
(T/N: juga dikenal sebagai Ārśi dalam bahasa Tokharia, sebuah kota kuno di Jalur Sutera, kini merupakan Ibu Kota dari Wilayah Otonomi Yanqi Hui di Perfektur Otonom Bayingolin Mongol, Xinjiang.)
Pada masa Rajiva, Loulan telah menjadi puing-puing. Sekitar sepuluh tahun dari sekarang, Faxian, rahib ternama dari Dinasti Jin Timur, akan melakukan perjalanan ke barat untuk mempelajari kitab suci dan ketika melewati Loulan, akan mencatat: “Tak ada burung yang terlihat pada langit di atas, juga tak ada binatang di daratan di bawahnya. Meski kau mengedarkan pandangan ke sekeliling, untuk mencari tempat di mana kau bisa melintas, kau takkan tahu ke mana harus membuat pilihan, satu-satunya tanda dan indikasi dari keberadaan makhluk hidup adalah tulang-belulang kering dari yang sudah mati (tersisa di atas pasir).”* Aku bertanya kepada Rajiva, yang menggelengkan kepala dan mendesah. Dia berkata bahwa ketika dirinya masih kecil, dia pernah mendengar orang-orang bicara tentang Loulan dan bagaimana sungai berubah arah yang menyebabkan berkurangnya air dan penumpukan garam. Pola cuaca yang tidak normal menyebabkan serangan wabah dan sebagian besar orang mati. Mereka yang masih bertahan hidup terpaksa pindah, dan Kerajaan Loulan yang berusia ribuan tahun pun lenyap dalam kekeruhan….
(T/N: Terjemahan inggris diambil dari terjemahan James Legge (1886). . Oxford University Press Warehouse. pp. 12–15.)
Kami meneruskan perjalanan ke utara Yanqi, berjalan di sepanjang Sungai Kongque. Air sungai bagaikan sabuk kumala dan gelombangnya jernih. Tidak diketahui di mana hilir sungainya. Sekitar beberapa ratus kilometer dari sini adalah Loulan kuno, terkubur di bawah pasir putih tanpa batas. Pada masa ini, selain Perlintasan Tiemen, tak ada kota-kota besar lainnya. Namun pada abad ke-21, tempat ini akan menjadi Korla, sebuah kota industrial besar yang dibangun demi ladang minyak Tarim.
Kurang dari seratus li jauhnya dari Ibu Kota Yanqi, di bawah kemilau akhir mentari, kami memasuki sebuah lembah sempit. Lu Guang memerintahkan agar semua orang berhenti dan mendirikan kemah. Memandangi orang-orang yang sibuk memasang kemah, aku menyadari dengan kengerian yang semakin dekat bahwa sebuah tragedi akan terungkap di sini….