Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 61
Sementara semua orang sedang sibuk, Rajiva membisu menatap langit, kemudian berjongkok untuk memandangi rumput selama sesaat, lalu menggelengkan kepalanya dengan cemas, “Awan gelap menutupi langit, dan semut-semut berbaris tergesa. Pasti akan turun hujan malam ini. Bagaimana kita bisa berhenti di jurang ini? Seluruh pasukan akan panik. Kita harus pindah ke tempat yang lebih tinggi.”
Tak bisa duduk diam, dia pergi ke tenda Lu Guang untuk membujuknya. Aku tetap tinggal di belakang dan berkemas-kemas di dalam tenda. Setengah jam kemudian, dia kembali dan dengan wajah kecewa berkata, “Lu Guang bilang para prajurit telah pergi beristirahat dan tak boleh diganggu.”
Dia mengeluarkan desahan panjang, kemudian menatapku dengan keheranan, “Ai Qing, apa yang kamu lakukan?”
Aku tersenyum dan mengencangkan simpul pada tas-tas kami.
“Bersiap-siap menyelamatkan diri kapan saja. Malam ini akan hujan deras, dan ketinggian air dalam jurang ini akan naik beberapa zhang.”
(T/N: 1 zhang = 3,33 meter)
“Ai Qing, kamu tahu tentang ini lebih awal, kan?” Dia meremas bahuku dan menatap tajam ke arahku.
Aku menjulurkan lidahku sebagai tanggapannya.
“Ai Qing, nyawa manusia itu berharga, bagaimana kamu hanya bisa melihat dan tidak berusaha menyelamatkannya?” Dia melepaskan bahuku, nada suaranya menegur, “Mengetahui kalau malam ini akan turun hujan deras, bagaimana Rajiva hanya menyelamatkan diri sendiri?”
Memikirkan tentang bagaimana buku-buku sejarah menulis bahwa hujan deras ini akan menenggelamkan ribuan orang, hatiku juga tak sanggup menanggungnya. Tapi… dengan ragu aku berkata, “Rajiva, bukannya aku tak mau menyelamatkan mereka, tapi aku tak mau mengubah sejarah dengan campur tanganku. Semua orang memiliki takdir mereka sendiri. Kalau aku – ”
“Ai Qing!” Rajiva menyela perkataanku dengan ekspresi serius, “Lantas bagaimana dengan kedatanganmu? Seseorang dari seribu tahun di masa depan muncul dalam hidupku, tetapi apakah takdir berhenti menggerakkan rodanya?”
Dia memalingkan kepalanya dan menatap langit yang menggelap di luar tenda, alis tampannya bertaut rapat, “Singkatnya, tak peduli akan jadi bagaimana pun hasilnya, Rajiva takkan hanya menatap saja tanpa peduli. Nyawa manusia adalah hal yang paling berharga di dunia, dan sejarah hanyalah barisan komentar yang dibuat oleh generasi mendatang, tidak perlu ditakuti.”
“Aku mengerti.” Aku mengesampingkan kecemasanku dan mengangguk sekuat tenaga, kemudian meraih tangannya: “Lu Guang pasti takkan mendengarkan kata-katamu. Kita harus mencari seseorang yang akan mendengarkan. Rajiva, kau pergi dan bicaralah pada Du Jin. Dia adalah satu-satunya orang di sekitar Lu Guang yang mau mendengar pendapat orang. Aku akan pergi ke setiap tenda dan memberitahu semua orang agar jangan tidur malam ini, dan bahwa mereka harus bersiap untuk pergi kapan saja.”
Kerutan alisnya akhirnya kembali longgar, dia tersenyum dan mengangguk padaku, “Ai Qing, terima kasih – ”
“Kita adalah suami istri, apanya yang perlu berterima kasih!” Aku meraih tangannya dan kami berjalan keluar tenda bersama-sama “Lantas kenapa kalau kita mengubah sejarah. Aku hanya ingin melakukan apa yang akan dilakukan oleh orang yang punya hati nurani dalam situasi ini.”
Seperti yang telah diduga, bahkan kata-kata Du Jin juga tak didengarkan oleh Lu Guang. Aku dan Rajiva hanya bisa berpencar dan pergi ke setiap tenda. Ada terlalu banyak orang dan terlalu banyak barang bawaan, dan sebagian besar orang meragukan kami, jadi begitu banyak waktu terbuang untuk membujuk mereka. Untung saja, Du Jin memercayai kata-kata Rajiva dan secara diam-diam memerintahkan para prajurit bekerja sama membuat persiapan.
Ketika aku melangkah keluar dari tenda terakhir, tengah malam telah tiba dan angin menderu melintasi jurang, menghembuskan debu dan dedaunan yang gugur di sekelilingku. Tepat saat aku menyeret tubuhku yang lelah untuk kembali ke tenda kami seraya menghindari angin yang membawa debu, titik-titik hujan seukuran kacang polong tiba-tiba tertumpah. Selarik petir memancar di langit berawan yang gelap, diikuti oleh gemuruh guntur. Hujannya jadi semakin dan semakin deras, awannya semakin dan semakin tebal. Aku buru-buru berlari ke arah tenda; separuh bagian tubuhku sudah basah. Mendadak, sebuah sosok gelap berlari ke arahku. Aku mendengar sebuah suara memanggilku. Dia adalah Rajiva. Dia berlari menghampiriku, menarikku ke dalam pelukannya dan melindungiku dari hujan dan angin.
Kami sudah basah kuyup saat kami mencapai tenda kami. Buru-buru kami berganti dengan baju kering dan mengenakan mantel jerami. Suara-suara orang dan kuda di luar perlahan-lahan jadi semakin keras. Dalam sekejap, petir serta halilintar menyambar, dan hujan deras pun turun.
Rajiva membantuku masuk ke dalam kereta. Kusir kereta dan barang bawaan semuanya sudah siap. Rajiva sendiri menolak untuk masuk. Dalam hujan angin yang lebat, aku mendengar dia berteriak:
“Kamu pergilah duluan. Aku akan pergi mencari Du Jin. Kami harus mencari cara untuk mengevakuasi semua orang keluar dari jurang ini, kalau tidak, begitu hujan ini memicu banjir bandang dan tak ada tempat berlindung yang tersisa, maka semuanya akan terlambat!”
Aku menolak dan ingin pergi bersamanya. Dengan kukuh dia menghadangku keluar dari kereta.
“Dengarkan aku, kamu tak boleh kehujanan terlalu lama atau kamu akan jatuh sakit. Kamu pergi bersamaku hanya akan memperlambatku. Aku akan kembali begitu aku menemukan Du Jin.”
Dia memberikan beberapa kata instruksi kepada kusir kemudian berlari pergi dengan cepat. Setelah kereta itu berjalan beberapa saat, tiba-tiba aku mendengar banyak suara keras dan tangisan wanita. Aku melongok keluar dan melihat sekelompok penari serta perajin yang berdesakan kacau. Mereka tak memiliki kedisiplinan seperti tentara ataupun memiliki pemimpin, jadi kuda-kuda serta unta-untanya tak beraturan dan menghadang seluruh jalan. Aku melompat keluar dari kereta, melambaikan tanganku ke segala arah dan meneriaki semua orang agar jangan panik. Dalam kondisi sedemikian kacau di mana kuda-kuda meringkik dan manusia memekik dilatarbelakangi hujan dan guntur, suaraku tak mampu mencapai tempat yang jauh. Dengan hati semakin panik, aku mengeluarkan senterku, menyalakannya, dan memeganginya tinggi-tinggi. Seperti yang telah kuduga, sumber cahaya yang terpusat dan stabil itu berhasil menenangkan semua orang. Sebelumnya aku enggan memakai senter ini, takut kalau baterainya akan habis. Mendapati betapa mendesaknya situasi dan melihat betapa gelap serta larutnya malam, aku harus mengeluarkan senter dan mengacungkannya tinggi-tinggi sebagai tindakan darurat. Sekarang sudah tiba saat untuk memakainya.
Aku berteriak supaya semua orang jangan panik dan alih-alih harus berbaris dan mengikuti cahaya di tanganku. Pemimpin dari masing-masing kelompok harus maju dan mengarahkan orang-orang. Aku menjadi petugas polisi lalu lintas di tengah hujan. Setelah mengarahkan orang-orang selama satu jam, akhirnya, kelompok penari dan seniman pun bisa keluar dari jurang. Berikutnya adalah kelompok unta, termasuk unta-unta besar yang membawa harta karun yang telah Lu Guang jarah dari Kucha. Aku telah berdiri terlalu lama di tengah hujan, sehingga bahkan mantel jeramiku sudah tak sanggup menahannya, dan baju baruku juga sudah basah kuyup. Di tengah malam pada awal bulan empat, basah kuyup sepanjang waktu ini, tanganku telah jadi kaku karena dingin. Aku memegangi senternya tinggi-tinggi bergantian antara tangan kanan dan kiri. Begitu satu tangan naik, tangan lainnya langsung turun ke mulutku sehingga aku bisa meniupkan udara hangat ke situ, namun tak ada gunanya.
Hawanya begitu dingin sehingga aku mulai mati rasa, gigi bergemeletuk, dan kata-kata yang kuteriakkan sebagai komando menjadi semakin dan semakin tak beraturan. Tapi bila aku pergi, suasananya akan kembali jadi kacau. Pasukan Lu Guang ada di depan sana dan bagian tengahnya masih tersangkut di dalam jurang. Kelompok yang membawa makanan dan perbekalan telah menjadi beban bagi seluruh karavan. Bila kami tak mengeluarkan mereka dari sini dengan cepat, pasukan di belakangnya akan tersangkut dan tersapu oleh banjir. Aku mengentak-entakkan kakiku ke tanah berlumpur. Sepatuku sudah terlalu lama terendam air, dan kakiku terasa begitu dingin sehingga tak bisa merasakan apa-apa. Aku gemetaran tapi masih menggertakkan gigi dan lanjut memegangi senternya untuk mengarahkan karavan.
Tepat saat aku berpikir diriku akan jatuh pingsan karena kedinginan, tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku berusaha sebaik mungkin untuk melihat ke dalam kegelapan dan hanya bisa melihat lentera-lentera yang berayun. Barulah ketika mereka berada dekat, aku bisa mengenali kelompok yang mendekatiku dalam hujan. Yang ada di bagian depan adalah Rajiva dan Du Jin.
Rajiva berlari maju, memeriksa pakaianku, menempatkan satu tangan pada dahiku, kemudian tanpa berkata-kata, mengangkatku dan berlari ke arah kereta. Aku ingin bilang padanya kalau aku tak apa-apa, tapi begitu aku menyentuh dadanya yang hangat, aku menyadari kalau diriku telah membeku kedinginan dan hampir kehabisan napas.
Dia menggendongku ke dalam kereta, memberitahu kusir agar berjaga di luar dan tidak membiarkan siapa pun masuk. Setelah itu, dia melepaskan pakaianku dan mengeluarkan baju musim dingin paling tebal dalam tasku untuk menyelimutiku. Dia juga melepaskan pakaiannya dan menyelusup ke dalam baju itu, memelukkan dirinya ke tubuhku dan dengan cepat menggosok lenganku dengan kedua tangannya.
Dilingkupi oleh kehangatannya, tubuhku akhirnya kembali hangat. Mendapati kalau suhu tubuh normalku telah kembali, dia pun membantuku berganti dengan baju kering. Matanya penuh dengan kecemasan dan teguran, namun dia tak mengatakan apa-apa. Aku dibungkus dalam baju paling tebal, seperti beruang kutub. Setelah memastikan kalau tangan dan kakiku telah kembali hangat, dia mengenakan mantel jerami dan keluar, tapi sesaat kemudian kembali lagi. Dia memberitahuku kalau orang Du Jin telah mengambil alih komandonya. Sekarang tiba giliran kami untuk pergi.
Kereta kami bergulir maju dan keluar dari jurang. Sekelompok prajurit telah meniru pengarahanku dan sedang melambai-lambaikan lentera tinggi-tinggi di udara. Du Jin berdiri di dekat situ dan terus-menerus mengarahkan orang-orang. Melihat kalau semuanya telah berjalan dengan teratur, aku pun jadi tenang dan tertidur dalam pelukan Rajiva.
Ketika aku bangun keesokan paginya, aku mendapati bahwa tak ada tanda-tanda sakit pada tubuhku. Aku tersenyum pada diriku sendiri. Aku beruntung karena semalam Rajiva telah kembali tepat waktu.
Aku melompat keluar dari kereta dan harus memicing untuk menatap langit. Langit sudah kembali terang dan matahari bersinar dengan hangatnya. Kecuali pada lumpur di permukaan tanah, hampir tak ada tanda-tanda dari badai kemarin.
Kami beristirahat di permukaan tanah yang tinggi dan menatap sekeliling, semuanya tampak berantakan. Orang-orang, kuda, dan unta semuanya berlumuran lumpur. Para prajurit dan pelayan tak punya kereta untuk mereka beristirahat di dalamnya, jadi mereka entah berbaring atau tertidur di tempat mereka duduk. Semua orang telah terjaga sepanjang malam dan karenanya tak punya tenaga untuk memasang kemah.
Rajiva juga melompat keluar dari kereta dan berdiri di sampingku, mengamati situasi bersama denganku. Setelah lolos dari jurang itu, kami saling bersandar dan memejamkan mata sejenak. Sekelompok orang berjalan ke arah kami. Si pemimpin mengenakan zirah – seorang pria tinggi gempal yang bercambang. Wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa lelahnya. Dia adalah Du Jin.
Dia melangkah ke hadapan kami dan dengan sungguh-sungguh menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Kami bergegas membalas salam itu.
“Semalam, sikap tidak mementingkan diri sendiri dari Guru dan Putri telah menyelamatkan puluhan ribu nyawa. Du-mou tak tahu bagaimana cara membalas hutang budi ini!”
“Jenderal Du, Anda tak boleh bicara seperti ini. Ini hanyalah suatu kewajiban yang memang harus dilakukan oleh Rajiva dan istri,” Rajiva menangkupkan kepalan tangannya dan menjawab dengan tenang.
“Jenderal Du, berapa korban jiwanya?” Aku bertanya, tidak sabar, karena hatiku mencemaskan tentang partisipasi aktifku (dalam sejarah).
“Berkat Guru dan Putri, hanya pasukan belakang yang tak mampu meninggalkan jurang dan ditenggelamkan oleh banjir. Ribuan orang telah menjadi korban.”
Aku tertegun. Aku telah ikut serta sebanyak mungkin, telah memperingatkan orang-orang sedini mungkin, bahkan memakai cara-cara modern untuk mengarahkan lalu lintas, namun hasilnya masih sama saja dengan apa yang tercatat dalam sejarah: “Ribuan orang mati.” Jadi, bila aku tetap tak peduli dan tidak melibatkan diri, ada berapa banyak lagi orang yang akan mati?
“Singkatnya, jumlah korban tidak tinggi, yang mana merupakan keberuntungan besar.” Mungkin karena dia melihat rona pada wajah Rajiva, Du Jin meneruskan, “Sejak saat hujan deras turun hingga ketika banjirnya menerjang, jangka waktunya hanya dua shichen lebih sedikit. Bencana menyerang dengan mendadak dan hari sudah larut malam. Bila semua orang sedang tidur dengan tenang, konsekuensinya akan mengerikan dan jumlah orang yang mati akan jauh lebih banyak daripada sekedar beberapa ribu orang. Mungkin bahkan kita juga akan kehilangan nyawa kita di dalam jurang itu. Untung saja, Guru mengetahui rahasia Langit dan Putri dengan bersusah payah pergi untuk memperingatkan semua orang, jadi kita bisa mundur dengan cepat.”
Rajiva berbalik untuk menatap jurang mimpi buruk yang berada tak terlalu jauh itu, matanya sarat dengan duka. Dia menghembuskan desahan panjang, dan merangkapkan telapak tangannya untuk memberi salam kepada Du Jin:
“Jenderal Du, begitu yang meninggal telah dikuburkan, harap izinkan Rajiva membacakan sutra agar jiwa mereka bisa pergi dengan tenang.”
“Guru benar-benar orang yang memiliki belas kasih dan kebijaksanaan besar, Du-mou benar-benar kagum! Bila Guru memiliki tugas apa pun di masa mendatang, Du-mou takkan ragu untuk menjalankannya.”
Du Jin tiba-tiba menangkupkan satu kepalan tangannya di dalam kepalan tangan lainnya dan berlutut dengan satu kaki di hadapan Rajiva. Sikap resmi yang sungguh-sungguh itu mengejutkan kami. Rajiva buru-buru membantunya berdiri.
“Oh, benar, saya tidak tahu lentera macam apa yang Putri pakai semalam? Cahayanya bisa terlihat dari tempat yang jauh, stabil, dan bisa dilambai-lambaikan sesuka hati.” Du Jin kembali menangkupkan kedua tangannya kepadaku. “Semalam sangat kacau dan tak beraturan. Bila Putri tidak membantu mengosongkan jalan untuk kuda-kuda dan unta-unta, waktunya akan terhambat satu shichen. Dengan jasa ini, kontribusi Putri luar biasa besar.”
“Aku….” Aku tergagap, benakku berputar mati-matian.
“Benda itu adalah hadiah dari Raja Kangju* kepada Raja saya. Saya dengar benda itu berasal dari Daqin di barat jauh. Raja saya hanya memiliki satu lentera semacam itu dan memberikannya kepada Putri.”
(T/N: Kangju adalah nama Tiongkok untuk sebuah kerajaan kuno di Asia Tengah, ibukotanya terletak kira-kira di Tashkent, Uzbekistan saat ini. Daqin adalah nama Tiongkok kuno untuk Kekaisaran Romawi)
Aku menatap Rajiva tapi mendapati bahwa wajahnya tetap setenang air. Aku tak punya pilihan selain menambahkan, “Benar. Hanya ada satu yang seperti itu di dunia ini. Sayangnya semalam lentera itu sudah terlalu lama basah oleh air dan sekarang sudah rusak.”
Aku tak berbohong kepadanya. Senter itu benar-benar sudah rusak.
Du Jin mengekspresikan penyesalannya dan setelah mengucapkan beberapa patah kata lagi, dia pun pergi untuk memasang tenda.
Aku menghembuskan desahan lega dan diam-diam menarik-narik ujung jubah Rajiva.
“Bukankah kau tidak boleh berbohong?”
Dia menatapku dan berkata tenang, “Bila kita bilang kalau senter itu adalah sebuah benda dari masa seribu tahun kemudian, dia malah akan berpikir kalau itu adalah kebohongan.”
Rajiva melontarkan tatapan tajam ke arahku dengan kedua matanya. Buru-buru aku mengangkat kedua tanganku ke atas kepala dengan sikap menyerah.
“Maafkan aku, aku takkan berani melakukannya lagi! Aku pasti tidak akan mengeluarkan benda apa pun dari masa depan di depan orang lain!”
Dia mendesah dan menurunkan tanganku dengan sorot mata lembut, “Bukannya aku menyalahkan kamu. Orang harus mengetahui mana yang lebih penting* dan melihat pada situasi semalam, tentu saja kau harus memakainya. Hanya saja semalam kau tak memedulikan kondisi tubuhmu dan hampir jatuh sakit karena terlalu lama kedinginan. Apa kau tahu betapa cemasnya suamimu?”
(T/N: 轻重缓急 (qīng zhòng huǎn jí) – Chengyu yang arti harafiahnya ringan, berat, lambat, cepat; berarti mampu membuat prioritas dengan menimbang bobot dari berbagai hal sebagai remeh atau penting, mendesak atau tidak)
Aku tertegun, kemudian tersenyum kepadanya. Suami? Ini adalah kali pertama dia memakai sebutan ini, dan kata itu membuat hatiku terasa hangat.
“Lihatlah dirimu, bagaimana bisa kamu masih tersenyum!” Keheranan, dia mengetuk lembut dahiku.
Ketika dia masih kanak-kanak, akulah orang yang sering mengetuk kepalanya. Sejak kapan hal ini jadi terbalik. Aku baru saja hendak menggerutukan beberapa patah kata tapi malah melihat wajahnya menjadi serius saat dia berkata:
“Kalau terlalu kedinginan berubah menjadi penyakit, Lu Guang takkan menghentikan seluruh karavan hanya demi kamu. Jalanannya tidak rata, dan kita kekurangan obat-obatan serta tabib. Jadi bila kondisimu memburuk….”
Tiba-tiba dia berhenti dan di wajahnya terlihat raut ketakutan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Dia menatapku dengan sorot sedih, “Kalau tak ada obat di sini, Rajiva takkan punya pilihan selain membiarkanmu kembali ke masamu sendiri….”
Jantungku berdebar lebih kencang lagi. Aku langsung memahami rasa takutnya. Kata-kata bosku dengan cepat melintas dalam benakku. Tiba-tiba, aku merasa lebih ketakutan lagi ketimbang dirinya. Berdehem, aku berusaha sebaik mungkin untuk menyingkirkan pemikiran-pemikiran yang tak ingin kuhadapi, menatap sorot matanya yang mendalam, dan mengangkat tanganku untuk bersumpah dengan sungguh-sungguh:
“Jangan cemas, aku berjanji akan menjaga diriku sendiri. Karena kamu, sekarang aku menghargai tubuhku sendiri lebih daripada sebelumnya. Tubuh ini bukan hanya milikku, tapi juga milikmu.”
Sudut-sudut mulutnya melengkung naik membentuk seulas senyum cemerlang. Dia menurunkan tanganku yang membentuk sumpah. “Ayo kita pergi dan lihat apa ada orang yang terluka.”
Dengan lembut dia menggandeng tanganku. Hembusan angin musim semi meniup jubah kasayanya dan matahari menyorot terang di atasnya, menyinari dirinya dengan titik-titik emas mungil. Aku mencuri-curi pandang pada wajah tampannya dan tak bisa menahan diri untuk tersenyum ketika aku menautkan jemari kami dan berjalan berdampingan dengannya.
Kami beristirahat selama tiga hari sebelum melanjutkan perjalanan.banyak jenazah dari ribuan orang yang meninggal telah tersapu oleh banjir. Hanya sepertiga dari jumlah jenazah yang berhasil ditemukan kembali. Para prajurit menggali sebuah lubang raksasa, dan semua jenazah itu dikuburkan bersama-sama dalam satu liang. Mereka telah kehilangan nyawa mereka akibat kebodohan dan kekeraskepalaan Lu Guang, namun mereka bahkan tak memiliki nisan. Selama tiga hari terakhir ini Rajiva telah sangat sibuk karena dia bersikeras ingin membacakan sutra untuk menenangkan arwah satu demi satu. Setiap kali Lu Guang melihat Rajiva, wajahnya akan jadi cemberut dan menghindarinya, mungkin karena merasa malu.
Tiga hari kemudian, kami berjalan kembali ke dalam jurang yang penuh dengan kenangan menyakitkan. Seluruh karavan begitu sunyi, hanya ada suara riuh kaki melangkah, suara berderak dari kereta kuda, serta dentang lonceng unta. Di atas kami, matahari bersinar seperti biasa. Dalam waktu semalam ribuan orang telah kehilangan nyawa mereka di Jalur Sutera, tetapi siapa yang akan mengingat mereka?
–