Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 62
Saat tiba di Yanqi*, Lu Guang mendapat sambutan besar dari sang Raja. Sepanjang ekspedisi ke Baratnya, Lu Guang telah melewati Yanqi, dan Raja Niliu telah membawa serta kerajaan-kerajaan lebih kecil lainnya agar menyerah. Kini pada perjalanannya kembali ke Timur, Raja Niliu dari Yanqi berusaha sebaik mungkin untuk menyenangkannya, jadi Lu Guang memutuskan untuk tinggal di Yanqi selama lima hari dan mendapat banyak hadiah dari sang Raja. Yanqi dan Kucha memiliki bahasa, adat, dan etnis yang sangat serupa, jadi dalam waktu lima hari ini, rasanya hampir seperti kalau kami kembali ke Kucha. Perasaan akrab ini membuat Rajiva sangat gembira selama beberapa hari.
(T/N: Juga dikenal sebagai Arsi dalam Bahasa Tokaria; sebuah kerajaan kuno di Jalur Sutera, kini menjadi Ibu Kota dari Wilayah Otonomi Yanqi Hui di Perfektur Otonomi Mongolia Bayingolin, Xinjiang)
Setelah meninggalkan Yanqi, kami berjalan menyusuri Danau Bosten selama beberapa hari. Danau ini adalah danau air tawar pedalaman terbesar di Tiongkok. Gelombang demi gelombang beriak di permukaan danau yang hijau kebiruan bagai kumala; alang-alang dan cattail lebat tumbuh di sepanjang tepiannya. Kerumunan burung-burung air terbang melintasi permukaan danau dan terkadang, akan ada orang Yanqi setempat melintas dengan perahu nelayannya. Setelah kami memasang perkemahan, setiap hari, para prajurit akan pergi ke danau untuk menangkap ikan, memberbaiki kondisi makan malam kami.
Di bulan lima, kami memasuki lembah sungai terendah di dunia – Lembah Sungai Turpan. Turpan adalah nama Uyghur, yang belum dipakai pada era ini. Pada masa Dinasti Wei – Jin, era Dinasti-dinasti Utara dan Selatan, lembah sungai ini adalah bagian dari Daerah Jushi Dekat*. Iklimnya panas dan kering. Saat ini musim panas belum tiba, namun Turpan sudah dengan penuh semangat memamerkan reputasinya sebagai ‘benua api’ kepada kami. Setelah menempuh perjalanan selama beberapa hari, semua yang bisa kami lihat adalah daratan yang kering dan tandus, luar biasa terbengkalai. Hembusan angin yang kuat seringkali akan muncul dan meniupi kami. Tanahnya diselimuti oleh butiran-butiran garam halus, dan butiran garam ini tampaknya mampu menyerap cahaya matahari, memancarkan secercah cahaya redup. Danau-danau dan hutan-hutan yang tidak jelas muncul di cakrawala. Gambaran-gambaran ganjil ini adalah hasil dari fatamorgana.
(Turpan adalah bagian warna merah)
(T/N: pada atau sekitar tahun 60 SM, Bangsa Han – yang pada waktu itu diperintah oleh Kaisar Xuan – mengalahkan pasukan Xiongnu dalam Perang Jushi, selama Perang Han dan Xiongnu. Setelahnya, bagian utama dari tanah Jushi dibagi menjadi dua wilayah: satu wilayah selatan dikuasai oleh Han, yang disebut sebagai ‘Jushi Dekat’ (atau ‘Jushi Anterior’), dan wilayah utara dikenal oleh Bangsa Han sebagai ‘Jushi Jauh’ (atau ‘Jushi Posterior’) yang didominasi oleh Xiongnu.)
Kami kini memasuki Ibu Kota Jushi. Kota ini dibangun di atas panggung tebing setinggi tiga puluh meter di persimpangan dua sungai. Hanya ada sebuah jalan sempit dari tanah yang mengarah ke gerbang-gerbang kota. Topografi tempat ini cukup unik dan menarik. Aku pernah kemari di masa modern, tetapi semua yang memenuhi pandanganku adalah tanah kuning yang pecah-pecah. Sementara di sinilah kota kuno Jiaohe, yang pada abad ke-21 danggap sebagai kota kuno tertua, terbesar, dan terawet yang sepenuhnya terbuat dari tanah.
(T/N: lebih tepatnya, tanah loess, yang merupakan ‘ kumpulan tanah kelabu kekuningan dari endapan yang terhembus angin yang dipadatkan di mana penumpukan besar terjadi)
Kitab Han Akhir – ‘Risalah Xi Yu‘ menulis sebagai berikut: ‘Raja dari Jushi Dekat tinggal di Kota Jiaohe. Sebuah sungai terbelah dua dan mengelilingi kota itu, yang menjadi sebab kenapa kota itu disebut Jiaohe*’. Jushi Dekat menguasai wilayah ini selama lebih dari lima ratus tahun. Namun kurang dari delapan puluh tahun dari sekarang (460 M), setelah Raja Jushi yang terakhir mangkat, orang-orang Rouran akan mengangkat Kan Bozhou sebagai raja Turpan mereka, dan Jushi Dekat akan diubah namanya menjadi Gaochang serta memindahkan ibu kotanya ke Kota Gaochang, yang berjarak belasan kilometer dari Jiaohe. Dalam perjalanannya ke Barat, Xuanzhang akan melewati Gaochang dan menjadi saudara angkat Raja Qu Wentai. Demikianlah bagaimana gelarnya sebagai ‘adik Kaisar’ dalam ‘Catatan Tang Agung di Wilayah Barat’ berasal.
(T/N: Terjemahan Inggris oleh Hill, John E. (2009). Through the Jade Gate to Rome: A Study of the Silk Routes during the Later Han Dynasty, 1st to 2nd Centuries CE. Charleston, South Carolina: BookSurge. p. 48. 交河 (jiāohé) berarti “persimpangan sungai”]
Jushi Dekat adalah salah satu dari kerajaan-kerajaan kecil yang pergi ke Chang’an dan membujuk Fu Jian untuk melakukan ekspedisi ke Barat, dan kerajaan ini jugalah yang menawarkan diri untuk menjadi penunjuk jalan bagi pasukan Lu Guang. Inilah sebabnya kenapa mereka memberi upacara penyambutan besar-besaran untuk Lu Guang. Saat senja, kami memasuki gerbang Gaochang di tengah-tengah suara musik, tarian, dan bunga-bunga; yang mana membuatku terbengong-bengong. Karena reruntuhan dari kota ini yang pernah kulihat belum lama berselang kini telah berubah menjadi gambaran jelas dari kemakmuran. Lautan biru berubah menjadi ladang mulberi* hanya dalam sekejap mata.
(T/N: 沧海桑田 (cāng hǎi sang tián): chengyu, menggambarkan perubahan besar seiring dengan waktu yang berlalu. Chengyu ini berasal dari 《神仙传·麻姑》 Shénxiān zhuàn (Biografi Para Dewa dan Kaum Abadi) yang merupakan karya Ge Hong.)
Kota ini akan terus makmur hingga akhir abad ke-13, ketika bangsawan Mongolia, Kaidu, memberontak. Setelah perang habis-habisan selama bertahun-tahun, dia berhasil merebut Gaochang dan Jiaohe, dan pada saat bersamaan, memaksa orang-orang yang tinggal di sana agar meninggalkan Buddhisme dan pindah ke agama Islam. Ketika perang berakhir, orang-orang Jushi telah menenggelamkan semua wanita dan anak-anak ke dalam sumur untuk mencegah mereka agar tidak dianiaya dan diperbudak. Sumur-sumur itu masih terus ada di abad ke-21. Dan kini, berjalan menyusuri jalanan Jiaohe, rasanya aku seperti melihatnya kembali. Setelah Mongolia meruntuhkan benteng-benteng kota, mereka menerapkan taktik membakar, menjarah, dan membunuh mereka yang biasa. Kota berumur lebih dari 1.500 tahun dihancurkan sepenuhnya. Tempatku berdiri saat ini adalah Kuil Buddha Agung, terletak di pusat kota. Di sebelahnya adalah istana yang dibangun sepenuhnya dari tanah dan baris demi baris kediaman bagi para pejabat. Di abad ke-21, masih tersisa jejak-jejak kerusakan yang disebabkan oleh api.
Jiaohe adalah kota besar terakhir yang akan kami seberangi sebelum Duanhuang, jadi Lu Guang mengumumkan untuk beristirahat sepuluh hari di sini. Berkat status terhormat Rajiva, kami tak perlu tinggal di penginapan; Raja Jushi secara khusus mengatur agar kami tinggal di istana. Sore itu, sebuah perjamuan penyambutan besar-besaran diadakan di balairung utama. Aku dan Rajiva sama-sama diundang untuk hadir. Pada perjamuan, Raja Jushi Dekat meminta Rajiva memberi ceramah Buddhisme Mahayana di Kuil Buddha Agung. Meski dia tak mau, Lu Guang tetap tak punya pilihan selain mengizinkannya. Jawaban Rajiva adalah: Dia harus mempersiapkannya selama sehari, dan kemudian dia akan mulai.
Dengan keheranan aku menatapnya. Memberi ceramah adalah bagian dari pekerjaannya yang biasa, dan sejak kapan dia perlu mempersiapkan untuk hal itu? Tinggal beri tahu dia sutra mana yang harus dicari atau konsep Buddhis mana yang perlu dijelaskan dan tanpa perlu berpikir, dia akan langsung bisa bicara tentang topik itu secara fasih. Otaknya itu seperti ensiklopedia komprehensif Buddhisme. Kecurigaanku semakin dalam ketika aku melihat dia melontarkan seulas senyum penuh rahasia ke arahku. Begitu kami kembali ke kamar kami setelah berjamuan, dengan tidak sabar aku memintanya untuk menjelaskan, tapi dia hanya tersenyum, bertingkah serba misterius.
Keesokan paginya, aku bangun dan mendapati kalau dia tak ada di mana-mana. Dia biasanya bangun lebih pagi daripada aku dan mungkin sedang merapal mantra di luar, sehingga aku tak memedulikannya. Terlebih lagi, hari ini aku punya hal yang lebih penting untuk dikerjakan, yang mana telah kunanti-nanti sejak sebelum kami tiba di Jiaohe. Bagiku, bisa melakukan riset lapangan pada kota kuno Jiaohe pada masa kejayaannya sangatlah berarti. Meski aku tak berencana kembali ke masa modern, rasa cintaku akan sejarah dan arkeologi sudah terukir dalam tulang dan takkan bisa dihilangkan. Itulah sebabnya, setelah membersihkan diri, dengan penuh semangat aku membuat rencana untuk pergi ke luar. Akan tetapi, begitu aku melangkah keluar dari gerbang istana, langkahku langsung terhenti.
Seorang pria tinggi yang tampak tanpa cela sedang berdiri memunggungiku. Dia mengenakan baju warna gading dan rambut coklat keritingnya menjuntai di bahunya. Orang itu seakan menguarkan aura yang agak di luar duniawi. Mendengar pergerakan di belakangnya, dia berbalik. Sungai musim semi mengalir dalam mata kelabunya.
Dia melirik pada bajunya, kemudian mengulurkan lengannya ke arahku dan tersenyum cerah: “Hari ini, tak ada Rahib terkemuka Kumarajiva, hanya seorang pria biasa yang akan berjalan-jalan dengan istrinya.”
Aku sedang dalam kondisi bengong, menatap si pria yang tampak seperti bukan dari dunia ini dengan mata berbentuk hati, namun ketika mendengar dia berkata demikian, aku langsung menjadi kesal: “Aku mau bekerja, bukan bermain.”
Dia terkekeh dan menggelengkan ringan kepalanya: “Baiklah, maka pria biasa ini akan menemani istrinya bekerja, mendampinginya sepenuh hati.”
Tak heran kemarin dia bertingkah serba misterius. Dia pasti telah merencanakan hal ini sejak lama. Dia ternyata telah memerhatikan hobi-hobiku, membuatku menyeringai tak terkedali. Aku mengaitkan lenganku padanya dan mulai berjalan.
Tiba-tiba, teringat sesuatu dari sebelumnya, aku bertanya, “Katakan yang sejujurnya, pada hari terakhir Festival Sumuzhe waktu itu, apa kau datang mencariku?”
Langkah kakinya terhenti. Dalam sekejap wajahnya jadi merah terang. Biasanya, dia sangat pintar bicara, namun saat ini dia malah berkata terbata, “Kamu – Bagaimana kamu tahu?”
“Karena sepuluh tahun lebih telah berlalu, dan gayamu dalam berpakaian layaknya orang awam tidak berubah sedikit pun!”
Aku tertawa keras-keras. Memikirkan tentang masa lalu, mau tak mau aku jadi merasa emosional. Aku berhenti dan berbalik untuk menghadap ke arahnya, “Waktu itu aku tak bisa memberitahumu, tapi kali ini aku harus mengucapkannya.”
Dia balas menatapku dengan keheranan dalam sorot matanya. Raut cemas itu membuatku tertawa terbungkuk-bungkuk.
“Yang ingin kukatakan adalah bahwa kau tampak sangat tampan, bila berpakaian seperti ini!”
Aku berhenti tertawa, membalas tatapan hangatnya, dan memujinya dengan tulus, “Rajiva, kau adalah pria paling tampan dan gagah yang pernah kutemui.”
Sejenak dia membeku, kemudian seulas senyum pun muncul, membuat seluruh dirinya berkilau.
“Rajiva tak pernah peduli tentang penampilan luar. Di samping itu, usiaku sudah tiga puluh enam tahun. Tampan apanya.”
Aku menggelengkan kepalaku:
“Sebelum usia tiga puluh, penampilanmu diberikan oleh orangtuamu. Tetapi setelah berumur tiga puluh, penampilanmu ditentukan oleh dirimu sendiri. Seperti kata pepatah: Penampilan terlahir dari dalam hati. Temperamen, keluasan pikiran, dan kedewasaan semuanya diperoleh lewat pengalaman hidup. Ketika orang memiliki pemikiran yang terbuka, hal itu terpantul dalam penampilan mereka. Beberapa pria terlalu mengandalkan pemberian orangtua mereka di masa muda, dan semakin mereka menua, semakin hambar mereka jadinya. Perut mereka menjadi bulat karena terlalu mengikuti keinginan bersenang-senang, namun mereka malah mengutuk takdir dan menyalahkan orang lain. Pria-pria itu, tak peduli seberapa tampan pun mereka pada awalnya, setelah beberapa tahun berlalu, wajah-wajah menjijikkan mereka akan terungkap. Namun beberapa pria bagaikan arak – semakin mereka menua, semakin baik mereka jadinya. Tahun-tahun yang berlalu menghasilkan aroma yang merebak, dan kerutan pada dahi menambah keanggunan dan pesona, karena semua itu mewakili pengalaman dan kebijaksanaan hidup.”
Menatap parasnya yang bersih dan cerah, dengan tulus aku berkata, “Rajiva, kau adalah seorang pria yang bagaikan arak yang bagus. Bahkan bila kau berusia lima puluh, enam puluh, atau bahkan lebih tua lagi, aku masih tetap akan mencintai penampilanmu.”
Aku merundukkan pandanganku, mengulurkan lenganku dan menilai diriku sendiri, kemudian menarik napas dalam-dalam dan bicara dengan menyemangati diri, “Lalu untukku, aku akan berusaha untuk berdisiplin dan melatih diriku sendiri, sehingga aku bisa menjadi lebih menarik dan patut untuk berdiri di sisimu.”
“Kamu – kamu benar-benar punya kemampuan untuk membuat Rajiva senang.” Dia mengetuk dahiku dengan lembut, kilatan cerah tampak di matanya, “Apa kamu sudah lapar? Kudengar latiaozi dari Jiaohe cukup lezat….”
(T/N: 拉条子 (lātiáozi): mi tarik ala Xinjiang, juga dikenal sebagai Laghman atau Lagman)
“Sungguh? Kalau begitu ayo pergi.”
Bahkan tanpa menggosok bagian yang baru saja dia ketuk, aku menarik tangannya untuk mempercepat langkah kami.
“Kau yang mentraktirku, kan?”
“Dasar gadis bodoh, kenapa buru-buru begitu….”
Dia menemaniku menyusuri jalanan dan karena dia mengenakan pakaian orang awam, tanpa malu-malu aku menggenggam tangannya di tempat umum. Pada mulanya dia tampak agak tidak nyaman, tetapi setelah aku dengan keras kepala beberapa kali meraih tangannya untuk dipegangi, dengan enggan dia pun membiarkanku. Kami menyantap baozi panggang yang warnanya tampak istimewa, yang merupakan makanan khas wilayah ini. Makanan ini bukan baozi dalam pengertian biasa, namun makanan yang dibuat dari isian daging domba yang dibungkus dalam kulit pastri tipis serta dimasukkan ke dalam lubang tandoor*. Begitu kulitnya mencapai warna keemasan, makanan itu pun dikeluarkan dari pemanggang dan dimakan panas-panas. Kulitnya renyah, dagingnya lembut, harum tapi tidak berminyak. Aku melompat-lompat dari satu kaki ke kaki lain sambil makan karena kepanasan. Dia terus mendesah dan menggelengkan kepalanya di sampingku.
(T/N: 烤包子(kǎo bāozi): juga dikenal sebagai samsa (Uyghur) atau somsa (Uzbekistan), atau samosa. Baozi di sini lebih dikenal sebagai bakpao, yang dimasak dengan cara dikukus. Itulah sebabnya Ai Qing menggambarkan samosa sebagai bakpao yang istimewa. Tandoor adalah oven tanah liar berbentuk silinder yang dipakai di Asia Selatan, Tengah, dan Barat. Sering dipakai untuk memanggang roti pipih seperti naan, atau juga untuk memanggang daging)
Sate domba adalah cemilan tak tergantikan lainnya. Aku ingat bagaimana pada Festival Sumuzhe, aku pernah membayangkan kami berdua duduk di pinggir jalan sambil makan sate domba, dan menoleh ke arahnya dengan sorot jahat. Melihat cengiran licikku, perlahan dia mundur dan berusaha menarikku untuk menyantap latiaozi sebagai gantinya, tapi aku terus memeganginya. Haha, seekor domba di dalam sarang harimau dan masih ingin kabur? Nggak mungkin.
(T/N: 羊入虎口 (yáng rù hǔ kǒu) -chengyu yang menggambarkan situasi berbahaya di mana kematian sudah bisa dipastikan)
Hasil akhirnya adalah bahwa sang guru paling terhormat dari segenerasi rahib berakhir duduk di sebelahku, memakan sate domba dengan wajah merona. Untung saja, dia tak pernah pergi ke Jiaohe sebelumnya dan sedang mengenakan pakaian orang awam, jadi tak ada seorang pun yang bisa mengenali dirinya. Kalau tidak, dia akan lebih pilih dibunuh daripada membiarkan aku menghancurkan imejnya seperti ini!
Aku menemukan sebuah kios kecil, duduk, dan memesan dua mangkuk latiaozi, namun dia menatap sisa minyak pada meja dan kursi, tampak agak kurang nyaman. Aku tahu kalau dia sudah terbiasa dilayani sejak kecil dan bahwa dia suka kebersihan. Aku tersenyum dan memberitahunya bahwa bila kau ingin menyantap jenis cemilan paling otentik, kau harus membelinya di kios-kios kecil seperti ini. Persis beginilah diriku pada perjalananku ke luar negeri – seorang tukang makan. Sudah barang tentu, latiaozi pada kios ini lezat, empuk sekaligus kenyal. Dia melihatku makan dengan begitu gembira sehingga akhirnya dia bersedia menggerakkan sumpitnya. Setelah makan sedikit, dia tak bisa menahan diri untuk mengangguk setuju kepadaku.
Hari itu, kami berkeliaran ke mana-mana di Jiaohe dan tidak kembali hingga hari gelap. Aku benar-benar melupakan kalau tujuan asalku pergi ke luar adalah untuk bekerja. Setelah kekenyangan makan, pada perjalanan pulang aku harus mengelus-elus perutku. Dulu aku berpikir kalau akan lebih menarik bila ada seseorang yang bersifat ceria seperti Pusydeva yang menemanimu saat pergi ke luar, namun hari ini pandangan itu telah dijungkirbalikkan. Ternyata, pemikiran itu muncul karena aku tak pernah melangkah menyusuri jalanan bersama dengan orang yang kucintai. Bahkan bila dia tak tahu cara untuk bercanda dan tidak lucu, bahkan bila sebelum menggandeng tanganku dia harus mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk memastikan kalau tidak ada orang yang melihat, bahkan bila dia ingin mengendalikan pergerakanku, tidak membiarkanku makan kebanyakan ataupun berlarian sesukanya. Akan tetapi, perasaan gembira meluap-luap yang kudapat ketika berjalan di sisinya bukanlah sesuatu yang bisa diberikan Pusydeva kepadaku.
Ketika kami pergi tidur di malam hari, seperti biasa dia menawarkan lengannya sebagai bantal dan dengan lembut berkata ke telingaku, “Ai Qing, hari ini aku sangat gembira.”
“Aku juga sama. Sudah lama sekali sejak aku merasa segembira ini.” Aku berbalik dan memeluknya, mendesah puas, “Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan untukku.”
“Kalau kamu mau, aku akan menemanimu keluar lebih sering di masa mendatang.”
“Kau adalah seorang rahib, kau tak boleh sering-sering melakukan ini.” Aku menguburkan diriku dalam pelukannya dan menyandarkan pipiku padanya, “Aku tak mengharapkan terlalu banyak, asalkan kita bisa melakukan ini sekali dalam setahun, di mana kau tetap tinggal menemaniku sepanjang hari, menikmati kehidupan fana bersama-sama – hal itu akan cukup untuk memuaskanku.”
Bibir yang menyentuh bibirku begitu halus dan lembut, sebuah suara yang dalam berkata di telingaku, “Baiklah.”
(Setelah itu,) dia memberi ceramah di Kuil Buddha Agung hingga sehari sebelum keberangkatan. Dan aku, sama seperti di tempat-tempat lain yang telah kami jadikan perhentian, keluar untuk mengamati dan mencatat. Hanya saja setiap kali aku melewati toko yang menjual baozi panggang, sudut di mana kami memakan sate domba, serta kios yang menjual latiaozi, aku jadi tak bisa menahan senyumku. Ketika kami meninggalkan Jiaohe, aku terus menatap ke belakang pada kota yang dibangun di atas panggung sungai itu memudar dari pandangan. Kota ini membuatku merasa lebih bernostalgia daripada tempat lain mana pun yang pernah kami singgahi berkat kenangan berjalan-jalan di luar yang indah itu.
Pada perjalanan dari Jiaohe menuju Shanshan, ada banyak teralis sulur anggur yang dipasang di ladang, dan terkadang kami akan melakukan perjalanan di bawah teralis-teralis itu. Setiap rumah tangga memiliki tempat untuk membuat kismis. Setengah perjalanan pada rute itu, Pegunungan Api* muncul di hadapan kami. Di atas, langit tampak biru dan awan-awan bagaikan permen kapas, namun di bawahnya adalah baris demi baris warna coklat kemerahan intens yang terus bersambungan. Bahkan bila kau memejamkan matamu, warna merah itu masih bisa menembus kelopak matamu. Mengucurkan keringat deras, kami keluar dari Lembah Sungai Turpan dan tiba di Shanshan.
(T/N: 火焰山 (huǒyànshān), secara harafiah berarti Pegunungan Nyala Api, juga dikenal sebagai Pegunungan Gaochang, merupakan bukit-bukit batu pasir merah yang tandus dan tererosi di Tian Shan, Xinjiang. Pegunungan ini membentang di dekat tepi utara Gurun Taklamakan dan di sisi timur Kota Turpan. Alur-alur dan parit-parit yang disebabkan oleh erosi ada bentangan bebatuan pasir merah memberikan penampilan seperti api yang menyala pada pegunungan ini pada saat-saat tertentu di siang hari. Bila ada yang ingat, Pegunungan Api ini juga muncul dalam kisah ‘Perjalanan ke Barat, di mana nantinya Sun Wukong harus meminjam kipas milik Putri Kipas Besi untuk memadamkan apinya.)
Shanshan adalah sebuah negara kecil dan jauh di bawah Jiaohe. Kami hanya tiga hari tinggal di sini sebelum berangkat menuju negara kecil terakhir di Xi Yu – Yiwu. Nama Yiwu bahkan lebih terkenal di masa modern berkat melon kuningnya yang terkenal, dan semua orang di dunia tahu tempat ini – Hami. Pada saat ini, Yiwu masih jauh dari reputasi pada generasi berikutnya, hanya sebuah negara kecil, namun terletak pada titik vital di Jalur Sutera.
Strategi Yiwu kecil untuk bertahan adalah dengan menyiramkan air ke kanan dan kiri*, tidak berani menyinggung siapa pun. Itulah sebabnya kenapa, meski Yiwu tidak ikut serta dalam ekspedisi Lu Guang ke Barat, penyambutan mereka masih sangat murah hati, sibuk berkeliaran untuk menghibur tamu**. Kami tinggal di Yiwu lebih lama daripada di Shanshan karena pasukan perlu mempersiapkan cukup banyak air dan makanan, karena apa yang menanti kami (setelah ini) adalah Moheyan Qi*** sepanjang delapan ratus li yang bagaikan mimpi buruk****.
(T/N: *左右逢源 (zuǒ yòu féng yuá) – chengyu, berarti mampu meraih keberhasilan dengan berbagai cara, memanfaatkan kedua belah pihak.
**迎来送往 (yíng lái sòng wǎng) – chengyu yang berarti ‘menerima mereka yang datang, mengantar mereka yang pergi’, menggambarkan seseorang yang sibuk menyambut dan bersosialisasi dengan para tamu.
***莫贺延碛 (mò hè yán qì): 莫贺延 lit. “tak ada seorang pun [yang akan] menyambut penundaan”, dan碛 berarti tumpukan pasir serta kerikil di air dangkal. Saat ini dikenal sebagai Hashun Gobi atau Gurun Kumtag, bagian dari Gurun Gobi.
****闻风丧胆 (wén fēng sang dǎn) – chengyu yang berarti ‘mendengar angin dan desir kegetiran)
Moheyan Qi dikenal sebagai Shahe (Sungai Pasir) sebelum Dinasti Tang. Tempat ini nyaris bisa dibilang sebagai area mati, tidak ada kehidupan. Untuk bisa melintasi tempat ini, orang hanya bisa melangkah di sepanjang jalan yang ditebari tulang-belulang para pengelana dan hewan sebelumnya. Tulang-belulang orang-orang kuno seringkali bisa terlihat di tengah jalan. Kabarnya beberapa orang berjalan dan berjalan hingga mereka roboh ke tanah dan setelah dikikis oleh berbagai elemen selama bertahun-tahun, berubah menjadi mayat-mayat yang dikeringkan, masih memiliki penampilan saat mereka mati.
Ketika Lu Guang melakukan ekspedisi ke Barat dan melewati tempat ini, setelah berjalan sejauh tiga ratus li tanpa air, wajah-wajah para prajuritnya telah kehilangan warna. Namun keberuntungan Lu Guang benar-benar bagus, karena pasukannya mendapatkan hujan yang hanya muncul sekali dalam seratus tahun. Akan tetapi, Lu Guang tahu kalau dirinya takkan seberuntung itu setiap kalinya sehingga kali ini, dia sendiri yang berkeliling menanyakan soal air dan persediaan makanan. Memang, pengalaman dari ‘sembilan kali mati dan masih hidup’ dari kali terakhir telah benar-benar membuatnya takut.
(T/N: 九死一生 (jiǔ sǐ yī sheng) – chengyu yang berarti lolos dari kondisi nyaris mati)
Pada akhir bulan enam, kami berjalan menuju Moheyan Qi, Tanah Kematian sejauh delapan ratus li. Dari Yiwu ke Yumen, sama sekali tak ada tempat untuk mengisi ulang perbekalan. Xuanzhang juga menghadapi kesukaran ekstrim pada perjalanan ini, melintas seorang diri hanya dengan seekor kuda tua. Dia bahkan kehilangan kantong airnya dan setelah lewat empat hari lima malam, nyaris mati kehausan. Kami jauh lebih beruntung daripada Xuanzhang, karena kami memiliki pemandu dan perbekalan. Akan tetapi, tetap sulit untuk memasuki Moheyan Qi dalam cuaca panas ini. Di siang hari, suhu udaranya mencapai 45 derajat Celcius, luar biasa kering. Semua orang hanya diberi air dalam jumlah tertentu setiap harinya dan tak ada seorang pun yang berani minum terlalu banyak. Segera, bibir semua orang jadi pecah-pecah.
Xuanzhang menggambarkan seperti ini dalam ‘Catatan Tang Agung atas Wilayah Barat’: “Di malam hari, para siluman menyalakan api, seterang bintang-bintang. Di siang hari, angin dan pasir sungguh buruk, bertebaran bagai hujan.” Penggambaran jelas semacam ini, kalau kau tidak memasuki padang pasir ini sendiri, kau takkan mampu mengalaminya secara nyata. Di siang hari, angin tak berhembus dan kemudian tiba-tiba, langit akan menggelap dan pasir serta bebatuan akan beterbangan, menciptakan suara mendesis seperti para siluman. Pasir kuning disapu oleh angin dan bertebaran bagai hujan; memasuki tenggorokanmu bahkan bila kau membungkus wajahmu dengan cadar tebal.”
Di malam hari, langit penuh bintang berkilau dan ditambah dengan gemerlap fosfor. Inilah kali pertama aku bisa melihat ‘api hantu’ (di Barat disebut will-o’-the-wisp), yang merupakan cahaya yang dipancarkan oleh tulang belulang manusia dan hewan yang telah mati dalam lingkungan kejam ini selama ribuan tahun terakhir. Di abad ke-21, Moheyan Qi tidak lagi semengerikan itu. Sebuah rel kereta api kini telah menembusnya dan di depan mata para penumpang, tak ada apa-apa selain Gurun Gobi yang membosankan. Siapa yang akan mengira kalau seribu tahun yang lalu area ini bisa disebut sebagai Tanah Kematian!
Setelah melakukan perjalanan selama setengah bulan, ketika menara suar api Perlintasan Yumen akhirnya muncul di kejauhan, semua orang pun berseru kegirangan, karena kami akhirnya berhasil melewati Moheyan Qi sejauh delapan ratus li. Tapi aku tahu kalau jalan di depan tidak semulus yang semua orang kira. Sesuatu yang lebih mengerikan daripada Tanah Kematian sedang menanti kami.
Kini perang sudah di depan mata….