Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 63
Kami berhenti di dinding Perlintasan Yumen. Aku dan Rajiva, beserta ribuan perajin dari Kucha, berada di ujung belakang karavan, jadi selain aku, tak ada satu orang lain pun yang tahu apa yang sedang terjadi. Pada hari yang sama itu, kami diperintahkan untuk memasang perkemahan di luar dinding-dinding Perlintasan Yumen – situasi ini akan berlangsung selama lebih dari sepuluh hari.
Gubernur Provinsi Liang yang ditunjuk oleh Fu Jian, Liang Xi, menolak mengizinkan Lu Guang memasuki Perlintasan Yumen. Dia menegur Lu Guang karena tidak mengikuti perintah Fu Jian dengan memimpin pasukannya kembali tanpa izin. Sebenarnya, Lu Guang kembali berdasarkan pada titah dari Fu Jian, tapi Liang Xi kemungkinan besar ingin mengambil keuntungan dari krisis yang dialami Fu Jian saat ini untuk berdiri sendiri dan mendirikan pemerintahan yang mandiri, jadi dia pun mencari-cari tuntutan tak beralasan ini untuk dipakai melawan Lu Guang. Liang Xi mengirim putranya, Liang Yin, serta jenderalnya, Yao Hao, bersama dengan lima puluh ribu tentara untuk menghentikan Lu Guang.
“Apa yang akan terjadi?”
Di dalam tenda, kami saling berpelukan dan bicara dengan berbisik-bisik; kepalaku terbaring di lengannya, luar biasa nyaman.
“Meski Lu Guang bukan orang baik, bagaimanapun juga dia mahir dalam berperang, apalagi dia juga punya Du Jin yang luar biasa, yang tahu bagaimana cara menentukan waktu dan mengukur situasi*.” Aku menyurukkan diri lebih dalam ke pelukannya dan mengendus aroma cendananya yang unik dengan puas, “Liang Xi berperilaku lembut namun tidak terlalu cerdik, tidak mahir dalam menggerakkan pasukan, dan tidak mematuhi aliran yang benar**. Du Jin akan menyarankan pada Lu Guang untuk menghadapi musuh secara langsung tanpa ditunda-tunda, memanfaatkan konflik internal mereka, dan menyerang ketika mereka tidak siap***. Du Jin bahkan sampai akan menawarkan lehernya untuk taruhan sebagai jaminannya.”
(T/N: *审时度势 (shěn shí duó shì): chengyu yang berarti menilai situasi dan bertindak sesuai keadaan. **从善如流 (cóng shàn rú liú): mengikuti nasihat yang baik. ***攻其不备 (gōng qí bù bèi): dari ‘The Art of War , Sun Tzu. Kalimat lengkapnya adalah 攻其无备,出其不意 – menyerang ketika lawan tidak siap, muncul ketika lawan tidak menduga)
Kami ada di bagian belakang, tapi masih bisa mendengar suara pertempuran dari depan. Seperti yang sudah diduga, laporan tentang kemenangan Du Jin pun tiba. Beberapa hari kemudian, tak bersedia menyerah, Liang Yin datang untuk bertarung kembali dan dikalahkan habis-habisan oleh Du Jin. Kemudian Liang Yin memimpin seratus pasukan berkuda ke timur untuk melarikan diri, namun dikejar oleh Du Jin dan ditangkap hidup-hidup. Gaya memimpin Du Jin yang tenang dan terkendali selama kejadian di jurang itu ditambah dengan dua kemenangannya terhadap Liang Yin – dengan jasa sebesar itu, nama baiknya menyebar ke seantero pasukan. Aih, hatiku terasa sedih. Du Jin sebenarnya lebih cerdas daripada Lu Guang, tapi dirinya yang memiliki lebih banyak jasa ketimbang tuannya akan membuat Lu Guang merasa cemburu kepadanya dan menyebabkan dia kehilangan nyawanya dalam kurun waktu beberapa tahun lagi.
Dengan karakter Rajiva, mustahil untuk tetap tinggal diam di satu tempat. Jadi selama beberapa hari ini, kami berdua sangatlah sibuk. Rajiva akan melantunkan sutra bagi para prajurit yang tewas di medan perang dan mengobati yang terluka. Aku menjadi asistennya. Pengetahuan tak seberapaku tentang praktek kebersihan modern mendapatkan peranan. Setidaknya, hal itu membantu mengurangi kemungkinan infeksi yang menyebar pada musim panas yang gerah ini.
“Pada suatu hari, Buddha Shakyamuni memimpin murid-muridnya melakukan perjalanan. Tiba-tiba, mereka melihat setumpuk tulang belulang yang mengering di tepi jalan. Sang Buddha membungkuk penuh hormat ke arah tulang belulang itu. Muridnya, Ananda, kebingungan. Sang Buddha berkata: ‘Tumpukan tulang belulang mengering ini bisa saja merupakan tulang belulang para leluhur atau orangtuaku dari kehidupan-kehidupan sebelumnya. Itulah alasan mengapa aku membungkuk kepada mereka. Ananda, pisahkanlah tulang belulang ini menjadi dua kelompok. Jika tulang belulangnya milik laki-laki, maka berat dan berwarna putih. Jika tulang belulangnya milik wanita, maka bobotnya ringan dan warnanya gelap.’”
Ada empat atau lima puluh orang prajurit yang berdesak-desakan di dalam tenda kami. Tak ada ruang untuk duduk, jadi mereka hanya bisa berdiri dan mendengarkan cerita dari Rajiva. Mulanya Rajiva ingin menggunakan sutra untuk menenangkan yang terluka, namun kabar menyebar dengan cepat dan dalam waktu beberapa hari, ada banyak prajurit yang terus memohon Rajiva untuk membacakan sutra. Pada akhirnya, sudah merupakan kejadian lazim di mana setiap sore, mereka akan datang ke tenda kami untuk mendengarkan ceramah Rajiva selama setengah jam.
Rajiva berbakat menggunakan berbagai kisah untuk menjelaskan ide-ide filosofis Buddhis. Setelah tragedi di jurang itu, mendadak reputasinya dalam pasukan telah meningkat, dan para prajurit kini memujanya seakan dirinya adalah seorang dewa. Dengan cepat para pengikutnya di dalam pasukan itu bertambah banyak.
Aku meletakkan secangkir air di depannya. Tendanya penuh sesak dengan orang dan tak ada sirkulasi udara, jadi rasanya sangat pengap. Namun para prajurit masih saja terpesona; tak satu pun dari mereka yang ingin pergi. Wajah Rajiva berlumuran keringat. Dia memakai satu tangan untuk menyeka keringat dan meneruskan:
“Bhante Ananda bertanya: ‘Setelah meninggal, tulang belulang pria dan wanita tampak sama saja. Bagaimana cara membedakannya?’ Sang Buddha berkata: ‘Ketika laki-laki masih hidup, mereka memasuki kuil, mendengarkan ajaran-ajaran sutra dan sila, dan karena itulah tulang belulangnya berat dan putih. Sebaliknya, wanita dipenuhi oleh emosi mereka melahirkan dan membesarkan anak-anak, merasa bahwa inilah tugas alami mereka. Setiap anak yang terlahir bergantung pada air susu ibu mereka untuk hidup dan bertumbuh, dan susu itu berasal dari darah sang ibu. Masing-masing anak meminum delapan hu dan empat dou* susu ibu. Karena inilah, ibu menjadi kuyu dan lelah, dan warna tulang belulangnya menggelap serta beratnya menjadi lebih ringan.”
(T/N: 斛 (hú) dan 斗 (dòu) adalah satuan pengukuran volume pada masa kuno. Sebelum Dinasti Tang, 1 斛 = 10 斗 (setelahnya menjadi 5 斗). 1 dou setara dengan sekitar 10 liter saat ini, jadi 8 hu dan 4 dou kira-kira 840 liter.)
Sudah ada seseorang yang terisak dan merintih: “Hari ini, aku jadi mengetahui betapa berat jasa seorang ibu.”
Rajiva menatap para prajurit di sekitarnya dengan welas asih dan perlahan berkata:
“Jauh melampaui sekedar menyusui, ada sepuluh jasa besar dari seorang ibu: Yang pertama adalah kebaikan melindungi dan menjaga selama kehamilan. Yang kedua adalah kebaikan menanggung sakitnya melahirkan anak. Yang ketiga adalah kebaikan melupakan rasa sakit itu setelah anaknya lahir. Yang keempat adalah kebaikan menelan yang pahit dan memberikan yang manis untuk anaknya. Yang kelima adalah kebaikan menjaga anaknya tetap kering sementara dirinya sendiri berbaring di tempat yang basah. Yang keenam adalah kebaikan menyusui dan membesarkan sang anak. Yang ketujuh adalah kebaikan membersihkan kotoran dari sang anak. Yang kedelapan adalah kebaikan merasa cemas ketika anaknya bepergian jauh. Yang kesembilan adalah kebaikan kasih mendalam dan perhatian. Yang kesepuluh adalah kebaikan cinta dan pengabdian tiada akhir.”
“Tetapi bagaimana para makhluk hidup membalas kebaikan orangtua mereka?” Rajiva terdiam, menggelengkan kepalanya dan mendesah pelan, “Ada para ibu yang menjanda dan para ayah yang kesepian, semuanya seorang diri di ruang-ruang kosong, diperlakukan seperti para tamu oleh anak-anak mereka. Beberapa anak hanya peduli kepada istri dan selir mereka serta mengabaikan orangtua mereka. Beberapa meninggalkan orangtua mereka untuk bepergian ke tempat jauh dan tidak mengirim kabar sedikit pun, membuat orangtua mereka merasa gelisah dan cemas. Apakah ada orang semacam itu di antara semua yang ada di sini?”
Beberapa menutupi wajah-wajah mereka seraya meratap; beberapa memukuli dada dan kaki mereka; dan beberapa berseru: “Kami adalah para pendosa! Aku tak pernah memahami kebaikan orangtua kami, dan hari ini aku telah mengetahui kejahatan karena tidak berbakti. Aku hanya bisa berharap agar Guru berbelas kasihan dan bersedia mengajari kami bagaimana cara membalas kebaikan orangtua kami.”
Rajiva mengangguk kepadaku. Aku memberinya sutra yang telah kami persiapkan sebelumnya.
“Yang Rajiva ajarkan hari ini adalah ‘Sang Buddha Berbicara Mengenai Sutra Kasih yang Mendalam dari Orangtua dan Kesulitan Untuk Membalasnya*. Rajiva baru saja selesai menerjemahkan sutra ini kemarin, jadi hanya ada satu salinan. Kalau kalian ingin membalas jasa-jasa mereka, kalian bisa menyalin sutra ini dan membacakannya untuk mereka, lalu bertobat. Demi orangtua kalian, berilah persembahan kepada Tri Ratna**. Demi orangtua kalian, taatilah sila dan berpuasa, berlatihlah memberi dan memupuk perbuatan baik. Meski kalian semua berada jauh dari rumah, dari orangtua kalian, namun pikiran penuh bakti kalian tetap tak berubah, jadi kalian tetaplah anak-anak yang berbakti.”
(T/N: *Juga dikenal sebagai ‘Sutra Bakti Seorang Anak’. Sutra ini memiliki idealisme yang serupa dengan Klasika Bakti Seorang Anak Konfusian’. ** Tri Ratna / Tiga Permata Buddhisme adalah Buddha, Dharma (ajaran Buddha), dan Sangha (pasamuan para bhikkhu))
Selama beberapa hari terakhir ini, dia telah berdiskusi denganku tentang sutra apa yang harus diajarkan. Sebagian besar prajurit buta huruf, jadi akan lebih baik kalau mengajarkan sutra sederhana yang mudah untuk dimengerti. Karenanya, dia pun terpikirkan tentang sutra bakti seorang anak ini dan telah menghabiskan beberapa malam untuk menerjemahkannya. Meski sutra ini pendek, dia masih sangat teliti dan menelaahnya kata demi kata bersamaku. Setelah terjemahannya selesai, aku merasa luar biasa gembira. Ini adalah hasil kerja pertama dari Kumarajiva, sang penerjemah besar. Kata-katanya elegan namun masih mudah untuk dibaca dan dipahami. Gatha Buddhisnya mengalir keluar dari lidah dan terkesan memiliki ritme musik. Kau sudah bisa melihat secercah gaya penerjemahan yang akan dia kembangkan pada masa-masa di Chang’an yang akan datang.
“Guru, harap berikanlah sutra ini kepada saya terlebih dahulu. Saya pernah mengikuti sekolah pribadi selama beberapa tahun, jadi saya mengenal beberapa huruf. Saya akan mengembalikan sutranya kepada Guru begitu saya telah selesai menyalinnya.” Yang bicara ini adalah Kapten Cheng Xiong. Dia berusia tiga puluhan dan meski dirinya adalah seorang laki-laki yang kekar dan berotot, dia sangat suka membaca dan begitu alim, serta suka menanyakan tentang filosofi Buddhis kepada Rajiva.
Rajiva mengangguk dan memberikan hasil kerja keras kami selama beberapa malam terakhir ini kepada Cheng Xiong. Dia menerimanya dengan takzim dan langsung dikelilingi oleh orang-orang, meminta dia membuatkan lebih banyak salinan. Inilah akhir dari pelajaran hari ini.
Setelah semua orang pergi, aku dan Rajiva saling tersenyum satu sama lain. Aku mengambil sehelai kain basah dan menyeka keringat di wajahnya.
Dia meraih tanganku dan mendesah pelan, “Aku ingin tahu apakah ayah dan ibuku di langit baik-baik saja….”
Memikirkan tentang kedua mertuaku, Kumarayana dan Jiva, kenangan-kenangan yang terasa nyata tentang mereka pun muncul di hadapanku.
Aku ikut mendesah dan meraih tangannya, “Mereka telah melakukan perbuatan baik sepanjang hidup mereka dan mengabdikan diri mereka kepada Buddha. Buddha penuh belas kasihan, jadi Beliau pasti akan mengizinkan mereka bersatu. Aku yakin mereka sedang melihat dari atas sana dan memberkati kita.”
Dia menatapku dan mengangguk setuju. Merasa tenang, dia tersenyum cerah.
Tiba-tiba seseorang menerobos ke dalam tenda kami ketika kami masih saling bertatapan. Kami pun langsung memisahkan diri. Ternyata orang itu adalah Cheng Xiong. Kami tak tahu kenapa dia kembali.
Tiba-tiba Cheng Xiong berlutut dan berkowtow:
“Guru, setelah diajari oleh Guru selama beberapa hari belakangan ini, Cheng Xiong berharap bisa melayani Sang Buddha dan meminta Guru menerima saya sebagai murid. Mohon cukurlah rambut saya.”
Rajiva menggelengkan kepalanya: “Kamu punya istri dan anak, dan orangtuamu masih tinggal di rumahmu, jadi tidak patut bagimu untuk meninggalkan rumah*.”
(T/N: 出家 (chū jiā): arti harafiahnya meninggalkan rumah; yang berarti meninggalkan rumah untuk menjadi rahib)
Dia beringsut ke kaki Rajiva dengan masih berlutut dan memohon dengan tulus, “Guru, murid ini benar-benar bertekad dan bersedia meninggalkan istri dan keluarganya, hanya ingin menjadi Buddha.”
“Meninggalkan istri dan anak bukanlah cara untuk menjadi seorang Buddha. Menjadi seorang anak, seorang suami, dan ayah; kesemuanya itu merupakan tugas-tugas penting yang diberikan oleh Langit. Jadi bagaimana bisa kamu menjadi begitu tidak berprinsip dan tidak berbakti?” Rajiva mengernyit, “Merupakan hal baik kalau di dalam hatimu ada Buddha, tetapi kamu tidak harus meninggalkan rumah untuk menjadi Buddha. Kamu bisa berlatih di rumah.”
Cheng Xiong kebingungan dan menolak untuk bangkit: “Bagaimana bisa orang berlatih di rumah? Guru, harap berikan bimbingan.”
Rajiva membantunya berdiri dan bertanya dengan sepenuh hati: “Lima sila bagi umat awam adalah: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbuat asusila, tidak berbohong, dan tidak mabuk. Apakah kau bisa menjalankan kelima sila ini, melakukan perbuatan baik, dan melatih karaktermu?”
“Ini….” Dia meragu, mendongak menatap Rajiva, matanya sarat dengan penyesalan, “Tangan murid ini sudah dikotori oleh darah belasan nyawa, dan membunuh adalah pekerjaan saya, jadi murid ini menyadari betapa seriusnya kejahatan yang telah dia perbuat. Sejak saat ini, murid ini pasti akan mengikuti perintah Guru, menjalankan kelima sila, lebih banyak memberi, dan melakukan banyak perbuatan baik setiap hari, berharap kelak bisa meraih pembebasan diri.”
“Ada Buddha di dalam hatimu, itulah dasarnya.” Rajiva mengangguk, “Aku akan memberikan sila-sila ini kepadamu dan mengizinkanmu menjadi seorang praktisi awam.”
Setelah menerima sila-sila itu, Cheng Xiong pergi dengan gembira. Ini adalah praktisi awam pertama yang ditahbiskan oleh Rajiva di dalam pasukan.
Ketika tinggal kami berdua, aku bertanya kepada Rajiva: “Dia adalah seorang prajurit. Tidak mungkin baginya untuk tidak membunuh. Kalau orang melanggar sila, kejahatan melanggar silanya lebih buruk daripada kalau dia tidak menjadi praktisi awam.”
Rajiva mengangguk dan mendesah, “Kalau dia bertekad untuk melaksanakan sila dan tidak mencabut nyawa musuhnya, maka hal itu akan menjadi kebajikan paling besar.”
Sudah barang tentu, Cheng Xiong membuat beberapa salinan Sutra ‘Sang Buddha Berbicara Mengenai Sutra Kasih yang Mendalam dari Orangtua dan Kesulitan Untuk Membalasnya’, dan setelah itu, dengan cepat sutra ini menyebar di dalam pasukan. Ada banyak orang yang mendatangi Rajiva untuk meminta penjelasan tentang sutra tersebut atau bertanya kepadaku tentang kata-kata yang tidak mereka ketahui. Karena sutra itu sederhana namun memiliki makna yang mendalam, bakti dan kebajikan pun meluap-luap di dalam pasukan.
Musim semi pada tahun 385 M terasa luar biasa panas, dan tak ada hujan sama sekali selama beberapa bulan berturut-turut. Pada bulan delapan tahun itu, ketika kami mengira kalau kami tak lagi mampu bernapas dalam hawa panas itu, pasukan Lu Guang telah sepenuhnya menyapu bersih pasukan utama Liang Xi dan memasuki Perlintasan Yumen.
王之渙《凉州詞》/ 《出塞》 – Lagu Liangzhou / Perlintasan Garis Depan
oleh Wang Zhihuan (688-742)
黃河遠上白雲間 – Sungai Kuning membentang ke awan putih nan jauh
一片孤城萬仞山 – Sebuah kota berdiri sendiri, dinaungi bayang beribu gunung.
羌笛何須怨楊柳 – Mengapa suling qiang melantunkan melodi menyayat hati, dari perpisahan di bawah dedalu?
春風不度玉門關 – Oh, angin musim semi tak pernah melintasi Perlintasan Yumen.
Berdiri tegak di antara pegunungan, perlintasan yang dingin dan terpencil ini dinamai sesuai dengan kumala Khotan yang melewati tempat ini untuk memasuki Dataran Tengah. Di masa kuno, konsep tentang perbatasan tidak sejelas di masa modern. Perlintasan Yumen hanya dikenal sebagai perbatasan yang memisahkan Xi Yu dengan Dataran Tengah. Masuk melewati Perlintasan Yumen berarti menginjakkan kaki ke Dataran Tengah.
王維《送元二使安西》 – Mengantar Yuan’er Menjalankan Misi ke Anxi, oleh Wang Wei (701 – 761)
渭城朝雨浥輕塵< – Hujan pagi membasahi debu di Weicheng
客舍青青柳色新 – Kulit dedalu baru menghijaukan penginapan.
勸君更盡一杯酒 – Sahabat, mari tenggak satu cawan arak lagi
西出陽關無故人 – Di sisi barat Perlintasan Yang, tiada seorang pun yang kau kenal.
Sebelum memasuki kota paling makmur di sisi paling barat, Dunhuang, orang harus melewati Perlintasan Yang. Kaisar Wu dari Han telah ‘mengaturnya menjadi empat kabupaten, sesuai dengan kedua perlintasan’ di sepanjang Koridor Hexi. Keempat kabupaten itu adalah Wuwei, Zhangye, Jiuguan, dan Dunhuang; sementara kedua perlintasannya adalah Perlintasan Yumen dan Perlintasan Yang. Keempat kabupaten yang disebutkan tadi juga merupakan empat kota paling penting di Koridor Hexi. Keempat kota itu terus ada di abad ke-21 dan nama-nama mereka bahkan tak berubah selama lebih dari dua ribu tahun.
Akan tetapi, kedua perlintasan strategis yang penting ini – Perlintasan Yumen dan Perlintasan Yang – tidak lagi menjadi wilayah Song pada saat Dinasti Song. Bersamaan dengan merosotnya Jalur Sutera, perlahan-lahan kedua perlintasan ini ditinggalkan dan pada akhirnya terkubur di dalam pasir. Pada abad ke-21, yang tersisa hanya puing-puing dari beberapa menara suar api, berdiri dalam sepi di Gurun Gobi yang luas, jadi generasi-generasi berikutnya hanya bisa meratap ketika mereka membaca puisi-puisi Tang mengenai wilayah perbatasan dan mengenang masa-masa penuh kemakmuran dan kejayaan yang telah berlalu.
Aku menginjakkan kaki memasuki Dunhuang dengan hati yang mendekati pemujaan, karena di sini adalah tempat suci yang ingin dikunjungi oleh semua orang di abad ke-21. ‘Dun’ berarti ‘besar’, dan ‘huang’, berarti ‘makmur’. Bagi orang-orang di masa modern, nilai penting Dunhuang adalah kemegahan dari ribuan gua batunya. Sungguh sangat disayangkan karena telah kehilangan gua manuskrip (aka Gua Perpustakaan) akibat penjarahan oleh Marc Aurel Stein dan yang lainnya; serta kesedihan dan amarah ketika membaca 《道士塔》 (Menara Taois) oleh Yu Qiuyu.
(T/N: Yu Qiuyu (1946 – ) adalah seorang penulis Tiongkok terkenal yang menulis serangkaian ‘esai budaya’ setelah melakukan perjalanan ke seluruh Tiongkok, mengunjungi semua situs budaya yang penting. Dalam esai ini, dia mengeluhkan tentang hilangnya manuskrip-manuskrip yang ditemukan di Gua Perpustakaan, terutama tentang penjualan Wang Yuanlu (seorang Taois), atas manuskrip-manuskrip itu kepada Marc Aurel Stein.)
Mataku berkilat ketika aku mendeskripsikan mural-mural indah yang ditemukan di Gua Magao kepada Rajiva. Gua-gua ini dibangun pada masa Dinasti Tang, jadi saat ini aku tak bisa melihatnya. Ini adalah penyesalan terbesar yang kumiliki pada perjalanan menelusuri Jalur Sutera ini. Aku mengayun-ayunkan lengan dan kakiku di dalam pereta yang sempit, sementara suamiku hanya tersenyum seraya mendengarkan cerita-ceritaku, terkadang mengulurkan tangan untuk menjaga keseimbanganku. Dalam kondisi penuh semangat, aku menyanyikan lagu tema utama dari 大敦煌 (The Great Dunhuang (2005-2006). Ketika aku menonton drama ini, aku dibuat terharu oleh lagu yang menggetarkan dan tragis ini.
(T/N: Lagunya bisa didengarkan di media)
Di era tempatku berada, sekitar sepuluh tahun dari sekarang, akan ada sebuah kejadian besar bersejarah di Dunhuang. Pada tahun 400 M, Li Hao (orang Han) akan memahkotai dirinya sendiri di Dunhuang ini dan mendirikan Liang Barat. Ini akan menjadi kali pertama Dunhuang menjadi Ibu Kota negara. Li Hao akan mengerahkan dirinya untuk memperbaiki urusan internal, mengurangi birokrasi, menjunjung tinggi Konfusianisme, dan mendorong pendidikan. Itulah sebabnya, dalam sepuluh tahun lebih dalam hidupnya, Li Hao telah mengubah Liangzhou yang kacau balau menjadi sebuah wilayah yang relatif stabil, dan semakin serta semakin banyak orang Han yang akan berkumpul di sini untuk berlindung. Kebudayaan Dunhuang kemudian akan berkembang dan menjadi masa kejayaan Liangzhou untuk waktu yang lama. Liang Barat berdiri selama lebih dari dua puluh tahun, dan kemudian dihancurkan oleh negara Liang Utara milik Juqu Mengxun, orang Xiongnu.
Pada akhir bulan delapan, kami tiba di Jiuquan dan tinggal di sini selama delapan hari. Salah satu kejadian paling membahagiakan yang terjadi pada Lu Guang adalah saingannya, Liang Xi, ditangkap. Liang Xi kabur ke Guzhang tapi ditangkap oleh prefek Wuwei, Peng Ji, yang kemudian menyerahkan dirinya ke Lu Guang. Lu Guang membunuh Liang Xi dan putranya di Jiuquan. Kami kemudian memasuki bulan sembilan, tapi hawanya masih panas, dan tak ada tanda-tanda datangnya musim gugur di mana-mana. Pada cuaca yang panas dan gerah ini, kami memasuki Guzang – tujuan akhir pada perjalanan menuju ke timur ini, dan juga merupakan tempat paling penting di Liangzhou.
Guzang merupakan sebuah kabupaten di Liangzhou dan juga merupakan sebuah pos militer penting di Koridor Hexi. Mulanya Guzang dibangun oleh orang Xiongnu tapi kemudian menjadi tempat di mana banyak etnis tinggal bersama: orang Han, orang Qiang, dan orang Xiongnu. Ada lebih dari dua ribu orang yang tinggal di kota itu. Pada periode Enam Belas Kerajaan, Guzang dianggap sebagai kota yang besar. Di luar kota terdapat Gunung Qilian yang bersalju; rumputnya hijau dan daratannya subur. Tempat itu juga merupakan persimpangan antara area pertanian dan area nomadik. Liang Awal dari Keluarga Zhang telah menjelajahi dan mengembangkan daratan ini selama lebih dari enam puluh tahun. Karena Keluarga Zhang beretnis Han, jadi ketika perang terjadi di Dataran Tengah, ada banyak orang Han yang berbakat serta keluarga-keluarga besar yang datang ke Liangzhou untuk mengungsi. Karenanya Guzang pun menjadi tempat berkumpul di mana manusia dan ekonomi berkembang, di mana budaya Han mendominasi.
Ketika kereta bergulir memasuki kota, aku menyibakkan tirai untuk melihat. Raja pertama dari Liang Awal – Zhang Gui, berjasa mengembangkan Guzang dengan membangun empat kota satelit untuk mengelilingi kota yang asli. Berkat hal itu, ukuran Guzang menjadi jauh lebih besar daripada banyak negara lainnya di Xi Yu. Arsitektur Han yang familier terungkap di depan mataku. Sudah sangat lama sejak aku terakhir melihat atap-atap pinggul dan pelana gaya Han tradisional. Ada banyak kios yang didirikan di kedua sisi jalan, dan di tengah kota terdapat sebuah menara genderang dan menara lonceng, yang mana merupakan layout tipikal kota Han.
Meski pada periode akhir, Keluarga Zhang akan menjadi sama seperti Enam Belas Kerajaan lainnya, dipenuhi oleh perselisihan internal, namun ketika dibandingkan dengan Zhou Akhir milik Shi Le dan Shi Hu, Liang Awal milik Zhang masih jauh lebih baik. Jadi ketika Liangzhou jatuh ke tangan Lu Guang, tempat ini tidak mengalami kerusakan terlalu parah, membuatnya bisa dengan cepat mendirikan kekuasaannya. Dari hal itu, bisa dilihat bahwa salah satu faktor terbesar yang membantu Lu Guang menjadi penguasa selama periode Enam Belas Kerajaan adalah keberuntungan.
Pada tahun 401 Masehi, Liang Akhir milik Keluarga Lu akan menyerah pada Jin Akhir. Dua tahun kemudian, Tufa Rutan dari Liang Selatan akan menempati Guzang. Segera setelahnya, Juqu Mengxun dari Liang Utara akan menyerang Guzang dan menjadikannya Ibu Kota hingga tempat itu dihancurkan oleh Wei Utara pada tahun 439. Wei Utara akan menerima dua ratus ribu penduduk Guzang dan mengganti namanya menjadi Wuwei.
Sebuah lengan mengalungi bahuku. Aku berbalik dan mendapati kalau dia juga menatap ke luar. Matanya tampak menerawang jauh, larut dalam pemikiran. Aku menggenggam tangannya. Di sinilah kami akan tinggal selama tujuh belas tahun berikutnya. Di abad ke-21, tak ada jejak Lu Guang yang tersisa di kota ini. Di tempat ini jugalah, 1.650 tahun kemudian, sebuah kuil bernama Kumarajiva akan didirikan untuk mengenang masa pengurungannya selama tujuh belas tahun.