Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 64
- Home
- Faithful to Buddha, Faithful to You
- Chapter 64 - Provinsi Liang dalam Kobaran Api
Naiknya Keluarga Liang bisa dianggap sebagai babak pembuka bagi Enam Belas Kerajaan. Zhang Gui, penguasa pertama (dianugerahi secara anumerta), pada mulanya adalah Gubernur Provinsi Liang pada masa pemerintahan Kaisar Hui dari Dinasti Jin, jabatan yang setingkat dengan gubernur* dari sebuah provinsi pada saat ini. Zhang Gui adalah orang berbakat yang menunjuk para pejabat berdasarkan jasa-jasa yang bersangkutan, mengutamakan pengaturan kedamaian dan keamanan di dalam wilayahnya, dan meraih banyak pencapaian besar. Namun semua ini tidak terlalu bernilai hingga pada generasi keempat, Zhang Jun, di mana Keluarga Zhang akan memakai gelar ‘Raja’. Di permukaan, Keluarga Zhang masih merupakan bawahan dari Dinasti Jin; pada kenyataannya, mereka sudah mengembangkan rezim terpisah, yang mana nantinya para sejarawan akan menyebutnya sebagai Liang Awal. Keluarga Zhang memerintah Provinsi Liang selama beberapa generasi. Meski ada pertempuran dengan Zhao Awal dan Zhao Akhir, ukurannya masih berskala kecil. Karenanya, Provinsi Liang merupakan wilayah yang relatif stabil bila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Tiongkok Utara selama era kacau penuh peperangan tak berakhir ini.
(T/N: penjelasan tentang dua istilah ‘gubernur’: yang pertama adalah 刺史(cì shǐ) , yang kedua adalah 省长 (shěng zhǎng); di mana yang kedua merupakan istilah bagi kepala provinsi pada Tiongkok modern)
Istana Keluarga Zhang tidak terlalu besar, namun para selir, anak-anak, serta keponakan Lü Guang jumlahnya banyak, jadi kami hanya diberi sebuah rumah kecil di pojokan. Aku dan Rajiva tak keberatan. Melihat pada istana Zhang yang tak terlalu mewah, aku menjelaskan tentang sejarah Liang Awal kepada Rajiva ketika kami membongkar barang-barang bawaan.
“Akan tetapi, para penguasa Zhang tidak memerhatikan pelatihan bagi generasi berikutnya. Generasi ayah penuh dengan pahlawan, namun semua putra-putranya adalah bajingan. Para keturunan Zhang juga seringkali tidak berumur terlalu panjang. Setelah generasi kelima, Zhang Chonghua, orang-orang di dalam klan mulai saling membantai. Hanya dalam kurun waktu sepuluh tahun, raja telah diganti hingga empat kali. Generasi terakhir adalah Zhang Tianxi yang, meski pandai bicara, menyia-nyiakan dirinya sendiri dalam alkohol dan seks serta tak memedulikan tentang politik. Sembilan tahun yang lalu*, raja Zhang ini melakukan sebuah hal bodoh dengan memanah para utusan Fu Jian, memberi Fu Jian alasan untuk mengirim tentara demi menghancurkan Liang Awal. Zhang Tianxi menyerah dan dikirim ke Chang’an. Akan tetapi, dia beruntung, setelah Pertempuran Sungai Fei, Zhang Tianxi mengambil kesempatan untuk menyerah kepada Jin dan bisa menjalani masa-masa terakhir hidupnya di Jiangnan.”
(T/N: Tahun 376 M (9 tahun dari masa tempat mereka berada saat ini))
“Jadi merupakan keberuntungan karena Lü Guang menjadi penguasa Provinsi Liang. Kebetulan, ketika dia tiba di sini, tak ada kekuatan besar yang tersisa. Andai saja Liang milik Keluarga Zhang masih ada, akan sulit bagi Lü Guang untuk menakhlukkan tempat ini.”
Aku mengangguk setuju:
“Meski Lü Guang beruntung, tidak mudah untuk mendapatkan sepotong daging gemuk ini. Provinsi Liang memiliki area yang luas dan terdiri dari enam kabupaten. Ada banyak orang yang ingin mendapatkan semangkuk dari sup* ini.”
(T/N: 分一杯羹(fēn yī bēi gēng) – idiom yang berarti ikut mendapat bagian)
Seraya tersenyum, aku mengambil tumpukan pakaian yang acak-acakan dari Rajiva lalu melipatnya kembali dengan tanganku sendiri. Dia benar-benar tak tahu bagaimana mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Provinsi Liang pada pendudukan Lü Guang lebih luas daripada keseluruhan Provinsi Gansu pada Abad ke-21, karena juga termasuk beberapa bagian timurlaut Qinghai, Ningxia, Mongolia Dalam, dan Xinjiang. Dengan wilayah sebesar itu, tentu saja orang tak bersedia untuk menakhluk.
“Apa masih akan ada perang?” Rajiva mengamatiku melipat pakaian dengan raut malu, menuangkan secangkir air untukku, lalu mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka keringatku.
“Ya, dan akan ada lebih dari satu. Pada periode Enam Belas Kerajaan, Provinsi Liang memiliki lima raja dari lima wilayah Liang. Liang Awal milik Zhang Gui (orang Han) dihancurkan oleh Fu Jian (orang Di). Liang Akhir milik Lü Guang (orang Di) dihancurkan oleh Yao Chang dari Qin Akhir (orang Qiang). Liang Selatan milik Tufa Wugu (orang Xianbei) dihancurkan oleh Qin Barat, juga dari etnis Xianbei. Liang Barat milik Li Gao (orang Han) dihancurkan oleh Juqu Mengxun (orang Xiongnu) dari Liang Utara. Dan Liang Utara milik Mengun dihancurkan oleh Wei Utara milik Klan Tuoba, bagian dari etnis Xianbei. Lima Kaum Barbar (五胡 Wu Hu) yang dimaksud dalam frase “五胡亂華” (harafiah: Lima Kaum Barbar mengacaukan Tiongkok) oleh generasi-generasi berikutnya terdiri dari Xiongnu, Qiang, Di, Xianbei, dan Jie. Tanpa memperhitungkan orang Jie dan Qiang, Provinsi Liang ini saja sudah memiliki tiga kerajaan kecil San Hu dan itu saja sudah cukup berantakan.”
Kekacauan selama sepuluh, dua puluh tahun, dengan berbagai negara silih berganti atau berdiri pada saat bersamaan, semuanya dipertontonkan di tanah Provinsi Liang bagaikan lentera komidi putar (T/N: 走马灯 (zǒu mǎ dēng)). Andai bukan karena Rajiva, aku takkan mampu mengingat detil-detil tentang era ini bahkan meski jurusanku adalah sejarah. Sebelum menyeberang kemari, aku telah menghabiskan banyak upaya untuk belajar dan menghapal semua informasi ini, jadi sekarang otakku sudah seperti pusat data lengkap mengenai periode Enam Belas Kerajaan.
Aku menikmati pelayanannya dan meneguk airnya untuk membasahi tenggorokanku:
“Tetapi pada saat ini, Lü Guang hendak menangani putra pertama dari Zhang Tianxi, Raja dari Liang Awal – Zhang Dayu. Zhang Tianxi telah menyerahkan diri pada Jin Timur, namun putranya, Zhang Dayu, tidak mengikuti ayahnya, dan karena takut Fu Jian akan menyerangnya, dia pun kabur kepada Kolonel Changshui, Wang Mu. Wang Mu akan mendukung dia menjadi Raja Liang. Tak lama lagi, Zhang Dayu akan menyerang Guzang.”
Sepuluh hari setelah aku mengucapkan hal ini, pada pertengahan bulan sembilan, pasukan Zhang Dayu dan Wang Mu telah benar-benar tiba di luar Kota Guzang. Sebelumnya, Lü Guang telah memberangkatkan Du Jin untuk menghentikan mereka tetapi pasukan Du Jin kalah jumlah oleh pasukan Zhang Dayu dan harus mundur. Du Jin memiliki pencapaian militer yang menonjol, pemberani dan juga penuh strategi, namun untuk pertama kalinya dia kalah dalam perang di tangan Zhang Dayu. Seketika kegelisahan melingkupi pasukan Lü Guang. Lü Guang memerintahkan pasukan agar mundur ke dalam dinding-dinding Guzang dan menutup gerbang kota rapat-rapat. Semua rakyat bersembunyi di dalam rumah mereka karena ketakutan. Satu-satunya bayangan yang tersisa di jalanan adalah bayangan para penjaga yang berpatroli. Awan gelap peperangan meliputi langit musim gugur Provinsi Liang yang menakjubkan.
“Guru! Putri!”
Berbalik, kami melihat Du Jin yang mengenakan zirah berjalan ke arah kami. Sekelompok orang mengikuti di belakangnya dan di antaranya ada seseorang yang kukenal – Duan Ye.
Kami menyapanya, sedikit terkejut ketika melihat kehadiran Du Jin di dalam perkemahan yang penuh dengan prajurit cidera ini. Perkemahan ini dibangun atas permintaan Rajiva, dan tentu saja ideku ada di belakangnya. Aku juga merekrut beberapa orang bibi dari keluarga-keluarga miskin sebagai perawat dan mengajari mereka beberapa pengetahuan kebersihan dasar. Meski tempat ini agak sederhana dan berkekurangan, di sini masih lebih baik daripada tenda-tenda untuk para prajurit cidera dari perkemahan pasukan negara-negara lain pada masa ini.
Aku telah memikirkan secara seksama tentang keberadaanku di dalam sejarah dan benar-benar meyakini kalau hal ini nyata. Yang telah terjadi sebelumnya telah membuktikan bahwa keberadaan dan partisipasiku tidak memengaruhi sejarah yang asli. Atau mungkin, karena diriku, sejarah telah menjadi seperti yang kulihat pada masaku. Karena itu, aku akan bertindak sesuai dengan pemikiranku dan takkan ragu lagi. Bahkan meski upayaku hanya sebesar setetes air, aku masih berharap mampu membantu suamiku menuntaskan misi hidupnya.
“Du Jin keluar untuk melawan musuh dan tidak kembali selama berhari-hari. Setelah kembali, kudengar Guru telah membangun perkemahan untuk prajurit cidera ini. Guru dan Putri bagaikan para dewa yang turun ke bumi untuk membantu menyelamatkan rakyat. Harap terimalah penghormatan dari Du Jin ini.”
Du Jin menangkupkan satu tangan di atas kepalan, menekuk tubuh dengan satu lutut, dan membungkuk. Rajiva buru-buru membantunya berdiri.
Wajah Du Jin agak memerah dan bengkak; mungkin dia dilukai oleh Zhang Dayu. Aku memberi dia sebotol arak obat. Dia berterima kasih kepadaku sambil menerimanya, kemudian melirihkan suaranya: “Guru, Putri, Du Jin punya sesuatu yang ingin didiskusikan.”
Aku juga termasuk? Aku melangkah ke dalam kamar kosong bersama mereka, hatiku penuh dengan tanda tanya. Duan Ye juga mengikuti, jadi totalnya ada empat orang di dalam kamar itu.
Du Jin menatap sekeliling, mendesah berat, dan berkata:
“Tufa Sifujian dari Xianbei ingin membantu Zhang Dayu dan telah mengirim putranya, Tufa Xiyu, memimpin dua puluh ribu tentara menuju Guzang, Wang Mu dan tiga puluh ribu tentara ditempatkan di titik selatan di luar kota. Ketiga puluh ribu tentara milik Zhang Dayu ditempatkan di sisi barat. Gubernur Jiankang – Li Xi, Komandan Qilian – Yan Chun, Yan Xi, semuanya telah memberangkatkan tentara untuk menanggapinya dan sedang dalam perjalanan menuju Guzang. Begitu semua tentara berkumpul di satu tempat, jumlah totalnya akan lebih dari seratus ribu. Jenderal Lü takkan bisa mengalahkan mereka.”
Pada era senjata dingin*, jumlah pasukan merupakan faktor penentu pada hasil sebuah perang. Membunuh seribu tentara musuh akan menghabiskan sekitar delapan ratus tentaramu sendiri. Inilah mengapa dalam sejarah tidak banyak kemenangan ‘memakai sedikit untuk mengalahkan banyak’. Kecemasan Du Jin bukanlah tanpa dasar. Orang-orang itu dulunya melayani Keluarga Zhang, jadi tidaklah mengejutkan kalau mereka datang untuk membantu Zhang Dayu. Bagaimanapun juga, Keluarga Zhang telah memerintah Provinsi Liang selama enam puluh tahun, jadi nama keluarga mereka telah merasuk ke dalam hati rakyat. Tetapi mengapa Du Jin memberitahukan rahasia militer ini kepada kami?
(T/N: Senjata dingin – senjata yang tidak melibatkan api atau bahan peledak)
Ketika aku sedang memikirkannya, Rajiva telah membalikkan pemikiranku menjadi sebuah pertanyaan: “Jenderal Du, Rajiva adalah seorang rahib dan tak tahu apa-apa tentang seni peperangan. Mengapa Jenderal Du memberitahukan semua hal ini kepada Rajiva dan istri?”
Du Jin melirik Duan Ye dan tersenyum: “Kekuatan dewa milik Guru, Du-mou telah mendapatkan keistimewaan untuk menyaksikannya. Dalam situasi krisis seperti ini, Du-mou tak mampu menghasilkan strategi, jadi saya datang untuk meminta saran dari Guru.”
Melihat Duan Ye menganggukkan kepalanya, tiba-tiba aku mengerti. Duan Ye pasti telah memberitahu Du Jin bahwa Kumarajiva berpengetahuan dalam Dharma dan keseimbangan yin dan yang, yang mana berarti dia bisa meramal. Karena itulah Du Jin berharap Rajiva bersedia memberinya bimbingan.
Rajiva menimbang-nimbang sejenak lalu berkata, “Jenderal Du tak perlu khawatir. Jenderal Lü memiliki banyak perbekalan, dinding-dindingnya kuat dan demikian halnya juga dengan pasukan, jadi Beliau takkan dikalahkan dengan mudah.”
“Du-mou tidak cemas tentang mempertahankan kota. Kota Guzang ini mampu bertahan selama setengah hingga satu tahun tanpa masalah berarti. Musim panas yang lalu, telah terjadi kemarau dan banyak tanaman pangan yang layu. Dalam sepuluh bulan mendatang, diperkirakan panenan musim gugur akan kurang dari separuh jumlah biasa. Tanpa perbekalan, pengepungan Zhang Dayu takkan bertahan lama.”
Du Jin berjalan mondar-mandir di dalam kamar seraya menganalisa situasinya. Alis tebalnya berkerut ketika dia bicara dengan nada cemas: “Du-mou takut kalau Zhang Dayu akan menyapu Wilayah Lingxi, menajamkan persenjataan mereka dan menimbun perbekalan, kemudian menuju ke timur. Bagaimanapun juga, Lü Guang baru saja tiba di sini dan belum mendapatkan pijakan yang kokoh, jadi menjalani perang berkepanjangan dengan Zhang Dayu tentu saja akan jadi berbahaya.”
Di dalam kepala, aku memuji ketepatan analisa Du Jin. Persis inilah rencana yang dibuat oleh ahli strategi Zhang Dayu, Wang Mu, namun sayangnya Zhang Dayu bukan orang yang bisa mencapai hal-hal besar.
Aku tak bisa menahan diri untuk bicara: “Jenderal Du, Zhang Dayu hanyalah seorang putra bangsawan dan tidak mengerti seni berperang. Tak diragukan lagi, dia akan jadi arogan setelah memperoleh kemenangan pertama. Tufa Xiyu baru saja tiba di sini dan tidak terlalu akur dengan Wang Mu, jadi inilah kesempatan Jenderal Lü untuk menjalankan serangan kejutan.”
Mendadak langkah Du Jin berhenti. Dia berbalik dan menatapku dari atas ke bawah, matanya bersinar cerah. Tanpa suara Rajiva bergeser untuk berdiri di depanku dan berkata lirih: “Jenderal Du, mohon jangan anggap serius istriku yang kikuk ini. Singkatnya, Jenderal tak perlu cemas, karena Anda memiliki berkat dari Langit, jadi segera akan mendapatkan kemenangan.”
Du Jin berjalan keluar dengan wajah penuh sukacita. Sebelum berpamitan kepada kami, Duan Ye memberiku tatapan memuja, membuat rambut di tubuhku berdiri. Tetapi yang paling membuatku takut bukanlah dia melainkan orang yang berdiri di sisiku.
“Ai Qing….” Dengan sengaja dia memanjangkan suaranya, “Lagi-lagi kau menganggap kata-kataku sebagai angin lalu!”
Aku menjulurkan lidahku dan memasang muka jelek ke arahnya, kemudian buru-buru lari keluar dari kamar. Alasan mengapa aku mengatakan hal itu kepada Du Jin adalah karena aku memercayai orang ini, tetapi yang lebih penting lagi, aku selalu merasa kalau dia mencari kami merupakan kehendak Langit, sebuah izin yang membiarkan aku bicara. Sejarah akan terus melangkah mengikuti tahap-tahap yang telah ditentukan; aku hanya sedikit mendorongnya.
Pada akhir bulan sembilan, tiba-tiba Lü Guang memberangkatkan pasukan untuk menyerang barak Tufa Xiyu di bagian selatan kota. Tufa Xiyu tak mampu bertahan tepat waktu dan kehilangan nyawanya ketika sedang melarikan diri. Pasukan Wang Mu juga mengalami kerusakan besar dan seluruh pasukannya berantakan. Begitu Zhang Dayu mendengar kabar bahwa sekutunya telah kalah, dia langsung membawa seribu tentara dan kabur. Pasukan yang dia tinggalkan pun tercerai-berai seperti gunung yang runtuh dan prajurit-prajuritnya menyerah satu demi satu. Dan demikianlah bagaimana Pengepungan Guzang berakhir.
Kabar tentang kemenangan ini datang ke perkemahan untuk prajurit cidera pada saat bersamaan dengan sebuah berita mengejutkan lainnya.
“Guru, situasinya gawat! Jenderal Lü mengamuk dan telah memerintahkan agar Cheng Xiong ditahan, menunggu eksekusi sesuai dengan aturan militer.”
(T/N: Cheng Xiong adalah prajurit yang telah ditahbiskan oleh Rajiva untuk menjadi praktisi Buddhis awam pada chapter sebelumnya)
“Mengapa?” Rajiva sangat terkejut dan mencengkeram si prajurit pembawa pesan.
“Pada perang terakhir ini, Cheng Xiong tidak memenggal satu pun kepala musuh. Biasanya dia sangat pemberani, namun kali ini dia malah menjadi lemah hati dan tak mau mencabut nyawa. Jenderal Lü ingin membunuh dia demi memberi contoh bagi pasukan.”
Rajiva buru-buru bertanya di mana Cheng Xiong berada dan bergegas berlari keluar dari perkemahan. Aku mengikuti dekat di belakangnya ketika kami berlari ke medan perang. Cheng Xiong sedang diikat pada sebuah tonggak kayu di tengah lapangan dan mulutnya disumpal oleh bola kain. Ketika dia melihat Rajiva, matanya menampakkan sorot penuh harap dan permohonan. Rajiva memberinya anggukan menenangkan, kemudian bergegas menuju tenda yang ada di bagian depan perkemahan.
“Jenderal Lü, Cheng Xiong tak mau mencabut nyawa karena dia telah menerima Lima Sila. Jenderal Lü sudah menang, jadi apakah perlu sampai repot-repot menghukum seorang prajurit?”
Rajiva bergegas berdiri di hadapan Lü Guang seraya terengah. Aku takut kalau dia akan jadi terlalu emosional, jadi aku mengikuti dekat di belakangnya kalau-kalau aku perlu menghentikan dirinya.
Lü Guang menatap dingin pada Rajiva, mengeluarkan dengusan keras dari hidungnya, alis bertaut hingga seperti bola: “Guru, menjadi prajurit berarti membunuh atau dibunuh. Orang yang tak bisa membunuh, apa kegunaan yang dia punya untuk Lü-mou?”
Rajiva masih terengah-engah sehingga suaranya naik tanpa disadari: “Cheng Xiong mendengarkan kata-kata saya dan beralih ke jalan Buddha. Kesalahan ada pada diri Rajiva. Kalau Jenderal Lü ingin membunuh, maka Anda bisa membunuh Rajiva. Hal ini tak ada hubungannya dengan Cheng Xiong!”
“Guru, membunuh Anda, bukankah akan memantik kemarahan?” Lü Guang mencibir, ekspresi garang tampak di wajahnya seakan dia sedang menggigit daging, kemudian tersenyum muram, “Guru, di sini bukanlah Xi Yu, dan prajurit tidak perlu meyakini jalan Buddha. Guru harus menjaga diri sendiri dengan baik dan tidak melakukan hal-hal yang akan menurunkan moral pasukan.”
Mata Rajiva menggelap: “Baiklah, Rajiva takkan lagi membabarkan ajaran Buddha di dalam pasukan dan hanya akan meminta Jenderal Lü melepaskan Cheng Xiong.”
“Jenderal Lü, kemenangan besar ini adalah hasil dari pengaturan cemerlang sang Guru, jadi saya memohon agar Jenderal mengakui jasa Guru dan mengampuni Cheng Xiong dari hukuman mati.” Du Jin melangkah maju dan berlutut pada satu kaki, “Terlebih lagi, membunuh prajurit pada saat kemenangan akan menciderai moral pasukan. Jenderal, harap pertimbangkanlah kembali.”
Orang-orang lainnya di dalam tenda juga maju untuk bicara (membantu Cheng Xiong). ekspresi Lü Guang sulit untuk dibaca. Dia berpikir sejenak, kemudian memerintahkan: “Dia bisa diampuni dari hukuman mati, tetapi tidak dari hukuman hidup. Seret dia turun dan pukul dia dengan tongkat seratus kali.”
Lü Guang berdiri dan melemparkan satu salinan ‘Sutra Sang Buddha Berbicara Mengenai Sutra Kasih yang Mendalam dari Orangtua dan Kesulitan Untuk Membalasnya’ ke kaki Rajiva: “Juga, kitab Buddha yang Guru ajarkan ini telah menyebabkan gangguan dalam benak prajurit dan tak boleh terus menyebar. Hari ini, semuanya harus disita dan dibakar. Kelak Guru tidak boleh mengajarkan kitab-kitab ini. Kalau tidak, jangan salahkan Lü-mou karena tak berperasaan!”
Semua salinan tipis dari sutra itu dilemparkan ke dalam api. Dengan cepat halaman-halamannya berkerut dan terbakar menjadi abu. Angin musim gugur menerbangkan percikan-percikan api ke udara, tanpa ampun meniupnya melewati wajah-wajah para prajurit yang pernah mendengarkan ajaran tersebut, dan memencarkannya ke seluruh medan perang. Menyaksikan hasil kerja keras kami selama beberapa malam berubah menjadi abu dan asap, tiba-tiba aku menyadari: Inilah adegan ‘membantai ayam untuk dilihat monyet’. Lü Guang tidak tahu bagaimana cara memakai agama untuk kepentingannya dan hanya bisa berusaha menekannya secara membuta. Dia takut pada kekuatan spiritual Rajiva, jadi dia memakai ancaman membunuh untuk memperingatkan Rajiva agar jangan mengajarkan Dharma.
Aku melirik ke samping dan melihat Rajiva terbengong-bengong menatap abu yang berterbangan, mata abu-abunya yang dalam sarat dengan kesedihan. Angin mengangkat secercah abu dan menjatuhkannya pada Rajiva; dia mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. Potongan abu itu berubah menjadi debu begitu menyentuh tangannya. Cheng Xiong telah dilepaskan dan sedang berdiri di samping prajurit yang lainnya. Dia tak berani mengeluarkan suara tangisan dan hanya menundukkan kepala untuk menyeka air matanya.
Sejak saat itu, Rajiva tidak lagi mengajarkan Dharma dan menjadi lebih pendiam daripada sebelumnya.
Hawa panas di Guzang akhirnya berhenti pada bulan kesepuluh dan setelah beberapa kali turun hujan, cuacanya menjadi jauh lebih dingin. Zhang Dayu tertangkap di Guangwu dan dikawal balik ke Guzang. Lü Guang memenggalnya di dalam dinding-dinding Guzang. Kematian Zhang Dayu menetapkan akhir dari Liang Awal yang didirikan oleh Zhang Gui.
Kejadian terbesar pada bulan sepuluh adalah Lü Guang akhirnya menerima kabar dari Chang’an, di mana dia mendapati bahwa Fu Jian telah dibunuh oleh Yao Chang pada bulan kelima. Dia meratap marah dan memerintahkan semua pejabat dan prajurit agar mengenakan baju berkabung selama tiga bulan dan semua orang menangis selama tiga hari. Dia bahkan mendirikan altar untuk Fu Jian di bagian selatan di luar kota, mengumumkan gelar anumerta untuk Fu Jian sebagai Kaisar Wen Zhao, dan memberikan persembahan selama tiga hari.
Setelahnya, di bawah banyak bujukan susah payah dari semua pejabat sipil dan militer, dia menganugerahkan amnesti pada seluruh wilayah, mendeklarasikan nama eranya menjadi Tai’an (Kedamaian Besar), menyebut dirinya sendiri sebagai Gubernur Provinsi Liang, Kolonel Pelindung Qiang, dan segera setelahnya, Komisiuner Wilayah Provinsi Liang, secara efektif menjadi seorang raja dari sebuah rezim terpisah. Menganugerahkan hadiah berdasarkan jasa, Du Jin berada di puncak, jadi Du Jin diangkat sebagai Jenderal Penolong, Gubernur Wuwei, Bangsawan Militer. Yang lainnya juga mendapat promosi. Duan Ye dipromosikan sebagai Tuan Literatur, bertanggung jawab atas semua dokumen resmi.
Rajiva masih ditahan di sisi Lü Guang sebagai penasihat. Dia hanya menganggap Rajiva sebagai peramal diagram. Dia akan mengajukan beberapa kalimat ketika dia sedang dalam suasana hati yang baik dan mengusir Rajiva ketika sedang tidak senang. Karakter Rajiva bukan jenis orang yang suka menjilat orang berkuasa* dengan mengelus jenggot dan menepuk kuda**, jadi dia selalu mengeluarkan darah pada tusukan pertama*** dengan Lü Guang, dan mereka berdua seringkali berselisih dengan panas. Rajiva meminta untuk tinggal dan berlatih Buddhisme di kuil mana pun di dalam dinding Guzang, tetapi permintaan ini ditolak oleh Lü Guang.
(T/N: * 趋炎附势 (qū yán fù shì): chengyu, – berarti mempercepat api di dekat yang kuat; berarti menjilat.
** 溜须拍马 (liū xū pāi mǎ): chengyu, berarti menyanjung untuk mendapatkan yang diinginkan.
*** 一针见血 (yī zhēn jiàn xiě): chengyu, bicara langsung tepat sasaran pada kekurangan orang lain)
Sebenarnya, Lü Guang memakai metode ‘lunak’ semacam ini untuk menahan Rajiva karena dia ingin mencegah Rajiva menyebarkan ajaran Buddha dan mendapatkan nama di dalam pasukan; kalau tidak, kenapa juga dia butuh pendapat Rajiva? Terlebih lagi, Lü Guang bukan jenis orang yang bersedia mendengar nasihat orang lain. Dia selalu curiga kepada para pejabatnya dan lebih memilih untuk berkuasa dengan memakai kekuatan. Meski dia tak mau terlibat dalam jalan Lü Guang, Rajiva masih berusaha sebaik mungkin untuk mencegah setiap kali Lü Guang membuat keputusan yang salah. Apa pun hasil dari upaya-upaya ini, kau bahkan tak perlu menebaknya. Seiring dengan berjalannya waktu, hati Rajiva mengeras dan dia pun berhenti bicara. Akan tetapi, hari-hari di mana dia mengikuti Lü Guang di mana tak ada satu pun yang masuk akal telah membuat Rajiva luar biasa depresi.
Pada waktu senggangnya, Rajiva akan berjalan-jalan di semua tempat di dalam kota yang bisa dianggap sebagai kuil, dan pemandangan yang dilihatnya akan membuatnya menggelengkan kepala dan mendesah. Pada era ini, tidak ada perbedaan yang jelas di antara agama-agama yang ada. Di dalam kuil, orang-orang memuja Buddha Shakyamuni sekaligus Taishang Laojun*, dan tak ada perbedaan antara rahib Buddha dan pendeta Tao.
(T/N: Taishang Laojun adalah gelar relijius untuk Laozi, pendiri Taoisme. Betewe, di Indonesia mulai masa Orba, hal ini juga terjadi, bahkan ditambah dengan Konfusius….)
Aku jadi teringat pada sebuah cerita lucu dari periode Enam Belas Kerajaan: Penguasa Yan Selatan, Murong De, tidak yakin harus menyerang kota yang mana, jadi dia meminta seorang rahib Buddhis agar meramal dengan memakai Zhou yi*.
(T/N: 《周易》 atau Perubahan Zhou, merupakan inti dari 《易經》 (Yi Jing / I Ching, atau Kitab Perubahan), sebuah naskah ramalan kuno pada periode Zhou Barat (sekitar abad ke-10 sampai ke-4 SM). Naskah ini merupakan naskah dasar bagi Konfusianisme dan Taoisme; yang mana membuat kisah tentang Murong De itu menjadi konyol)
Rajiva hanya perlu mengajukan beberapa pertanyaan dan akan tahu bahwa sang ‘rahib’ bukan benar-benar rahib, dan ‘pendeta Tao’ bukan benar-benar pendeta Tao; mereka hanya datang kemari untuk bekerja mendapatkan makanan, dan tak ada sepatah kata Dharma pun yang melewati bukaan pada kepala mereka. Mereka bahkan memasang tampang hampa ketika mendengar nama ‘Kumarajiva’. Aku ingat bahwa pada perjalanan kemari, setiap kali kami tiba di sebuah kerajaan kecil di Xi Yu, sekelompok orang akan berdiri di sisi jalan dalam waktu lama hanya demi bisa melihat sekilas wajahnya. Para raja di kerajaan-kerajaan itu juga akan bersikap sangat penuh hormat ketika menyambutnya dengan harapan bisa mengundang dirinya untuk mengajarkan Dharma. Tetapi setelah kami memasuki Koridor Hexi, penyambutan besar-besaran semacam ini pun lenyap. Popularitasnya di antara rakyat jelata jauh di bawah mereka yang mencari uang dengan berpura-pura bisa berhubungan dengan roh dan dengan sengaja memistiskan berbagai hal. Seluruh Provinsi Liang bagaikan gurun pasir bagi Buddhisme.
Aku berusaha menghiburnya dengan penuh kelembutan dan menggambarkan pemandangan-pemandangan penuh keajaiban dari masa depan untuk membuatnya ceria. Meski dia tak mengatakannya, aku tahu kalau dia amat kebingungan di hadapan ‘gurun’ ini, dan berusaha sebaik mungkin untuk menahan celah psikologis dalam keyakinan ini. Rajiva dipaksa menjalani kehidupan sekuler dan tiap hari harus mengikuti Lü Guang seperti mesin. Tetapi dia masih bersikeras mempertahankan agar kepalanya tetap tercukur, masih mengenakan jubah rahib, masih bangun pagi-pagi sekali untuk melantunkan sutra dan membaca buku-buku Han di malam hari untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Han-nya. Sebagian besar pejabat sipil dan militer di Provinsi Liang telah menemani Lü Guang pada ekspedisi ke Barat-nya, jadi mereka semua mengetahui alasan di balik pernikahan Rajiva. Karena itu, tak ada keberatan ataupun mempertanyakan tentang kehidupan sehari-hari kami, dan kami tak lagi menjadi sasaran tudingan seperti yang kami alami di Kota Subashi.