Fate - Chapter 1
Liang Lin mengambil kacamata berbingkai hitam pekat di tangannya, melihatnya sebentar sebelum menggertakkan gigi dan memasukkannya kembali ke dalam kotaknya. Dia kemudian melemparkan kotak itu jauh ke dalam laci dan menutupnya kembali dengan satu tangan.
Dia sudah memakai kacamata ini selama tiga tahun. Meski dia tidak rabun dekat, dia masih memakainya selama tiga tahun, hanya karena bingkai kacamata ini sama dengan miliknya.
Setelah lulus kuliah, dia cukup gegabah untuk berkeliling kota dan mencari kacamata serupa. Dia ingin memiliki bingkai kacamata yang sama seperti yang digunakan pemuda itu.
Dia tidak mengerti kenapa dia begitu terobsesi.
Mungkinkah karena pria itu cinta pertamanya? Tidak. Tidak bisa dikatakan seperti itu. Ini lebih mirip seperti perasaan rahasia yang terkubur dalam di hatimu, kamu tidak bisa menyebutnya sebagai cinta pertama.
Terlebih lagi, ini satu-satunya hubungan asmara yang dia miliki selama 24 tahun dia hidup.
Setelah lulus, dia tidak pernah bertemu pemuda itu lagi selama tiga tahun.
Kemarin adalah pertemuan pertamanya dengan pria itu setelah waktu yang begitu lama. Gu Ruichen, pria yang membuatnya jatuh cinta dan juga dicintai oleh sahabatnya, Xiao Ting.
Pernyataan cinta pertama selalu menang. Xiao Ting yang pertama kali mengungkapkan perasaannya, maka Liang Lin mengubur perasaannya dan masih tetap menyembunyikannya hingga detik ini.
Gu Ruichen telah mengganti kacamatanya, tapi Liang Lin masih menggunakan kacamata yang sama seperti yang dulu dipakai oleh pemuda itu.
Adegan pertemuan kembali mereka tidak terlalu menarik.
Gu Ruichen tampak lebih tinggi dan kuat, tapi dia masih berkulit putih dan lembut.
Meski dikelilingi oleh keramaian, Liang Lin masih dapat mengenali pria itu dalam sekali pandang.
Gu Ruichen tidak tahu kalau Liang Lin pernah jatuh cinta padanya, dan Liang Lin sendiri tidak tahu entah Gu Ruichen masih dapat mengenali dirinya atau tidak.
Jawabannya adalah iya.
Gu Ruichen menoleh, menatap langsung ke matanya dan kemudian, dengan senyum yang tipis dan samar, masih tetap sehangat dulu, Gu Ruichen menyapa Liang Lin.
“Kebetulan sekali, kita sudah lama sekali tidak bertemu,” kata Gu Ruichen.
Liang Lin tiba-tiba merasa gugup.
Tanpa sadar dia menggunakan jari telunjuknya untuk mendorong kacamata di pangkal hidungnya, ini juga merupakan kebiasaannya.
Liang Lin sedikit tidak nyaman, takut akan ketahuan oleh Gu Ruichen, maka dia mempertahankan ekspresi alaminya, terlihat santai dan menjawab, “Iya, kebetulan sekali.”
“Bagaimana kabarmu tiga tahun belakangan ini?”
“Aku baik-baik saja.”
“Kamu sedang berbelanja di sekitar sini?”
“Tidak, aku hanya mampir setelah selesai wawancara.”
“Oh, apakah semuanya berjalan lancar?”
“Lumayan, tapi aku juga tidak tahu.”
Percakapan mereka terlihat agak membosankan, Liang Lin memikirkan cara yang lebih baik untuk menjawabnya, “Bagaimanapun, aku akan menunggu kabar dari mereka.”
“Iya.”
Gu Ruichen terus menatap Liang Lin, dengan tatapan yang lembut dan hangat yang membuat jantung Liang Lin semakin berdebar kencang.
Liang Lin mengingatkan dirinya untuk terbangun dari delusinya.
Pertemuan kembali ini tidak membawa lebih banyak interaksi; Liang Lin berpamitan dengan tergesa-gesa tanpa mengatakan apa pun lagi.
Gu Ruichen tidak meminta kontaknya dan Liang Lin pun tidak menanyakan milik Gu Ruichen.
Liang Lin sangat menyesali ini saat dia berbalik dan pergi, tapi apa gunanya itu bagi dia?
Anggap saja ini sebagai pertemuan kebetulan antara dua insan yang pernah saling kenal di lautan manusia yang luas.
Siapa yang tahu di tahun apa, bulan apa dan hari apa, pertemuan mereka selanjutnya akan terjadi.