Fate - Chapter 6
Mulut Liang Lin terbuka lebar karena syok, jika dipikir lagi, ekspresinya pasti super canggung saat itu.
“Aku bertanya-tanya kapan kamu akan melihatku,” Gu Ruichen masih tertawa, “tapi kamu sudah melewati tempat ini berulang kali, melihat ke sana dan kemari, kamu tidak pernah melihat aku.”
Liang Lin tertawa canggung dan berkata, “Aku… aku bosan hari ini. Jadi aku keluar untuk berjalan-jalan dan menghabiskan waktu.”
Gu Ruichen mengangguk dan menggunakan telunjuknya untuk mendorong lensa kacamatanya, dia tersenyum kemblai dan berkata, “Kemarin aku juga duduk di sini.”
Liang Lin langsung membatu saat mendengar lanjutan ucapan Gu Ruichen, “Dua hari yang lalu juga aku duduk di sini.”
Liang Lin sepenuhnya tidak bisa berkata-kata lagi sekarang.
Dia tidak tahu bagaimana cara bereaksi.
Dia hanya berharap ada lubang di lantai untuknya lompat ke dalam.
Gu Ruichen tersenyum saat Liang Lin menundukkan kepalanya dan merona, keduanya tidka berbicara untuk beberapa waktu.
Akhirnya Gu Ruichen angkat bicara, “Pada hari saat kita bertemu di sini, kamu lari sangat cepat dan aku tidak punya waktu untuk meminta kontakmu. Jadi aku kemari lagi keesokan harinya untuk mencoba keberuntunganku, ingin lihat apa aku dapat bertemu denganmu lagi atau tidak.”
Wajah Liang Lin semakin memerah, tapi hatinya hampir meledak oleh kebahagiaan.
Gu Ruichen bahkan berpikiran sama dengannya!
“Kemudian, aku memang melihatmu. Tapi kamu berbalik dan tampaknya tidak menyadari keberadaanku. Jadi aku berkata pada diriku, aku akan kembali lagi besok dan melihat apakah aku dapat melihatmu lagi atau tidak.”
Liang Lin segera menatap Gu Ruichen dan berkata, “Bagaimana denganmu? Kenapa kamu tidak meneleponku? Bagaimana kalau besoknya aku tidak muncul? Atau besoknya lagi?”
“Aku punya nomor teleponmu.”
Sekali lagi, Gu Ruichen membuat Liang Lin syok.
Gu Ruichen melanjutkan, “Pada hari kita bertemu, aku menghabiskan sepanjang malam untuk menghubungi teman sekelas kita yang masih dapat kuhubungi, akhirnya aku mendapatkan nomor teleponmu. Itu keberuntunganku karena aku masih bisa melihatmu lagi keesokan harinya. Itu juga membuatku ingin melihat, kapan sebenarnya kamu baru akan bisa menyadari keberadaanku.”
Liang Lin berkata dengan putus asa, “Aku… aku tidak banyak berkontak dengan teman sekelasku yang lama…” Jadi, dia masih cukup bodoh untuk berkeliaran di jalan ini dan mencoba untuk bertemu pria ini lagi, sambil melihat ke sana kemari bagai orang gila?
Gu Ruichen tersenyum, “Tidak masalah, aku akan menemukanmu.”
Lalu Gu Ruichen berhenti dan berkata, “Hanya saja sebelumnya, aku tidak berani datang menemuimu.”
“Aku… aku baru saja melihat surat yang tertulis di buku itu kemarin. Aku tidak pernah tahu, maafkan aku,” Liang Lin merasa luar biasa canggung saat mengatakan tentan gini.
Gu Ruichen menggosok keningnya dan berkata, “Jadi meletakkannya di situ ternyata sebyah kesalahan besar. Aku rasa mungkin memenag tidak aman menuliskannya di buku catatan. Tapi saat aku meneleponmu setelahnya, kamu begitu acuh tak acuh dan aku yakin sekali aku sudah ditolak.”
Gu Ruichen mengerutkan bibirnya dengan menyedihkan dan melanjutkan, “Aku sedih untuk waktu yang lama.”
Liang Lin menggigit bibirnya untuk menahan senyum, kenapa dia tidak sadar sebelumnya kalau pria ini sangat suka mengeluh.
“Itu karena kamu tidak memperjelasnya.”
“Iya, iya. Ini salahku,” Gu Ruichen dengan murah hati membiarkan dirinya disalahkan atas kejadian itu, lalu dia berkata, “tapi saat aku melihatmu di sini keesokan harinya, aku tiba-tiba merasa, mungkin bukan itu masalahnya.”
“Kenapa?”
“Kamu mengenakan kacamataku,” Gu Ruichen tersenyum sombong, “setelah kacamataku rusak, aku mencari di banyak toko dan tidak bisa menemukan yang sama. Tapi kamu bisa menemukannya. Lensanya masih datar.”
Liang Lin tersipu dan meringis saat dia melihat Gu Ruichen mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor, lalu pria itu mengerutkan kening ringan dan berkata padanya: “Nyalakan.”
“Ah?” Liang Lin memang terdengar agak bodoh.
Gu Ruichen menggoyangkan ponsel di tangannya dan mengulanginya lagi, “Nyalakan.”
“Oh.”
Akhirnya Liang Lin mengerti dan mengeluarkan ponselnya dari tas, lalu menyalakannya.
Setelah itu, ponselnya berbunyi dan Gu Ruichen berkata padnaya, “Itu nomorku, simpanlah.”
Liang Lin mengangguk penuh semangat dan langsung menyimpannya.
Gu Ruichen menyodorkan sebuah ketas kecil, Liang Lin melihatnya dan itu adalah bungkus bekas gula yang telah dilipat menjadi bentuk hati.
Gu Ruichen tersenyum dan berkata, “Aku sudah menunggumu dengan sabar untuk menemukanku, aku harus mencari kesibukan untuk dilakukan.”
Liang Lin mengambil bentuk hati yang dilipat dengan cukup indah dan mendengar Gu Ruichen berkata padanya, “Itu hatiku, jadi tolong simpanlah.”
“Oh,” kali ini Liang Lin tidak bisa menahan tawanya, sepenuhnya memperlihatkan isi hatinya. Tapi kemudian dai berpikir dan berkata, “Bagaimana kalau aku sudah punya pacar?”
“Kamu sudah punya pacar dan masih memakai kacamataku?” Gu Ruichen tampak dapat melihat ke dalam diri Liang Lin.
Liang Lin harus terus menggertak, “Itu tidak baik.”
“Kamu tidak punya, aku sudah mencari tahu,” Gu Ruichen masih setenang biasanya.
Liang Lin menggigit bibirnya, tidak, dia harus mengambil inisiatif untuk sekali, “Kamu mau keluar denganku?”
Gu Ruichen tersenyum, lembut dan indah, “Kamu mencuri kalimatku.”
“Kalau begitu, kamu boleh ambil milikku. Gratis. Cepat jawab iya.”
Gu Ruichen meraih tangan Liang Lin dan menggenggamnya, “Kamu membuatku menunggu lama, sangat lama. Kalau aku tidak kembali karena pemindahan tugasku, kalau aku tidak melewati jalan ini di saat itu, mungkin kita akan melewatkan satu sama lainnya lagi.”
“Kamu masih belum menjawab iya,” Liang Lin masih sangat keras kepala untuk melihat hasil dari inisiatif pertama dalam hidupnya.
“Iya.”
Gu Ruichen tertawa dan menundukkan kepalanya untuk mengecup punggung tangan Liang Lin, “Kita tidak saling melewatkan kali ini, syukurlah.”