General Above, I Am Below - Chapter 9
Paginya, Xia Yujin dipaksa oleh Ye Zhao untuk bangun, lalu dengan diawasi oleh dua orang bandit wanita untuk mengenakan jubah rubah putih keperakan berhias kancing mutiara. Di kepala dia mengenakan mahkota dengan mutiara berwarna sama. Di sisi mahkota itu tergantung dua helai tali sutra yang terikat pada kumala putih. Kemudian sambil memeluk tungku penghangat kecilnya, Xia Yujin dengan sedikit menguap duduk di dalam kereta dan bersandar pada bantal empuk untuk kembali tidur.
Ye Zhao mengenakan gaun tipis berwarna hijau kebiruan dengan pola teratai dan sepatu salju berwarna gelap. Rambut panjangnya diikat sederhana memakai tusuk konde kumala berukir harimau. Sambil terkadang tangannya menyentuh pedang di pinggang, dia duduk tegak dengan penuh semangat. Ditatapnya orang menjengkelkan yang duduk di seberangnya, tak percaya bahwa lelaki itu akan bersikap baik dan berkompromi, juga tak tahu apa lagi yang akan dimainkannya.
Keretanya berhenti. Xia Yujin ditepuk-tepuk beberapa kali hingga terbangun. Wajahnya masih kelihatan agak masam.
Ye Zhao masih mengawasi tindak-tanduknya dengan seksama.
Dalam Keluarga Ye, tidak ada sanak saudara yang generasinya sebaya, jadi hanya ada beberapa pengurus rumah tua yang berbaris menyambut mereka.
Dengan wajah tenang Xia Yujin turun dari kereta, menatap sekeliling, dan sekonyong-konyong tersenyum lebih cerah daripada mentari. Dengan sikapnya yang sopan dan ramah, bila orang tak mengenalnya, mereka apsti akan mengira kalau orang ini adalah lelaki yang baik dan terhormat.
LElaki itu juga berdiri berdampingan dengan Ye Zhao. Meski mereka tak bergandengan tangan, tetap saja tampak cukup intim.
Keluarga Ye yang muncul untuk menyambut merasa agak lega, masing-masing maju dan berusaha menyaingi yang lain dalam menyambut sang menantu laki-laki, sambil diam-diam meliriknya, seolah berusaha menemukan sesuatu. Setelah itu mereka kembali untuk melapor.
Xia Yujin merasa bingung. Saat mereka berjalan menuju aula utama, diam-diam dia bertanya kepada Ye Zhao, “Sudah lewat beberapa hari sampai akhirnya kau kembali. Apa mereka tak khawatir kalau aku memperlakukanmu dengan buruk?”
Ye Zhao tampak ragu sesaat sebelum kemudian hanya bersuara, “En.”
“Kenapa?” Qiu Hua tersenyum riang dan berceloteh, “mereka cemas kalau Jenderal akan memukulimu di malam pernikahan dampai kau tak bisa bangun dari ranjang. Sekarang karena kau selamat, mereka akhirnya merasa lega. Ai… kau tak tahu bagaimana rumor-rumor yang beredar….”
“Diamlah,” Ye Zhao buru-buru menghentikannya, “sebelum kau membiarkan sikapmu jadi makin tak terkendali dan melanggar lebih banyak lagi peraturan.”
Qiu Hua menutup mulutnya, tak lagi bicara.
Xia Yujin yang ingin mendapat kepastian pun bertanya serius, “Apa bunyi rumornya?”
Ye Zhao mendesah, “Lebih baik kau tak tahu.”
Di dalam aula, Kakek Tua Ye yang rambutnya sudah memutih seluruhnya sedang memegang tongkat berjalan panjang dan duduk di kursi tertinggi. Pria tua itu melihat mereka berjalan masuk dan teringat akan rumornya. Diketukkannya tongkat berjalan itu ke kepala Ye Zhao dan mengomel, “Sejak kecil sampai dewasa, kau hanya tahu bersikap agresif! Juga tanpa memandang betapa lembut kulit istrimu, kau tetap saja jadi penindas!” Kemudian dengan begitu mesra berkata kepada Xia Yujin, “Kalau Ah Zhao berani berbuat kasar lagi padamu, datang dan mengadulah pada kakek ini. Lihat bagaimana aku akan memukul kepala babinya itu!”
Wajah Xia Yujin berkedut beberapa kali. Lalu dengan masih mempertahankan senyum di bibir, dia pun mengangguk berkali-kali.
Ye Zhao mengusap kepalanya dan berkata ragu, “Aku tak menindasnya.”
“Kau piker kakek tua ini tak tahu sifatmu?!” Kakek Ye berkata cepat. Terengah akibat marah, dia meneruskan, “Buku-buku hanya akan masuk ke perut anjing, apalagi setelah sepanjang hari cuma tahu berkelahi, memangnya ada yang bisa kau lakukan dengan benar? Aku tak tahu siapa yang bisa tahan denganmu. Tunggu saja sampai ayahmu pulang dari Gurun Utara! Aku akan menyuruhnya untuk mengajarimu dengan benar.”
Xia Yujin tak mengerti dan menyela untuk bertanya, “Gurun Utara? Bukankah ayahmu….”
“Sudah meninggal,” suara Ye Zhao berubah jadi begitu lembut tak seperti sebelumnya. Wanita itu berbisik pelan, “Kakekku hanya lupa tentang kehancuran Gurun Utara, juga lupa tentang malam saat ayah dan kedua kakakku gugur saat berjuang dalam perang. Dia bahkan lupa kalau aku adalah wanita. Sekarang satu-satunya tujuan dia hidup adalah menunggu mereka kembali.”
“Kau tak bilang padanya?”
“Tak ada gunanya, dia takkan mau dengar. Mungkin dia memang sengaja melupakannya supaya bisa hidup selamanya dalam dunia ilusi dan tak pernah terbangun lagi, agar tak membuatnya menderita.”
“Bagaimana denganmu?”
“Sekarang semua ini sudah menjadi masa lalu.”
Si pria tua terus menggerutu kepada cucunya, “Kakak tertuamu juga ditempatkan di perbatasan. Kakak iparmu juga sudah bekerja keras. Aku sudah menulis surat kepadanya, menyuruh dia pulang bersama adiknya. Kita akan merayakan tahun baru bersama, lalu mengundang kakek paman ketigamu. Si tolol tua itu, dia selalu ingin bertengkar denganku, tapi aku juga sedikit merindukannya.”
Ye Zhao meresponnya dengan terus tersenyum.
Xia Yujin hanya bisa terdiam.
Dalam ingatannya yang samar-samar, dia teringat bahwa enam tahun yang lalu para pengungsi yang kabur dari Gurun Utara telah menceritakan kejadiannya; seluruh Keluarga Ye hampir dimusnahkan, pasukan Keluarga Ye yang mempertahankan perbatasan dibantai. Di dalam kota, tulang belulang menumpuk seperti gunung, tengkorak disusun membentuk pagoda, darah merah menodai jalanan. Yang laki-laki kehilangan kepala, yang wanita kehilangan kesucian, anak-anak tak lagi menangis, mereka yang bertahan hidup selamanya dihantui mimpi buruk.
Orang yang tak pernah mengalami pembantaian manusia semacam ini, takkan mampu membayangkan kengerian semacam ini sebagai neraka.
Xia Yujin tak bisa menahan diri untuk menatap Ye Zhao. Ekspresi di wajah wanita itu masih seteguh besi. Apakah dia tak lagi merasa sedih, atau perasaannya telah menjadi kebas? Bagaimana caranya tumbuh dewasa? Apakah dia pernah bersikap lembut? Apakah dia pernah nakal? Pernahkah dia merasa dicintai? Membenci? Atau merindukan?
Setitik rasa pedih, sedikit rasa gelisah muncul di hatinya.
Xia Yujin mendapati bahwa dirinya tak bisa memahami sang Jenderal.
Namun dua orang yang saling membenci memang sukar untuk dipersatukan dengan cepat….
Benar-benar tak cocok menjadi pasangan.
Siapa yang mau memahami siapa?
“Yujin? Yujin? Ini adalah putra-putra kakakku.”
Beberapa kali panggilan dari Ye Zhao menariknya keluar dari meditasi. Xia Yujin mendapati bahwa di hadapannya kini berdiri seorang nyonya yang tampak lembut dan bermartabat tengah menggandeng dua orang anak. Yang satu berusia sepuluh tahun dan satunya lagi delapan tahun. Keduanya menatap Yujin tanpa mengedip kemudian berpaling kepada Ye Zhao. Ye Zhao cepat-cepat mengenalkan, “Yang lebih tua adalah Ye Siwu, adiknya adalah Ye Nianbei. Mereka berdua adalah sepasang setan cilik.”
Ye Nianbei lah yang pertama memeluk Ye Zhao dan berseru, “Paman Ah Zhao, aku sangat merindukanmu!”
Ye Siwu berdiri di sampingnya dengan cemberut dan berkata, “Ah Zhao jelas-jelas adalah bibi kita! Kau ini sudah besar tapi masih begitu manja, benar-benar memalukan.”
Ye Nianbei memasang muka jelek pada kakaknya lalu tertawa dan terkagum-kagum memandangi Xia Yujin, “Paman Ah Zhao, lelakimu cantik sekali!”
“Belajarmu masih kurang keras, lelaki seharusnya disebut ‘tampan’!” Ye Siwu lumayan hebat untuk anak seumurannya, “Bibi Ah Zhao, terakhir kau telah mengajariku permainan pedang. Aku sudah selesai melatihnya, nanti akan kutunjukkan padamu!”
“Bagus! Inilah bagusnya laki-laki dari keluarga Ye,” Ye Zhao mengiyakan dengan gembira, “jangan hanya terfokus pada ilmu beladiri, nanti juga harus mengundang guru untuk menjarimu ilmu pengetahuan.”
Huang-shi menyahut, “Benar, aku sudah akan mengundang Tuan Wan Renjie untuk mengajar. Kudengar pengetahuan akademisnya sangat hebat.”
“Sama sekali tidak boleh,” Xia Yujin tak tahan untuk menyela percakapan mereka, “Si Wang Renjie itu, meski pengetahuannya tinggi, sebenarnya dia adalah orang munafik yang sok suci. Dia menyimpan tiga atau empat kekasih di luaran, melakukan perzinahan lalu mengabaikan mereka tidak hanya beberapa kali saja. Sejumlah uangnya juga berasal dari sumber haram, hanya saja dia mampu menutupinya dengan sangat baik. Orang biasa tak mengetahui hal ini. Orang semacam ini diminta mengajari anak-anak, apa tidak takut kalau dia akan mengajari mereka hal-hal tidak baik?”
Ye Zhao bertanya, “Bagaimana kau tahu?”
Xia Yujin agak malu saat berkata, “Aku sering bermain ke luar… meski hal-hal biasa aku kurang, aku paling tahu tentang kabar-kabar mengenai orang-orang paling tengil di ibukota… Ye Zhao baru datang dari Gurun Utara dan tak mengenal tempat ini, kakak iparmu juga adlah wanita yang terhormat. Beberapa hal tidak pantas untuk diketahui, jadi bukan hal aneh bila aku lebih tahu. Menurutku, kalau kau ingin mencari seorang guru, undanglah Tuan Ma Rongchun. Meski reputasinya tak sehebat Wang Renjie, tapi pengetahuannya sangat bagus, telaten dalam mengajar, bermoral bagus, dan tak punya kebiasaan buruk. Saat Ye Zhao kembali ke ibukota, dia benar-benar mengagumi tekadmu untuk menggantikan ayahmu di medan perang. Dia bahkan telah membuat puisi untuk memujimu. Aku yakin kalau kau mengirimkan kartu undangan, dia pasti akan bersedia mengajari anak-anak.”
Huang-shi begitu senang mendengarnya dan mengucapkan terima kasih. Diam-diam ditariknya Ye Zhao ke pinggir dan menasihati, “Ah Zhao, sejak kecil kau itu punya perangai yang tidak sabaran. Setelah menikah kau harus berlatih menahan diri, jangan memukul lelakimu.”
Kata Ye Zhao, “Sebelum aku menikah kau sudah mengatakan ini berkali-kali.”
Huang-shi menasihati dengan sungguh-sungguh, “Meski dia tak berguna, kau juga tak boleh memukulnya.”
“Aku akan memperhatikannya.”
“Benar, kulihat hatinya tidak jahat juga,” Huang-shi merasa lega, “Kau sangat kuat dan tubuhnya sangat lemah. Kalau tanpa sengaja kau memukulnya sampai mati, apa yang akan kau lakukan?”
Ye Zhao menatap Xia Yujin dan mengangguk serius. “Tenang saja, aku takkan memukulnya.”
Xia Yujin bersin-bersin beberapa kali, menggosok hidungnya, lalu melanjutkan obrolannya seputar kehidupan sehari-hari dengan Kakek Ye. Selama dia tak berencana mencelakai siapapun, sebenarnya Xia Yujin adalah ahlinya membuat orang senang. Dia hanya perlu mengatakan beberapa hal dan Kakek Ye sudah tak bisa berhenti cengar-cengir dan terus memanggil ‘menantu laki-laki yang baik’ atau ‘menantu perempuan yang baik’. Kakek Ye hanya membenci kenyataan bahwa dia tak bisa menahan cucu menantunya itu untuk tinggal beberapa hari lagi demi menemaninya menghilangkan rasa bosan.
Saat waktu pulang ke rumah sudah tiba, suasana hati Xia Yujin jadi sangat baik. Kakek Ye sendiri yang mengantarnya ke pintu gerbang. Di hadapan orang banyak, pria tua itu memandanginya sambil tersenyum dan berkata, “Oh, jaga dirimu setelah kembali ke rumah.” Lalu sang Kakek mengayunkan tongkat berjalannya pada Ye Zhao, “Jangan pukuli istrimu lagi! Kalau tidak aku takkan menganggapmu sebagai cucu laki-lakiku!”
Xia Yujin tersandung, nyaris jatuh ke atas salju.
Ye Zhao buru-buru menangkap tangannya. Melihat wajah Xia Yujin sudah menghitam, bergegas Ye Zhao mendorongnya ke dalam kereta, membiarkan Huang-shi yang memberi penjelasan, kemudian berteriak kepada kusir untuk pulang ke rumah.
Di perjalanan, suasana di antara keduanya jadi begitu berat. Terutama wajah Xia Yujin yang hampir sehitam pantat kuali.
Ye Zhao berkata pelan, “Cerita itu… hari ini kau melakukannya dengan sangat baik. Untuk kepentingan keponakanku, terima kasih.”
Xia Yujin tak menatapnya.
Ye Zhao berusaha menenangkannya. “Apa pergelangan tanganmu masih sakit?” sayangnya, wanita itu tak pandai dalam urusan memedulikan orang lain. nada suaranya begitu aneh, entah kenapa terdengar ironis.
Xia Yujin menatap pergelang tangannya yang memar karena kemarin dicengkeram oleh Ye Zhao dan merasa semakin frustrasi. Teringat kembali tentang hal yang telah dikatakan Hu Qing kepadanya, kesediaan sang Jenderal untuk menikahinya mungkin karena sosoknya sangat rupawan, tak punya kemampuan, tak berguna, dan amat sangat mudah dimanipulasi. Hatinya menggelap oleh kebencian. Hati yang tadinya sedikit melembut, kini sekali lagi lenyap sepenuhnya.
Lelaki itu menatap Ye Zhao dan tersenyum, matanya berkilauan. “Apa yang telah kau minta untuk kulakukan, aku sudah melakukannya. Apa ini cukup untuk menyelamatkan muka keluargamu?”
Ye Zhao bergerak agak mundur. Jawabnya, “Ya, nanti-nanti juga harus bersikap seperti ini.”
“Sebenarnya kita punya hubungan yang buruk. Jangan sampai para tetua kita merasa khawatir. Hanya saja…,” Xia Yujin meminta dengan hati-hati, “aku akan memberi muka pada keluargamu. Bukankah kau seharusnya juga memberi muka pada keluargaku?”
Ye Zhao berpikir sesaat dan berkata, “Memang seharusnya begitu. Kalau ada hal yang bisa kulakukan untuk membantu, katakan saja.”
“Bantuan tidak diperlukan,” Xia Yujin mulai memainkan tungku penghangat kecil di tangannya dan perlahan berujar, “kemarin, ibundaku menangis dan berkata padaku bahwa orang-orang di luaran membuat lelucon bahwa menantunya begitu sombong dan tidak berbakti hingga membuatnya kehilangan muka. Dia bahkan tak berani keluar rumah. Jadi mulai kunjungan pagi besok, layanilah dia di samping selayaknya seorang menantu perempuan. Lakukan sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Layani dia makan, ajak mengobrol soal urusan rumahtangga, dan hentikan sikapmu yang tidak jelas itu.”
Ye Zhao menjadi benar-benar kaku.
Xia Yujin tertawa seperti rubah kecil yang berhasil menjalankan siasatnya. “Ah, Jenderal, aku percaya kau bisa melakukannya.”