Grave Robber Chronicles - Chapter 42
Wajah keji raksasa ini ukurannya hampir empat atau lima kali lipat dari kepalaku, tapi tubuhnya masih tersembunyi di balik pintu baja, jadi aku tak tahu seberapa besar dia sebenarnya. Cahaya yang menyorot masuk dari lubang di dek tidak terlalu terang, jadi aku juga tak bisa melihat fitur wajahnya dengan jelas. Aku tak tahu apakah makhluk ini adalah hantu atau binatang, tapi wajah ini sungguh menakutkan, terus terbayang, dan ganjil tak terperi.
Aku menatap nanar padanya, sekujur tubuhku mati rasa dari kulit kepala hingga tumit. Aku begitu ketakutan sampai hampir tak bisa bernapas dan kaki sialanku mulai terasa selemas mi. Aku berjuang untuk mundur beberapa langkah dan kemudian teringat kalau si wanita masih tergeletak di lantai. Meski aku tak begitu menyukai dia, aku juga tak bisa meninggalkan dia di sini untuk mati.
Aku membalikkannya dan mendapati kalau kedua tangan keriput itu sudah menghilang lagi, tapi saat ini aku tak sempat mencemaskannya. Kalau ketinggian airnya naik lagi, kepalanya akan terbenam dan dia akan berakhir tenggelam. Aku menempatkan tanganku di bawah ketiaknya dan mulai menariknya mundur ke sisi lain lambung kapal di mana aku tahu kalau di sana ada tangga yang mengarah ke dek. Asalkan aku bisa menariknya hingga naik ke dek, aku bisa melompat ke dalam laut ataupun memanggil bala bantuan – pilihan mana pun tetap lebih baik daripada situasi yang kami hadapi saat ini.
Ketika aku berjalan dengan kaki gemetaran, aku terus berpikir dalam hati, tenang, tenang. Saat kau bertemu dengan situasi ekstrim, kau harus tenang dengan ekstrim. Aku terus bergerak mundur sedikit demi sedikit, tak berani mengalihkan pandanganku dari wajah mengerikan itu.
Si monster menatap acuh tak acuh kepadaku seraya terus diam tak bergerak. Untuk sesaat, satu-satunya suara yang kudengar adalah gemuruh air. Kalau makhluk ini membuat suatu gerakan, seperti memutar kepalanya atau membuka mulutnya, aku mungkin akan merasa lebih tenang, tapi ketua matanya terus menatap lurus ke arahku. Ketika aku menatapnya, aku jadi semakin dan semakin ketakutan. Ini terlalu abnormal, batinku dalam hati, tapi karena sekarang kau tidak bergerak, kau harus terus seperti itu. Jangan tunggu sampai aku mencapai dekat puncak tangga untuk menerkamku.
Kusadari kalau aku tak bisa berhenti memandanginya, jadi aku menundukkan kepalaku dan meningkatkan kecepatan. Tetapi setelah menyeret wanita itu hingga ke dasar tangga, aku melirik ke atas dan membeku – tangganya sudah sangat membusuk sampai-sampai hanya tersisa kerangkanya. Aku tak tahu apakah aku sendiri bisa memanjatnya, apalagi membawa seorang wanita yang sudah setengah mati menaikinya. Aku melihat ada sedikit sisa anak tangga logam yang masih menempel pada kerangkanya, jadi aku meraih sebelah tangan si wanita dan berusaha memanjat naik. Tetapi sisa logam itu langsung patah begitu aku menginjaknya, logamnya rontok seperti lumpur lembek.
Ini adalah masalah. Aku melirik ke belakang, tapi untungnya, monster itu sangat sabar dan masih tak bergerak. Saat ini aku berada di dalam bayang-bayang dengan satu sumber cahaya (lubang di dek) memisahkan kami, jadi semua yang bisa kulihat hanyalah garis luar samar-samar. Merasa jauh lebih lega, aku menyandarkan si wanita ke atas dinding, menggertakkan gigiku, dan kemudian melompat dengan segenap kemampuanku, memberitahu diriku sendiri bahwa aku harus memanjat keluar duluan.
Sayangnya, lenganku panjang tapi aku tak punya tenaga sama sekali. Aku berakhir mengalami dua kali kegagalan. Aku bukan hanya gagal memanjat naik tapi juga berhasil jatuh tepat di wajahku, rasa sakitnya cukup untuk membuatku mengalirkan air mata. Merasa sangat jengkel, aku memikirkannya dalam waktu lama tapi rasanya tak mampu menghasilkan cara untuk keluar dari kondisiku saat ini. Karena kebiasaan, aku memutar kepalaku untuk melihat apakah monster itu masih ada di tempatnya, tapi sebenarnya akan lebih baik kalau aku tidak melakukannya – begitu aku menolehkan kepalaku, tiba-tiba aku melihat makhluk raksasa itu berdiri di belakangku, wajahnya begitu dekat sampai-sampai nyaris menyentuh wajahku. Aku begitu syok hingga mengeluarkan teriakan ngeri.
Tiba-tiba melihat ke belakang dan melihat seseorang berdiri diam-diam di belakangmu saja sudah cukup menakutkan, tetapi melihat wajah semengerikan itu merupakan suatu pengalaman mengerikan yang sungguh tak terkatakan. Begitu aku berteriak, tanpa sadar aku melangkah mundur dan menempelkan diriku sendiri pada dinding.
Pada saat ini, akhirnya aku bisa melihat seperti apa wujud makhluk itu, dan suatu pemikiran mendadak melintas dalam benakku. Saat aku masih kecil, aku pernah mendengar seorang teman sekelas yang berasal dari pantai berkata bahwa nelayan di desa mereka pernah menangkap suatu makhluk aneh yang tampak seperti manusia tapi tubuhnya tertutup sisik. Ketika dia membawa makhluk itu pulang ke desa, tak ada seorang pun yang tahu makhluk apa itu. Belakangan, mereka memanggil seorang tetua di desa untuk datang dan melihatnya. Ketika tetua ini melihat makhluk tersebut, dia begitu ketakutan sampai-sampai hampir jatuh ke tanah saking ngerinya. “Lepaskan dia!” Sang tetua berseru kepada mereka. “Cepat! Ini adalah monyet laut! Kalau kita menunda lebih lama lagi, monyet-monyet laut lainnya akan datang mencarinya dan sesuatu yang mengerikan akan terjadi!”
Tetapi begitu si nelayan mendengar bahwa makhluk ini sangat berharga, dia pun mendapat ide untuk memelihara dan menjualnya di kota. Dia memberitahu para penduduk desa bahwa dia telah melepaskannya, tapi sebenarnya menyembunyikan makhluk itu di dalam rumahnya sendiri. Sebagai hasilnya, keesokan harinya seluruh keluarga si nelayan menghilang. Para penduduk desa menyadari ada sesuatu yang salah dan mencari selama dua hari penuh sebelum akhirnya menemukan mayat istri si nelayan di dasar sebuah tebing di tepi laut. Perutnya telah dikoyak terbuka dan organ-organ dalamnya telah dimakan habis hingga tak tersisa.
Ketika si tetua melihat hal ini, dia berkata bahwa monyet-monyet laut yang lain telah datang untuk membalas dendam. Dia memanggil seorang ahli feng shui, memasang altar persembahan di pantai, menaruh banyak kepala babi dan domba di atasnya, dan kemudian menggelar ritual selama beberapa hari sebelum akhirnya semua masalahnya berakhir.
Teman sekelasku sangat pandai menggambar, jadi dia membuat gambar monyet laut itu untuk menunjukkan kepadaku seperti apa wujudnya. Gambar itu sangat realistis sehingga meninggalkan kesan sangat besar dalam benak mudaku dan aku tak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari. Kesannya begitu mendalam, sebenarnya, sampai-sampai makhluk itu adalah hal pertama yang kupikirkan ketika aku melihat apa yang berdiri tepat di hadapanku. Aku hanya tak menyangka kalau yang disebut sebagai monyet laut ini ternyata begitu besar.
Ketika ingatan-ingatan itu melintasi benakku, si monster masih tak bergerak sedikit pun. Dia hanya menatap si wanita yang bersandar di dinding dengn penuh minat, air liur menetes-netes dari mulutnya. Untung saja, si wanita belum sadarkan diri; kalau tidak, takutnya dia akan dibuat ketakutan sampai mengompol.
Aku memaksa diriku agar tetap tenang seraya terus menekankan punggungku kuat-kuat ke dinding. Dindingnya terbuat dari papan kayu yang sudah sangat rapuh dan membusuk, yang memberiku sebuah ide. Asalkan aku terus menekannya kuat-kuat, aku pasti akan bisa membuat lubang di dinding. Dengan begitu, kalau si monyet laut berusaha menerjangku, aku juga punya ruang untuk mundur. Terlebih lagi, area di belakang dinding adalah buritan kapal, jadi semestinya ada banyak peralatan mekanis di sana. Aku cuma tak tahu apakah aku akan bisa menemukan sesuatu yang bisa kupakai sebagai senjata.
Sementara benakku berputar liar, tiba-tiba aku mendengar beberapa suara berderak yang datang dari dek. Tampaknya ada orang lain yang telah menaiki kapal ini. Tapi tepat ketika aku sedang bertanya-tanya siapa orang itu, kuliaht Zhang Botak melompat turun dari lubang pada dek. Begitu si idiot ini mendarat, dia mengangkat pistolnya dan menatap cemas pada pintu baja. Kemudian dia berbalik dan tiba-tiba berseru ngeri, “Astaga!”
Si monster berbalik ketika mendengar teriakan itu, melihat Zhang Botak, dan tiba-tiba mengeluarkan pekikan luar biasa berduka sebelum merundukkan tubuhnya dan menerjang lurus ke arah orang itu. Refleks si Zhang Botak itu sangat bagus dan dia bereaksi nyaris seketika itu juga – dia menjatuhkan diri ke lantai untuk menghindari terjangan pertama, menarik kunci pistol dengan suara menceklik, dan kemudian menembak. Si monster mengeluarkan erangan teredam ketika peluru menghujam bahunya, rasa sakit membuatnya terjajar membentur dinding. Zhang Botak menembak beberapa kali lagi secara sembarangan, hampir semuanya menyasar dekat dengan kepalaku. Aku begitu ketakutan sampai-sampai langsung merundukkan kepalaku.
Si monyet laut sangat pintar. Begitu dia menyadari kalau pistol ini sepertinya sangat kuat, dia tak berani lagi menerjang maju. Alih-alih, dia berpura-pura menyerang tapi kemudian tiba-tiba melakukan beberapa kali lompatan secepat kilat, melayang di atas kepala Zhang Botak, dan kemudian bergegas mundur melewati pintu baja lalu membantingnya hingga menutup.
Pistol Zhang Botak mengikuti gerakannya, meninggalkan sebaris lubang peluru di dinding. Air laut langsung mulai mengalir masuk, tapi kali ini ketinggian airnya naik dengan jauh lebih cepat. Zhang Botak mengabaikan hal ini, perhatiannya hanya terpusat pada membunuh makhluk itu. Dia menembak dua kali lagi untuk menghancurkan engsel-engsel pintunya dan kemudian maju lalu menendang pintunya hingga terbuka. Aku berlari ke belakangnya untuk memeriksa dan melihat sebuah lubang di dasar kapal di mana air terus-terusan meluap masuk. Si monster berusaha menjejalkan tubuhnya melewati lubang itu. Begitu aku melihat lubang ini, aku tahu kalau pasti inilah kerusakan yang terjadi ketika kecelakaannya terjadi pada waktu itu. Lubang inilah yang telah menyebabkan kapalnya tenggelam, tapi kini lubangnya hanya seukuran mangkuk setelah tertutup oleh sejumlah besar karat laut.
Si monster luar biasa kuat, jadi pada saat Zhang Botak mengangkat pistolnya, makhluk itu sudah memakai kepalanya untuk menghasilkan sebuah lubang yang cukup besar untuk dilewati tubuhnya dan kemudian dia pun menghilang ke dalam laut di bawahnya.
Zhang Botak masih tak mau menyerah dan menembak beberapa kali lagi ke dalam air. Namun saat ini, seluruh kapal mengerang seakan sudah hampir patah. Aku mengedarkan pandangan dan melihat kalau air sudah mencapai lututku – kita tak bisa tinggal di sini lebih lama lagi, kita harus pergi sekarang juga. Zhang Botak berlari ke belakang dan mengguncang si wanita beberapa kali sambil berseru, “Ning, Ning!” Melihat si wanita tak merespon, dia pun menaruh wanita itu ke punggungnya, memakai punggungku sebagai pijakan, dan kemudian melompat gesit ke atas dek. Aku nyaris muntah darah ketika dia menginjakku dan pinggangku seraya telah dipatahkan jadi dua, tapi aku masih bisa mengulurkan tangan ketika kulihat dia membungkuk ke arahku, mengulurkan tangan kepadaku, lalu menarikku naik.