Grave Robber Chronicles - Chapter 43
Begitu aku ditarik naik ke dek, kapal hantunya menghasilkan suara mengerang ganjil seakan ada sesuatu yang besar menabraknya. Aku mengedarkan pandangan dan mendapati kalau bagian depan dan belakang kapal ini ada di dua tingkat yang berbeda. Gawat, batinku dalam hati saat aku buru-buru melirik pada lambung kapal. Benar saja, lunasnya patah.
Kalau lunasnya patah, maka berarti lambungnya pasti akan retak. Terlebih lagi, kapal ini sudah memiliki retakan yang sangat mematikan, di mana air laut menyembur melewatinya dalam arus kencang gila-gilaan. Kurasa kapal ini akan sepenuhnya terbenam dalam waktu kurang dari lima menit.
Wajah Zhang Botak pucat karena gugup ketika dia berkata, “Akhirnya kapal kita datang. Cepat kita keluar dari sini. Yang lainnya bisa menunggu nanti saja.”
Aku melihat ke belakang dan mendapati bahwa kapal pemancing yang awalnya kami naiki sudah berada sangat dekat dan sang kapten melambai kepada kami seraya berseru, “Kalian tak apa-apa?”
Zhang Botak menaruh wanita itu ke punggungnya dan melambai ke arah kapal pemancing. Para kru kapal bersorak kencang dan kemudian menyalakan mesin supaya mereka bisa lebih mendekati kami. Beberapa orang kru yang ada di atas dek berseru gembira pada kami tapi aku tak mau repot-repot berusaha memahami apa yang mereka katakan. Sebelumnya mereka telah dibuat begitu ketakutan sehingga lebih dekat pada onggokan lumpur ketimbang manusia, tapi sekarang mereka berteriak-teriak heboh. Para nelayan sederhana ini sungguh berbeda dari kami.
Setelah dimasuki begitu banyak air, kapal hantu ini sudah cukup memelan sehingga kapal kami bisa maju hingga persis ke sebelahnya. Beberapa orang anggota kru melompat kemari – masih tampak ngeri – dan berjuang untuk membawa si wanita kembali ke kapal kami sebelum buru-buru menarik kembali jangkarnya. “Ayo pergi, ayo pergi!” si kapten berteriak. “Ayo menyingkir dari tempat terkutuk ini!”
Si kapten meminta kami meletakkan si wanita ke atas dek, mengisyaratkan padaku agar memeganginya, lalu kemudian menyibakkan rambutnya ke samping.
Aku sudah mempersiapkan mentalku, tapi ketika aku melihat benda itu lagi, aku tak bisa menahan diriku dari terperangah syok. Kedua tangan keriput itu meringkuk di dalam rambutnya, dan kini ketika aku bisa melihatnya dengan jelas, aku mendapati kalau ukurannya tak terlalu panjang, kulitnya tampak sudah mengeras, dan keduanya tumbuh dari sebuah onggokan yang mirip dengan sarkoma. Tapi hal yang paling menjijikkan adalah bahwa ada sebentuk wajah manusia kecil tidak jelas yang tumbuh di permukaan sarkoma itu. Aku tak tahu bagaimana hal ini mungkin, tapi entah bagaimana wajah itu menempel erat pada bagian belakang kepala si wanita.
Ketika sang kapten melihat ini, ekspresinya jadi sangat serius. Dia kemudian berkowtow beberapa kali pada benda itu, menarik keluar sesuatu dari dalam kantongnya, lalu menaburkannya di atas wajah kecil itu, yang tiba-tiba mengeluarkan pekikan menusuk dan mulai berpilin. Sang kapten langsung mencabut sebilah pisau, dengan seksama tapi cepat menyelipkannya di antara sarkoma itu dan kulit kepala si wanita, mengangkat sarkoma itu, dan kemudian menyentaknya hingga lepas.
Benda itu jatuh di atas dek dan mulai menggeliat-geliut, membuat semua orang yang menonton mundur beberapa langkah dengan ketakutan. Beberapa saat kemudian, benda itu meleleh menjadi onggokan seperti pasta yang mengalir turun lewat celah-celah di antara papan-papan dek. Aku tak pernah melihat sesuatu yang seperti ini sebelumnya dan mulai bertanya, “Ini adalah – ”
“Ini adalah iblis wajah,” si kapten berkata pelan seraya membersihkan pisaunya dengan air laut. “Ini adalah hantu dari seseorang yang mati penasaran ketika berada di atas kapal hantu itu. Kalau kau menaburkan rambut sapi di atasnya, seharusnya semuanya akan baik-baik saja.”
Aku bisa lihat dari ekspresi di wajah sang kapten bahwa dia sudah menyesal karena menerima pekerjaan ini. Dia menggumamkan sesuatu dari sela-sela napasnya, memeriksa untuk memastikan bahwa tak ada benda lain di dalam rambut wanita itu, dan kemudian mengeluarkan perintah kepada orang-orangnya sebelum berjalan menuju buritan. Sesaat kemudian, kapal pun mulai bergerak lagi.
Pada saat ini, laut akhirnya sudah kembali tenang. Meski awan-awan gelap masih menggantung di langit, awan-awan itu sudah mulai berpencar menjadi petak-petak lebih kecil. Matahari bersinar melewati celah-celah pada awan, menghasilkan pemandangan yang sangat ajaib. Sepertinya badai sialan ini akhirnya telah berlalu.
Setelah kami selesai membaringkan wanita itu, si kapten memanjat naik ke dek atas kapal dan aku tahu kalau dia berniat mengamati sekeliling kami. Bagaimanapun juga kera-kera laut itu sangat pendendam, jadi tak ada yang tahu apakah dia akan mengikuti kami untuk membalas dendam. Tetapi perairan di Xisha sangat jernih, dan ketika cahayanya bagus, kau bahkan bisa melihat ke bawah permukaan laut hingga kedalaman lebih dari empat puluh meter. Kalau ada sesuatu yang mengikuti kami, kami pasti akan bisa langsung melihatnya, jadi aku tak terlalu cemas kalau hal semacam itu akan terjadi.
Begitu semua orang kembali bekerja, mereka pun sibuk berlarian ke sana-kemari sehingga mereka sepenuhnya mengabaikan aku. Sebelumnya aku telah menggunakan banyak tenaga, dan kini ketika aku sudah kembali tenang, aku mulai merasa ngantuk. Aku menemukan tempat yang cukup empuk untuk berbaring dan tidur sebentar. Saat aku terbangun, kudapati langit sudah menggantung rendah di sisi barat dan kapal kami berlayar menyusuri pantai sebuah pulau. Aku melihat sebuah pantai berpasir putih yang sangat indah tapi tampaknya pasirnya relatif kasar dan mungkin takkan nyaman untuk diinjak. Di depan kami terdapat dermaga, yang sepertinya adalah tujuan kami.
Aku telah berpikir kalau kami akan langsung pergi ke area pencarian berikutnya, jadi aku kaget ketika mendapati bahwa kami malah menepi secepat ini. “Sekarang ini kita ada di mana?” tanyaku sekenanya.
“Ini adalah Pulau Yongxing,” seseorang di dekatku menjawab. “Kita kemari untuk menjemput beberapa orang.”
Aku memutar kepalaku dan melihat kalau si wanita sedang duduk di sebelahku. Sekarang wajahnya tampak lebih berwarna dan sepertinya dia baru saja bangun tidur. Aku tak punya pertahanan diri ketika berhadapan dengan wanita, jadi meski dia masih tampak tidak sehat, aku tak bisa menahan diri untuk berpikir kalau dia masih sedikit seksi. Aku tersenyum dan bertanya kepadanya, “Siapa yang akan kita jemput?”
Dia menunjuk ke dermaga di kejauhan, di mana samar-samar sekelompok orang yang membawa tas-tas bepergian bisa terlihat, “Itu mereka. Ada beberapa orang penyelam dan seorang konsultan, sepertimu. Aku yakin kalian saling mengenal.”
Aku menatap seksama pada sosok-sosok itu, rasanya seperti ada satu sosok gemuk familier di antara mereka, tapi aku tak bisa ingat siapa dia. Pada saat ini, salah seorang anggota kru yang berdiri di haluan tiba-tiba berseru, “Ahoy! Bersiap! Kami di sini!”
Sosok gemuk itu berbalik dan memaki, “Ahoy, persetan! Aku sudah duduk di sini kena angin baratlaut selama setengah jam! Kalian itu sadar waktu nggak sih?”