Grave Robber Chronicles - Chapter 44
Meski aku agak terkejut, aku sudah menerka kalau hal ini mungkin memang akan terjadi. Dari semua orang yang pernah pergi ke Istana Tujuh Bintang Lu, Da Kui sudah mati, Paman Ketiga menghilang, Pan Zi koma, dan hidup matinya Muka Datar tidak diketahui. Yang tersisa tinggal aku dan si pria gemuk. Organisasi ini jelas akan menyiapkan rencana cadangan untuk berjaga-jaga, jadi kuterka kandidat pertama mereka adalah si pria gemuk dan aku semestinya adalah cadangannya.
Kapalnya menghampiri dermaga tanpa menurunkan kecepatan. Si pria gemuk itu sudah semakin gemuk saja dalam waktu beberapa hari aku tak melihat dia, tapi dia masih sama gesit dengan sebelumnya. Mengikuti sekelompok orang itu, dia melompat ke atas kapal dan berlari maju beberapa langkah sebelum berhenti. Ketika dia melihatku, dia tertawa riang, “Sobat muda, kau juga ada di sini. Tampaknya Nona A Ning kita ini masih cukup populer.”
Si wanita memberinya seulas senyum canggung; tampaknya mereka sudah saling mengenal dengan baik. Perasaanku sangat campur aduk ketika berhubungan dengan pria gemuk ini. Aku tak tahu apakah harus merasa gembira atau kesal dengan kemunculannya, tetapi ketika aku teringat kembali pada tindakan-tindakannya di Istana Lu dan bagaimana dia nyaris membuatku terbunuh beberapa kali, aku merasa tiba-tiba kepalaku mulai sakit.
Dia melemparkan barang bawaannya ke dek, duduk di depan kami, dan menggosok bahunya seraya berkata, “Aku tadi buru-buru kemari – kalian itu terlalu buru-buru. Omong-omong, apa kalian sudah menemukan tempatnya?”
Wanita bernama A Ning itu menggelengkan kepalanya, “Tinggal satu tempat lagi yang harus diperiksa. Kalau tak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, semestinya itulah tempatnya.”
“Aku kan sudah bilang pada kalian,” si pria gemuk berkata, “aku bukan jenis orang yang bisa menentukan lokasi tepatnya sebuah makam dengan memakai titik nadi naga atau menggali di mana-mana. Kau temukan tempatnya, beritahu aku, dan aku akan turun. Kalau kalian tak bisa menemukannya, maka jangan salahkan aku. Aku masih harus dibayar. Itulah aturan dalam bisnis ini. Kalian orang-orang barbar dari selatan perlu mempelajarinya kalau ingin tetap bertahan.”
A Ning mendesah seakan kena serangan sakit kepala dan berkata, “Aku tahu. Semuanya sudah diatur. Tuan Wu yang bertanggungjawab menemukan lokasi persisnya.”
Sejak percakapan ini dimulai, aku telah berada dalam suasana hati yang cukup santai, tapi ketika mendengar hal ini, aku sepenuhnya jadi buta arah. Aku yang bertanggungjawab? Apa persisnya tanggungjawabku? Seumur-umur, aku kan tak pernah menentukan letak makam!
“Apa maksudmu aku yang bertanggungjawab?” tanyaku buru-buru. “Bukankah kalian sudah tahu di mana letak makam bawah lautnya?”
“Kami hanya memiliki ide kasar soal lokasinya,” dia menjawab. “Skenario terbaiknya adalah kita menemukan terowongan perampok makam yang dibuat oleh pamanmu. Kalau kita tak bisa menemukannya, maka kita harus mengandalkanmu untuk menemukan lokasi persisnya dan menentukan bentuk makam bawah lautnya. Kami hanya memiliki beberapa informasi dari setumpuk buku kuno, yang tak bisa menggantikan pengalaman seorang perampok makam ahli. Paman Ketigamu sangat licik dan sama sekali tak meninggalkan informasi apa pun kepada kami.”
Keringat dingin bercucuran di punggungku. Tampaknya malam ini aku takkan bisa tidur sama sekali. Aku akan harus berpikir keras soal semua hal yang telah kakekku ajarkan sebelumnya. Kalau tidak, aku akan langsung membuat diriku sendiri jadi tampak bodoh begitu kami tiba di tempat itu.
Aku takkan punya masalah apa pun dengan bagian menggalinya. Kalau aku salah langkah dan membuat kesalahan di dasar laut, maka aku tinggal menyalahkan air lautnya saja. Bagaimanapun juga, merampok di daratan benar-benar berbeda dengan merampok makam di laut, jadi pekerjaan semacam ini jauh berada di luar lingkup profesionalku. Tapi mereka juga ingin aku menjalankan tugas sulit untuk menggambar denah lantai makam bawah lautnya. Meski aku belum pernah melakukannya, aku cukup beruntung karena memiliki pengalaman teoretis.
Setelah memikirkannya, kegugupan yang kurasakan barusan tadi perlahan mulai memudar. Semuanya akan berhasil, kataku pada diri sendiri. Dan kalau tidak, aku tinggal mengarang-ngarang dengan bilang kalau makam bawah lautnya memiliki struktur yang aneh.
Si pria gemuk melirikku dan berkata, “Baguslah, semuanya sudah beres. Tapi sungguh langka bisa mengunjungi Xisha, jadi ayo kita makan enak malam ini dan menghimpun tenaga. Kita akan membutuhkannya karena merampok makam seluruhnya merupakan kerja fisik.” Setelah berkata demikian, dia berlari untuk mencari kapten dan bertanya apakah ada makanan laut di atas kapal.
A Ning sepertinya tak bernafsu makan sama sekali dan hanya bersandar ke samping dan terus membisu. Tapi aku begitu lapar sehingga ketika aku mendengar kata-kata makanan laut, mulutku langsung mulai berliur dan aku pun berlari untuk bergabung dengan mereka.
Di Xisha ada banyak ikan makarel Spanyol, ikan kornet, dan kerapu. Beberapa orang bilang bahwa laut di Xisha isinya separuh air dan separuh ikan, jadi kapal-kapal nelayan jarang pulang dengan tangan kosong. Memancing di Xisha juga merupakan kegiatan yang sangat menarik pada musim liburan. Si pria gemuk berlari mengejar kapten dan terus berteriak soal ikan hingga si kapten dengan ogah-ogahan mengeluarkan seekor ikan makarel amat besar dari tempat penyimpanan ikan lalu menyerahkannya kepada seorang bawahan seraya berkata, “Masak ini.”
Si pria gemuk tak tahu apa yang telah terjadi pada kami akhir-akhir ini dan mulai memaki ketika dia melihat betapa muram dan kesalnya tampang sang kapten, “Sial, kalian kan bukannya tidak dibayar untuk pekerjaan ini! Kau pikir aku sedang berusaha merampokmu atau apa!”
Tetapi ketika hotpot kepala ikannya disajikan, aromanya begitu lezat sampai-sampai dia dan sang kapten sama-sama melupakan betapa kesalnya mereka tadi. Bahkan pikiranku juga hanya terpusat pada mengisi perut. Aku tak pernah mengira kalau bocah kota seperti aku akan sangat ingin memakan sesuatu seperti ini. Si pria gemuk mengawasi kualinya dengan tampang rakus dan menyambar dengan sumpitnya bahkan sebelum makanannya sempat mendingin, mengambil sepotong ikan dan memasukkannya ke mulut meski masih cukup panas untuk membuat matanya mengucurkan air mata.
Kekuatan dari hotpot ini begitu besar sehingga semua pendatang baru ikut berkerumun, meski aku tak tahu apakah ini karena mereka lapar atau bukan. Bahkan Zhang Botak, yang tadi sedang tidur di suatu tempat di kabin bawah, datang mendekat dan mengendusnya. “Itulah hal baik tentang Xisha. Apa pun masakan yang kau buat dengan ikan di sini begitu unik sampai-sampai kau takkan bisa merasakannya di tempat lain.”
Si pria gemuk menariknya menjauh seraya memaki, “Kau boleh melahap sebanyak yang kau mau tapi jangan semburkan liurmu ke dalamnya, sialan. Menjijikkan.”
Zhang Botak menyadari kalau dia belum pernah melihat si pria gemuk sebelumnya dan buru-buru bergerak untuk berjabat tangan dengannya seraya berkata, “Ah, wajah baru! Bagaimana aku harus memanggil Anda?”
Si pria gemuk adalah orang yang sangat terang-terangan. Dia menatap Zhang Botak sebelum bertanya kepada A Ning, “Siapa orang botak ini?”
Wajah Zhang Botak menggelap ketika mendengar hal ini, dan dia lalu berkata dengan kesopanan yang dipaksakan, “Harap panggil aku Tuan Zhang atau Profesor Zhang, oke?”
Tapi si pria gemuk mengabaikan dirinya. A Ning melihat kalau atmosfernya tidak baik dan buru-buru menyela, “Aku lupa mengenalkan kalian. Ini adalah Profesor Zhang. Saat ini dia adalah salah satu dari konsultan kami.”
Si pria gemuk tak berani bersikap terlalu lancang ketika dia mendengar bahwa pria lainnya benar-benar seorang profesor. Buru-buru dia menjabat tangan Zhang Botak dan berkata, “Oh, maafkan saya. Saya tak tahu kalau Anda adalah kaum intelektual dan asal bicara tanpa dipikir. Nama saya Wang Pangzi*. Saya bukan orang berpendidikan, jadi jangan dimasukkan ke dalam hati.”
(T/N: Pangzi = gemuk)
Seulas senyum terpaksa tersungging di wajah Zhang Botak dan dia berkata, “Orang berpendidikan dan tidak berpendidikan sama-sama manusia. Orang berpendidikan hanyalah orang tidak berpendidikan yang telah berubah. Ini hanyalah masalah pembagian pekerjaan. Ya, pembagian pekerjaan yang berbeda.”
Pangzi tak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh Zhang Botak, jadi dia hanya bisa tersenyum manis. Si Zhang Botak itu sepertinya tak tahu topik apa yang pantas dibicarakan dan berakhir dengan bertanya, “Pekerjaan macam apa yang Tuan Wang lakukan?”
Sejenak Pangzi membeku, jelas-jelas merasa agak kikuk, tapi dia tak boleh bersikap terlalu kasar di hadapan orang pintar jadi dia berkata, “Yah, kalau disebut dalam istilah awam, saya sebenarnya bekerja di bawah tanah.”
Ketika Zhang Botak mendengar hal ini, dia tak bisa menahan kekagumannya, “Jadi Anda adalah petugas keamanan publik! Maafkan saya atas perilaku lancang saya.”
Begitu aku mendengar hal ini, aku pun buru-buru menahan tawaku. Si Zhang Botak sial ini benar-benar terlalu berlebihan. Pangzi melihatku tersenyum dan memelotot galak padaku sebelum berkata pada Zhang Botak, “Kita bisa bicara nanti saja. Ayo kemari dan cicipi ini dulu.” Seraya bicara, dia memberi isyarat pada yang lainnya agar mengangkat sumpit mereka dan mulai makan.
Aku mengabaikan mereka semua dan mulai mencomot sepotong ikan dengan sumpitku lalu memasukkannya ke dalam mulut. Rasanya sungguh luar biasa tak terkira. Aku bahkan belum menelan suapan pertama sebelum mengambil potongan kedua dengan sumpitku.
Pangzi menyuap beberapa kali dengan ekspresi wajah puas dan kemudian mulai berteriak meminta arak. “Orang-orang ini keluar untuk menangkap ikan, jadi bagaimana mungkin bisa ada arak di atas kapal?” A Ning bertanya. Pangzi tak memercayainya dan berlari ke kabin kapal untuk mencarinya. Setelah melempar-lempar barang selama beberapa saat, dia keluar seraya tertawa-tawa sambil menggenggam sekendi arak di tangannya. Wajah sang kapten memucat ketakutan ketika dia melihatnya dan langsung maju untuk mengambilnya, berkata bahwa arak itu adalah untuk sang Raja Naga.
Pangzi mengamuk, “Kau itu omong kosong apa sih? Kalau kau memberikan arak murahan macam ini kepada Raja Naga, dia pasti akan menghancurkan kapalmu.” Setelah berkata demikian, dia mengeluarkan sebotol Erguotou* dari dalam tasnya dan menjejalkannya ke tangan sang kapten. “Ambil ini! Beri kesempatan kepada Raja Naga untuk mencicipi sesuatu yang berbeda! Inilah yang kita sebut sebagai pertukaran arak budaya antara utara dan selatan. Kau lihat ini? Ini adalah Erguotou Bintang Merah. Ini barang bagus, jadi berhentilah bersikap tak masuk akal.”
(T/N: Sejenis minuman keras dari sorghum ala Tiongkok. kadar alkoholnya berbeda-beda, rata 50% berdasarkan volume. Ada gambar bintang merah di botolnya.)
Sang kapten berdiri membeku di tempat, tak tahu harus bagaimana. Pangzi menganggapnya setuju pada pertukaran ini dan mengoyak segel araknya hingga terbuka, lalu menuangkan segelas untuk semua orang. Araknya benar-benar bagus. Ini adalah arak kelapa terkenal dari Kotapraja Limiao. Sementara angin menghembus pergi sisa-sisa awan, kami makan dan minum sepuasnya hingga rembulan berada tinggi di atas kepala kami.
Pangzi menghabiskan tegukan terakhir araknya dan bersendawa sebelum memukul pahanya dan duduk tegak, “Semuanya, sekarang karena kita sudah kenyang, sudah waktunya untuk membicarakan urusan-urusan serius.”