Grave Robber Chronicles - Chapter 45
Aku melihat bagaimana ekspresi wajah Pangzi berubah dan mau tak mau merasa gembira. Meski dia tak terlalu bisa diandalkan, performanya di dalam kuburan kuno masih cukup handal. Yah, aku tak benar-benar tahu seberapa lebih baik dia dalam hal pengalaman tapi setidaknya dia lebih baik daripada aku. Aku tak pernah merampok makam seorang diri jadi aku tak tahu apakah mungkin memang perlu melakukan semacam pidato membangkitkan semangat sebelum turun atau apalah, tapi mau yang mana pun, kusadari kalau aku harus belajar dari dia dan mendengarkan apa yang dikatakannya.
Setelah makan banyak, Pangzi menepuk-nepuk perutnya yang membusung dan berkata, “Aku tak pernah merampok makam bawah laut sebelumnya jadi aku ingin bersiap-siap terlebih dahulu. Dengan begitu, kita takkan perlu tergesa-gesa saat masuk. Makam ini jelas tidak seperti makam di daratan yang kering jadi aku ingin lihat lebih dulu peralatan apa saja yang telah kalian persiapkan.”
“Tuan Wang,” A Ning berkata, “kali ini seberapa besar Anda yakin kalau semuanya akan berjalan sesuai dengan rencana? Kami mungkin lebih baik mendengarkan terlebih dulu apa rencananya sebelum kami tahu apa yang harus diperkirakan.”
Pangzi menggelengkan kepalanya. “Sulit untuk dikatakan. Berdasarkan pada pengalamanku, makam ini bukan hanya sulit untuk dilacak lokasinya tetapi juga sulit untuk dimasuki dengan menggali terowongan menembusnya. Ditambah lagi, kita tak tahu apa yang ada di dalamnya. Dari ketiga hal ini, untuk sementara waktu ini kita bisa mengabaikan dua yang pertama. Perhatian utamaku adalah pada yang ketiga – apa yang ada di dalam makam bawah laut ini. Tak mungkin bisa menerka apakah di dalamnya ada mayat hidup atau tidak. Kalau ada, maka kita dapat masalah. Kalau tidak, maka makam ini sama seperti makam-makam lain di daratan – hanya saja ada di bawah air – dan bisa dimasuki dengan mudah.”
Bicara soal mayat hidup, tiba-tiba aku teringat pada apa yang telah Paman Ketiga katakan padaku tentang monster yang pernah dia temui di terowongan makam dahulu itu. Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa kalau makhluk itu mungkin saja adalah monyet laut yang hari ini telah kutemui di atas kapal hantu. Tanpa sadar aku bergidik sebelum berkata, “Aku tak tahu apakah ada mayat hidup di sana, tapi mungkin saja ada sesuatu yang lebih berbahaya.” Kemudian aku memberitahu mereka apa yang sudah kulihat di atas kapal hantu. Yang lainnya sudah mendengar cerita yang telah ditambah-tambahi oleh Zhang Botak, tapi dia hanya fokus pada bagaimana dirinya telah menyelamatkan aku dan A Ning. Sementara itu ceritaku, lebih realistis dan memiliki lebih banyak detil.
Saat aku selesai, Pangzi mengernyit dan bertanya, “Sial, jadi makhluk macam itu memang benar-benar ada?”
Aku mengangguk dan berkata, “Ada legenda tentang makhluk ini di banyak tempat, jadi semestinya tak salah lagi.”
A Ning juga mengangguk sebelum menambahkan, “Aku pernah mendengarnya ketika aku masih kecil, tapi kukira para orang dewasa hanya sedang menakut-nakutiku supaya aku tak mau bermain di sungai.”
Pada saat ini, sang kapten menyela kami, “Tidak, tidak, kalian tak mengerti! Semua kapal nelayan di sekitar sini sudah pernah melihat makhluk-makhluk itu. Kukatakan pada kalian ya, mereka itu bukan monyet laut melainkan hantu Yaksha*! Mereka semua adalah kerabat dari Raja Naga. Sekarang kalian sudah menyinggung salah satu dari mereka, jadi dia pasti akan kembali untuk balas dendam. Menurutku lebih baik kita buru-buru kembali ke tepian, membeli babi, dan meminta pendeta Tao mengadakan ritual. Mungkin saja Raja Naga mau bermurah hati dan mengampuni kita.”
(T/N: Yaksha adalah sejenis roh ganas. Pada mulanya mereka adalah semacam setengah dewa dalam mitologi India. Menurut legenda, mereka berpatroli di laut untuk Raja Naga di siang hari dan berpatroli di dalam bayang-bayang untuk Raja Yama di malam hari, sehingga mereka dipuja sebagai separuh dewa separuh hantu di banyak tempat)
Zhang Botak tertawa ketika mendengar hal ini, “Aku bisa memberitahumu sekarang juga, Kapten, kalau aku telah meledakkan bahu kerabatnya hingga jadi serpihan hanya dengan satu tembakan. Tidakkah hal itu telah menjadikanku Sun Wukong?”
Wajah sang Kapten menghijau dengan amarah dan dia berkata, “Kau tak mirip dengan Sun Wukong, kau itu lebih mirip dengan Zhu Bajie!”
Kami semua mulai tertawa ketika mendengar hal ini. Zhang Botak mencubit lemak di wajahnya, tampak agak depresi. Mungkin dia merasa kalau dirinya benar-benar agak mirip dengan Zhu Bajie.
Pangzi terus tertawa selama beberapa saat sebelum berkata, “Karena di dasar laut ada makhluk semacam itu, kita harus punya senjata. Kalau makam itu adalah rumah mereka, maka bukankah berarti kita berlari menyongsong kematian? Makanya, Nona A Ning, apa kau bawa sesuatu seperti harpun atau apalah?”
“Kami sudah memikirkan tentang situasi semacam ini dan telah mempersiapkan beberapa senapan tombak,” A Ning berkata. “Tapi senapan-senapan ini sangat besar dan hanya bisa melontarkan satu tembakan tiap kalinya. Dalam kondisi darurat, takutnya senjata itu takkan terlalu berguna.”
Aku familier dengan senapan macam ini – senjata ini ditembakkan dengan mengunakan udara yang dimampatkan dan efektif dalam jarak kurang dari empat meter. Untung saja, senjata ini bisa dipakai sebagai tombak tapi ukuran senapannya memang terlalu panjang jadi mungkin takkan berfungsi di dalam terowongan-terowongan makam yang sempit.
Pangzi mengabaikan semua ini dan berseru, “Tak menjadi masalah apakah senjatanya berguna atau tidak! Kau takkan pernah punya terlalu banyak senjata! Bawa apa pun yang bisa kau bawa. Besok, aku akan memimpin dan Sobat Muda Wu akan berada tepat di belakangku. Kau dan si botak itu akan tinggal di belakang. Kalau aku merasa ada sesuatu yang salah, aku akan melambaikan tanganku dan kalian akan langsung berhenti. Kalau aku mengepalkan tangan, kalian harus menjatuhkan semuanya dan berlari kabur.”
Kami berpikir kalau pengaturan ini cukup masuk akal dan menganggukkan kepala sebelum lanjut mendiskusikan beberapa hal lainnya. Aku ingat pada apa yang pernah Paman Ketiga katakan padaku soal pengalamannya dulu dan mengeluarkan daftar peralatan secara mendetil, yang kuminta agar disiapkan dalam waktu semalam kepada yang lainnya. Senter, pisau, tongkat api, kantong-kantong bersegel, tali nilon, carabiner, makanan, persediaan P3K, masker gas, dan kotak untuk memindahkan harta jarahan apa pun – mereka benar-benar telah mempersiapkan hampir semuanya, bahkan tapal keledai hitam.
Fajar hampir tiba ketika kami menyelesaikan diskusi kami. Pangzi berkata bahwa kami takkan bisa berangkat ke bawah laut kalau kami terus membuat rencana seperti ini, jadi kami harus berhenti bicara dan beristirahat. Semua orang langsung berpencar untuk mencari tempat berbaring. Aku mulai merasakan efek kuat dari arak kelapa ketika angin laut berhembus – kepalaku terasa berat dan aku langsung hilang kesadaran, tidak kunjung bangun sampai tengah hari.
Beberapa dari yang lainnya sudah bangun lebih awal dan sudah bersiap-siap. Aku sedang mencuci wajahku dengan air laut ketika beberapa orang penyelam mengambang naik ke permukaan. Salah satu dari mereka melepaskan respirator-nya dan berkata, “Kami telah menemukannya. Pasti inilah tempatnya. Kami bahkan menemukan terowongan perampok makam yang mereka buat.”
Ketika A Ning mendengar hal ini, dia segera bertanya, “Apa kalian masuk dan memeriksanya?”
Si pria menggelengkan kepalanya dan berkata, “Cuma sedikit. Terowongannya sangat panjang. Saya berenang masuk sebentar tanpa melihat adanya tanda-tanda dari ujungnya. Saya tak berani pergi lebih jauh lagi, jadi saya keluar.”
A Ning mengangguk dan mengajukan beberapa pertanyaan lagi kepada para penyelam sebelum berbalik pada kami lalu berkata, “Oke, ayo bersiap. Mereka akan memanggil kita setelah mereka memperbaiki lubangnya. Ada tanda-tanda kalau lubangnya runtuh, jadi mereka akan memasang penopang lebih dulu.”
Masing-masing dari kami pergi untuk mengenakan baju selam kami. Baju selam semua orang sangat pas di tubuh kecuali untuk Pangzi, yang pusarnya mencuat karena perutnya tidak bisa muat. Meski ini bukan pemandangan yang terlalu elegan, setidaknya akhirnya dia berhasil mengenakan baju itu. Setelah kami memeriksa semua peralatan, kami membawa semua yang perlu kami bawa lalu menjatuhkan diri ke dalam air satu demi satu.