Grave Robber Chronicles - Chapter 46
Sebenarnya terowongan itu tak terlalu jauh dari kapal. Ada sebuah lubang besar bekas ledakan di dasar laut, yang di dasarnya terdapat terowongan tersebut. Ketika aku melihatnya, aku tahu kalau lubang itu pasti dibuat oleh Paman Ketiga. Pertama-tama kami mencari di sekitar terowongan itu tapi tak melihat adanya tanda-tanda keruntuhan. Tampaknya kemampuan Paman Ketiga memang sebagus biasanya.
Aku juga melihat beberapa jangkar batu yang tampak sangat mirip dengan yang pernah dideskripsikan oleh Paman Ketiga, tapi aku tak yakin apakah ini adalah jangkar-jangkar yang sama atau tidak.
Di dasar laut, masih tertinggal jejak-jejak penanda yang telah Paman Ketiga buat untuk mengindikasikan penampang denah makam itu. Ketika aku dan Zhang Botak dengan seksama mengingat-ingatnya, aku mendapati bahwa lokasi dari terowongan itu sepertinya mengarah ke salah satu ruangan samping. Lapisan bata di tempat itu seharusnya relatif tipis.
Kami mencari-cari selama sekitar lima menit tapi sepertinya tak perlu mencari lebih jauh lagi. Pangzi melambaikan tangannya, tanpa bersuara bertanya apakah kami harus masuk atau tidak. A Ning melirik pada jam tangan penyelamnya dan mengangguk.
Peralatan kami yang sekarang jelas lebih ringan daripada peralatan dari dua puluh tahun yang lalu. Kami memeriksa semuanya untuk yang terakhir kalinya dan kemudian mengulang gestur-gestur yang telah disepakati di mulut terowongan untuk memastikan bahwa takkan ada masalah sedikit pun. Begitu hal tersebut selesai, Pangzi memimpin dan meluncur ke dalam terowongan. Kami yang lainnya menyalakan lampu senter dan mengikuti, menyelam sekitar lima atau enam meter dalam sekali gerakan.
Terowongan itu telah digali dengan bentuk yang sangat tidak teratur – terkadang lebar dan terkadang sempit. Seraya berenang aku memandangi ke sekitar dinding terowongan, tapi semakin aku melihat, semakin bingung aku jadinya. Kenapa terowongan ini tidak kelihatan seperti telah digali oleh manusia? Kalau Paman Ketiga yang menggali, dia akan melakukannya dengan rapi dan teratur dengan sekop, tapi bekas-bekas yang kulihat di dinding begitu kacau dan berantakan, seakan binatanglah yang telah membuat terowongan ini.
Kami berenang dengan susah payah sejauh lebih dari dua puluh meter hingga cahaya dari mulut terowongan tak lagi bisa mencapai kami. Tapi pada saat ini, arah terowongan ini tiba-tiba berubah dan menjadi tegak lurus. Mau tak mau aku jadi merasa agak kaget – dia belum mencapai makamnya, jadi kenapa dia tiba-tiba mengubah arah terowongannya?
Aku dibuat kesal oleh fakta bahwa aku tak bisa bicara ataupun mengekspresikan keraguanku kepada yang lainnya. Kami beristirahat singkat di mulut terowongan tegak lurus ini. Pangzi memberi isyarat pada kami agar berhati-hati dan kemudian berenang ke sana sendirian terlebih dahulu. Ketika aku memandangi cahaya lampunya menjadi semakin dan semakin jauh hingga menjadi sebuah titik kecil, mau tak mau aku jadi bertanya-tanya kenapa terowongannya begitu dalam.
Kemudian aku melihat dia melambaikan senternya di bawah sana, mengindikasikan bahwa aman bagi kami untuk mengikuti. Kami pun langsung menyelam turun satu demi satu. Aku melihat ukuran kedalaman pada jam tangan selamku dan mendapati bahwa kami sudah lebih dari sepuluh meter di bawah permukaan. Aku tak pernah menyelam sedalam ini sebelumnya dan tak tahu apakah tubuhku sanggup mengatasinya atau tidak.
Sebuah ruang yang luas telah digali di bawah sana, di mana kami langsung melihat dinding kuno dari makam tersebut. Ada sebuah lubang besar di situ, yang membuatku merasa semakin bingung lagi ketika melihatnya. Bentuk lubang itu sangat tidak teratur dan tak kelihatan seperti metode pembongkaran bata-demi-bata secara hati-hati yang biasanya dipakai oleh para perampok makam. Beberapa batanya bahkan retak-retak. Pangzi menatapku dan aku menatapnya sebelum kami sama-sama mengeluarkan gelembung pada saat bersamaan. Dia menuding pada bata-bata yang rusak dan membuat beberapa gaya seperti monyet. Aku langsung tahu apa yang sedang berusaha dia katakan – lubang ini mungkin saja telah digali oleh monyet laut dan sebenarnya bukan terowongan penggali makam.
Aku mengangguk setuju dan kemudian menunjuk pada senapan tombak bius di punggungnya. Dia melepaskan ikatannya, mematikan pengamannya, dan kemudian berenang ke dalam lubang.
Ini adalah kali kedua dalam hidupku aku memasuki sebuah makam kuno. Meski aku merasa agak bersemangat, aku masih merasa gelisah ketika memikirkan tentang pengalaman terakhirku. Terlebih lagi, kami ada di dasar laut, di mana tekanan air membuat kami sulit bergerak dengan leluasa. Kalau kami sampai bertemu dengan sesuatu yang berbahaya, kami takkan bisa kabur secepat yang kami bisa lakukan bila di darat.
Terowongan makam itu jauh lebih besar daripada yang kuperkirakan. Aku menaikkan kecerahan lampu senterku dan mengedarkan pandangan seraya mengikuti pantat Pangzi. Cahaya-cahaya kami sangat terang sehingga seketika itu juga menerangi seluruh terowongan. Aku menatap dinding-dinding makam dan melihat ukiran-ukiran relief wajah manusia yang pernah Paman Ketiga sebutkan sebelumnya itu. Tapi sebagai tambahannya, beberapa hewan aneh telah diukirkan pada dahi mereka dalam garis-garis yang sangat tipis dan halus. Seraya terus berenang dan melihat-lihat, aku jadi merasa semakin dan semakin kebingungan – sebagian besar dari hewan-hewan ini adalah hewan pelindung makam* tetapi tak ada satu pun mata yang diukirkan pada mereka dan mereka tampak agak ganjil.
(T/N; zhenmushou” (墓镇兽); biasanya digambarkan sebagai makhluk-makhluk mengerikan dan berfungsi sebagai obyek penguburan untuk melindungi makam para bangsawan dan pejabat tinggi. Biasanya makhluk-makhluk ini diletakkan di pintu masuk ruang makam utama, bersama-sama dengan patung-patung keramik lainnya, untuk mengusir kekuatan jahat.)
Pada saat ini, tiba-tiba aku melihat sebentuk wajah dengan tiga buah ikan tembaga beralis ular diukirkan pada dahinya. Tanpa sadar tubuhku menegang sebelum buru-buru menarik Pangzi agar berhenti. Kemudian aku mendekat untuk mempelajari ukiran relief itu.
Pangzi begitu terburu-buru untuk masuk ke dalam makam sehingga dia bahkan tak menyadari bahwa aku telah menemukan sesuatu. Dia berbalik dan melihat sekeliling, tapi ketika dia tak melihat apa pun yang dirasanya pantas untuk membuatnya berhenti, dia pun dengan tidak sabaran mengisyaratkan padaku agar terus maju. Aku mengisyaratkan padanya agar menunggu dan kemudian mencondongkan tubuh lalu melihat lebih dekat. Ada tiga buah ikan tembaga beralis ular yang sambung-menyambung, membentuk sebuah cincin, dan bentuk dari masing-masingnya berbeda. Aku bisa melihat kalau dua di antaranya kelihatan seperti yang ada di dalam tasku tapi yang ketiga memiliki tiga mata. Aku tak pernah melihat sesuatu yang seperti ini sebelumnya jadi aku tak tahu apa artinya. Aku juga bisa melihat bahwa wajah manusia yang diukiri ikan itu berbeda dari yang lainnya. Wajahnya jelas-helas memiliki fitur feminin, tetapi tampak agak rusak karena ada begitu banyak benda yang menempel di situ. Hanya melihatnya saja sudah cukup untuk membuatku merasa tidak nyaman.
Aku ingin lanjut mempelajarinya secara seksama, tapi pada saat ini, A Ning mulai mendorongku dari belakang dan aku tak punya pilihan selain lanjut berenang maju. Untung saja, ukiran-ukiran itu berulang pada jarak yang tetap jadi aku bisa melihat wajah itu beberapa kali lagi. Aku tak melihat adanya hal lain setelah menatap wajah-wajah itu dari dekat, tapi aku tak bisa menyingkirkan perasaan bahwa ada sesuatu yang salah.
Aku menatap dan terus menatap tapi baru menyadari masalahnya ketika aku melihat wajah ukiran relief yang kelima. Aku ingat kalau wajah pertama matanya terpejam, yang kedua matanya tampak sedikit membuka, dan yang ketiga dan keempat matanya membuka semakin dan semakin lebar. Kini mata pada wajah kelima nyaris terbuka lebar.
Perasaanku tidak enak dan langsung meraih Pangzi, mengisyaratkan padanya agar berhenti. Kemudian aku mengeluarkan papan gambar bawah airku dan menulis di situ “Mata wajah-wajah pada dinding makam ini pelan-pelan membuka. Kurasa ada sesuatu yang salah!” Setelah menulis ini, aku menunjuk pada dinding makam.
Pangzi menyentuh wajah itu, menggelengkan kepalanya, dan menulis: “Aku tak memperhatikan. Semuanya kan cuma ukiran batu. Tidak ada lubangnya. Kau kebanyakan mikir.”
Aku menggelengkan kepalaku dengan tegas dan mengisyaratkan padanya agar mengangkat senapan tombaknya. Saat dia melihat betapa serius ekspresiku, dia pun jadi tak punya pilihan lain selain menuruti. Tak lama setelah kami lanjut berenang, aku melihat ukiran relief yang sama di depanku. Pangzi dibuat agak takut oleh apa yang telah kutulis sebelumnya, jadi dia berhenti dan mengarahkan senternya pada wajah itu. Sepasang mata pada wajah batu itu membuka sepenuhnya dan menatap lurus ke depan dengan sorot hampa. Pangzi menyapukan senternya ke bolak-balik tapi tak ada perubahan apa pun. Dia mengerahkan keberaniannya, berenang menghampiri, lalu menyentuhnya sebelum melambaikan tangan kepadaku untuk mengindikasikan kalau tak ada masalah.
Aku berenang mendekat untuk memeriksa dan melihat bahwa wajah itu adalah sepotong batu padat tanpa ada sesuatu yang istimewa di situ. Saat aku menyodokkan jemariku ke dalam kedua mata ukiran itu dan tak terjadi apa-apa, mau tak mau aku pun menggelengkan kepala pada kebodohanku. Tampaknya ini cuma tipu-tipu yang dibuat oleh si perancang makam untuk menakuti calon perampok makam mana pun. Sama sekali tak ada sesuatu yang istimewa pada ukiran itu. Pada akhirnya, aku hanya menakuti diriku sendiri dan kehilangan muka. Pangzi menepuk bahuku sebelum mengisyaratkan padaku agar berhenti memikirkannya dan bergegas maju.
Ketika kami lanjut berenang maju, aku teringat pada apa yang telah Paman Ketiga ceritakan padaku soal terisap ke dalam kolam kolam air di dalam makam setelah memicu suatu perangkap. Tetapi semua dinding makam ini kelihatan sama saja, jadi bagaimana kami bisa menemukan batu yang yang sama persis dengan yang telah dia tekan pada saat itu?
Benakku berputar cepat. Aku tahu kalau kami tak bisa terus berenang maju secara membuta seperti ini. Aku tak tahu terowongan makam ini mengarah ke mana, tapi juga ada kemungkinan bahwa ini adalah sebuah lingkaran tertutup. Kalau kami sampai tersesat di dalamnya, kami pasti akan tamat. Aku menyadari bahwa jika dalam sekali pandang Paman Ketiga bisa melihat orang terakhir di dalam kelompok mereka, maka itu berarti mereka berada di sebuah terowongan panjang. Meski barusan ini kami telah berbelok beberapa kali, kami baru melewati dua terowongan. Seharusnya takkan terlalu sulit untuk menemukannya, tapi pasti akan butuh waktu.
Saat aku larut dalam pemikiranku, tiba-tiba Pangzi berhenti mendadak. Aku tak sempat memelankan lajuku dan berakhir menabrak pantatnya. Berpikir bahwa sesuatu telah terjadi di depan, tubuhku menegang dan kemudian maju untuk melihat. Saat aku mendekat, kulihat terowongan makamnya sudah berakhir dan ada sebongkah lempeng batu menghadang jalan kami.
Batu itu polos, tanpa ada tulisan ataupun ukiran relief terukir di permukaannya. Aku mengusapkan tanganku di permukaannya untuk waktu yang lama tapi tak bisa menemukan mekanisme macam apa pun. Ketika aku menggaruk kepalaku untuk berpikir, A Ning menulis sebuah pertanyaan kepadaku: “Bagaimana bisa ada jalan buntu?”
Aku balas menulis: “Pasti ada semacam mekanisme tersembunyi pada batu-batu di dekatnya. Ayo kita cari sekitar sini dan lihat apa ada bagian dinding makam yang longgar.”
Mereka semua mengangguk. Pangzi mulai mengetuk-ngetuk dinding di kedua sisi seraya dengan seksama memeriksa wajah-wajah yang terukir di permukaannya. Aku berusaha keras untuk mengingat-ingat semua petunjuk yang telah disebutkan oleh Chen Wenjin di dalam buku catatannya dan bahkan menyelipkan pisauku ke dalam setiap celah di sepanjang tepian bata, tapi tetap tak terjadi apa-apa. Lempeng batu itu tetap tak bergerak, masih menghadang jalan kami.
Merasa agak depresi, aku menoleh ke belakang untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh Pangzi dan menemukan dia mengambang dengan tampang linglung di sana. Aku mengetuk bahunya dan menulis: “Apa kau menemukan sesuatu?”
Ada ekspresi aneh di wajahnya ketika dia menatapku lalu bertanya: “Apa monyet laut punya rambut?”
Aku tak tahan untuk tertawa. Aku tak tahu kenapa dia tiba-tiba menanyakan hal ini, tapi aku benar-benar tak memerhatikan apakah monyet laut punya rambut atau tidak. Sejauh yang bisa kuingat, makhluk itu kelihatannya botak dan sekujur tubuhnya tertutup sisik.
Aku memberitahukan hal ini kepadanya dan bertanya kenapa dia mengajukan pertanyaan seperti itu. Dia menuding pada sebuah celah di dinding. Aku melihat ke arah yang dia tuding dan langsung melihat beberapa helai rambut hitam melayang-layang di dalam celah di antara lempeng batu dan terowongan makam.
Aku tertegun. Mana mungkin? Apakah ada seseorang yang sedang bersandar di sisi lain lempeng batu?
Pangzi sangat berani dan mengulurkan tangannya untuk menarik rambut itu, tapi tiba-tiba rambut itu mundur menghindar dan kemudian menyusut kembali ke dalam celah. Pangzi menatapku dan menulis, “Ada hantu di belakang lempeng batu ini.”