Grave Robber Chronicles - Chapter 47
Beberapa helai rambut di dalam makam bawah laut yang masih bisa bergerak… sebagian besar orang akan langsung terpikirkan tentang hantu. Untung saja, lempeng batunya memisahkan kami, jadi bahkan meski ada hantu, dia tak bisa menembusnya.
Pangzi tampaknya tak bersedia menyerah ketika dia tak bisa menangkap helaian rambut itu dan malah mengarahkan senternya ke dalam celah untuk berusaha melihat apa yang ada di baliknya. Aku tak sepemberani dirinya – memangnya kurang ya film-film horor yang melibatkan rambut – jadi aku hanya bergerak menjauhi lempengan itu sementara terus mengawasinya.
Pangzi mencondongkan diri untuk melihat lebih dekat, seakan benar-benar melihat sesuatu. Kemudian dia kelihatan terdiam karena bingung sebelum mengerahkan tekad dan mencondongkan diri ke depan untuk melihat lebih dekat. Kali ini, reaksinya jauh lebih kuat – tiba-tiba dia tersentak mundur, berenang ke belakang bebeerapa meter seakan kabur menyelamatkan nyawa, dan kemudian berbalik lalu menggoyangkan kepalan tangannya dengan putus asa kepada kami. Pada mulanya, kukira dia berniat memukulku, tapi kemudian aku ingat apa arti dari isyarat itu. Sial! Aku membatin. Ini adalah tanda agar kami berlari kabur menyelamatkan diri!
Tapi barusan tadi sepertinya tak ada apa pun yang terjadi. Secara refleks aku melihat ke belakang dan mendapati bahwa lempeng batu yang menhalangi jalan kami tiba-tiba terangkat baik dan suatu gumpalan hitam merayap keluar dari celah yang semakin melebar di bagian bawah. Aku buru-buru berenang mundur beberapa langkah, berpikir kalau ini adalah semacam air beracun, tapi ketika aku melihat lebih dekat, aku merasakan rahangku menegang karena ketakutan – gumpalan hitam itu ternyata adalah rambut manusia!
Pangzi melihat kalau kami bereaksi dengan lambat dan berenang kembali untuk menarik kami bersamanya. Barulah pada saat itu kesadaran kami kembali dan berenang menyelamatkan diri. Tapi kami ada di bawah permukaan air, jadi semakin kami gugup, semakin banyak energi yang kami pakai dan semakin lambat kami berenang. Aku begitu panik sampai-sampai aku tak bisa menyinkronkan gerakanku jadi aku hanya memakai cara Pangzi yang menggunakan dinding sebagai papan tolakan. Meski tidak terlalu elegan, cara ini jauh kebih cepat dan rasanya menyenangkan karena ada sesuatu yang padat di bawah kakiku.
Kami melakukannya sekitar dua puluh kali sebelum kami tiba di belokan pertama terowongan. Pangzi meraih kami dan mengisyaratkan pada kami agar bersembunyi di balik sudut, mengindikasikan bahwa kami harus mengamati situasinya terlebih dahulu.
Kami semua bernapas berat ketika kami terburu-buru melihat ke belakang. Astaga! Seluruh terowongan makam di belakang kami sudah penuh dengan rambut yang bergerak-gerak dalam gumpalan hitam raksasa yang saling berbelitan. Aku merasakan tenggorokanku mengencang ketika melihatnya. Butuh berapa tahun untuk membuatnya tumbuh sepanjang itu?! Pangzi memaki, mengambil senapan tombaknya, mengincar pada pusat gumpalan hitam itu, lalu menembak. Dia mungkin berpikir kalau tombak bisa menusuknya, tetapi ketika dia melihat tombak tersebut melesat cepat sejauh enam hingga tujuh meter sebelum tiba-tiba memelan dan terbelit di dalam rambut itu, wajahnya pun memucat.
Tetapi tombak itu masih memiliki peranan. Rambut itu ternyata seperti memiliki kesadaran dan meliuk mundur sebelum kembali menghambur maju dan melecut-lecut seakan ada sesuatu yang akan keluar dari dalamnya. Dengan kami langsung jadi waspada, Pangsi mengisi ulang tombak lagi dan bersiap untuk mendekatinya lalu menembak sekali lagi. Tapi kali ini, rambut itu tiba-tiba tampak mengerut lalu mengembang lagi, dan kemudian aku melihat sesosok mayat terdorong keluar dari bagian terdalam rambut itu.
Orang itu mengenakan baju selam yang sama dengan kami, jadi kupikir mungkin dia adalah salah satu dari tiga orang kami yang hilang. Aku mengamati dengan cepat dan melihat kalau hidung dan mulutnya penuh dengan rambut, dan bahkan ada rambut mencuat keluar dari kedua bola matanya. Pada pandangan pertama, dia tampaknya telah mati karena tercekik, tapi kini tubuhnya sudah membengkak dan mengembang karena berada di bawah air, yang menghasilkan pemandangan mengerikan.
Begitu aku melihat ini, kurasakan kulit kepalaku merinding. Rambut ini jelas-jelas sangat aneh jadi aku ingin buru-buru pergi sejauh mungkin dari sini. Aku bergerak untuk menarik Pangzi, tapi ketika aku mendongak, aku mendapati kalau dia sudah menghilang. Merasa syok, aku buru-buru melihat sekeliling dan mendapati kalau dia sudah berenang jauh serta sedang mengayunkan kepalan tangannya kepada kami dari kejauhan.
Dalam hati aku memaki, beraninya kau berlari ke tempat aman lebih dulu dan kemudian baru memperingatkan kami! Aku segera mengisyaratkan pada Zhang Botak dan A Ning agar mengikuti dan kemudian pergi mengejar Pangzi. Dia masih mengeluhkan soal respon lambat kami, jadi aku pun naik dan menendang tepat di bokongnya. Pangzi tak terima dengan perlakuan ini dan bergerak untuk melawanku, tapi A Ning menengahi di antara kami dan buru-buru menunjuk pada terowongan di belakang kami. Begitu aku melihat, aku tahu bahwa saat ini berlari menyelamatkan diri jauh lebih penting. Tapi begitu kami berhasil keluar, aku pasti akan membuat perhitungan dengannya.
Saat ini, sensor oksigen di tanganku bergetar. Aku menunduk dan melihat kalau urusannya tidak baik. Sudah hampir setengah jam berlalu sejak kami turun kemari dan pernapasan kami terlalu cepat. Ini berarti pemakaian oksigen kami beberapa kali lebih tinggi daripada biasanya dan bahwa kami telah memakainya sedikit terlalu banyak. Aku memperhitungkan berapa lama waktu yang tersisa untuk kami dan tahu kalau situasinya sangat buruk. Kalau tak ada kemajuan, kami akan harus kembali dengan cara yang sama dengan cara kami masuk. Kalau tidak, kami semua akan kehabisan oksigen. Tapi aku tak mau pergi begitu saja seperti ini, terutama kalau aku bahkan tak bisa menemukan ruang samping yang telah disebutkan oleh Paman Ketiga.
Pada saat ini, Zhang Botak yang menjaga di belakang, tiba-tiba menarik sabuk kami seperti kepiting dan bergegas ke depan. Ketika dia sudah menyusul Pangzi dan menariknya agar berhenti, aku melihat matanya praktis menyembul keluar dari kepalanya. Orang ini lebih tahu tentang struktur makam-makam kuno daripada aku, batinku dalam hati. Apa dia telah menemukan petunjuk?
Benar saja, dia mengisyaratkan pada kami agar mengikutinya. Pangzi langsung memprotes, tapi barusan tadi dia telah bersikap begitu buruk sehingga kami semua mengabaikan dirinya. Tanpa ada pilihan lain, dia pun ikut berbaris di belakang kami.
Zhang Botak berenang kembali dengan kikuk sejauh beberapa meter dan menuding pada satu dinding makam yang sedikit melesak ke dalam. Ternyata, ketika tadi Pangzi memakainya sebagai papan tumpuan, bagian dinding itu berakhir dengan sedikit melesak.
Aku kegirangan ketika melihatnya. Setelah melihat bolak-balik, aku memastikan kalau ini memang adalah ujung dari sebuah terowongan panjang. Mekanisme yang telah disebutkan oleh Paman Ketiga mungkin seharusnya ada di sini, tapi begitu terpicu, air akan membanjir ke dalam dinding seperti tsunami. Pada waktu itu Paman Ketiga mengenakan helm selam sehingga dia baik-baik saja, tapi kami hanya mengenakan kaca mata selam. Begitu kami terjebak di dalam pusaran airnya, tak ada jaminan kalau kami takkan menabrakkan kepala kami sampai pecah di dinding makam.
Saat aku melihat ke belakang dan mendapati kalau rambut itu belum menyusul kami, aku pun memutuskan untuk memperingatkan yang lain terlebih dahulu. Tapi pada saat ini, Zhang Botak, tak mengetahui adanya bahaya – tiba-tiba menekan pada satu bagian di dinding. Aku bahkan tak sempat bereaksi sebelum sejumlah besar gelembung tiba-tiba menyembur.
Begitu melihatnya, aku tahu kalau kami ada dalam masalah. Sejujurnya saja aku tak menyangka kalau kemampuan Zhang Botak itu untuk mendapat masalah bahkan lebih parah daripada Pangzi. Aku bahkan tak sempat memberikan peringatan sebelum merasakan suatu kekuatan besar menghantam punggungku dan kemudian mendorongku ke dalam lubang di dinding. Aliran air berputar membentuk pusaran air dan aku langsung mengerti apa yang pada saat itu dibicarakan oleh Paman Ketiga – semua organ dalamku rasanya seperti dilemparkan ke samping dan aku merasa seperti sedang dijejalkan ke dalam tabung mesin cuci. Setelah berputar-putar beberapa kali, aku jadi begitu pusing sampai-sampai tak bisa melihat apa pun dengan jelas.
Entah berapa lama waktu telah berlalu, tapi saat kesadaranku kembali, sekujur tubuhku rasanya seperti rontok semua. Terutama leherku, terasa sakit luar biasa. Untung saja, leherku ini tidak patah gara-gara semua putaran tadi dan bahkan alat pernapasanku masih ada di dalam mulutku. Aku melihat sekelilingku dengan lebih seksama dan mendapati bahwa di sekitarku hitam pekat. Yang lainnya ada di bawahku dan kelihatannya juga sama pusingnya, terutama Pangzi, yang masih berputar-putar seakan dirinya adalah penari balet.
Aku menatap dinding sumur tempat kami terseret ke dalamya dan mendapati kalau dinding itu terbuat dari kumala putih Dinasti Han berkualitas tinggi. Berdasarkan fakta bahwa bahan-bahan sebagus itu telah dipakai di sini, aku menerka kalau kami pasti telah mencapai bagian dalam makam bawah laut. Sebenarnya, kami mungkin bahkan berada di dalam kolam air yang Paman Ketiga pernah bilang melihatnya di bagian tengah kamar samping. Aku menendangkan kakiku dan berenang naik hingga kepalaku tiba-tiba terasa hangat lalu aku pun menembus keluar dari permukaan air.
Di sekitarku hitam pekat. Sorotan senterku sangat terpusat sehingga cuma bisa menerangi satu titik saja, maka aku mematikannya dan menggantinya dengan senter yang lain. Ketika aku melihat ruangan makam itu dengan lebih seksama, kudapati kalau bentuknya persegi panjang dengan pinggiran dan sudu-sudut yang tajam. Kecuali untuk peta lima puluh bintang yang dilukis pada langit-langit serta beberapa hiasan atas tembok yang berukir, semua yang lainnya tampak sederhana dan polos.
Tak ada ranjang peti ataupun peti di dalamnya, jadi berarti kami mungkin berada di dalam salah satu ruang samping. Aku melihat sekeliling tapi tak melihat ada pintu keluar lainnya, hanya ada sebuah pintu batu di sisi kiri yang terhubung dengan sebuah koridor luar.
Dinding-dinding ruangan itu terbuat dari tanah liat putih yang sangat murah. Mulanya ada sejumlah mural warna-warni terlukis di permukaannya, tapi sayangnya, mural itu sudah terkikis amat parah oleh kelembaban sehingga aku tak mungkin bisa mengetahui apakah muralnya telah menggambarkan Wanita Terlarang atau tidak.
Di lantai ruang makam tergeletak kira-kira seratus buah porselen yang telah dikuburkan bersama-sama dengan almarhum, yang beberapa di antaranya merupakan guci-guci porselen Yunlong biru dan putih yang sangat berharga. Pada saat ini, tiba-tiba aku menyadari ada beberapa jejak kaki di lantai, yang kelihatannya seperti ditinggalkan oleh kaki basah yang menginjak lantai berdebu. Jejak-jejak itu tampak relatif masih baru, jadi kutebak merupakan milik Paman Ketiga.
Aku mengukur kualitas udaranya sebelum memberi aba-aba kepada yang lain agar keluar dari dalam air satu persatu. Setelah A Ning memanjat naik, hal pertama yang menjadi perhatiannya adalah jejak-jejak kaki tiu. “Apakah ini ditinggalkan oleh para perampok makam?” dia bertanya.
Aku mengernyit, tak bisa menjawabnya karena tiba-tiba aku melihat bahwa di antara jejak-jejak kaki ini, terdapat sebuah jejak kaki telanjang yang sangat menyolok. Tetapi anehnya, jejak kaki ini sangat kecil, seakan ditinggalkan oleh seorang anak yang usianya tidak lebih dari tiga tahun.
Aku tak pernah mendengar tentang para perampok makam yang membawa anak kecil bersama mereka, jadi aku memanggil Pangzi agar mendekat dan melihatnya. Dia punya banyak pengalaman, jadi kurasa dia mungkin tahu apa yang sedang terjadi.
Pangzi juga tampak agak kebingungan dan berkata, “Tak usah pikirkan soal ukurannya. Jejak kaki itu sendiri saja sudah tidak normal. Lihatlah lebih seksama.”
Aku memeriksanya lagi dan mendapati bahwa ada suatu zat seperti lilin kekuningan yang sepertinya melapisi jejak kaki itu. Aku mengeriknya dengan pisau, mengendusnya, dan tak bisa menahan rasa terperanjatku. “Ini adalah lilin mayat!”