Grave Robber Chronicles - Chapter 48
Lilin mayat adalah sebuah zat yang umumnya terbentuk ketika sebuah mayat terbenam di dalam air untuk waktu yang lama atau terkubur di dalam tanah basah dengan kandungan kelembaban yang memadai. Yang disebut-sebut sebagai lilin berasal dari lemak dan mineral di dalam tubuh yang mengental dan mengeras.
Aku mengikuti jejak-jejak kaki itu hingga mencapai sudut ruangan, di mana kemudian masuk ke belakang sebuah bejana porselen Yunlong besar berwarna biru dan putih. Aku merasakan jantungku berhenti sedetik.
Orang-orang berkata bahwa Yan Wang mudah untuk diajak bernegosiasi, tapi iblis-iblis lebih kecil lebih sulit untuk ditangani. Apakah mungkin di sini ada mayat hidup di bawah umur? Aku berpaling pada Pangzi dan berkata, “Lihat, jejak-jejak kaki ini adalah satu-satunya yang pergi ke satu arah dan kemudian berhenti. Mungkin….”
Tetapi sebelum aku selesai bicara, Pangzi mengisyaratkan padaku agar berhenti bicara. Aku menolehkan kepalaku dan melihat kalau bejana porselen besar itu tiba-tiba mulai berguncang sendiri.
“Makhluk itu bersembunyi di belakangnya,” Pangzi berkata lirih.
Zhang Botak sudah melepaskan separuh dari peralatannya tapi belum sampai ke sabuknya. Saat dia dengar apa yang kami bicarakan, dia hanya membiarkannya saja, mengambil tangki oksigenya, lalu berjalan mendekat sebelum bertanya pada Pangzi, “Apa itu?”
Pangzi memberi dia tatapan kesal sebelum berkata, “Zombie.”
Dia membeku, “Zongzi? Maksudnya seperti cemilan festival dari Jiaxing*?”
(T/N
Pangzi menggelengkan kepalanya dan mengabaikan Zhang Botak. “Kau yakin?” aku bertanya pada Pangzi. “Aku tak pernah melihat mayat hidup sekecil ini sebelumnya.”
“Aku nggak yakin,” Pangzi berkata, “tapi mau itu mayat hidup atau bukan, kita masih harus pergi memeriksanya. Kalau tidak, sama saja dengan bencana yang menunggu untuk terjadi. Ditambah lagi, aku takkan merasa nyaman merampok makam ini kalau aku tak tahu apa yang ada di dalamnya.” Seraya bicara, dia mengangkat senapan tombak di tangannya dan mengisyaratkan padaku agar bergerak. Aku menggelengkan kepalaku. Aku nggak bakal mau pergi ke sana.
Pangzi menghela napas dan memanggil Zhang Botak. Ini adalah kali pertama Zhang Botak memasuki makam, jadi dia merasa sangat bersemangat. Dia langsung berjalan mendekat, meniru gerakan-gerakan Pangzi, lalu mengambil posisi di seberang Pangzi sehingga mereka bisa melakukan gerakan penjepit ketika mereka mendekati bejana porselen biru putih besar itu.
Meski aku takut, aku tahu kalau aku tak boleh terlalu penakut di depan seorang wanita, jadi aku juga mengikuti di belakang Zhang Botak sambil mengamati semuanya dengan seksama.
Kami berjalan dengan sangat lambat, karena takut kalau-kalau sesuatu akan tiba-tiba melompat keluar menerjang kami. Pertama-tama Pangzi memeriksa dengan senternya tapi bejana porselen besar itu terlalu besar untuk bisa melihat apa pun di belakangnya. Kemudian dia menyodok-nyodok dengan senapan tombaknya, kelihatan sangat mirip dengan bagaimana biasanya tampangku saat aku berusaha menangkap seekor musang saat aku masih kecil yang mau tak mau membuatku merasa kalau hal itu lucu. Dia menyodok-nyodokkannya sebanyak lima atau enam kali, mendengarkan dengan sangat seksama untuk mencari adanya tanda-tanda pergerakan, tapi kelihatannya tak ada apa-apa di belakangnya. Kini merasa lebih berani, dia berjalan lebih dekat dan melongok. Dia lalu mendecakkan lidah dan memaki, “Sial, cuma ada sebuah kotak kayu kosong di sini. Sia-sia aku merasa gugup.”
Kami semua bergerak mendekat dan melihat kalau kotak itu adalah sebuah peti untuk bayi seukuran kotak biola dengan dua ekor phoenix terukir di atasnya. Meski tutup petinya telah dibuka dan dipinggirkan ke satu sisi, dasar putih di dalamnya masih dalam kondisi bagus. Tapi mayatnya tak ada di dalam situ. Tidak mengejutkan kalau Pangzi mengiranya sebagai kotak biasa. “Ini bukan kotak,” ujarku kepadanya, “Ini peti mati.”
Pada mulanya Pangzi tak percaya, tapi kemudian sepertinya dia mulai sadar. “Jadi kau bilang kalau ini adalah peti mati mayat hidup kecil itu?” dia bertanya.
Aku mengangguk dan memeriksanya lebih dekat. Ada beberapa lubang di dalam peti mati itu di mana jejak-jejak kehitaman bisa terlihat mengarah ke lantai, seolah suatu cairan telah mengalir keluar dari lubang-lubang ini. Sepertinya aku pernah membaca tentang sesuatu yang mirip dengan ini dalam buku catatan kakekku.
Pangzi memeriksa dengan seksama bagian dalam dan sekeliling peti itu dengan senternya sebelum mendesah penuh sesal, “Berdasarkan pada spesifikasi peti ini, aku tahu kalau pasti ada banyak harta pada tubuh anak ini, tapi sayangnya, aku tak tahu ke mana mayatnya pergi. Kalau tidak, aku akan sudah memeras keluar beberapa butir mutiara dari dalamnya.”
Aku mengangguk. Ketika berhubungan dengan anak-anak yang telah mati atau dikuburkan bersama dengan orang mati, selalu ada banyak barang di dalam peti mati serta yang menghias tubuh mereka. Terutama, mutiara-mutiara berharga dimasukkan ke dalam perut mereka untuk mencegah tubuhnya membusuk.
Kami semua melihat sekeliling untuk mencari ke mana perginya jenazah itu tapi tak menemukan bahkan satu jejak pun setelah menjungkirbalikkan tempat ini. Tampaknya para perampok makam itu mungkin telah membawanya bersama mereka.
Pangzi masih tak mau menyerah dan ingin membalikkan peti itu, tapi aku berpikir kalau hal itu tidak baik, jadi aku buru-buru mencekalnya dan berkata, “Peti ini berbeda dari peti-peti lainnya. Peti ini jelas tidak dibuat hanya untuk menaruh orang mati di dalamnya. Lebih baik tidak menyentuhnya.”
Pangzi tertawa, “Mayatnya sudah hilang tapi kau masih takut menyinggungnya. Apa. Kau cemas kalau peti itu akan melompat dan menggigitku?”
Pada saat ini A Ning tiba-tiba angkat bicara, “Tujuan kita kemari bukan untuk merampok barang-barang di dalam makam melainkan untuk secepatnya mencapai ruang makam utama. Berhenti buang-buang waktu sehingga kita bisa menyesaikan urusan ini dengan cepat.”
Pangzi tahu kalau dirinya ada di pihak yang salah, jadi dia tak punya pilihan selain menuruti kami. Kami kembali untuk memilah-milah peralatan selam kami terlebih dahulu, tapi ketika Pangzi mengenakan tas ranselnya, tiba-tiba dia menatapku. Mulutnya bergerak-gerak seperti akan mengatakan sesuatu tapi terlalu malu untuk mengatakannya. Aku mendesah, “Kalau kau ingin bilang sesuatu, cepat katakan saja. Ada apa?”
“Apa menurutmu mayat hidup kecil itu mungkin memanjat ke dalam bejana porselen besar itu?” Pangzi bertanya.
Aku menatap bejana porselen besar tersebut dan merasakan jantungku melonjak. Kemungkinan itu memang ada.
Pangzi sedikit merona dan berkata, “Barusan aku mendengar suara dari bejana itu. Sepertinya keluar dari dalamnya. Kukira mungkin aku sudah salah dengar. Lagipula, mayat hidup bukan tikus, jadi bagaimana mungkin dia menggali lubang pada bejana dan merangkak sendiri ke dalamnya? Tapi semakin aku memikirkannya, semakin aku menyadari kalau tak ada hal lainnya yang masuk akal.”
Mengetahui kalau dia masih memikirkan tentang harta karun pada tubuh mayat, aku pun bersiap untuk menegurnya, tapi kali ini, bejana porselen besar itu tiba-tiba terjatuh ke tanah dengan suara keras. Aku membeku. Bagaimana mungkin? Apa yang dia bilang itu benar?
Kami berempat tak mengucapkan sepatah kata pun dan hanya menatap gugup pada bejana itu. Bejana itu berputar di tempat beberapa kali sebelum tiba-tiba bergulir ke arah kami dengan suara menggemuruh keras.