Grave Robber Chronicles - Chapter 49
Barusan tadi semua perhatianku terpusat pada petinya, jadi aku tak melihat bejana porselennya dengan terlalu seksama. Aku segera mundur beberapa langkah ketika bejana itu bergerak dan berguling beberapa kali, berubah arah, dan kemudian bergulir menuju pintu batu yang mengarah ke terowongan luar, di mana pada akhirnya menabrak rangka pintu dengan suara berdentang keras dan berhenti mendadak.
Kami semua saling berpandangan dengan takut. Apakah Pangzi benar dan sungguh-sungguh ada mayat hidup di dalamnya?
Kami berdiri membeku di sana selama beberapa saat, tak berani bergerak ke arah benda itu dengan gegabah. Pada saat ini, Pangzi tiba-tiba angkat bicara dengan suara dilirihkan, “Teman-teman, bejana ini benar-benar aneh. Bagaimana kalau kita mengambil inisiatif dan menembakkan beberapa tombak ke arahnya?”
Tentu saja, aku tak setuju dengan usulan ini, jadi aku balas berbisik kepadanya, “Jangan berani-berani! Cari tahu dulu apa yang ada di dalamnya!”
Ada beberapa alasan kenapa aku bilang begini. Pertama, aku sudah menyadari kalau bejana porselen besar putih biru ini berasal dari Dinasi Yuan dan Ming, yang berarti benda ini jelas adalah harta. Tidak banyak jumlah bejana seukuran yang itu di dunia ini, jadi benda ini jelas adalah barang langka, dan kalau kami memecahkannya, maka jumlahnya akan berkurang satu. Kedua, aku tak tahu benda aneh macam apa yang ada di dalam bejana itu. Kalau isinya benar-benar mayat hidup seperti yang Pangzi katakan, maka mau tak mau kami harus melawannya. Aku sudah menghabiskan terlalu banyak energi untuk berenang di bawah permukaan air barusan tadi, jadi aku tahu kalau aku jelas takkan mampu berlari kabur.
Tapi saat ini kami berada di dalam sebuah makam bawah laut kuno yang letaknya lebih dari sepuluh meter di bawah permukaan laut. Aku tak tahu berapa lama udara di sini akan bertahan. Kalau kondisi seri ini terus berlanjut, maka takkan bagus bagi kami. Kegelisahan membuat sekujur tubuhku mengucurkan keringat tetapi keputusan tentang apakah harus menyerang atau mundur begitu sulit sampai-sampai aku tak bisa membuat keputusan yang tegas.
Pada saat ini, Pangzi melihatku ragu-ragu dan berkata, “Kita tak bisa memastikan apakah benar-benar ada mayat hidup di dalamnya. Tempat ini memiliki titik akses ke laut, jadi mungkin ada beberapa ekor kepiting atau lobster telah merayap ke dalamnya. Tak perlu menakuti diri kita sendiri. Ayo maju saja dan periksa.”
Si wanita menggelengkan kepalanya, “Tujuan utama kita adalah memasuki ruang makam utama. Tak perlu membuang-buang waktu di perjalanan. Menurutku, lebih baik menghindarinya dan lihat apakah ada jalan lain untuk keluar dari sini.”
Begitu aku mendengar alternatif ini, aku langsung memeriksa kembali kamar samping dengan lebih seksama, tapi sayangnya, sekali lihat saja sudah ketahuan kalau tempat ini bersih – tak ada pintu ataupun lubang lain yang bisa kami rayapi.
Pangzi sudah tak tahan lagi dan berkata, “Sekarang kita punya dua pilihan: menggeser bejana ini atau kembali. Tak ada jalan lain. Tapi kukatakan ini kepada kalian – karena kita sudah sampai di sini, tak mungkin aku, Wang Pangzi, akan dibuat ketakutan sampai kabur pulang hanya gara-gara sebuah bejana!”
Aku menatap ekspresi A Ning dan melihat kalau dia juga sangat penuh tekad. Zhang Botak tak bicara apa-apa, tampak sungkan seperti biasanya. Mereka bertiga kemudian menatapku berbarengan, seakan mereka meminta pendapatku.
Aku masih belum memutuskan. Tentu saja, berlari ke arah bejana itu bukan ide bagus tapi kata-kata Pangzi juga masuk akal. Ada banyak benda di dalam makam kuno ini yang menakuti kami, tapi pada akhirnya kami menyadari kalau kami hanya sedang menakuti diri sendiri. Aku menatap ke dalam mata A Ning dan mau tak mau hatiku melunak. “Oke,” kataku kepada mereka, “kita maju selangkah demi selangkah. Kalau tidak menyerang, maka kita tinggalkan saja. Kalau menyerang, maka berarti empat lawan satu. Kita punya empat senapan tombak di tangan kita, jadi tak perlu takut pada makhluk di dalamnya!”
Pangzi menepuk bahuku dengan sikap menyetujui, aku mengeluarkan senapan tombakku, melepas pengamannya, lalu mengarahkannya pada bejana sementara Pangzi berjalan di depan. Kemudian, kami berempat berjalan menuju tepian luar pintu dengan hati-hati.
Aku tak terlalu takut, cuma agak gugup. Sungguh disayangkan baju selamku tak bisa menyerap keringat karena mulai terasa amat sangat tidak nyaman.
Kami hampir berada cukup dekat untuk melihat apa yang ada di dalam bejana itu, tapi pada saat ini, tiba-tiba terdengar suara dan kemudian bejana itu mulai berputar-putar dengan cepat. Semua darah mengalir deras ke otakku dan aku nyaris menarik pelatuknya.
Dengan cekatan Pangzi mundur dua langkah dan mengisyaratkan pada kami agar jangan bergerak. Kemudian, bejana porselen itu tiba-tiba mulai berguling lagi, tapi kali ini, benda itu berguling dalam sebuah lengkungan lurus sebelum bergerak menuju koridor gelap. Kami mendengarkan suara gemuruhnya ketika bergulingan dalam waktu lama sebelum kemudian terdengar suara ‘klang’, seakan benda itu sudah menabrak sesuatu lagi. Setelahnya, suara itu menghilang.
Kami langsung bergerak untuk mengikutinya dan menemukan bahwa koridor di luar hitam pekat. Aku menyalakan senterku dan melihat kalau dinding-dindingnya terbuat dari potongan-potongan pualam putih. Koridornya sendiri sangat sederhana tanpa ada apa-apa di dalamnya kecuali untuk dua parit di kedua sisi lantai batu serta beberapa lentera yang dipasang di situ pada jarak tiap satu meter. Di masa kuno, parit-parit ini dipenuhi oleh minyak yang bisa dibakar untuk memberikan penerangan di dalam makam. Di ujung lain koridor itu terdapat sebuah pintu kumala, yang di kedua sisinya diapit oleh pintu-pintu yang ukurannya sedikit lebih kecil. Ketiga pintu ini semuanya terbuka, mengindikasikan bahwa seseorang telah masuk sebelum kami. Bejananya berhenti di tengah-tengah pintu kecil di sebelah kiri dan tidak bergerak.
Kali ini, aku benar-benar tak bisa menyingkirkan perasaan bahwa sesuatu yang aneh sedang terjadi. Berdasarkan pada perilaku bejana ini, hampir kelihatan seperti kalau benda ini sedang melakukan semua yang dia bisa untuk menunjukkan jalan kepada kami, semacam berkata, “Ikuti aku.” Ini pasti adalah tindakan yang disengaja, yang berarti mungkin makhluk di dalam bejana itu bukan mayat hidup melainkan hantu?
Aku menatap ke arah Zhang Botak tapi tak bisa menerka apakah dia sedang gugup atau ketakutan. Kuputuskan untuk menyuarakan teoriku kepada yang lain dan memperoleh pendapat mereka mengenai hal itu. Ketika Pangzi mendengarnya, dia setuju kalau teoriku masuk akal. Kemudian dia mendesah keras dan berkata, “Idemu kedengaran masuk akal. Sebenarnya, barusan aku juga berpikir kalau benda ini bergulingan dengan terlalu mudah, hampir seperti bola bowling.”
Dalam hati aku tersenyum pahit. Pangzi menyadari kalau aku agak kebingungan dengan situasinya dan berkata, “Karena kita sudah sampai di titik ini, lebih baik tak ragu-ragu di sini. Kita akan mengikuti dia di sepanjang jalan dan lihat apa tujuannya. Bagaimanapun juga, hasilnya akan sama saja tak peduli jalan apa pun yang kita pilih.”
Semua orang mengangguk. Pangzi kemudian menepuk-nepuk pundakku dan berkata, “Biasanya ada perangkap di sepanjang jalan batu polos seperti ini. Adik Wu, apa kau mengamati dan lihat apa kau menyadari sesuatu?”
Aku tahu kalau ini adalah tanggungjawabku, jadi aku mengangguk dan memakai senterku untuk menerangi lantai. Lantai koridor ini terbuat dari dari ubin batu kecil, yang membuatku berpikir kalau perangkap busur silang telah dipasang. Kalau ada perangkap macam apa pun di sini, kurasa perangkap-perangkap itu mungkin sudah rusak atau terpicu karena Paman Ketiga sudah pernah ke tempat ini. Tapi kalau tidak, maka situasinya akan jadi sedikit lebih merepotkan. Aku memperingatkan mereka akan adanya bahaya, membenarkan posisi ranselku, dan melangkah maju lebih dulu.
Untuk menghindari perangkap, cara terbaik adalah menempel pada dinding, tapi ada dua parit ‘cahaya’ di kedua sisi jalan ini. Karena aku tak tahu apa yang ada di dalamnya karena kondisi gelap koridor ini, kami pun hanya bisa berjalan di sebelahnya.
Aku menyuruh semua orang memusatkan perhatian mereka pada perasaan di bawah kaki mereka, tapi sebenarnya, bahkan aku juga tak tahu apa yang harus diperhatikan. Saat meletakkan kakimu, berapa banyak berat yang harus ditumpukan dan berapa cepat kau bergerak semuanya merupakan faktor-faktor penting, tetapi semua ini hanya bisa diperoleh dengan pengalaman, yang mana tidak kumiliki. Jadi, semakin aku berjalan, semakin panik aku merasa.
Setelah berjalan sepuluh langkah dengan kondisi yang begitu gelisah, aku pun bermandikan keringat dingin. Yang lainnya di belakangku bisa melihat betapa gugupnya aku dan juga mulai merasa cemas. “Tampaknya jenis pekerjaan membersihkan tambang semacam ini tidak mudah,” Pangzi berkata. “Sobat muda, kalau kau terlalu lelah, bagaimana kalau kita istirahat?”
Aku tak sempat berdebat dengannya dan berkata, “Jangan bicara. Kalau perhatianku teralihkan, kita semua akan mati.” Kata-kata itu belum selesai meninggalkan mulutku ketika tiba-tiba aku merasakan getaran di bawah kakiku. Aku melihat ke belakang dan mendapati bahwa sebuah ubin batu di bawah kaki A Ning telah melesak dan dia menatap panik ke arahku.
Aku mendesah nelangsa seraya berpikir dalam hati, habislah kami. Bisa-bisanya kami seapes ini? Sekarang kami akan ditembaki sampai penuh dengan anak panah dan tampak seperti landak. Aku mendengar suara siulan tepat ketika sebuah anak panah dari busur silang terbang melewati telinga A Ning. Tapi sebelum satu pun dari kami bisa bereaksi, anak panah kedua sudah datang dan terbang tepat ke arah dadanya.
Benda-benda ini bergerak secepat kilat, tapi tiba-tiba ekspresi A Ning berubah dan kemudian dia berbalik dengan sama cepatnya lalu menangkap anak panah itu dari udara. Serangkaian gerakan itu hanya membutuhkan waktu sepersekian detik dan terjadi sangat cepat sampaai aku bahkan tak bisa melihat bayangannya dengan jelas.
Aku dibuat terpukau oleh kemampuannya, tapi situasinya tak memberiku waktu untuk mempertimbangkan segalanya dengan seksama. Aku merasakan serangkaian getaran di bawah kakiku dan berseru, “Tiarap! Ada lebih banyak lagi busur silang!”
Begitu aku selesai bicara, lebh dari selusin cahaya putih datang membelah udara. Aku buru-buru merundukkan kepalaku untuk menghindari satu dan tiba-tiba melihat sesuatu yang tertutup rambut putih merayap keluar dari dalam bejana di kejauhan dan dengan cepat memasuki pintu batu di sebelah kiri. Aku sudah akan menyerukan peringatan kepada yang lain tapi kemudian tiba-tiba aku merasakan rasa sakit yang tajam di dadaku. Aku menunduk… Sial! Aku tak tahu kapan ini terjadi, tapi sekarang ada dua anak panah mencuat dari dadaku, menancap sekitar dua atau tiga sentimenter di bawah kulitku.