Grave Robber Chronicles - Chapter 50
Aku bisa melihat kalau kepala-kepala anak panah itu telah sepenuhnya menancap ke dalam tubuhku dan rasa sakit yang kuat membakar dadaku. Aku luar biasa panik, tak bisa memercayai apa yang baru saja terjadi padaku – aku masih sangat muda dan bahkan belum pernah menyentuh tangan wanita. Apa aku benar-benar akan mati di suatu makam tak dikenal? Kalau aku mati di tempat ini, tak ada seorang pun yang akan menemukan mayatku selama ratusan tahun. Hasil semacam itu akan jadi benar-benar tragis.
Panah-panah terus menghujani kami. Aku tak tahu mekanisme macam apa yang dipakai untuk menembakkannya, tapi datangnya begitu cepat sampai-sampai sama sekali tak ada cara untuk mengelaknya. Pangzi memakai ranselnya sebagai tameng dan tiba-tiba berlari ke depan kami dan menghadang beberapa anak panahnya. Saat aku melihat punggungnya, aku tak tahan untuk menarik napas tajam – ada lebih dari sepuluh dari anak-anak panah itu yang menancap di punggungnya, membuat dia tampak seperti pendupaan yang penuh dengan batang-batang dupa. Kelihatannya dia seharusnya sudah mati saat ini, tapi untuk suatu alasan tertentu, dia tak kelihatan kesakitan sama sekali.
Aku ingat pernah membaca novel di mana orang-orang akan berakhir ditembaki sedemikian banyaknya anak panah sampai-sampai mereka tampak seperti landak. Aku tak pernah benar-benar melihatnya sebelum ini, tapi sekarang ketika aku menyaksikannya secara langsung. Mau tak mau aku memaki pada diriku sendiri.
Pada saat ini, tiba-tiba seseorang menyambar bajuku dan mulai menyeretku maju di sepanjang koridor. Terperanjat, aku melihat ke belakang dan mendapati kalau ternyata orang itu adalah A Ning. Namun sorot dingin dan mengancam di matanya langsung memberiku perasaan buruk, jadi aku buru-buru berusaha melepaskan diri darinya. Saat dia melihat aku sedang berusaha melarikan diri, tanpa belas kasihan dia menendang bagian bawah punggungku dengan lutut. Rasa sakitnya jauh lebih parah daripada kedua anak panah yang telah menancapkan diri di dadaku. Sekujur tubuhku menjadi lemas, tapi rasa sakitnya begitu hebat sampai-sampai aku sama sekali tak bisa memakai tenagaku untuk menopang diriku sendiri. Memanfaatkan hal ini, dia lanjut menggunakanku sebagai tameng manusia ketika dia terus berjalan menuju pintu kumala besar di bagian tengah. Seraya aku terus diseret, lebih banyak lagi anak panah yang tiba-tiba menghujam bahu, perut, dan dadaku. Sakitnya sungguh luar biasa sampai-sampai aku nyaris pingsan.
Mereka bilang bahwa dari semua orang di dunia, tak ada yang lebih kejam daripada seorang wanita. Aku tak pernah benar-benar memercayainya karena aku tak pernah berpikir kalau wanita bisa sekejam itu. A Ning barusan tadi telah menjadi seorang wanita lemah ketakutan, tapi siapa yang akan menyangka kalau dia akan berubah dalam sekejap mata dan memakaiku sebagai tameng manusia untuk menghadang hujan panahnya?
Tentu saja, aku takkan semurahhati itu. Mengetahui kalau aku lebih kuat daripada dirinya, aku memutar tubuh dengan segenap tenagaku dan berhasil melepaskan diri dari cengkeramannya, terjatuh ke dalam parit ‘cahaya’ terdekat dalam prosesnya. Si wanita melihat kalau dia sudah kehilangan tamengnya dan langsung bersalto ke udara, mengelak lebih dari selusin anak panah sekaligus, dan kemudian berbalik lalu memelototiku.
Sial, kau masih punya nyali untuk memelototiku setelah perbuatan yang baru saja kau lakukan?! Batinku dalam hati sebelum aku berseru dan menghambur maju untuk berusaha menangkapnya. Dia mencibir padaku, berputar ke samping, dan kemudian melompat ke udara, memakai dinding sebagai pijakan untuk mencapai tempat aman yang bebas dari anak panah. Dia melakukan semua ini secepat kilat, gerakannya begitu rapi dan gesit sehingga semuanya sudah selesai sebelum aku bahkan punya waktu untuk bereaksi.
Ketika aku melihat kalau tak ada satu anak panah pun yang berhasil mengenai dia, aku menghantamkan tinjuku ke lantai dengan marah. Dia menolehkan kepalanya untuk menatapku, meniupkan ciuman yang penuh dengan gaya merendahkan, menyalakan senternya, dan kemudian melenggang melewati pintu yang tengah.
Aku begitu marah sampai-sampai hampir muntah darah tapi tak ada yang bisa kulakukan selain bersembunyi di dalam parit ‘cahaya’ dan mendengarkan suara-suara anak panah beterbangan di atas kepalaku lalu mengenai dinding dengan suara derakan keras. Hujan anak panah ini berlanjut selama lima menit lagi sebelum akhirnya berhenti. Aku melirik ke belakang pada Pangzi, yang tampak seperti bola penuh dengan anak panah serta terhuyung-huyung seakan sudah akan roboh. Aku buru-buru bangun untuk membantunya tapi dia melambai untuk mengusirku, mengindikasikan kalau dia baik-baik saja. “Xiao Wu,” katanya, “kurasa ada sesuatu yang salah dengan anak-anak panah ini. Bagaimana bisa mereka menancap sedalam ini tapi rasanya tak terlalu sakit? Coba cabutkan beberapa untukku dan periksalah.”
Aku juga berpikir kalau ada sesuatu yang salah – kenapa luka-luka anak panah ini tidak separah yang mulanya kukira? Pernapasanku masih lancar dan tak terganggu, tapi aku kan belum pernah mati sebelumnya. Aku tak tahu bagaimana rasanya dipanahi sampai mati.
Pangzi telah memintaku mencabut beberapa anak panah ini, tapi aku benar-benar tak punya keberanian, jadi aku berakhir ragu-ragu untuk waktu lama di depannya tanpa melakukan apa-apa. Tapi pada saat ini, Zhang Botak menggertakkan giginya dan berdiri dari tempatnya berada di belakang Pangzi. Sepanjang waktu ini dia telah terlindungi jadi tak ada satu anak panah pun yang mengenainya. Ketika dia melihat Pangzi penuh ditancapi anak-anak panah seperti ini, tiba-tiba dia berkata, “Jangan cemas, ini akan baik-baik saja.”
Aku dan Pangzi sama-sama tertegun – kenapa suara Zhang Botak bukan cuma berubah tapi juga kedengaran familier? Kemudian, tiba-tiba dia merenggangkan sekujur tubuhnya dan kami mendengar beberapa kali suara menceklik dan berderak ketika tinggi tubuhnya benar-benar tumbuh beberapa sentimeter. Setelahnya, dia merenggangkan tangannya keluar dengan memakai kekuatan yang sama dan kami mendengar lebih banyak lagi suara ceklikan dan derakan sebelum tiba-tiba lengannya jadi sedikit lebih panjang.
Ketika aku melihat ini, kukira rahangku akan jatuh. Bukankah ini adalah kontraksi tulang? Aku penasaran. Aku hanya pernah mendengar tentang hal itu dalam catatan-catatan kakekku. Ini adalah salah satu keahlian mendasar yang dipakai oleh para perampok makam di masa kuno. Metode ini dipakai untuk melewati beberapa celah yang sangat sempit, seperti celah di antara balok atap dari istana bawah tanah ataupun ruang-ruang kosong di bawah tanah. Ini adalah suatu keahlian yang bisa kau pakai di mana saja. Aku tak pernah bisa menemukan prinsip yang ada di baliknya, jadi aku selalu berpikir kalau hal ini adalah lelucon. Kalau saja barusan tadi aku tidak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, aku takkan pernah percaya kalau keahlian supernatural semacam itu memang ada.
(Di tahun-tahun belakangan ini, aku mendengar bahwa beberapa orang di Luoyang – salah satu dari desa-desa tempat para perampok makam tinggal – masih memakai keahlian ini. Mereka menggali terowongan-terowongan perampok makam yang ukurannya sangat kecil dan memakai kontraksi tulang untuk mengerutkan diri mereka sendiri supaya mereka bisa masuk ke dalamnya. Ketika polisi lewat dan melihat lubang itu, mereka hanya mengira kalau itu adalah lubang milik musang. Tetapi bahkan ketika mereka menemukan bahwa ini adalah terowongan perampok makam, mereka tak bisa turun untuk menangkap orangnya. Ini karena ketika polisi berusaha membuat lubangnya lebih besar agar mereka bisa muat, orang-orang di dalamnya sudah menggali terowongan lainnya dan kabur. Sayangnya, keahlian ini sangat sulit untuk dikuasai, jadi bahkan meski kau telah melatihnya sejak kecil, tetap akan sulit untuk berhasil kalau kau tak bisa membuat semua tulang di tubuhmu berkoordinasi.)
Zhang Botak menghembuskan napas panjang dan kemudian mengulurkan tangan ke belakang telinganya lalu menarik, mengoyak topeng kulit manusia dan menampakkan wajah aslinya. Aku… saat aku melihatnya, aku benar-benar dibuat terbengong-bengong. Orang yang bersembunyi di balik topeng kulit manusia itu ternyata adalah si Muka Datar! Aku berdiri membeku di tempat selama beberapa saat sebelum gelombang amarah tiba-tiba membara. Sungguh aktor yang hebat. Kau bisa saja memenangkan Piala Oscar. Aku benar-benar tak mencurigai apa-apa sama sekali!
Muka Datar menggucangkan lengannya seakan dia sudah tidak menggerakkannya dalam waktu lama. Sementara itu, Pangzi sama tak mampu berkata-katanya denganku. Butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan kembali kesadarannya, tapi saat dia sudah sadar, dia langsung mencengkeram Muka Datar dan berkata, “Xiao Ge, apa maksudmu dengan ini? Apa kau cuma sedang main-main dengan kami?”
Muka Datar tetap membisu ketika dia menepuk Pangzi dan menyuruhnya agar duduk. Kemudian, dia meraih salah satu anak panah di punggung Pangzi, memutarnya kuat-kuat, dan dengan mudah berhasil mencabutnya. Aku mencondongkan diri mendekat untuk melihat dan mendapati kalau cuma ada tanda merah di tubuh Pangzi. Sama sekali tak ada lukanya.
Sementara aku merasa kaget, aku juga kegirangan pada fakta bahwa aku mungkin takkan perlu mati. Buru-buru aku mempelajari teknik Muka Datar dan kemudian mulai mencabuti anak-anak panah dari tubuhku sendiri. Ternyata, sama sekali tidak sulit. Aku memeriksa anak panah yang telah kucabut dan melihat kalau kepala anak panahnya telah dibuat dengan cerdas. Begitu anak panahnya mengenai sesuatu, ujungnya yang tajam akan terdorong mundur dan kemudian beberapa cakar yang seperti kait besi akan terdorong maju dari samping-sampingnya lalu menyangkut pada kulitmu.
Muka Datar memandangi onggokan anak panah yang bertebaran di seluruh permukaan lantai dan berkata pelan, “Barusan tadi wanita itu telah dengan sengaja menginjak jebakan. Tampaknya dia bukan hanya yakin pada kemampuannya, tapi juga ingin menyingkirkan kita.”
Saat aku memikirkan tentang ciuman yang tadi dia tiupkan, tampak jelas kalau dia sedang menertawaiku. Aku begitu marah sehingga menggigit bibirku sampai berdarah. Benar saja, wanita cantik memang tak bisa dipercaya. Aku jelas takkan pernah membuat kesalahan yang sama lagi!
Pangzi, yang punggungnya hampir dipenuhi oleh bekas-bekas merah itu, menyeringai dan berkata, “Untung saja, anak-anak panah sialan di sini tak berbahaya, kalau tidak, dia benar-benar akan sudah sukses. Aku punya reputasi lumayan, jadi kalau aku sampai mati karena penuh dihujani anak panah sampai kelihatan seperti landak, aku akan jadi tak lebih dari bahan tertawaan.”
Aku menatap anak-anak panah yang aneh itu dan bertanya kepada mereka, “Kenapa semua kepala anak panahnya seperti ini? Apa tujuannya?”
“Aku juga tak tahu,” Muka Datar berkata, “tapi begitu aku melihatmu terkena anak panah, aku tahu kalau benda itu tak berbahaya. Satu-satunya penjelasan yang bisa kupikirkan adalah bahwa mungkin si pemilik makam ingin memberi kita kesempatan untuk mundur alih-alih membunuh kita sekarang juga.”
Aku mendapati kalau semua urusan ini sangat aneh, sungguh tak masuk akal sedikit pun. Tapi sekarang bukan waktunya untuk mendiskusikan hal ini. Wanita itu mungkin sudah memasuki ruang makam utama, tapi kami tak boleh membiarkan jalang itu menyelinap masuk, mengambil barang-barangnya, lalu pergi dengan sedemikian mudah. Begitu aku memikirkan hal ini, rasanya aku ingin berlari mengejarnya, tapi Muka Datar segera meraihku dan menggelengkan kepalanya sebelum berkata, “Pasti ada alasan kenapa hantu bejana itu ingin kita pergi ke ruang makam di sebelah kiri terlebih dulu. Kita akan lakukan seperti maunya. Sekarang kita ada di dalam wilayahnya jadi kita tak boleh berkeliaran dengan gegabah.”
Aku merasa tidak sabar. Kalau kami tak mengikuti wanita itu dan dia berakhir kembali melewati jalan ini untuk kabur, entah apakah kami akan bisa menemukannya lagi. “Jangan cemas,” tiba-tiba Pangzi berkata, “kita kembali saja dan sembunyikan semua peralatan selamnya lebih dulu. Lihat saja apa dia bisa menahan napas cukup lama untuk bisa keluar!”
Ketika berada di saat-saat kritis, dengan mengejutkan otak Pangzi ternyata bekerja dengan sangat baik. Kenapa aku tak terpikirkan itu? Aku bertanya-tanya sambil langsung mengangguk padanya. Setelah kami bertiga buru-buru berlari kembali ke ruang samping, aku memakai senterku untuk melihat tempat di mana kami telah meletakkan barang-barang kami lalu memandanginya dengan terbengong-bengong. Tak ada apa-apa di sana – semua tangki oksigen kami sudah lenyap!