Grave Robber Chronicles - Chapter 51
Kami bertiga berdiri membeku dengan syok di tempat. Padahal kami baru pergi selama kira-kira lima menit. Tak ada seorang pun yang akan bisa memindahkan semua peralatan kami dalam waktu sesingkat itu dan hanya ada satu pintu yang mengarah dari ruang samping itu ke koridor. Semua barang itu bisa pergi ke mana?
Kami saling bersitatap nelangsa. Benar saja, satu demi satu hal aneh terjadi di tempat ini. Pangzi juga dibuat takut oleh rentetan kejadian ini dan bertanya, “Apa ada mayat hidup lain di sini?”
Aku melambaikan tanganku dengan sikap acuh tak acuh. Sekarang bukan saatnya untuk mendiskusikan tentang mayat hidup, kami masih bisa mengurus mereka tanpa masalah. Tapi tanpa peralatan menyelam, bagaimana kami akan bisa melewati terowongan makam bawah laut dengan panjang belasan meter yang memisahkan kami dari permukaan air? Ini adalah masalah serius, dan merupakan masalah yang akan membuat kami terperangkap di dalam makam bawah laut ini kalau kami tak memecahkannya.
“Kau adalah orang terakhir yang melepaskan peralatanmu barusan tadi,” kataku pada Pangzi. “Apa kau telah memindahkan barang kita ke suatu tempat pada waktu itu?”
“Tentu saja tidak!” Pangzi berkata. “Kedelapan tabung itu benar-benar berat. Ngapain juga aku memindah-mindahkannya, memangnya aku nggak ada kerjaan lain?”
Aku juga berpikir demikian. Pada saat itu kami semua ada di situ, jadi kami pasti akan menyadari kalau seseorang telah memindahkan benda-benda itu ke tempat lain. Ditambah lagi, tabung-tabung oksigen itu sangat berat, jadi tidak realistis kalau seseorang memindahkan semuanya sekaligus.
Untuk sesaat kami berdiri kebodoh-bodohan sebelum Pangzi menjadi tak tahan lagi dan menyarankan agar kami mencari ke sekitar, berkata bahwa bahkan meski hantu telah memindahkan barang kami, tetap saja akan meninggalkan petunjuk. Sepakat dengan hal ini, aku langsung berlari untuk kemudian menggeser bejana-bejana porselennya ke samping untuk melihat apakah peralatan kami disembunyikan di belakangnya. Tapi semua ini hanyalah tindakan menipu diri sendiri – di tempat sekecil itu, dalam sekali lihat kami pasti akan sudah menyadari kalau ada sesuatu di sana. Tapi aku begitu putus asa sampai-sampai aku bersedia mencoba apa saja.
Selama kira-kira lima atau enam menit kami telah mencari dengan sangat seksama, tapi semakin aku mencari, semakin aku merasa kalau ada sesuatu yang salah. Aku tak tahu apa masalah persisnya, aku hanya merasa kalau semua yang ada di sini aneh tak terungkapkan. Pada akhirnya, Pangzi-lah yang menerka jawabannya. “Sialan!” tiba-tiba dia berseru. “Ini bukan ruangan yang sama dengan tempat kita tadi berada!”
Aku memutar kepalaku untuk melongok dan melihat bahwa senternya sedang menyinari salah satu sudut ruangan. Berdasarkan dari apa yang kuingat, sebelumnya tak ada apa-apa di sana. Tapi sekarang ada sebuah pilar batu penuh dengan banyak ukiran burung eksotis serta binatang aneh yang sebagiannya tertanam di dinding. Struktur dari ruang makam ini sepenuhnya berbeda dari ruang tempat kami berada sebelumnya. Kami langsung melihat ke arah tiga sudut lainnya dan mendapati bahwa, benar saja, keempat sudut itu semuanya telah mengalami perubahan yang sama. Kurasakan dahiku mengucurkan keringat dingin. Bukan hanya situasi ini tidak masuk diakal, namun juga tak bisa dipercaya.
Aku menatap Muka Datar, yang mengangguk dan berkata, “Dia benar. Sepertinya ini adalah ruangan lain. Peti anak-anak di sudut sebelah sana sudah hilang dan barang-barang penguburannya sangat berbeda. Selain itu, lihatlah langit-langitnya –”
Saat aku mendongak, aku begitu syok. Peta lima puluh bintang di langit-langit telah berubah menjadi dua ekor ular raksasa yang saling berbelitan. Kedua ular itu bergulung-gulung mengelilingi seluruh langit-langit dan diukir dalam detil yang sangat jelas sampai-sampai hampir terlihat seakan ular-ular itu hendak melompat keluar dan menggigitku. Aku begitu ketakutan ketika melihat mereka sampai buru-buru menundukkan kepalaku.
“Bagaimana mungkin?” Pangzi mendebat. “Pada dasarnya koridor ini adalah Jalan Gunung Huashan*. Tempat ini tidak sebesar itu. Kita berjalan dari sini ke koridor tempat kita ditembaki habis-habisan oleh panah dan kemudian berlari kembali kemari lagi. Jelas-jelas ini jalan yang benar! Bagaimana kita bisa membuat kesalahan semacam ini?”
(T/N: Gunung Huashan di Shaanxi adalah gunung sebelah barat dari Lima Gunung Suci. Jalan di tempat ini merupakan jalan paling berbahaya di dunia. jalan menuju puncak pohon dimulai dengan banyak tangga berukuran besar, dijuluki sebagai ‘Tangga Langit’. Sisi lain, sisi selatannyalah yang berbahaya. Jalan di sisi ini terbuat dari papan-papan tipis yang dipasang di dinding gunung dan untuk menjaga keseimbangan, kau harus berpegangan pada rantai yang dipakukan ke batu. Tak ada apa pun lainnya yang bisa menjaga keselamatanmu. Kau juga harus memanjat rantai dan menaruh kakimu ke dalam lubang-lubang yang digali di permukaan batu untuk menjaga keseimbangan.)
Pada saat ini, aku menyadari bahwa mungkin saja kami sedang menghadapi hal yang sama dengan yang telah dialami oleh Paman Ketiga dua puluh tahun yang lalu. Tetapi situasi kami saat ini sedikit berbeda dengan apa yang telah dia gambarkan, jadi aku tak tahu harus bagaimana. Pada saat itu, Paman Ketiga tidak melepaskan peralatan selamnya, jadi dia berhasil kabur dengan memakai kolam air di tengah-tengah ruangan. Tapi saat aku masuk, aku tak mengambil langkah pencegahan apa pun bahkan meski aku tahu kalau sesuatu seperti ini mungkin saja terjadi. Ketika aku memikirkan hal ini, mau tak mau aku jadi menyalahkan diriku sendiri atas kebodohanku.
Pangzi agak kebingungan dan bertanya padaku, “Bukankah kalian para perampok makam dari Selatan familier dengan cara-cara menangani berbagai jebakan di dalam makam kuno? Tentunya kau sudah pernah bertemu dengan hal semacam ini sebelumnya.”
Aku mendesah. Tentu saja aku belum pernah bertemu dengan hal semacam ini sebelumnya. “Kita bukan orang asing lagi, jadi aku akan katakan yang sebenarnya pada kalian,” ujarku kepada mereka. “Ini baru kali kedua dalam hidupku aku berada di dalam makam. Aku tak tahu bagaimana menangani jebakan ataupun macam-macam mekanisme, apalagi membedakan antara bejana-bejana dan guci-guci ini. Tidak seharusnya kalian mengandalkan aku.”
Pangzi tak memercayaiku dan berkata, “Sobat muda, jangan menakutiku seperti itu. Aku benar-benar berharap kau bisa menemukan caranya.”
Aku tak tahu bagaimana harus menjawab dia, jadi aku cuma memberinya seulas senyum kecut sebelum berkata, “Situasi saat ini sangat aneh sampai-sampai bahkan kalaupun aku benar-benar seorang ahli, aku tak merasa kalau aku akan bisa melakukan apa-apa. Lihat saja. Mekanisme macam apa yang bisa mengubah semua perabot di dalam sebuah ruangan hanya dalam waktu beberapa menit, bahkan dinding dan langit-langitnya? Ini mustahil. Pasti ada suatu penjelasan lain.”
Si Muka Datar yang cuek mengangguk setuju sementara Pangzi menggaruk kepalanya dan bertanya, “Jadi ini bukan suatu mekanisme? Lantas apa ini sihir?”
Saat aku mendengar dia menyebutkan hal ini, tiba-tiba aku teringat sesuatu dan berkata, “Aku tak tahu, tapi ini juga ada kemungkinan. Aku pernah mendengar sebuah cerita tentang seorang perampok makam yang memasuki sebuah makam kuno dan mendapati tempat itu sama menakjubkan dan mewahnya dengan istana, dan benar-benar ada seorang pria sedang minum di dalamnya. Ketika si pria melihat si perampok makam mendekat, dia bukan hanya mengundangnya untuk minum tapi juga memberinya sebuah sabuk. Setelah minum beberapa cawan bersama pria itu, si perampok makam jatuh pingsan karena mabuk di dalam makam kuno itu. Ketika dia bangun dan melihat sekeliling, dia mendapati dirinya sedang berbaring di dekat sebuah peti mati rusak. Sabuk yang diberikan kepadanya itu ternyata adalah ular. Bukankah cerita ini agak mirip seperti situasi kita sekarang?”
“Kedengarannya seperti omong kosong,” Pangzi berkata. “Setidaknya dia bisa minum arak, sialan. Kita cuma dapat air. Bagaimana bisa situasi kita dibandingkan dengan itu?”
Setelah mendengarkan protesnya, aku jadi bertanya-tanya apakah aku harus memberitahu mereka tentang apa yang telah dialami oleh Paman Ketiga. Tapi aku agak ragu-ragu karena semuanya begitu membingungkan dan mungkin melibatkan Muka Datar. Aku masih tak tahu dia ada di pihak mana atau apa motif dia sebenarnya, jadi mungkin akan menghasilkan lebih banyak masalah lagi kalau aku berakhir dengan salah bicara. Setelah memikirkannya, aku pun memutuskan untuk memberitahu mereka separuh ceritanya.
Pangzi masih menghela napas berat, jadi aku menyuruh mereka agar duduk dan kemudian mulai menceritakan kepada mereka beberapa hal yang telah terjadi pada Paman Ketiga. Pangzi terus-terusan menyela sampai-sampai aku jadi tak bisa menyampaikan ceritanya dengan benar dan harus semakin dan semakin menyingkatnya. Saat aku selesai, tiba-tiba Pangzi mulai memaki, “Berandal sialan! Kau tahu segitu banyak tapi tak mau repot-repot bilang apa-apa. Menjengkelkan sekali! Bagaimana bisa kau menunggu sampaia kita berada dalam kondisi setengah mati begini untuk menceritakannya pada kami?!”
Sepanjang waktu, Muka Datar telah mendengarkan dengan penuh perhatian, namun tepat pada saat ini, tiba-tiba dia mencengkeramku dan bertanya, “Apa yang Paman Ketigamu katakan persis sebelum dia pergi? Katakan lagi!”
Sat kulihat betapa serius ekspresinya, aku pun tergagap, “Dia… dia bilang ‘lift’.”
Tiba-tiba Muka Datar tersenyum dan berkata, “Oh, jadi ternyata begitu ya –“