Grave Robber Chronicles - Chapter 52
Dia bangkit, berjalan menuju pintu batu yang mengarah ke koridor, menyentuh bingkai pintu itu, lalu berkata, “Ini ternyata memang adalah sebuah mekanisme, sebuah mekanisme yang begitu sederhana sampai-sampai hanya bisa menipu anak-anak. Itulah sebabnya Paman Ketigamu tak terpikirkan tentang ini pada dua puluh tahun yang lalu dan baru bisa memecahkannya sekarang.”
Pangzi menatapnya dan menyadari kalau dia sudah tahu apa yang terjadi. “Xiao Ge,” dia berkata, “kalau kau tahu apa ini, cepat katakan saja. Tak usah membuat kami terus merasa penasaran. Aku bisa mati karena penasaran, tahu!”
“Aku akan memberimu sebuah contoh,” Muka Datar berkata. “Kau akan memahaminya begitu kau mendengarnya. Katakan saja ada sebuah bangunan dua lantai dengan sebuah ruangan pada masing-masing lantai. Saat kau meninggalkan ruangan pada lantai kedua dan berjalan keluar menuju koridor, aku akan membangun ruangan lain di bawah lantai pertama. Jadi ketika kau kembali ke ruangan itu, lantai kedua sekarang telah menjadi lantai ketiga dan lantai pertama telah menjadi lantai kedua.”
Ini sebenarnya merupakan contoh yang buruk, jadi Pangzi memasang ekspresi kebingungan di wajahnya ketika dia mendengarkan. Kemudian, dia mengacungkan dua jari dan mulai berusaha memecahkannya, “Satu-dua, dua-satu, satu-dua-satu…. Sialan! Apaan satu, dua, tiga? Semakin kau bicara, aku jadi semakin bingung!”
Aku langsung memahami bahwa lift yang telah disebutkan oleh Paman Ketiga mengacu pada hal ini. Sepertinya ketika dia memecahkan teka-teki ini, hal pertama yang muncul dalam pikirannya adalah kata ini. Aku mendesah, dalam hati merasa agak syok. Walaupun hal ini tak terduga, aku tak bisa mengingkari kalau ini masuk akal. Selain itu, desain sesederhana ini hanya bisa dianggap sebagai trik untuk menipu anak-anak.
Aku menyadari kalau Pangzi masih benar-benar tidak mengerti, jadi aku menjelaskannya lagi kepadanya. Saat akhirnya dia memahaminya, tiba-tiba dia jadi hilang minat dan berkata, “Ternyata begitu ya, sederhana sekali. Kukira ada misteri yang lebih besar lagi di sini, tapi ternyata begitu saja.”
Aku merasa malu pada diriku sendiri. Dulu di sekolah, aku telah mempelajari arsitektur dan mekanisme ini jelas ada masuk di dalam lingkup pelajarannya, tapi aku tak menyadarinya sama sekali. Mungkin aku harus belajar lagi saat ada waktu. Tampaknya semua hal yang ada di sini harus dipandang dengan cara pikir sederhana alih-alih memakai pemikiran rumit.
Ekspresi si Muka Datar masih tampak tegang. Begitu dia selesai memeriksa bingkai pintunya dengan seksama, dia berjalan menghampiri kolam air di tengah-tengah ruangan. Berdasarkan dari perilakunya ini, tampaknya ada sesuatu yang masih belum bisa dia pecahkan. “Ada apa?” aku bertanya kepadanya. “Apa ada masalah?”
Dia mengangguk, “Ada sebuah kontradiksi besar di antara cerita pamanmu dan apa yang telah kita alami. Apa kau sudah menyadarinya?”
Aku menatap ragu padanya. Sebenarnya, aku juga berpikir kalau sepertinya ada beberapa ketidakkonsistenan dalam cerita pamanku tapi aku tak bisa menemukan yang apa. “Paman Ketigamu berbaring di dalam ruagan ini dan tidak keluar ke koridor sama sekali,” Muka Datar menjelaskan. “Tak peduli bagaimanapun ruangan-ruangannya naik turun, seharusnya dia masih tetap berada di ruangan yang sama, jadi bagaimana bisa interiornya berubah?”
Aku memikirkannya dan tiba-tiba menyadari kalau dia benar. “Selain itu,” Muka Datar menambahkan, “ruang-ruang samping di makam-makam kuno selalu berbentuk simetris. Mustahil kalau cuma ada satu ruangan. Bicara secara logis, seharusnya ada ruangan lain di seberang kita.”
Kami berjalan keluar ke koridor dan menyapukan senter kami ke sekitar area itu, tapi di seberang koridor hanya ada dinding kumala putih, tanpa terlihat tanda-tanda adanya sebuah pintu. Muka Datar menempelkan telinganya ke dinding, menekankan kedua jari panjangnya kuat-kuat pada sambungan-sambungan batanya, dan merabanya pelan-pelan. Setelah melakukan ini selama lebih dari sepuluh menit, dia berjalan kembali ke tempat kami dan menggelengkan kepalanya. Tampaknya dindingnya memang asli.
Pangzi, yang telah menunggu dengan tidak sabar, tiba-tiba menguap dan berkata, “Tak usah cemaskan soal ruang samping. Masalah utamanya adalah bahwa kita belum menemukan jalan keluar. Bahkan meski kita tahu apa yang telah terjadi, kita tetap akan mati.”
Yang Pangzi katakan sangat masuk akal. Aku mendesah, bertanya-tanya bagaimana Paman Ketiga bisa lolos untuk yang kedua kalinya. Metode apa yang dia pakai? Dia tak punya peralatan selam saat dia keluar pada kali kedua, jadi apa dia berenang keluar dari makam kuno ini sambil menahan napas?
Pasti ada sesuatu di antara semua kejadian yang dialami oleh si rubah tua ini yang tidak dia ceritakan padaku. Ah, Paman Ketiga, Paman Ketiga. Andai saja kau tahu tahu kalau semua sampah ‘tidak penting’ yang kau putuskan untuk tidak membicarakannya itu akan membuat keponakanmu mati terbunuh di tempat yang berada lebih dari sepuluh meter di bawah permukaan laut.
Pangzi dan Muka Datar sama-sama membisu, seakan mereka sedang mempertimbangkan situasi keseluruhannya. Aku juga berusaha memikirkan jalan keluar dari kesulitan saat ini. Sebenarnya, ada beberapa cara bagi kami untuk keluar dari makam kuno ini. Yang pertama adalah kembali ke ruang yang pertama kali kami masuki, yang jelas-jelas mustahil kecuali kapasitas paru-paru kami tiba-tiba jadi seperti paru-paru lumba-lumba. Yang kedua adalah menemukan jalan rahasia, yang biasanya ditinggalkan oleh para pekerja yang membuat tempat-tempat semacam ini untuk diri mereka sendiri. Pada makam di daratan, ini merupakan metode mudah untuk mendapatkan hasil dua kali lipat dengan separuh usaha, namun di dalam makam bawah laut, takutnya ini terlalu tidak realistis. Lagipula, makam-makam bawah laut biasanya dibangun di atas kapal yang kemudian ditenggelamkan ke dasar laut. Bahkan meski jalan semacam itu dibuat, maka akan mengarah langsung ke laut. Air benar-benar merupakan media paling mudah untuk memisahkan antara yin dan yang.
Cara ketiga – dan yang paling bodoh – adalah menggali jalan keluar kami secara langsung. Mendongak menatap langit-langit, tak melihat apa-apa selain susunan bata, dan tak bisa menahan desahanku. Tampaknya bahkan meski kami bisa menggali jalan keluar, ini tetap saja merupakan sebuah proyek yang sangat besar.
Dengan memakai prinsip-prinsip arsitektur paling dasar, aku berusaha menerka bagaimana makam ini didesain dan apa yang mungkin ada di atas langit-langit itu.
Satu hal yang bisa kupastikan adalah bahwa bata saja tak bisa membentuk struktur kedap udara, jadi pasti ada lempung putih yang dioleskan di sepanjang sambungan-sambungan batanya. Seharusnya juga ada papan-papan kayu yang tertutup beberapa lapis lilin penyegel di atas bata-bata itu untuk menciptakan lapisan kedap udara dan kedap air. Dan untuk menyelesaikannya, selapis lempung putih lagi akan dioleskan di bagian paling atas.
Begitu aku memikirkan hingga titik ini, tiba-tiba aku mendapat secercah inspirasi dan sebuah rencana nekat pun mulai terbentuk dalam benakku. “Sebenarnya, tak ada yang perlu kita takutkan,” kataku pada mereka dengan penuh semangat. “Kurasa jarak kita hanya sepuluh meter lebih sedikit dari permukaan. Demi mengakomodasi mekanisme lift-nya, ruangan makam ini harus dibangun dengan sangat tinggi, yang berarti bagian puncak dari makam ini takkan berada terlalu jauh dari dasar laut. Kalau kita tak bisa menemukan jalan lain, kita bisa menggali jalan keluar kita ke atas. Air di atas makam takkan terlalu dalam, jadi kalau kita melakukannya saat pasang surut, menurutku masih ada kesempatan untuk keluar asalkan pasir di atas tidak runtuh.”
Pangzi mengibaskan tangannya dan berkata ogah-ogahan, “Kita tak membawa peralatan apa pun saat kita masuk dan ada lapisan batu padat yang harus ditembus. Kita harus menggali dengan apa? Pakai tangan?”
“Kau tak mengerti,” aku mendebat. “Sebagian besar bata yang dipakai pada makam-makam kapal karam memiliki rongga, jadi bisa dihancurkan dengan mudah. Asalkan kita bisa menemukan benda-benda dari logam dan memukul bata-bata itu kuat-kuat beberapa kali, kita pasti bisa membuat lubang.”
Ketika Pangzi mendengar hal ini, sekujur tubuhnya bergetar dengan kegembiraan, “Hei – metode ini kedengarannya mungkin akan berhasil! Lebih baik lupakan saja soal merampok makam sialan ini. Kita akan cari peralatan dan keluar dari sini. Makam ini sangat besar sampai aku yakin pasti ada sejumlah perabot perunggu di dalam ruang makam utama.”
Memang begitulah cara kerja pikiran manusia. Ketika kami berpikir kalau kami akan mati, kami jadi tak mau melakukan apa-apa, tapi begitu kami tahu bahwa masih ada setitik harapan, kami akan mengerahkan semua kekuatan otak untuk bisa meraihnya.
Benakku juga berputar cepat dan tiba-tiba aku dapat ide tentang bagaimana cara menciptakan lubang ini. Di kampus aku mempelajari arsitektur, jadi aku sudah terlalu akrab dengan hal semacam ini. Setelah mempertimbangkan semuanya dengan seksama, sepertinya semua kondisi memang memadai. Asalkan lubang ini bisa dibuat dalam kurun waktu singkat saat pasang surut, maka ada kemungkinan bagi kami untuk keluar dari sini!
Pada saat ini, Muka Datar angkat bicara, “Masih ada waktu yang lama sebelum pasang surut. Aku tak tahu apakah udara di sini bisa bertahan hingga saat itu. Semuanya tergantung kehendak Langit.”
Pangzi langsung melompat bangkit dan berkata, “Sialan, nggak masalah mau airnya surut atau tidak! Ayo kita cari peralatan dan gali jalannya lebih dulu. Lainnya bisa kita bicarakan nanti saja. Mati sesak napas itu terlalu bikin depresi. Lebih baik aku bertemu mayat hidup dan dengan gembira mati dikunyah!”
Aku berniat memberitahunya bahwa kalau kami melubangi makam ini ketika pasang surut belum terjadi, maka air di atas kepala kami setidaknya akan memiliki kedalaman dua meter dan akan langsung menerjang masuk. Jangankan bisa keluar, seluruh makam ini akan dipenuhi air hanya dalam waktu beberapa menit. Tapi aku melihat betapa dia kegirangan dan memutuskan kalau lebih baik tidak menghancurkan harapannya.
Kami bertiga menyemangati diri, mengumpulkan barang-barang kami, dan berjalan menuju koridor. Tapi begitu kami berjalan keluar dari pintu batu itu, kami bertiga langsung membeku bersamaan. Pangzi memaki, “Sialan, tempat ini aneh sekali.”
Di depan kami, di mana mulanya tak ada apa-apa selain dinding bata, terdapat sebuah pintu yang muncul tiba-tiba. Aku mengarahkan senterku ke arah pintu itu dan menemukan bahwa ada sebuah peti nanmu emas raksasa di dalamnya.