Grave Robber Chronicles - Chapter 53
Karena kami sudah menerka kalau makam ini memiliki struktur dua lapis, aku tak merasa aneh ketika tiba-tiba muncul pintu di sini. Aku menerka bahwa ketika kami sedang bicara tadi, ruangan ini juga telah bergeser entah naik atau turun. Walaupun aku tak tahu apa niat dari si pemilik makam dengan membuat desain semacam itu, aku tidak akan panik lagi.
Tetapi peti di dalam ruangan itu benar-benar mengejutkan. Kayu nanmu emas dianggap sebagai bahan berkualitas tertinggi untuk pembuatan peti. Selama ribuan tahun, ukuran petinya tergantung pada ukuran kayunya. Peti di depan kami bisa dibilang raksasa – tampaknya balok-balok kayu nanmu yang dipakai untuk membuat peti ini hampir sama tebalnya dengan tiga puluh dua batang kayu nanmu emas yang dipakai untuk membuat pilar-pilar raksasa di Mausoleum Changling*. Benda ini mungkin harganya lebih dari sebongkah perak seukuran manusia dewasa.
(T/N Mausoleum Changling adalah makam dari Zhu Di, Kaisar ketiga dari Dinasti Ming (1368 – 1644) dan Permaisuri Xu. Zhu Di adalah Kaisar pertama dari Dinasti Ming yang membangun makam. Balai seremonial utamanya memiliki 60 kolom besar dari kayu nanmu yang berharga, masing-masingnya terbuat dari satu batang pohon utuh dengan tinggi 12,6 meter. Empat kolom paling dalam diameternya mencapai 1,12 meter)
Tapi bagaimana bisa peti seberharga ini diletakkan di dalam ruang samping? Ini aneh sekali. Kalau peti seberharga ini diletakkan di sini seperti ini, maka peti di ruang makam utama seharusnya minimal terbuat dari emas.
Makam ini membuatku merasa semakin dan semakin kebingungan. Rasanya seakan si pemilik tidak mengikuti aturan sama sekali – bukan hanya dia mengacaukan semua posisi feng shui di sini, tapi juga memasang perangkap-perangkap luar bicara cerdas yang tidak mematikan. Aku tak tahu apa yang sedang berusaha dia lakukan.
Ketika melihat peti semacam itu, tidak bisa dipungkiri bahwa jari-jari para perampok makam akan mulai terasa gatal, terutama dengan peti semenakjubkan ini. Pasti ada banyak barang bagus di dalamnya. Ketika aku melihat kalau Pangzi sepertinya tak mampu mengalihkan pandangan dari peti itu, aku pun tertawa dan berkata, “Apa, kau lihat petinya dan melupakan situasi genting kita? Kenapa kau tidak maju saja dan ambil beberapa barang dari dalamnya lebih dulu?”
Aku sebenarnya sedang mengoloknya, tapi siapa yang akan menyangka kalau dia kelihatannya tidak menyadarinya dan berkata dengan cukup serius. “Pang Ye* ini sangat bepikiran sehat. Tugas utama kita saat ini adalah mencari peralatan untuk menembus puncak makam sialan ini, jadi jangan sampai teralihkan. Tapi ketika kita berhasil mendapatkan peralatannya, kita masih bisa kembali dan mengambil beberapa barang!”
Merasa geli pada betapa percaya dirinya dia terdengar, aku pun berkata kepadanya, “Siapa yang tahu apakah pintu ini masih akan ada di sini saat kau kembali. Mungkin akan berubah lagi.”
Ternyata bagaimanapun juga Pangzi masih punya keinginan untuk mengambil hartanya, jadi ketika dia mendengar hal ini, dia pun menyadari bahwa kata-kataku sangat masuk akal. Dia mulai ragu-ragu tentang apa yang harus dilakukan lebih dulu, tapi pada saat ini, Muka Datar tiba-tiba melambai pada kami dan berbisik, “Berhenti bicara.”
Kami tak tahu apa yang sedang terjadi, tapi kami buru-buru tutup mulut saat kami melihat betapa serius ekspresinya. Dia menarik keluar senapan tombaknya dan berkata lirih, “Ini bukan peti biasa. Ini adalah inkubator mayat.”
Aku tak mengerti apa yang sedang dia bicarakan dan menatap penuh tanya kepadanya, tapi dia tak mau repot-repot menjelaskan dan hanya berjalan memasuki ruang samping tempat peti itu berada. Pangzi ingin mempertahankan imejnya sebagai orang yang sadar dan bermoral, tapi ketika dia melihat Muka Datar berjalan menghampiri peti itu tanpa basa-basi, dia pun langsung kembali pada sifat tak bermoralnya dan buru-buru mengikuti.
Aku melihat sekeliling pada koridor yang gelap – terlalu menakutkan untuk tetap tinggal di luar sendirian, jadi aku pun berlari masuk mengikuti mereka tanpa menunda-nunda.
Ruangan ini sama persis dengan ruangan tempat kami berada sebelumnya. Dua ular raksasa juga dilukis di langit-langit dan ada sebuah kolam air di tengah-tengah ruangan, tapi tak ada porselen apa pun, satu-satunya benda yang bisa kami lihat adalah peti raksasa yang terletak dengan jarak tiga kaki dari dinding.
Muka Datar mengeluarkan pisau, langsung memasukkannya ke dalam sambungan peti, dan perlahan mulai menggerakkannya seakan sedang mencari sesuatu. Pangzi berpikir kalau dia berniat membuka petinya dan berseru, “Pelan-pelan, pelan-pelan! Lihat dirimu, Xiao Ge. Biasanya kau bersikap sangat baik, jadi bagaimana bisa kau begitu melihat peti ini dan tiba-tiba mulai bersikap seperti sudah bosan hidup?” Seraya bicara, Pangzi mengeluarkan lilin dan berlari ke sudut untuk menyalakannya.
Aku menyumpah marah ketika melihat ini, “Sialan, udara yang kita punya di dalam sini sudah sangat sedikit dan sekarang kau ingin menyalakan lilin? Apa kau mau membunuh kita semua?”
Pangzi menjawab dengan nada menggerutu, “Memangnya sebatang lilin bisa memakai udara seberapa banyak? Kalau ini adalah masalah yang sangat besar bagimu, aku akan bernapas lebih sedikit.” Seraya bicara, dia menjentikkan korek anti-angin di tangannya. Tapi begitu apinya muncul, tiba-tiba cahayanya menerangi sesuatu yang ada di sudut. Biasanya Pangzi lumayan pemberani, tapi ketika dia melihat benda ini, dia dibuat begitu ketakutan sampai jatuh terjengkang di atas bokongnya. Saat aku melihat dia jatuh ke lantai, aku pun buru-buru mengarahkan senterku ke arah itu dan langsung tanpa sadar mundur selangkah dengan ketakutan.
Ada sebuah mayat kucing yang sudah keriput meringkuk di pojokan. Ukurannya luar biasa besar, tapi sudah dalam kondisi termumi. Kedua matanya menatap lurus pada Pangzi, sebagian besar kulitnya sudah lepas, dan mulutnya menggelantung terbuka, menampakkan sebaris taring-taring tajam. Hanya melihatnya saja sudah membuatku merasa sangat tidak nyaman.
Sejak aku masih kecil, yang paling kutakuti adalah kucing mati. Ini karena ketika keluargaku menangkap kucing-kucing liar yang mencuri ikan, mereka akan menggantungnya di pohon dan membiarkannya membusuk. Tapi karena aku masih kecil, aku tak tahu benda apa yang bergelantungan di pohon itu. Alhasil, ketika pada suatu hari aku sedang bermain di bawha pohon, leher dari salah satu kucing mati itu patah dan kepalanya yang busuk jatuh tepat ke dalam tanganku. Ketika aku melihat taring-taring tajam dan sepasang lubang mata yang kosong itu, aku begitu ketakutan sampai-sampai mengompol di celana dan tidak kunjung pulih selama beberapa hari.
Pangzi, melihat bahwa yang ada di depannya tidak lebih dari kucing mati, menyerukan makian, menendangnya jauh-jauh, dan kemudian menyalakan lilinnya. Ketika dia mulai berjalan kembali ke arah peti, aku tak bisa menyingkirkan perasaan bahwa ada sesuatu yang salah. Adanya kucing mati di dalam makam itu membawa sial, jadi kenapa ada mayat kucing di dalam ruang makam ini? Apakah si pemilik makam tidak takut kalau si kucing mati mungkin akan menyebabkan mayat-mayat lain di dalam makam ini berubah menjadi mayat hidup?
Tapi ada begitu banyak hal tidak logis yang terjadi di tempat ini sampai samar-samar aku merasa seakan si pemilik makam ini sengaja melakukan semuanya berlawanan dengan aturan. Sebenarnya, rasanya hampir seperti kalau semuanya dilakukan secara terbalik – kalau sesuatu tidak boleh diletakkan di dalam makam, maka dia akan meletakkannya. Kalau hal ini terus berlanjut, aku tak tahu apa yang akan terjadi ketika kami akhirnya mencapai ruang makam utama.
Pada saat ini, Muka Datar berhasil menemukan kunci tersembunyi peti yang telah dibuat dengan cerdik. Dia mengambil sebuah kotak kecil dari dalam kantongnya, mengeluarkan dua buah kaitan dari dalam kotak itu, menyelipkannya ke dalam sambungan peti, dan mulai mengutak-atiknya. Tak lama kemudian, terdengar suara menceklik yang mengindikasikan bahwa kunci petinya telah menyerah. Kemudian, seluruh tutup petinya tersentak lepas dan aliran cairan hitam pun mulai memancar keluar. Cairan itu tampak sangat menjijikkan, tapi Pangzi tak peduli. Dia langsung mendorong tutup petinya agar membuka lebih lebar lagi dan melongok ke dalam sebelum tiba-tiba berteriak ketakutan, “Sial, mayat hidup di dalamnya banyak sekali!”