Grave Robber Chronicles - Chapter 55
Baru saja aku bisa memahami apa yang Pangzi bicarakan tentang menutrisi qi dan peti inkubator mayat, tapi kemudian Muka Datar muncul entah dari mana dan mengucapkan kalimat ini. Aku memikirkannya sejenak tapi masih tak mengerti, jadi aku bertanya padanya apa yang dia maksudkan.
Muka Datar menunjuk pada peti itu lalu berkata, “Lihat baik-baik kepala mereka. Apa kau menyadari ada sesuatu yang berbeda tentangnya?”
Saat aku melihat ke arah yang ditunjuk jarinya, aku hanya melihat enam kepala dengan berbagai ukuran menggantung dari badannya seperti segerumbul anggur. Sepertinya tak kelihatan ada yang istimewa tentang kepala-kepala itu kecuali soal betapa memualkan tampilannya. Aku menggelengkan kepalaku untuk mengindikasikan bahwa aku tak menyadari apa-apa, tapi dia menyuruhku untuk melihat lebih seksama. Kali ini, aku memicingkan mataku dan akhirnya bisa melihat apa yang dia bicarakan.
Ternyata, semua kepala selain satu yang ada di puncak kelihatan kekurangan fitur wajah. Terlebih lagi, tidak satu pun dari kepala-kepala itu yang kelihatan memiliki struktur tengkorak dasar. Kepala-kepala itu hampir kelihatan seperti tumor-tumor raksasa yang tumbuh dari badannya.
Ketika aku melihat ini, akhirnya aku mengerti apa yang dia bicarakan. Aku langsung mengikuti cara berpikirnya dan mendapati bahwa sambungan pada tiap-tiap tangan sepertinya benar-benar tersambung pada tubuh. Alasan kenapa jadi kelihatan seperti ada begitu banyak mayat yang dijejalkan jadi satu adalah karena bagian badannya sudah rusak sedemikian parahnya sampai-sampai kelihatan seperti telah dipuntir di dalam mesin cuci. Ditambah lagi, cairan hitam seperti lumpur ini mengganggu pandangan orang.
Semakin aku melihat mayat ini, semakin aku merasa jijik, tapi aku masih sedikit banyak mengingat teori Muka Datar. Kalau orang yang berbaring di dalam peti ini mengalami kelainan bentuk tubuh di mana dia menumbuhkan dua belas tungkai, maka apa asal usul dan identitasnya? Pada masa-masa itu, bagaimana bisa monster semacam itu mencapai usia dewasa?
Pangzi juga melihat ke dalam, meludah jijik, dan kemudian berkata kepada kami, “Sial, memangnya makhluk ini adalah manusia? Kelihatannya malah seperti serangga!”
Dia telah mendeskripsikannya dengan cukup tepat, tapi ini merupakan hal yang kasar untuk dikatakan. “Kita tak bisa melihat dengan jelas karena semua cairan ini,” ujarku pada mereka. “Masih terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan. Bicara secara logis, seseorang dengan kelainan bentuk tubuh seserius ini pasti akan kelihatan seperti sejenis monster dan akan sudah dibunuh oleh orangtua mereka begitu mereka dilahirkan. Jelas tak mungkin mereka akan dipelihara hingga dewasa.”
“Tidak ada hal yang mutlak,” Muka Datar berkata samar.
Aku menggelengkan kepalaku, masih tak bisa memercayainya. “Kau tahu, sebenarnya ada satu cara sangat sederhana untuk menemukan jawabannya,” Pangzi berkata. “Kenapa kita tidak lakukan saja seperti yang kubilang dan pergi ke sebelah lalu ambil beberapa guci untuk menciduk air ini? Dengan begitu, kita bisa melihat dengan lebih jelas. Ditambah lagi, ada sepotong lempengan di bawah mayat ini. Kita bisa mengeluarkannya dan melihatnya baik-baik mumpung kita di sini. Mungkin kita akan menemukan sesuatu yang tak disangka-sangka.”
Aku langsung tertarik begitu mendengar hal ini. Aku belum melihat satu kata pun sejak memasuki makam bawah laut ini dan pada dasarnya tak punya pengetahuan apa pun tentang pemilik makam ini. Kalau aku bisa memahami kata-kata pada lempengan itu, setidaknya aku bisa membuat satu atau dua tebakan, yang mungkin juga akan membantu langkah kami di masa mendatang.
Aku dan Pangzi langsung bersepakat, berbalik tanpa bicara lagi, berjalan menuju ruangan di seberang koridor, dan mengambil tiga mangkuk porselen yang memiliki gagang. Bagi dunia luar, benda-benda ini bisa dianggap sebagai harta karun bernilai jutaan, tapi di tanganku, harta ini kembali pada kegunaan semulanya – cuma perkakas.
Saat aku memilih mangkuk pertama, tanpa sadar aku mulai mengamati lapisan kaca biru di permukaannya karena kebiasaan profesional. Tapi ketika aku mengamatinya, aku dibuat terkejut ketika mendapati bahwa pola-pola di situ tenyata menceritakan sebuah narasi.
Ketika kami pertama kali masuk, mungkin aku terlalu sibuk memikirkan tentang apa yang terjadi pada Paman Ketiga untuk mempelajari benda-benda penguburan ini dengan seksama. Tapi sekarang saat aku melihatnya, aku langsung terpikirkan pada sesuatu yang sebelumnya tak terlalu kuperhatikan – ketika Paman Ketiga dan yang lainnya memasuki makam ini, dia, seperti aku, hanya melihat sambil lalu pada benda-benda ini sebelum pergi tidur. Namun yang lainnya berbeda. Ini adalah kali pertama mereka memasuki makam, jadi mereka sangat bersemangat dan pasti telah mengamati perkakas-perkakas porselen ini secara seksama. Mungkinkah mereka telah menemukan petunjuk penting pada porselen ini?
Dengan pemikiran ini dalam benakku, buru-buru aku mengambil beberapa buah mangkuk dan memperhatikannya secara seksama. Aku mendapati bahwa lukisan-lukisan di sini semuanya adalah tentang sekelompok orang yang ambil bagian dalam suatu proyek teknis sipil. Beberapa mengukir batu, beberapa memindahkan balok-balok kayu, dan yang lainnya memasang tiang-tiang kayu. Urutan porselennya diletakkan menunjukkan kemajuan dari proyeknya secara kronologis. Semakin aku melihatnya, semakin aku jadi terlejut dan bahkan mengucurkan keringat dingin.
Pangzi melihatku mengamati setiap mangkuk porselen satu demi sastu dan bertanya dengan suara keheranan, “Memangnya sulit sekali ya untuk memilih satu? Jangan terlalu pilih-pilih. Cari saja satu yang terasa enak digenggam.”
Sepenuhnya mengabaikan dia, aku berjongkok ke lantai dan merangkak melewati tiap-tiap porselen hingga aku melihat botol segi delapan yang terakhir. Pola di permukaannya menggambarkan suatu pemandangan menakjubkan dari sebuah pintu raksasa. Setelahnya tidak ada porselen lagi, tapi kelihatan seolah seharusnya ada lebih banyak hal lagi yang dicatat pada barang-barang porselen lainnya.
Yang kulihat ini sangat luar biasa sampai-sampai membuatku lupa bernapas. Meski aku tak tahu apa yang mereka bangun hanya dari lukisan-lukisan sederhana ini, berdasarkan pada gambar-gambarnya, skala dari proyek ini hampir sebesar skala pembuatan Kota Terlarang. Namun strukturnya sama sekali tidak dibuat dalam gaya Dataran Tengah. Sial, aku tak bisa ingat di bagian Tiongkok mana proyek konstruksi berskala besar seperti ini mungkin telah berlangsung pada saat itu.
Aku menarik paksa diriku sendiri dari lamunan, ingin memberitahu Pangzi tentang penemuan luar biasa yang telah kubuat, tapi ketika aku berbalik, aku tak melihat apa-apa selain kegelapan di belakangku. Pangzi sudah menghilang sejak lama.
Aku duduk membeku di sana selama sesaat sebelum mulai memaki diriku sendiri. Si Pangzi sialan itu! Bisa-bisanya dia perti tanpa memberitahuku padahal dia tahu kalau aku tak mau ditinggal sendirian di tempat macam ini?! Aku mengambil sebuah baskom secara acak, berdiri, dan buru-buru berjalan menuju ruangan di seberang. Tapi begitu aku memasuki koridor, mendadak langkahku terhenti.
Pintu di seberang koridor sudah lenyap dan sudah berubah kembali menjadi dinding kumala putih itu!
Aku sudah tahu kalau penyebabnya adalah karena mekanismenya, tapi aku tak menyangka kalau akan secepat dan sesenyap itu. Aku tak bisa menahan rasa panikku – aku tak pernah mau lagi mengalami berada sendirian di dalam kuburan yang gelap.
Butuh waktu sesaat bagiku untuk menenangkan diri dan berusaha menghibur diriku sendiri dengan berkata bahwa ruang-ruang di dalam makam ini terus-menerus bergerak. Asalkan aku bisa menunggu dengan sabar, pintunya pasti akan muncul lagi dalam waktu beberapa menit.
Tapi tanpa adanya Pangzi di sekitarku, makam kuno ini jadi sunyi dan menakutkan. Suara detak jantungku terdengar seperti halilintar di telingaku dan sekelilingku luar biasa gelap. Di tempat seperti ini, satu menit terasa seperti satu jam. Tak mungkin aku akan bisa menunggu dengan sabar.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengarahkan senterku pada ketiga mulut lorong di depanku, tapi aku tak bisa melihat apa pun di dalamnya. Hal yang paling menakutkan di dunia ini adalah imajinasi orang. Tak peduli seberapa besar pun aku berusaha menenangkan diri, aku tak bisa menyingkirkan perasaan bahwa sesuatu sedang memandangiku dari dalam mulut lorong yang gelap itu. Rasanya sungguh sangat menakutkan.
Kutampar diriku sendiri agar tenang, lalu berjalan menuju ruang samping, berpikir bahwa aku harus kembali memeriksa porselennya untuk memastikan bahwa aku tak melewatkan apa-apa. Tapi tepat pada saat ini, tiba-tiba aku mendengar pekikan yang mendirikan bulu kuduk keluar dari dalam ruang samping. Ketika aku mengarahkan senterku ke dalam ruangan itu, kulihat sesosok monyet laut raksasa memanjat keluar dari dalam kolam air. Separuh dari tubuhnya sudah keluar dari air jadi aku bisa melihat wajah raksasanya yang ganas dan penuh sisik. Ini adalah sebuah pemandangan yang takkan pernah kulupakan untuk seumur hidupku.
Aku berseru, “Anjrit!”
Dan mulai berlari di sepanjang koridor. Pada saat itu, aku tak peduli apakah di koridornya ada perangkap lain atau tidak. Aku hanya memejamkan mataku dan fokus untuk kabur sejauh mungkin. Aku hampir tiba di tempat aman ketika tiba-tiba aku tersandung dan jatuh, wajah mencium lantai tepat di sebelah bejana itu. Untung saja, aku bisa bereaksi cukup cepat sehingga aku berguling dan duduk hampir seketika begitu aku jatuh. Tapi saat aku melihat ke belakang, kudapati sepasang mata hijau berkilau bergerak cepat keluar dari ruang samping dan menuju tepat ke arahku!
Aku menggertakkan gigiku dan mengangkat bejananya, bertekad untuk melemparkannya, namun si monyet laut bereaksi dengan sangat cepat. Melihat kalau aku punya senjata, dia berhenti berlari ke arahku dan alih-alih berbalik lalu melompat ke atas koridor. Sementara perhatiannya teralih, aku memanfaatkan kesempataan ini dan berlari lurus menuju pintu kumala di sebelah kiri lalu mendorongnya agar menutup.
Ada sebuah selot batu otomatis di bawah pintu kumala yang bergerak naik begitu pintunya tertutup, menguncinya di tempat. Si monyet laut mengeluarkan lolongan menusuk ketika dia mencakari dan menghantamkan tubuhnya ke pintu beberapa kali, sepertinya tak bersedia menyerah. Tapi aku bisa kembali tenang karena aku tahu kalau pintu ini terbuat dari bahan-bahan yang sangat kokoh dan tubuh dengan daging dan darah takkan pernah bisa membobolnya. Setelah di monyet laut menghabiskan waktu lama untuk berusaha mendobrak pintu tanpa sukses, tiba-tiba dia mulai berusaha masuk lewat celah-celah pada pintu. Aku melihat kepala besarnya berusaha mendesak masuk dan tiba-tiba merasakan gelombang amarah mulai memuncak. Aku mengangkat senapan tombakku dan menembak lewat celah pada pintu. Aku tak tahu apakah tembakanku itu berhasil kena, tapi tiba-tiba aku mendengar si monyet laut mengeluarkan jeritan memekakkan telinga dan kemudian dia melompat pergi.
Aku tak tahu apakah pintu tengah itu terhubung dengan ruang makam ini atau tidak, jadi aku buru-buru mengisi tombak lagi ke dalam senapanku dan kemudian menyalakan senter serta lampu penambang yang ada padaku. Kini dengan seluruh ruang makam diterangi, aku melihat ke sekeliling dan merasakan ketakutan yang amat sangat. Aku bisa melihat bahwa aku sedang berdiri di dalam sebuah ruang makam berbentuk bundar dengan kolam air raksasa di bagian tengahnya. Kakiku berdiri tepat di tepian kolam. Kalau saja aku berjalan mundur selangkah lagi, aku pasti akan sudah jatuh ke dalamnya.
Sesuatu yang menyerupai sebuah baskom raksasa mengambang dengan tenang di bagian tengah kolam itu. Ketika aku melihat lukisan dan ukiran di permukaannya, aku tahu kalau baskom ini pastilah sebuah peti. Aku tak bisa menahan senyumanku. Si pemilik makam ini benar-benar kreatif dan telah membuat petinya tampak seperti baskom. Kelihatannya dia pasti benar-benar suka mandi ketika dia masih hidup.
Aku kembali melihat ke dalam air dan mendapatinya sangat dalam, sampai-sampai aku tak bisa melihat dasarnya. Aku tak tahu seberapa dalam persisnya, tapi kurasa kolam ini mungkin akan mengarah hingga ke dasar makam. Persis ketika aku sedang bertanya-tanya desain macam apakah ini, tiba-tiba aku merasakan leherku mulai gatal.