Grave Robber Chronicles - Chapter 56
Aku menyentuh bagian belakang leherku, baru sekarang menyadari kalau di situ merupakan tempat di mana anak-anak panahnya telah mengenaiku sebelumnya. Keempat kait besi itu mungkin tidak membunuhku, tapi tetap saja telah mengelupas sedikit kulit di tempat kait-kait itu menancap di kulitku. Sekarang ketika aku bermandikan keringat, lukanya pun teriritasi dan sebenarnya mulai sedikit gatal.
Terlebih lagi, tempat-tempat lain di mana aku terkena anak-anak panah itu juga samar-samar mulai terasa gatal, tapi rasa gatalnya masih bisa ditoleransi. Aku tak sempat memerhatikan perubahan-perubahan samar pada tubuhku itu, jadi setelah menggosoknya beberapa kali, aku lanjut mempelajari ruang makam yang aneh itu.
Aku tahu sedikit tentang makam-makam kaum bangsawan, tapi aku tidak familier dengan struktur makam-makam orang biasa dari Dinasti Ming jadi aku tak tahu di mana perbedaan di antara keduanya. Alhasil, aku hanya bisa mencoba membandingkan apa yang ada di hadapanku dengan yang kuketahui.
Berdasarkan pada pengetahuanku, saat ini aku berada di aula sisi kiri makam sementara aula sisi kanan berada di seberangku. Aula-aula sisi kanan dan kiri seharusnya saling simetris satu sama lain, dan semestinya ada sebuah tatakan peti yang terbuat dari pualam putih pada masing-masingnya. Bagian atas dari tatakan-tatakan peti ini semestinya memiliki tepian dari ubin-ubin emas (atau ubin-ubin tanah liat yang telah dipoles hingga berkilau seperti cermin) dan seharusnya akan ada sebuah lubang segi empat di bagian tengah yang dipenuhi oleh tanah kuning. Lubang ini disebut ‘sumur emas’ tapi tak ada tanda-tanda keberadaannya di sini. Semua yang bisa kulihat adalah kolam air yang besar.
Ini hanyalah satu dari hal-hal aneh yang bisa kulihat. Yang lainnya adalah pintu yang memisahkan kedua aula samping ini. Mungkin pintu itu mengarah ke aula belakang di mana petinya seharusnya berada, tapi kenapa petinya malah ada di dalam aula samping ini? Terlebih lagi, kenapa bentuknya seperti baskom cucian? Desain peti berbentuk lingkaran semacam ini dibuat pada Periode Negara Berperang dan takkan mungkin ada pada Dinasti Ming.
Bicara tentang Periode Negara Berperang, aku jadi teringat pada ikan tembaga beralis ular yang telah kami ambil dari Istana Tujuh Bintang Lu. Bukan hanya ikan ini ditemukan di kedua tempat ini, tapi sekarang juga ada peti yang hanya dibuat pada masa Periode Negara Berperang. Apakah ini kebetulan?
Aku begitu kebingungan sehingga kuputuskan untuk tidak memikirkannya lagi.
Pada titik ini, aku sudah mengelilingi kolamnya dan kembali ke pintu, di mana aku melihat bejana porselen besar yang barusan tadi telah kupetimbangkan untuk dijadikan sebagai senjata pembunuh. Sebuah ide tiba-tiba muncul dalam benakku dan aku mengangkatnya lalu mulai memeriksa lukisan di permukaannya.
Bejana ini datang dari ruang samping yang berbeda tapi satu pola yang digambarkan di situ tak mampu memberikan informasi berguna apa pun. Semua yang bisa kulihat adalah seorang laki-laki berbusana gaya Dinasti Ming sedang berdiri di atas gunung dan memandangi situs konstruksi di bawahnya. Dia ditemani oleh beberapa orang yang mengenakan baju resmi pejabat istana. Mereka tampaknya sedang melakukan pemeriksaan pada situs konstruksinya.
Berdasarkan pada pola-pola di perkakas-perkakas porselen ini, aku mendapati kalau pemilik makam ini mungkin bukan seorang Kaisar atau bangsawan melainkan seorang perajin atau arsitek. Hanya orang macam ini yang akan memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mendesain dan membangun makam seaneh ini. Bahkan meski orang-orang lainnya bisa memikirkan tentang ide ini, mereka takkan mampu membangunnya.
Terlebih lagi, tidak banyak perajin berbakat pada awal Dinasti Ming. Berdasarkan pada skala makam ini, orang ini pastilah seseorang yang terkemuka dengan posisi tingkat tinggi. Dia bukan hanya berkualifikasi untuk menjalankan proyek raksasa seperti Istana Ming, tapi dia juga perlu memiliki pemahaman Feng Shui yang kuat dan merupakan seorang ahli dalam menciptakan mekanisme-mekanisme canggih. Sebenarnya tidak sulit untuk menerka siapa dia.
Aku hanya perlu berpikir selama beberapa detik sebelum sebuah nama muncul seketika itu juga dalam kepalaku – Wang Zanghai.
Pria ini kabarnya memiliki keahlian-keahlian luar biasa dan pencapaiannya dalam feng shui tidak tertandingi. Karena ini, dia ditunjuk untuk ambil bagian secara langsung dalam desain seluruh kompleks Istana Ming. Dia juga mendesain beberapa kota besar di Dataran Tengah. Pada saat itu, satu kata darinya sudah cukup untuk membuat beberapa kota lenyap sepenuhnya. Dari naskah-naskah kuno aku juga mengetahui kalau dia telah menulis buku tentang feng shui, yang kabarnya sangat mendalam sampai-sampai hampir seperti bisa mengintip sepintas rahasia Langit. Sayangnya, para keturunannya hanya menyalin beberapa buku, yang kesemuanya lenyap seiring dengan berlalunya waktu.
Ditambah lagi, kabarnya makam bawah air Shen Wansan di dasar Yinzibang di Zhouzhuang didesain olehnya. Orang semacam itu lebih dari mampu untuk membangun makam semacam ini untuk dirinya sendiri.
Aku merasa kalau tebakanku sangat masuk akal, sekarang aku hanya membutuhkan sedikit informasi tertulis untuk membuktikan apakah aku benar atau tidak. Sayangnya, pemilik dari makam ini sepertinya buta huruf dan tidak meninggalkan tulisan satu pun.
Pada saat ini, tiba-tiba suara ceburan terdengar beberapa kali dari arah kolam. Aku begitu terperanjat sampai-sampai alur pemikiranku terputus dan aku langsung mengarahkan senterku ke arah air. Semua yang bisa kulihat adalah gelembung-gelembung dalam berbagai ukuran muncul di permukaan air pada interval tidak teratur, seakan sesuatu sedang bergerak di dalam kolam tanpa dasar ini.
Merasa panik, aku mengangkat senapan tombakku dan menatap gelisah pada gelembung-gelembung itu. Namun tepat pada saat ini, sesuatu yang putih berkilauan tiba-tiba memelesat keluar dari dalam air, mendarat di lantai, dan kemudian bergulingan ke arah dinding, terengah-engah. Aku melihat lebih dekat dan merasa kegirangan – ternyata Pangzi! Dia telah melepaskan pakaiannya hingga ke pinggang, menampakkan perut sebesar drum. Seraya terengah-engah, dia melihatku lalu melambaikan tangannya, “Sial – aku – hampir – mat – mati sesak napas!”
Baru saja aku hendak menanyakan apa yang terjadi adanya ketika orang lain tiba-tiba keluar dari air tepat di samping kakiku – dia adalah Muka Datar. Ketika dia memanjat keluar dari air, aku melihat kalau dia juga setengah telanjang tapi tato Qilin hitam itu tak kelihatan di mana-mana. Tampak jelas kalau dia tidak sampai mengerahkan upaya sebesar Pangzi. Dia mendongakkan kepalanya dan menarik napas dalam-dalam, tapi ketika melihatku, dia langsung bertanya, “Di sini kiri atau kanan?”
Saat aku bilang kiri, dia menghembuskan napas lega dan tiba-tiba terduduk, memegangi pergelangan tangannya. Aku melihat kalau ada sebuah bekas cakaran menghitam di situ dan tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak.
Pangzi berbaring megap-megap dalam waktu lama sebelum akhirnya berhasil pulih. Ketika dia memegangi perutnya dan terengah, aku bertanya pada mereka bagaimana mereka bisa sampai ke sini. Dia meludah ke samping dan berkata, “Jangan tanya. Untung saja, kau tak perlu melihatnya. Membuatku ketakutan setengah mati. Kami beruntung sekali karena ada lubang di bawah lempengan di dasar peti itu yang mengarah kemari. Kalau tidak, kami akan sudah mati di tempat itu.”
Aku kebingungan, “Apa yang sebegitu menakutkannya?”
“Sial, aku bahkan tak bisa menggambarkannya,” Pangzi berkata padaku. “Singkatnya, ada sesuatu di dalam perut onggokan mayat enam badan itu.”