Grave Robber Chronicles - Chapter 58
Gelembung-gelembung itu bermunculan sambung-menyambung dengan frekuensi yang sangat tinggi. Terlebih lagi, air di bawah gelembung-gelembung itu tampak menyebar ke luar, seakan ada suatu makhluk amat besar di bawah permukaan air yang sedang bernapas dengan berat. Kami bertiga langsung waspada, mengangkat senapan tombak kami, dan menekankan punggung pada dinding. Aku begitu gelisah mengantisipasi apa yang akan terjadi sehingga tubuhku terasa lemas dan telapak tanganku berkeringat. Gelembung-gelembung itu terus bermunculan selama lima menit sebelum tiba-tiba kami mendengar suatu suara teredam misterius muncul dari dasar kolam.
Pada saat bersamaan, permukaan air pun mulai menurun dan sekitar belasan pusaran air perlahan-lahan muncul di permukaan air. Air yang bergolak itu lebih mirip seperti belasan toilet yang telah diguyur pada saat bersamaan. Sementara kami mengamati, baskom petinya berputar cepat bersamaan dengan aliran air seperti gasing dan permukaan air turun dua atau tiga meter. Sepenuhnya tercengang, dengan cepat aku mengarahkan senterku ke air dan melihat kalau ada undakan-undakan batu di dinding bagian dalam kolam itu. Tangga itu memutar ke bawah dan kelihatannya mengarah langsung ke dasar kolam.
Air di bawah bergerak dengan sangat cepat dan menghilang ke dalam lubang gelap kolam itu sebelum aku sempat melihat lebih seksama, hanya meninggalkan suara gemuruh pusaran air. Aku menyapukan senterku ke sekitarnya dan mendapati bahwa kolam ini ternyata berbentuk seperti mangkuk – lebar di bagian atas dan menyempit di bagian dasar. Dengan kedalaman lebih dari sepuluh meter, pancaran sinar dari senterku tidak cukup kuat untuk menembus uap air yang tersisa di udara. Ditambah lagi, bagian dasar kolam itu tersembunyi di dalam kegelapan berkabut sehingga tak ada apa pun yang bisa terlihat dengan jelas.
Aku ingat kalau kami masih punya lentera-lentera laut dalam yang kuat di tangan kami tapi aku tak tahu apakah lentera-lentera itu akan cukup efektif dalam menghadapi uap air ini. Aku buru-buru memanggil dua orang lainnya itu dan kami semua menyalakan lentera-lentera kami ke pengaturan tertinggi sehingga pancaran-pancaran cahayanya menyorot ke bawah dari tiga arah berbeda secara simultan.
Walaupun kami tak bisa melihat semuanya dengan jelas, setidaknya sekarang kami bisa melihat garis luar yang samar. Bagian dasar kolam itu merupakan area berbentuk melingkar dengan diameter sepuluh meter, yang di permukaannya ukiran-ukiran relief telah diukirkan. Aku tak bisa menentukan pola-pola spesifik dari ukiran-ukiran ini, tapi aku bisa melihat kalau ada beberapa lubang besar di dasar, yang kelihatan seperti lubang pembuangan air.
Di bagian pusat area ini terdapat gumpalan uap air pekat yang menutupi apa yang kelihatannya sebuah siluet gelap. Mata Pangzi sangat tajam, jadi setelah memandangi bayangan-bayangan yang timbul-tenggelam dalam waktu lama, pada akhirnya dia berkata, “Apa kalian lihat yang ada di tengah sana itu? Di dasar kolam kelihatannya ada sebuah tablet batu.”
Aku melihat ke bawah pada arah yang dia tunjuk tapi semua yang bisa kulihat cuma garis luar yang samar. “Aku tak tahu ke mana tangga batu ini mengarah,” Pangzi berkata, “tapi mungkin ada terowongan lain di bawah sana. Ayo kita turun dan lihat!” Setelah berkata demikian, dia melompat ke anak tangga batu pertama.
Makam kuno ini sangat aneh dan tidak biasa jadi aku tak setuju dengan tindakannya yang turun dengan sembrono seperti itu. “Jangan buru-buru!” aku berseru kepadanya. “Terlalu berbahaya kalau turun begitu saja seperti ini. Setidaknya tunggu sampai kabut di bawah memudar.”
Pangzi sudah berjalan turun beberapa langkah dan berkata, “Jangan cemas, aku akan turun dan melihat sebentar saja. Kalau jadi terlalu sulit bagi kita untuk turun ke bawah sana, maka aku akan kembali.”
Aku sudah mengenal karakternya jadi aku tak mau repot-repot menghentikannya. Tapi setelah melihat dia turun sekitar dua tingkat, dia kelihatan seperti telah melihat sesuatu dan berjongkok untuk mengamatinya. Beberapa detik kemudian, dia mendongak dan berseru kepada kami, “Sial, ada sesuatu yang tertulis di sini dengan bahasa asing!”
Saat aku mendengar dia berkata demikian, aku jadi benar-benar terperangah. Bagaimana mungkin bahasa asing bisa ada di dalam sebuah kuburan kuno dari Dinasti Ming? Apa yang terjadi? “Kau itu bicara apa sih?” Aku balik berseru kepadanya. “Mana mungkin bisa ada ukiran bahasa asing di dalam sebuah kuburan kuno? Apa kau yakin kau tidak keliru dengan suatu pola dekoratif?”
Pangzi menyumpah marah, “Walaupun aku mungkin tidak hebat dengan bahasa asing, aku jelas tahu ABC-ku, sialan! Kau itu terlalu meremehkanku! Kalau kau tak percaya, kau turun saja dan lihatlah sendiri!”
“Bacakan untukku,” ujarku kepadanya.
Pangzi meledak murka, “Kalau aku paham, maka aku nggak bakal perlu nyuruh kamu turun ke bawah sini!”
Aku tak berniat turun, tapi berdasarkan dari situasi kami saat ini, aku tahu kalau aku tak punya pilihan lain. Aku mendesah sebelum melompat ke atas anak tangga batu pertama seperti yang dilakukan oleh Pangzi. Panjang anak-anak tangganya cuma setengah meter dan kelihatannya terbuat dari potongan granit padat yang telah dimasukkan ke dalam satu sisi dinding. Aku mengentakkan kakiku beberapa kali pada anak tangga itu dan mendapatinya sangat stabil dan kelihatannya tidak dalam bahaya akan jatuh. Pada saat ini, Muka Datar juga melompat turun, dan kami berdua pun berjalan ke arah Pangzi.
Pangzi kelihatan seperti dinding ketika dia berdiri di atas undakan itu. Saat kami mendekat, dia menunjuk ke arah dinding kolam terdekat dan berkata, “Lihat ini! Kalau yang macam ini bukan bahasa asing, maka aku adalah idiot!”
Aku mencondongkan diri untuk melihat lebih dekat dan mendapati kalau beberapa huruf benar-benar telah diukir ke dinding. Goresan-goresannya tidak baru maupun lama, yang membuatku berpikir bahwa mungkin tulisan ini diukir oleh seseorang dari kelompok Paman Ketiga dua puluh tahun yang lalu. Aku agak kaget. Apakah orang-orang itu telah datang ke tempat ini ketika Paman Ketiga sedang tidur? Mungkinkah lenyapnya mereka ada hubungannya dengan kolam aneh ini?
Pangzi melihatku berdiri terbengong-bengong di tempat dan memberiku tepukan keras di punggung, “Aku benar kan? Cepat katakan!”
Buru-buru aku mengangguk dan berkata, “Ya, ya, aku minta maaf. Ini benar-benar Bahasa Inggris.”
Merasa puas dengan dirinya sendiri, dia menampar pahanya dan berkata, “Aku sudah tahu kalau ini aneh! Kita sudah mencari-cari begitu lama di dalam makam ini tapi belum melihat satu pun hal bagus. Takutnya saudara-saudara asing kita ini telah mengalahkan kita. Ingat saat Persekutuan Delapan Negara* datang dan tidak meninggalkan apa-apa untuk kita? Tak usah dikatakan lagi, kali ini juga sama. Taruhan tak ada sisanya.”
(T/N: Persekutuan Delapan Negara adalah koalisi militer beberapa negara yang menjajah Tiongkok utara pada tahun 1900 dengan tujuan utama adalah memulihkan pendudukan asing di Beijing, menekan Pemberontakan Boxer, dan mengamankan hak-hak khusus warga asing serta Kristen Tiongkok. Mereka kemudian dikepung oleh milisi Boxer yang terkenal, yang bertekad untuk membersihkan pengaruh asing dari Tiongkok. Negara-negara sekutu itu adalah: Kekaisaran Jerman, Kekaisaran Jepang, Kekaisaran Rusia, Kekaisaran Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Kerajaan Italia, dan Austria-Hungaria)
Sejenak aku memikirkannya sebelum berkata, “Mungkin saja belum tentu ditinggalkan oleh orang asing. Orang-orang Tiongkok juga bisa menulis tulisan asing. Saat berhubungan dengan mengukir, butuh waktu lebih sedikit untuk mengukir huruf-huruf asing ketimbang mengukir karakter-karakter Mandarin. Huruf-huruf ini adalah sejenis singkatan jadi menurutku ini mungkin adalah pesan. Kau lihat? Huruf-huruf ini kelihatannya diukirkan secara terburu-buru. Takutnya telah terjadi sesuatu yang mendesak ketika orang ini sedang berjalan turun atau ada seseorang yang mendesak mereka agar bergegas. Orang ini ingin meninggalkan tanda untuk orang-orang yang datang setelahnya.”
“Yang kau katakan itu kedengarannya masuk akal,” Pangzi menyetujui, “tapi menurutmu apa yang mereka lakukan di bawah sini? Apa ada semacam harta karun?”
Aku tahu ke mana pikirannya mengarah jadi aku mengabaikan dia, tapi dia mengejarku dan berkata, “Pokoknya, kita masih punya waktu. Bagaimana kalau kita turun dan melihatnya? Mungkin kita bisa menemukan beberapa barang dari perunggu untuk dijadikan alat. Bukankah ini berarti sambil menyelam minum air?”
Aku menunduk. Aku tidak benar-benar peduli soal menemukan harta karun apa pun – terutama kalau bayarannya adalah nyawaku sendiri – tapi kalau dengan turun ke bawah sana aku bisa mengetahui tentang keberadaan Chen Wenjin dan yang lainnya, maka memang patut memeriksanya. Ketika aku berdiri ragu-ragu tentang apakah akan lanjut turun atau tidak, tiba-tiba kudengar Muka Datar berkata dari samping, “Kurasa aku pernah ke tempat ini sebelumnya!”