Grave Robber Chronicles - Chapter 59
Setelah muka datar berkata demikian, dia mengabaikan pertanyaanku dan bergegas menuruni anak tangga. Ketika kulihat kalau sepertinya ada secercah harapan untuk menemukan kebenaran tentang apa yang terjadi di sini, tentu saja aku tak mau melepaskan kesempatan itu dan mengejarnya.
Kabut di dasar kolam terus naik dan segera menelanku setelah aku baru berjalan sepuluh langkah. Kabutnya sangat pekat, sebenarnya, sampai-sampai daya pandangku menurun tajam. Pada mulanya aku masih bisa melihat punggung Pangzi, tetapi setelah berjalan beberapa langkah lagi, semua yang bisa kulihat di depanku adalah berkas-berkas cahaya bergerak yang datang dari senternya. Terlebih lagi, Pangzi begitu tak kenal takut sehingga dia langsung berlari pergi, bergerak tiga langkah setiap aku maju satu langkah. Dia meninggalkanku begitu jauh di belakang sampai-sampai aku bahkan belum sampai turun setingkat sebelum aku bahkan tak bisa melihat lagi titik cahaya dari senternya.
Aku jadi mulai agak panik. Di sekelilingku adalah awan kabut dan aku hanya bisa melihat kurang dari setengah meter di depan, belakang, dan sisi kananku. Perasaan bisa melihat tapi tidak mengetahui apa yang ada di sana bahkan lebih buruk ketimbang berada di dalam kegelapan mutlak.
Jarak antara permukaan kolam dan dasar rupanya tidak terlalu tinggi, karena setelah berjalan dalam waktu yang dibutuhkan untuk mengisap sebatang rokok, aku mendengar Pangzi berseru dari bawah, “Aku sudah sampai di dasar!”
Seruan ini ditemani oleh suara ceburan kaki yang menerobos air. Aku buru-buru menuruni beberapa anak tangga terakhir dan tiba-tiba mendapati kalau kakiku terasa dingin dan aku berdiri di dalam air. Ternyata, tidak semua air di dasar kolam telah dikuras. Masih tersisa kolam dangkal yagn dalamnya kira-kira satu betis. Hal ini tidak mengejutkan karena aku tak bisa melihat apa-apa ketika aku menunduk dari atas.
Aku mengamati areanya dan mendapati kalau di sini hampir merupakan pusat dari kabutnya. Daya pandang di sini bahkan lebih rendah daripada sebelumnya. Tangan terus menempel pada dinding, aku berjalan beberapa langkah dan kemudian mendengar Pangzi berkata dari suatu tempat di sisi kiriku, “Perhatikan pada air di kakimu. Ada lubang-lubang drainase di mana-mana, jadi pastikan untuk tidak menginjaknya.”
Aku meraba-raba sekitar dengan kakiku dan mendapati bahwa, benar saja, ada lubang-lubang seukuran mangkuk di depan dan belakangku. Tampaknya kami harus luar biasa hati-hati ketika berjalan-jalan di tempat ini. Pada saat ini, sorotan cahaya senter muncul di tengah kabut, dan dengan cepat diikuti oleh Pangzi yang menyuruhku agar mengikutinya.
Aku mengangguk dan bergerak untuk mengikuti dia menerobos air. Setelah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba aku melihat beberapa siluet hitam muncul di depanku. Aku tak tahu bayangan apa itu, tapi Pangzi jelas-jelas sudah melihatnya jadi dia tak terkejut sama sekali. Dia memberitahuku agar berhenti berlama-lama dan lanjut berjalan ke arah siluet-siluet itu. Saat aku menghampiri bersama Pangzi, kulihat ada empat monyet batu sedang meringkuk dalam posisi berdoa di atas suatu alas batu. Tingginya sekitar setengah tinggi manusia dewasa dan menghadap ke empat arah utama. Aku tak tahu apa yang mereka doakan, tapi aku tahu kalau mereka disebut sebagai ‘Monyet-monyet Penenang Laut’. Mereka biasanya diletakkan di dasar kolam untuk mengusir roh jahat jadi merupakan hal lazim kalau mereka akan ada di sini.
Sekarang merasa lebih tenang, aku berjalan beberapa langkah lebih jauh ke dalam kabut dan melihat kalau sebuah tugu granit raksasa yang tingginya lebih dari dua meter telah didirikan tepat di tengah-tengah keempat monyet batu itu. Muka Datar mengarahkan senternya pada tugu itu dan mengamatinya dengan seksama.
Aku menghampirinya dan bertanya, “Jadi, apa sekarang setelah melihat ini, kau jadi teringat sesuatu?”
Dia menunjuk pada batu di dasar tugu itu. Aku lebih dekat dan melihat bahwa beberapa baris tulisan kecil telah diukir di permukaannya. Pangzi tak bisa memahami apa artinya, jadi aku menjelaskan kepadanya, “Kata-kata ini hanya memberitahu kita bahwa si pemilik makam telah membangun sebuah istana langit dan pintu yang mengarah ke tempat itu ada di dalam tugu ini. Kalau ditakdirkan, maka pintu ini akan terbuka untukmu dan kau bisa naik ke langit begitu kau berjalan melaluinya.”
Pangzi menatap tugu itu dan bertanya, “Di mana pintu sialan itu?”
“Kata-kata ini agak mirip seperti suatu naskah Buddhis,” ujarku padanya. “Semua orang memiliki pemahaman yang berbeda atas maknanya. Ide utamanya bukan berarti ada pintu sungguhan di dalam tugu ini tapi bahwa mungkin ada suatu informasi rahasia di situ yang akan menunjukkan jalan ke pintunya.”
“Bah, memangnya benar-benar ada ‘informasi’ di tugu ini?” Pangzi bertanya padaku. “Aku nggak lihat ada satu kata pun!”
Aku mendongak dan melihat kalau bagian depan tugu itu polos dan dipoles sedemikian rupa sampai-sampai berkilau dengan tidak lazim, hampir seperti sebuah kumala. Tapi tak peduli seberapa banyak pun aku melihat, aku tak menemukan satu kata pun. Aku juga merasa bingung ketika berkata kepadanya, “Di sini dikatakan kalau pintu itu akan terbuka hanya kalau memang ditakdirkan. Tak ada hubungan antara kau dan istana langit, jadi tentu saja tidak ditakdirkan.”
Pangzi meludah, menunduk, dan mulai meraba-raba di dalam air. “Tidak masalah kalau takdirku tak terikat pada istana langit,” dia menggumam, “tapi harus terikat pada barang-barang pemakaman.”
Aku berbalik untuk menatap Muka Datar dan mendapati kalau rona wajahnya tak kelihatan terlalu baik. Aku memanggilnya beberapa kali tapi dia mengabaikanku sepenuhnya dan hanya terus memandangi tugu ini, seakan sedang mencari-cari sesuatu. Aku merasa ini agak aneh – tugu ini cuma sebongkah batu polos, jadi kenapa dia memandanginya dengan begitu penuh perhatian? Pada saat ini, tiba-tiba Pangzi menepukkan tangannya dan berkata, “Kelihatannya seperti kalau ada banyak yang pernah kemari sebelumnya.” Aku menolehkan kepalaku dan melihat kalau dia sudah mengail keluar sebuah kacamata renang dari dalam air.
Aku berjalan menghampirinya dan berkata, “Ketika sebelumnya Paman Ketigaku meninggalkan makam ini, dia tak membawa satu pun peralatan selam bersamanya. Kacamata renang ini mungkin adalah miliknya. Lihat apa ada tangki oksigen.”
Kata-kata itu baru saja meninggalkan mulutku ketika tiba-tiba Pangzi mengangkat sebuah tangki oksigen yang telah dipipihkan keluar dari dalam air. dia memeriksa untuk melihat apakah tangki itu akan berfungsi tapi ternyata sama sekali tak berguna. Dia melemparnya kembali ke dalam air dan berkata, “Ada banyak sampah di bawah sini. Aku senang sekali ketika berpikir kalau ada sesuatu yang bernilai sampai-sampai bergegas turun, tapi ternyata kesenanganku sia-sia. Tak ada yang tahu kapan airnya akan mulai naik lagi jadi menurutku kita harus bergegas dan kembali ke atas. Kalau airnya benar-benar mulai naik, akan terlambat untuk kabur bahkan meski kita bisa terbang.”
Aku memeriksa ketinggian airnya dan harus setuju dengan kata-katanya. Aku kembali ke tugu untuk menarik Muka Datar tapi mendapati kalau dia tak lagi ada di sana. Aku memanggil-manggil namanya beberapa kali, merasakan jantungku serasa diremas ketika aku tak mendapat tanggapan.
Orang ini persis seperti hantu kalau melihat seberapa sering dia muncul dan menghilang dengan begitu tiba-tiba, batinku dalam hati. Jangan bilang kalau dia menghilang lagi.
Ketika aku terpikirkan hal ini, buru-buru aku memanggil Pangzi agar membantuku mencari di sekitar sini. Walaupun kabutnya tebal, tempat ini sebenarnya tidak terlalu besar jadi akhirnya kami berhasil menemukan dia setelah memutarinya dua kali. Dia sedang duduk di pojok di depan dinding, menatap lurus ke depan. Ketika aku melihat ke dalam matanya, aku langsung merasa kalau ada sesuatu yang salah. Sorot tenang dan acuh tak acuh di matanya telah digantikan dengan sorot yang mengingatkanku pada orang sekarat yang hampir putus asa. Bahkan sekujur tubuhnya tampak mirip dengan orang mati.
Aku buru-buru menanyakan apa yang terjadi padanya. Dia mendongak menatapku dan berkata dengan suara yang nyaris tak terdengar, “Aku ingat apa yang terjadi dua puluh tahun lalu–”