Grave Robber Chronicles - Chapter 60
Muka Datar – bukan, seharusnya Zhang Qiling – berkata dengan nada datar tanpa sedikit pun tanda-tanda adanya emosi. Dari ceritanya, perlahan-lahan aku mulai melihat sudut dari sebuah puzzle besar, tapi aku tak bisa mengerti apa yang dia pikirkan ataupun dengarkan di sepanjang insiden itu, juga tak bisa mengerti apa latar belakangnya yang sebenarnya. Untuk saat ini, yang terbaik adalah membayangkan dia sebagai seorang pemuda yang pendiam dan bijaksana.
Jauh di dasar laut, mereka tak bisa mendengar lolongan angin di permukaan laut, namun mereka masih bisa merasakan tekanan menyesakkan yang biasanya datang sebelum badai.
Zhang Qiling duduk membisu di sudut ruang samping dan menonton ketika rekan-rekannya berkerumun untuk mempelajari porselen biru putih di lantai. Barang-barang porselen ini tidak menarik perhatiannya sama sekali tapi sepertinya para senior yang tampak lebih tua ini benar-benar dibuat terpukau oleh barang-barang itu.
Ketika mereka saling mengoperkan porselennya pada satu sama lain, beberapa ingin mencatat pola di permukaannya sementara yang lainnya mendiskusikan arti di balik pola-pola tersebut. Pada saat ini, tiba-tiba seseorang berseru, “Teman-teman, kemari lihatlah ini! Ada sesuatu yang aneh di dasar porselen-porselen ini!”
Nama dari orang yang mengucapkan kata-kata itu adalah Huo Ling, yang paling muda dari tiga orang gadis dalam kelompok riset tersebut. Orangtuanya adalah anggota partai tingkat atas yang memanjakan dirinya sejak dia masih kecil. Dia biasanya suka membuat keributan demi menarik perhatian orang lain. Zhang Qiling merasakan sakit kepala menghampirinya ketika mendengar suara gadis itu, namun seorang gadis seperti Huo Ling masih tetap populer di dalam kelompok kecil seperti ini jadi suara lembutnya langsung menarik perhatian beberapa orang pemuda.
Mereka langsung berlomba-lomba menghampiri, berebut untuk menjadi yang pertama kali tiba dengan harapan bisa memamerkan pengetahuan mereka di depan Huo Ling. “Apanya yang aneh?” Mereka semua berseru. “Tunjukkan padaku!” Hou Ling membalikkan porselen di tangannya dan menunjukkannya kepada mereka. Salah seorang meliriknya dan berkata, “Ah, aku tahu apa ini. Ini namanya nomor pembakaran. Ini menunjukkan di mana porselen ini dibuat.”
Seorang pemuda lain langsung membantah, “Bukan, nomor pembakaran Dinasti Ming bukan seperti ini. Ini mungkin adalah tulisan gelar yang dianugerahkan kepada si pemilik makam!”
Orang yang pertama tak sanggup kehilangan muka dan berkata, “Tulisan gelar yang dianugerahkan pada umumnya terdiri dari empat karakter Mandarin. Di sini hanya ada satu karakter, yang mana sangat tidak lazim. Yang kau katakan itu bahkan lebih mustahil lagi.”
Mereka berdua telah mewarisi kemegahan dari Revolusi Budaya dan mulai saling berdebat satu sama lain. Perdebatan itu jadi sangat memanas, sebenarnya, sampai-sampai mereka hampir berkelahi. Huo Ling sudah terbiasa melihat adegan semacam ini dan mendesah, tapi tepat pada saat ini, tiba-tiba dia melihat Zhang Qiling sedang bersandar acuh tak acuh di pojokan, benar-benar mengabaikan dirinya. Dia mendengus kesal sebelum berjalan lurus ke arah Zhang Qiling dan menyerahkan bejana porselen biru putih itu kepadanya. “Kak Zhang,” dia berkata ceria, “apa kau bisa membantuku melihat ini? Ini apa?”
Zhang Qiling sama sekali tak mau terlibat dalam hal ini dan hanya melihat sepintas pada bejana itu. Tidak melihat apa pun yang menarik perhatiannya, dia pun memalingkan kepala dan berkata, “Aku tak tahu.”
Ekspresi Huo Ling langsung berubah. Cuma sedikit pria yang pernah menolak pendekatannya seperti ini jadi mau tak mau dia merasa kesal. “Kak Zhang,” rengeknya, “jangan cuma lihat sepintas dong! Lihatlah dengan seksama dan baru beri aku jawaban!” Kemudian dia menyorongkan bejana itu ke tangan Zhang Qiling.
Zhang Qiling mendesah dan dengan ogah-ogahan menerima bejana itu sementara Huo Ling dengan bangga menunjukkan bagian mana yang harus dilihat kepadanya. Ternyata, sebuah tanda yang sangat istimewa telah diukir di dasar bejana porselen biru putih acak ini.
Zhang Qiling tak pernah melihat pola semacam ini sebelumnya dan mau tak mau tertegun. Pada umumnya, bagian dasar sebuah porselen ditandai dengan nomor pembakaran untuk mengindikasikan dari mana benda itu berasal, tapi ukiran ini menonjol saat disentuh. Jelas-jelas ini bukan nomor pembakaran dari suatu tempat tertentu melainkan lebih seperti sebuah nomor.
Dia memungut bejana lainnya dan membalik benda itu untuk melihatnya. Benar saja, ada sebuah ukiran di sana, namun berbeda dari yang baru saja dia lihat sebelumnya. Tiba-tiba dia mendapat firasat samar bahwa porselen-porselen ini bukan sekedar barang-barang pemakaman.
Huo Ling melihat kalau ekspresinya telah berubah dan berpikir kalaubalok kayu ini akhirnya mulai mendapat pencerahan. “Kak Zhang,” ujarnya, “apa ini? Apa kau tahu apa sebenarnya ini?”
Zhang Qiling bersikap seakan Huo Ling tidak ada di situ dan pergi untuk memungut lebih banyak bejana porselen lagi. Setelah melihat lebih dari selusin bejana itu secara berturut-turut, dia mendapati kalau ada simbol-simbol yang berbeda pada dasar masing-masingnya, dan simbol-simbol ini berubah secara teratur. Sepertinya ini adalah nomor dengan urutan tetap.
Kenapa porselen-porselen ini dinomori? Apakah semestinya bendabenda ini diletakkan secara berurutan? Atau, apakah ini adalah sesuatu semacam kau takkan bisa meraih suatu tujuan tertentu kalau kau tidak menatanya sesuai dengan nomornya? Tak terhitung banyaknya pemikiran melintasi benak Zhang Qiling ketika dia lanjut memeriksa porselen-porselen ini dengan sangat seksama.
Dia dibuat terkejut ketika melirik pada bejana terdekat karena isi yang digambarkan pada permukaannya bukanlah acara membajak di musim semi atau halaman sebuah rumah seperti biasa melainkan sebuah gambar tentang para perajin mengukir sebuah patung batu raksasa. Di masa kuno, gambar semacam ini dianggap kasar dan tidak berpendidikan, jadi kenapa digambar pada porselen di sini?
Dia mengamati masing-masing bejana satu persatu dan perlahan menemukan beberapa petunjuk. Lukisan-lukisan pada porselen ini tidak istimewa ketika dilihat sendiri-sendiri, tetapi begitu ditata dalam urusan yang benar, dia bisa melihat kalau porselen-porselen ini menggambarkan serentetan kejadian berkelanjutan yang melibatkan kemajuan dari sebuah proyek konstruksi besar.
Pada titik ini, semua orang mulai menyadari perilaku anehnya, dan beberapa pemuda menatap kebingungan padanya, tidak tahu pertunjukan macam apa yang sedang berusaha dimainkannya.
Walaupun dirinya mendapat perhatian tambahan, Zhang Qiling mengabaikan semua orang. Dia tak mengamati masing-masing bejana seperti yang telah kulakukan sebelumnya melainkan berjalan langsung menuju bejana kecil bergagang dua yang terakhir. Ketika dia memungutnya dan melihat lebih dekat, dia merasakan jantungnya berdebar – pada bejana terakhir ini terdapat lukisan dari proyek yang sudah selesai.
Yang terlukis di situ adalah sebuah istana indah tak terperi yang mengambang di langit, dengan awan dan kabut berpusar di bawahnya. Para pembangun berdiri di tanah dan memandang langit sementara seorang pendeta Tao berdiri di atas gunung terdekat, tersenyum bahagia.
Bejana kecil ini tak mampu menggambarkan kemegahan sejati dari proyek ini tapi Zhang Qiling masih merasakan suatu kegembiraan tak terkendali karena dia tahu kalau dirinya telah menemukan sesuatu.
Dia hampir merasa yakin kalau pola yang digambarkan pada bejana itu adalah Istana Langit di atas Awan, didesain dan dibangun oleh Wang Zanghai, seorang perajin ahli dari Dinasti Ming awal!
Legenda tentang sebuah istana yang bisa melayang di langit sudah muncul di dalam cerita-cerita rakyat sejak jaman dahulu kala. Namun pada saat itu, penjelasannya adalah bahwa Wang Zanghai telah menggunakan sebuah layang-layang raksasa yang dihubungkan dengan sejumlah besar benang emas untuk menciptakan ilusi sebuah istana yang indah di langit demi menyenangkan Zhu Yuanzhang*.
(T/N: Kaisar pertama Dinasti Ming)
Tetapi kalau legenda itu memang benar, maka apa sebenarnya adegan yang digambarkan pada bejana ini? Kalau legenda itu salah, maka apakah lukisan-lukisan pada porselen ini berarti bahwa Wang Zanghai benar-benar telah membangun sebuah istana yang mengambang di langit? Legenda dan fakta, fakta dan legenda… mana yang benar dan mana yang salah? Zhang Qiling mulai merasa kebingungan.
Dia menimbang-nimbang hal itu selama beberapa saat namun tak bisa menemukan jawabannya, jadi dia memberitahu rekan-rekannya yang kebingungan tentang apa yang telah dia temukan. Tentu saja, mereka tak memercayai dirinya dan bergegas maju untuk memeriksa. Setelah mengamati porselen-porselen itu satu persatu seperti yang dia lakukan, mau tak mau mereka tercengang. Bukan hanya ini merupakan penemuan paling unik dalam sejarah Tiongkok, tetapi juga yang paling menakjubkan. Ketika Huo Ling melihat kalau penemuannya telah mengarahkan pada penemuan seluarbiasa tu, mau tak mau dia merasa kegirangan dan mencium ringan pipi Zhang Qiling. Hal ini langsung membuat pria-pria lainnya cemburu.
Sayangnya, Zhang Qiling tak menyadari hal ini sama sekali. Dia mungkin bahkan tak tahu siapa yang telah menciumnya, juga tak ingin tahu. Dia berjalan langsung menuju Chen Wenjin dan menyarankan agar mereka mencari di aula belakang sekarang juga. Dia berpikir bahwa tentunya akan ada lebih banyak petunjuk kalau mereka bisa menemukan petinya.
Chen Wenjin memikirkannya – bagaimanapun juga dia adalah salah satu dari orang yang memiliki wewenang – namun memutuskan bahwa ini terlalu berbahaya. “Tidak, jelas tidak,” dia berkata kepada Zhang Qiling. “Kita tak boleh masuk sendiri ke dalam makam kuno tanpa bimbingan dari pemimpin!”
Zhang Qiling melihat kalau Chen Wenjin tidak setuju dan tahu kalau tak ada gunanya berdebat dengan wanita itu, jadi dia mengemasi peralatannya sendiri dan mulai berjalan menuju koridor. Chen Wenjin adalah seorang wanita tinggi hati dan teguh, jadi ketika dia melihat kalau Zhang Qiling tidak menganggap serius dirinya, mau tak mau dia merasa kesal dan ingin memberi pelajaran pada pemuda itu. Ketika mereka masih di institut riset, dia sering memakai ilmu beladiri untuk memberi pelajaran pada para berandal yang tidak menghormati dirinya itu.
Setelah memikirkan hal ini, tiba-tiba Chen Wenjin maju dan berusaha menangkap sendi pergelangan tangan Zhang Qiling yang kurus. Ini namanya adalah ‘mengunci gerbang nadi’ – kalau kau memberi tekanan pada titik nadi dan menghalangi aliran darah, kau bisa membuat seorang pria jatuh berlutut. Sebagai seorang wanita, Chen Wenjin tentu saja tidak sekuat pria, namun asalkan dia mengambil inisiatif dan menyerang duluan, akan sudah cukup untuk membuat seorang pria dewasa seperti Zhang Qiling memohon ampun.
Beberapa pria lainnya yang pernah merasakan ilmu beladiri Chen Wenjin mau tak mau tersenyum sendiri. Mereka ingin sekali melihat bagaimana Chen Wenjin akan mempecundangi Zhang Qiling.
Chen Wenjin telah memakai keahlian ini berkali-kali dan ilmu ini sudah bekerja setiap kalinya jadi dia tahu kalau orang yang tak memiliki dasar ilmu beladiri takkan mampu menghindarinya sama sekali. Namun kali ini, dia terkejut ketika mendapati bahwa tangannya menangkap udara kosong. Zhang Qiling berbalik dan berkata cuek, “Jangan cemas, aku bisa mengurus diriku sendiri!”
Chen Wenjin mencibir, “Apa maksudmu dengan kau bisa mengurus dirimu sendiri? Xiao Zhang, di institut kau terkenal tidak tahu aturan dan tidak disiplin, tapi di sini adalah makam kuno! Tolong, jangan cuma memikirkan tentang dirimu sendiri tapi juga pertimbangkanlah keselamatan semua orang.”
Zhang Qiling mengangguk dan berkata, “Aku akan memikirkannya. Aku akan segera kembali.”
Wajah Chen Wenjin merona merah karena marah dan dia bertanya-tanya kenapa dia sampai harus berurusan dengan orang menyusahkan semacam itu. Tapi nada bicara acuh tak acuh Zhang Qiling membuatnya merasa tidak nyaman kalau marah kepada pria itu di muka umum, jadi dia maju dan meraih Zhang Qiling, “Tidak, kau takkan kemana-mana. Sejauh ini kita sudah kehilangan satu orang. Bagaimana kau ingin aku menjelaskan hal ini ke kantor saat kita kembali?”
Zhang Qiling tampak agak tidak sabaran dan berpaling ke arah Chen Wenjin dengan sorot dingin di matanya, “Ayo kita pergi.”
Chen Wenjin terus menatapnya dengan sangat tegas. Kurasa pria mana pun yang melihat wanita sejelita itu sedang menatap dirinya dengan tatapan semacam itu akan langsung setuju untuk berkompromi, namun Zhang Qiling tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar, pada saat itu tampak lebih mirip dengan roh jahat ketimbang manusia. Tiba-tiba Chen Wenjin merasa takut dan tanpa sadar merenggangkan cengkeramannya, membuat Zhang Qiling bisa membebaskan dirinya sendiri.
Ketika Chen Wenjin kembali melihat wajahnya, mata Zhang Qiling sudah berubah kembali ke sorot acuh tak acuhnya yang normal, tidak ada tanda-tanda emosi sedikit pun di dalamnya. Zhang Qiling mengangguk kepadanya dan berkata, “Terima kasih!”
Ketika yang lainnya melihat adegan ini, mereka mengira kalau Chen Wenjin telah setuju dengan permintaan Zhang Qiling dan merasa kesal. Memang begitulah sifat orang – begitu satu orang melanggar aturan, yang lainnya akan langsung mengikuti. Ketika mereka melihat Zhang Qiling berjalan menuju koridor, di satu sisi, mereka takut kalau dia akan mendapatkan semua jasanya, di sisi lain, rasa ingin tahu mereka yang ditahan juga terpantik. Alhasil, mereka semua pun bergegas mengikuti di belakang Zhang Qiling.
Chen Wenjin tahu kalau dia sudah kehilangan kendali atas orang-orang ini begitu dia melepaskan tangan Zhang Qiling barusan tadi. Namun dia adalah seorang wanita, jadi kecuali ada senapan di tangannya, tak mungkin dia akan bisa menghentikan muda-mudi ini.
Ditambah lagi, Paman Ketiga memiliki temperamen yang buruk, jadi dia tahu kalau konflik berat pasti akan terjadi antara pria itu dengan Zhang Qiling demi dirinya kalau Paman Ketiga bangun pada saat ini. Kalau hal itu sampai terjadi, urusannya mungkin akan dengan cepat jadi tak bisa dikendalikan. Setelah menimbang-nimbang pro dan kontranya, akhirnya Chen Wenjin memutuskan untuk membawa mereka ke aula belakang sendiri lalu kembali secepat mungkin. Kalau ini cuma sebuah makam biasa, dengan pengalamannya merampok makam selama bertahun-tahun, dia tahu kalau takkan ada masalah.
Setelah itu, rangkaian kejadiannya pada dasarnya sama seperti yang telah kami lalui. Lalu untuk bagaimana mereka bisa melewati koridor yang penuh dengan banyak jebakan, menemukan tangga di kolam, dan kemudian menuruni tangga itu menuju ke dasar kolam, walaupun ini merupakan pengalaman yang sangat menyiksa dan aneh, ini bukanlah fokus dari narasinya. Ketika Zhang Qiling memberitahu kami tentang hal itu, dia hanya menyebutkannya dalam beberapa kalimat. Hal yang paling penting adalah bahwa mereka turun ke dasar kolam yang penuh kabut ini dan melihat tugu kosong tersebut.
Pemandangan di dasar kolam sungguh aneh dan tak tergambarkan. Di bawah sorotan senter mereka, kabut tebal itu sepertinya berubah menjadi beragam topeng cahaya dan bayangan dari waktu ke waktu, menakuti semua orang. Saat mereka berjalan menuruni anak tangga batu terakhir, kelompok itu tiba-tiba berkerumun jadi satu, bahkan tak berani bernapas kemudian, mereka memaksakan tubuh mereka yang gemetaran untuk bergerak memasuki kabut, berpegangan pada satu sama lain karena takut sesuatu akan tiba-tiba muncul ke arah mereka.
Huo Ling memandangi Zhang Qiling dan melihat kalau pria itu tidak takut. Hal ini sangat kontras dengan yang disebut sebagai kakak kelas dalam kelompok mereka yang biasanya bersikap begitu puas diri dan penuh percaya diri tapi sekarang bersembunyi ketakutan di belakang Zhang Qiling. Mau tak mau dia jadi merasakan suka kepada Zhang Qiling dan berkata kepada pemuda-pemuda lainnya, “Coba lihat diri kalian! Kalian itu beberapa tahun lebih tua daripada Kakak Zhang tapi sama sekali tak bisa dibandingkan dengannya. Kalian tidak malu pada diri kalian sendiri?”
Para pemuda ini berada pada usia di mana mereka cuma sedikit berpikir sebelum bertindak, jadi ketika mereka mendengar Huo Ling mengatakan ini, mereka langsung merasakan keberanian mereka memuncak dan semuanya bergegas maju ke depan Zhang Qiling. Tidak banyak ruang di dasar kolam itu, jadi setelah berlari beberapa langkah tanpa terjadi apa-apa, mereka jadi semakin berani dan berjalan lurus menuju bagian tengah kabut. Namun setelah berjalan beberapa langkah, orang yang ada di depan tiba-tiba berseru dan berlari balik, “Ada monster!”
Suara ini sangat menakuti yang lainnya sampai-sampai mereka nyaris kencing di celana, dan yang ada di bagian belakang kelompok semuanya merasakan kulit kepala mereka jadi kebas. Tak peduli apakah mereka benar-benar melihat sesuatu atau tidak, mereka langsung mulai mundur. Zhang Qiling mengabaikan mereka dan memimpin beberapa orang lainnya memasuki kabut. Ternyata, yang disebut-sebut sebagai monster tadi adalah Monyet Penenang Lautan.
Kemudian, mereka melihat beberapa Monyet Penenang Lautran lainnya muncul dari balik gumpalan kabut, bersama dengan tugu kosong yang misterius itu.
Semua orang sangat terperanjat. Walaupun benda-benda yang ada di depan mereka tidak spektakuler, di mata mereka, kesemuanya ini sangatlah penting. Semua yang ada di dalam makam kuno ini telah menjungkirbalikkan konsep makam Tiongkok yang seperti buku pelajaran yang tak berubah selama ribuan tahun. Semua ini memiliki nilai arkeologis yang tak terukur.
Bahkan Chen Wenjin dibuat tak mampu berkata-kata akibat syok. “Astaga,” pada akhirnya dia menggumam, “semua ini sungguh tak bisa dipercaya! Tempat ini mungkin saja akan menjadi batu pijakan lain dalam dunia arkeologi Tiongkok.”
Setelah keterkejutan, datanglah suatu kegembiraan luar biasa. Pada masa-masa itu, sebuah penemuan besar berarti sebuah kesempatan amat besar, dan kalau penemuan ini diumumkan, nama mereka akan segera dikenal oleh semua orang. Berpikir demikian, beberapa orang yang lebih bodoh mulai terkikik dan satu orang jadi begitu kegirangan hingga tak bisa menahan diri untuk mulai menari.
Pada saat ini, Zhang Qiling – pelaku utama dari kelancangan ini – mengernyit dalam-dalam. Dia jauh lebih awas daripada yang lainnya dan sudah melihat tulisan kuno yang terukir di dasar tugu itu.
“Monumen ini adalah untuk mereka yang ditakdirkan untuk menemukannya. Ketika pintu istana langit terbuka, masukilah dan kau akan mencapai surga.”
Kata-kata ini mengejutkan dirinya jauh lebih besar daripada penemuan lainnya. Tak terpengaruh oleh kegilaan dari orang-orang di sekitarnya, segera dia tenggelam dalam pemikiran mendalam.
Dalam opininya, kata-kata semacam itu takkan dituliskan tanpa sebab di tempat seperti ini. Lagipula, di dunia ini, semuanya dilakukan dengan membawa suatu tujuan. Kalau pemilik makam ini menaruh kata-kata ini di sini, maka pasti ada alasan untuk hal ini.
Tetapi terdapat di bagian mana dari tugu ini pintu yang mengarah ke istana langit? Apa arti dari ‘ditakdirkan untuk menemukannya’? Dia berdiri di depan tugu tersebut, mengamatinya sesenti demi sesenti, namun mendapati bahwa tak ada apa-apa di situ selain batu padat. Tidak ada satu pun jejak suatu mekanisme atau tulisan rahasia di mana-mana.
Yang lainnya tetap berisik selama beberapa waktu sebelum perlahan-lahan kembali tenang. Chen Wenjin, merasa kalau waktu mereka sudah hampir habis dan tidak baik kalau terus menunda-nunda lebih lama lagi di sini, memanggil mereka untuk berkumpul sehingga mereka bisa berjalan balik. Semua orang merasa gembira dan puas dengan apa yang telah mereka lihat, jadi mereka tak mau repot-repot berdebat dengannya. Ketika mereka berjalan menuju tangga, mengobrol dan tertawa pada satu sama lain, Chen Wenjin menghitung jumlah mereka satu persatu. Tetapi ketika dia sampai pada yang terakhir, dia mendapati kalau Zhang Qiling tidak ada di antara mereka.
Pertama-tama, pemuda itu telah membantah pemimpin kelompok dan bersikeras pergi ke aula belakang lalu kini menolak kembali bersama kelompok. Chen Wenjin jadi sangat marah begitu dia memikirkan hal ini, tapi dia punya tugas untuk memastikan semua orang kembali dengan selamat. Dia mengeluarkan perintah tajam kepada yang lainnya, dan kelompok itu pun bergegas berjalan kembali ke dalam kabut.
Setelah berjalan beberapa langkah, mereka melihat Zhang Qiling sedang berjongkok di depan tugu itu dan mempelajari sesuatu. Chen Wenjin tak bisa menahan diri dan berseru marah, “Kau masih di sini?! Berapa lama lagi kau berencana bersikap begitu menyulitkan –?” Dia baru setengah jalan menceramahi ketika Huo Ling tiba-tiba mencengkeram tangannya dan mati-matian mengisyaratkan kepadanya agar jangan bicara. Chen Wenjin menatap pada yang lainnya dengan bingung dan mendapati kalau mereka semua telah memasang ekspresi panik di wajah mereka.
Huo Ling melihat kalau Chen Wenjin tidak mengerti apa yang sedang terajdi dan buru-buru menunjuk ke arah kabut. Chen Wenjin melihat ke arah yang dia tunjuk dan mendapati kalau suatu sosok amat besar telah muncul di kedalaman kabut dalam jarak kurang dari dua meter dari Zhang Qiling.