Grave Robber Chronicles - Chapter 64
Aku berkata kepadanya, ‘Siapa yang tahu apa yang kau rencanakan? Kalau kau ingin bilang sesuatu ya bilang saja. Tapi jangan lupa kalau kita masih ada dalam masalah sekarang ini. Kalau tidak penting, maka lupakan saja.”
“Jangan khawatir,” Pangzi berkata padaku, “yang akan kukatakan ada banyak hubungannya dengan situasi kita sekarang ini. Bukankah barusan tadi kau telah mendengarkan Xiao Ge? Koridor yang mengarah ke gerbang langit itu menanjak, dan ruangan besar dengan model istana langitnya sangat tinggi, setidaknya belasan meter lebih. Kurasa langit-langit ruangan itu adalah puncak dari seluruh makam, jadi kalau kita ingin keluar dari sini, maka kita harus memakai otak kita untuk pergi ke sana!”
Begitu aku mendengar ini, benakku seperti mendapat pencerahan dan aku buru-buru membuat perhitungan. Ketika kami pertama kali berenang menuruni terowongan makam untuk memasuki makam ini, aku sudah memeriksa pengukur tekanan airnya. Pada saat itu, kami sudah berada tiga belas meter di bawah dasar laut. Dasar kolam tempat kami berada sekarang sekitar sepuluh meter di bawahnya, jadi kalau dijumlah, seharusnya kami berada sekitar dua puluh atau tiga puluh meter di bawah dasar laut. Jadi, langit-langit ruangan dengan model Istana Langit di atas Awan itu seharusnya berada kurang dari sepuluh meter di bawah dasar laut. Ini persis seperti yang telah Pangzi katakan.
Mau tak mau aku merasa terkesan. Aku sudah begitu tenggelam dalam ceritanya sampai-sampai aku tak terlalu memerhatikan detil-detil semacam ini, tapi ternyata Pangzi memerhatikannya. Walaupun orang ini kelihatan gegabah, otaknya ternyata sangat tajam. Sepertinya kelak aku takkan bisa menyembunyikan apa-apa darinya. Berpiki demikian, aku pun berkata pada mereka, “Kali ini Pangzi sebenarnya ada benarnya, tapi tidak penting bahkan kalau kita mengetahui informasi ini. Kita takkan bisa memanjat ke langit-langit setinggi sepuluh meter itu dengan tangan kosong kita. Dan bahkan meski entah bagaimana kita berhasil memanjat, kita tak punya peralatan apa pun. Kita kan tak bisa melubangi lapis demi lapis bata itu dengan tangan kita. Menurutku kita masih harus mencari beberapa barang penguburan dari logam yang memadai terlebih dahulu dan kemudian menerapkan rencana kita untuk menggali terowongan sesegera mungkin. Kalau kita berlama-lama lagi, takutnya kita akan melewatkan pasang surut.”
Setelah berkata demikian, aku sebenarnya tak tahu harus bagaimana – selama aku mengelilingi makam kuno ini, benda-benda penguburan yang kulihat hanyalah perkakas batu dan porselen. Sejauh yang bisa kutemukan, tak ada satu barang logam pun. Hal ini sangat tidak lazim sampai samar-samar aku merasa kalau mungkin si pemilik makam telah secara khusus mengaturnya demikian. Jadi, satu-satunya hal yang harus dilakukan sekarang adalah mencari beberapa peralatan di dalam ruangan dengan model itu. Kalau tidak ada, maka kami benar-benar tamat.
Pangzi tertawa ketika dia mendengar perkataanku, “Aku sudah memikirkannya. Bukankah ada cermin-cermin perunggu berlapis emas did alam ruangan besar itu? Kau juga adalah pedagang barang antik jadi kau seharusnya tahu seperti apa cermin-cermin ini, kan? Cermin-cermin ini memiliki kaki-kaki yang padat dan berat yang bisa kita lepas dan pakai sebagai palu.”
Deskripsinya barusan ini samar-samar kedengaran familier, tapi barulah setelah aku mendengar dia menyebutkannya, aku ingat kalau aku sebenarnya sudah memegang benda semacam ini sebelumnya. Aku hanya tak bisa ingat seperti apa bentuk persisnya. Tapi ketika aku melihat betapa percaya dirinya Pangzi dan bagaimana dia kelihatannya tak berbohong, aku pun jadi tenang. “Baiklah,” ujarku padanya, “kalau begitu udah ditetapkan. Kita harus bergegas dan pergi sebelum terlambat. Tapi setelah kita sampai ke ruangan itu, jangan sentuh apa-apa. Tempat ini penuh dengan jebakan dan kita masih punya kehidupan yang panjang untuk dijalani. Tidak layak kalau tetap tinggal di sini demi beberapa barang milik orang mati!”
Pangzi mendengarkan dan mengangguk, berkata bahwa dia takkan menyentuh apa-apa kecuali bata. Takutnya dia masih mengincar mutiara-mutiara malam itu jadi aku mengulang peringatanku agar tidak menyentuh apa-apa sampai beberapa kali lagi hingga dia jadi kesal. Setelahnya, aku menayakan tentang struktur khusus makam itu lagi sebelum memberitahu mereka tentang situasi apa pun yang mungkin terjadi dan tindak-tindak penanggulangan yang harus diambil ketika hal itu terjadi. Kemudian, kami bertiga menemukan gerbang langit dan berjalan lurus memasuki koridor sempit itu. Pangzi memimpin, aku berada di tengah, dan Muka Datar menjaga belakang.
Aku sudah mendengar tentang terowongan ini dari narasi Muka Datar sebelumnya, tapi memasukinya sendiri adalah perasaan yang sepenuhnya berbeda. Pada mulanya aku tak menyadarinya karena rasanya seperti sedang berjalan-jalan di malam hari menyusuri Gang Shipi* di Xitang, Jiaxing – walaupun di sana sedikit lebih sempit – tapi setelah berjalan selama beberapa saat, kurangnya jalan masuk atau keluar yang bisa dilihat telah membuatku mulai panik. Aku tidak takut pada kegelapan karena aku berjalan di tengah, tapi terowongan di sekitar kami terlalu sunyi. Ditambah lagi, kami semua mengenakan sepatu katak jadi langkah kaki kami menghasilkan suara ketipak-ketipuk yang menggema dengan ganjil di koridor sempit itu. Rasanya hampir seperti kalau ada monster yang mengikuti kami. Pangzi tidak sensitif pada hal-hal semacam itu dan sepertinya tidak merasa gugup sama sekali, tapi dia memang peduli dengan seberapa sempitnya terowongan ini. Dia begitu tidak nyaman dalam berjalan sampai-sampai mulai mengeluh, “Aku tak tahu siapa orang sialan yang telah membangun koridor batu ini, tapi mereka jelas-jelas mendiskriminasi orang gemuk! Bagaimana bisa koridor yang mengarah ke gerbang langit seperti ini ternyata begitu payah? Kalau semua jalan menuju langit bentuknya seperti ini, maka Buddha Maitreya** seharusnya bahkan tak usah repot-repot keluar.”
(T/N: * Gang Shipi / 石皮弄 (secara harafiah berarti Gang Kulit Batu) adalah gang terbuka paling terkenal di Kota Air Xitang. Gang ini mendapatkan namanya atas fakta bahwa gang ini diapit oleh dua gedung tempat tinggal. Gang ini dibangun pada akhir Dinasti Ming dan awal Qing (1368 – 1911) dengan panjang 68 meter dan lebar 1 meter, dengan bagian paling sempit di pintu masuknya cuma 0,8 meter) **Menurut legenda Buddhisme, Buddha Maitreya adalah Buddha di masa depan. Buddha ini biasanya digambarkan memiliki tubuh gemuk dengan wajah tertawa)
“Jangan bilang begitu,” aku menegurnya. “Pasti ada alasan untuk desain ini. Ini adalah makam kapal karam dan ada batasan atas seberapa besar kapalnya bisa dibuat. Aku yakin bahwa demi menonjolkan istana langitnya, dia harus menghemat tempat di bagian-bagian lainnya. Di samping itu, para perampok makam biasanya selalu bertubuh pendek dan kurus. Siapa yang akan menyangka kalau orang gemuk juga akan melakukan pekerjaan ini?”
Pangzi kelihatan cukup senang ketika mendengar hal ini dan berkata, “Benar! Dari masa kuno hingga saat ini, Pang Ye ini adalah nomor satu dalam hal fisik ketika berhubungan dengan aliran mojin. Bertubuh gemuk sama sekali tidak memengaruhi kemampuanku dalam hal apa pun. Ini namanya – ah!”
Pangzi baru sampai di tengah kalimat ketika tiba-tiba dia berhenti mendadak, tak bisa lanjut bicara. Ternyata, bahunya terjepit dengan sedemikian ketatnya di antara dinding-dinding batu di kedua sisi sampai dia tersangkut. Tawaku meledak, “Itulah yang kau dapat karena menyombong sembarangan seperti itu. Kena karma kan?”
Pangzi berusaha bergerak maju tapi tak bisa lewat sama sekali dan berkata kebingungan, “Xiao Wu, jangan ketawa. Ada yang tidak benar di sini. Padahal barusan aku berjalan dengan mulusnya, jadi kenapa aku bisa tersangkut?”
Aku melihat sekeliling dan berkata, “Sepertinya koridor batu ini memiliki lebar yang tidak sama. Mungkin sedikit lebih lebar saat kau pertama kali masuk tapi perlahan-lahan jadi semakin sempit semakin jauh kau masuk. Mundurlah beberapa langkah dan lihat apa kau bisa keluar.”
Pangzi memutar pantat besarnya dan bergerak mundur beberapa langkah tapi masih tersangkut. “Tidak, tidak, bukan itu alasannya,” dia berkata. “Koridor ini jelas lebih sempit daripada sebelumnya. Menurutku ada yang salah dengan dinding-dinding ini. Xiao Wu, takutnya urusannya takkan terlalu bagus.”
Sepanjang waktu ini aku telah berjalan sambil tenggelam dalam pikiranku sendiri, jadi aku tak memerhatikan dinding-dindingnya. Tapi setelah mendengar dia mengatakan ini, aku juga merasa kalau dinding-dindingnya sepertinya jadi agak lebih sempit. Aku meletakkan satu tangan pada masing-masing dinding dan tiba-tiba merasa ada sesuatu yang aneh. “Gawat!” seruku, “sepertinya dinding-dinding ini merapat!”
Muka datar juga menyentuh dinding dan mengangguk, “Sepertinya kita dapat masalah tapi tak ada waktu untuk berusaha menebaknya. Kita harus kembali dan memikirkan rencana lain!”
Begitu aku mendengar hal ini, aku berpikir dalam hati, ini bukan lelucon. Kalau kedua dinding ini terus bergerak, kami akan digepengkan menjadi tiga perkedel. Aku langsung berputar dan mulai berlari kembali ke jalan tempat kami datang. Pangzi, melihat kalau kami berlari begitu cepat, menyentakkan tubuhnya hingga menghadap ke samping dan berseru, “Tunggu aku, tunggu aku! Jangan egois gitu, sialan!”
Aku tak pernah berlari secepat ini dalam hidupku. Praktis aku berguling dan merangkak seraya mengerahkan segenap tenagaku untuk berlari di sepanjang koridor. Ketika akhirnya aku mencapai jalan keluar, kedua dinding itu jelas telah sangat menyempit dan bahkan aku juga harus sedikit memiringkan bahuku untuk bisa lewat. Pangzi berada dalam kondisi yang lebih parah lagi dan hanya bisa berjalan menyamping seperti kepiting. Muka Datar menjulurkan tangannya untuk membuka pintu rahasianya, tapi setelah memukulinya dua kali, tiba-tiba dia memaki dan berbalik untuk berseru padaku, “Ada orang yang telah menyumbat poros pintunya dari luar!”
Ketika Pangzi mendengar hal ini, wajahnya menghijau dan dia mengeluarkan serentetan makian, “Gerbang langit sampah ini! Habislah kita! Cepat pikirkan sesuatu atau kita akan bertemu dengan sang Pencipta!”
Aku panik. Melihat dinding-dinding batunya perlahan menyempit sedikit demi sedikit rasanya lebih parah daripada langsung mati, tapi apa yang bisa kami lakukan dalam waktu sesingkat ini? Dalam situasi ini, kecuali kami kebetulan bertemu dengan Daluo Xian*, tak ada yang bisa kami lakukan. “Apa lagi yang bisa kita lakukan?” kataku pada mereka. “Ayo lari balik. Kalau kita berlari cepat, mungkin kita masih punya kesempatan!”
(T/N: Daluo Xian / Kaum Abadi Daluo adalah semacam kaum abadi tingkat tinggi dalam alam kultivasi di mitos dan legenda kuno.)
Muka Datar menangkapku dan menggelengkan kepala sebelum berkata, “Setidaknya akan butuh waktu sepuluh menit bagi kita untuk mencapai ujung koridornya. Terlalu lama. Ayo kita memanjat naik dan memeriksanya!” Setelah berkata demikian, dia meletakkan kakinya pada kedua sisi dinding dan mulai memanjat naik. Aku memiringkan kepalaku ke belakang dan melihat kalau di atas kami juga gelap dan tak ada tanda-tanda dindingnya lebih lebar. Aku tak melihat gunanya kami memanjat, tapi ini jelas lebih baik daripada cuma menunggu mati di sini, jadi aku memanggil Pangzi dan kami pun mulai memanjat.
Sekarang koridornya sudah begitu sempit sampai-sampai memanjat naik hampir sama mudahnya dengan berjalan dan kami berjasil memanjat sejauh lebih dari sepuluh meter hanya dalam waktu beberapa menit. Pangzi tak bisa menahan diri untuk berkata, “Bagus juga Xiao Ge sangat cerdik. Kita bisa bunuh diri dengan melompat sebelum kita tergencet jadi perkedel! Setidaknya dengan cara ini, kita bisa menghindari mati menderita.”
Aku tak tahu apakah Pangzi sedang bersikap nyinyir atau tidak, tapi pemikiran tentang digencet menjadi perkedel daging membuatku merasa mual. Ini bukan cara yang menyenangkan untuk mati, terutama kalau kau bisa mendengar suara tengkorakmu dihancurkan. Sejujurnya saja aku lebih memilih mati karena jatuh daripada mati tergencet di antara dua dinding. Pada saat ini, Muka Datar berseru dari atas kami, “Jangan pikirkan soal itu sekarang, kita masih punya waktu. Apa kalian ingat tentang terowongan perampok makam di bawah peti itu?”
“Tentu saja aku ingat,” Pangzi berkata. “Tapi apa hubungannya itu dengan kita?” Begitu kata-kata tersebut meninggalkan mulutnya, tiba-tiba dia terperangah, “Ah, aku mengerti. Kau menyuruh kami agar belajar dari contoh orang itu dan jangan pernah menyerah hingga saat-saat terakhir, kan?”
“Bukan,” Muka Datar berkata. “Tidak ada perampom makam di dunia ini yang akan menggali terowongan di dalam dinding sebuah makam bawah tanah kalau dia bisa langsung berjalan melewati makam itu sendiri. Cuma ada satu alasan kenapa dia melakukannya – dia bertemu dengan suatu masalah dan harus menggali lubang di dinding demi bisa melarikan diri.”
Aku mengerti begitu aku mendengar hal ini dan mau tak mau jadi merasakan secercah harapan menyala dalam hatiku, “Jadi kau bilang bahwa orang yang telah membuat terowongan ini terpaksa melakukannya karena dia bertemu dengan situasi yang sama dengan kita?”
Aku harus mengagumi pemikiran cepat dari Muka Datar. Sekarang aku tahu kenapa dia ingin memanjat naik – lantai dan kedua dindingnya terbuat dari granit jadi tak mungkin bisa membuat lubang di situ kecuali kau punya peledak. Satu-satunya tempat memungkinkan yang tersisa adalah tempat yang tak bisa terlihat – langit-langit.
Selama kami bicara, kami sudah memanjat hingga ke puncak dan bisa melihat kalau langit-langitnya terbuat dari selapis bata biru. Aku mengetuknya dan tak bisa menahan rasa girangku. Ternyata, perkiraan kami tepat dan batanya benar-benar kopong. Bata semacam ini bisa ditumpuk tapi tak bisa dipahat jadi akan mudah untuk membuat lubang di situ asalkan kau memiliki peralatan yang tepat. Tapi ketika aku melihat sekeliling, aku mendapati tempat ini gelap dan aku tak bisa melihat terwongan perampok makamnya sama sekali.
“Wah, sial, Xiao Ge,” Pangzi berkata. “Koridor ini sangat panjang, bagaimana kalau dia menggali terowongannya di ujung yang lain?”
“Siapa pun yang bertemu dengan situasi macam ini pertama-tama akan berlari menuju pintu keluar,” Muka Datar berkata. “Tapi ketika mereka mendapati kalau pintunya tersangkut, mereka akan menggunakan upaya terakhir – menggali terowongan perampok makam. Ini berarti terowongan itu semestinya ada di dekat sini. Kalau mereka menggalinya di ujung yang lain, maka kita tak punya pilihan lain selain mengaku kalah.”
Kata-katanya begitu meyakinkan sampai-sampai aku dan Pangzi langsung bersorak dan mengangguk sebelum kami mulai mencari-cari di sepanjang kedua sisi dinding. Pada saat ini, aku dan Muka Datar masih tak masalah – masih tersisa ruang selebar satu kepalan tangan di antara kami dan dinding – tapi Pangzi sudah nyaris mencapai batasnya. Dia harus mengempiskan perutnya supaya bisa bergerak di dalam celah itu, dan aku bisa melihat kalau hal ini telah memberi banyak tekanan padanya. Aku berusaha menghiburnya dengan berkata bahwa lemak mudah dimampatkan jadi seharusnya takkan ada masalah asalkan dindingnya belum mencapai tulangnya, tapi wajahnya berubah hijau setelah mendengar hal ini dan dia mengisyaratkan padaku agar berhenti bicara sembarangan.
Kami memulai dari ujung koridor dan merayap sejauh lebih dari sepuluh meter tapi masih tak menemukan apa-apa. Sebenarnya, memanjat secara menyamping menguras tenaga lebih banyak ketimbang memanjat secara lurus. Kaki-kakiku mulai terasa lemas dan aku nyaris tergelincir jatuh beberapa kali. Aku tahu bahwa jika kedua dinding itu lebih menyempit sedikit lagi, lututku takkan bisa lagi menekuk, yang akan membuatnya lebih sulit untuk bergerak. Terlebih lagi, area di depan hitam pekat dan aku tak tahu di mana letak bukaan terowongan perampok makam itu berada (kalau memang ada di sana seperti yang diperkirakan oleh Muka Datar). Tapi kalau ternyata memang berada di ujung koridor yang lain, maka sejujurnya aku tak tahu bagaimana harus menghadapi kematian semacam itu.
Andai aku mengetahui hal ini lebih dulu, mungkin akan lebih baik kalau mati digigit oleh monyet laut. Sebagian besar orang bicara soal betapa menakutkan hantu dan mayat hidup, tapi pada saat ini, aku lebih baik menghadapi belasan mayat hidup ketimbang tetap berada di sini dan digencet sampai mati oleh dua dinding.
Pada saat ini, Muka Datar di depanku tiba-tiba menyorotkan senternya ke arahku, mengisyaratkan pada kami agar mendekat. Aku dan Pangzi mengira kalau kami akhirnya menemukan terowongan itu dan mendesakkan diri ke arahnya, merasa girang bukan kepalang. Tapi ketika kami mendongak, kami dikejutkan ketika menemukan sebaris kata-kata berlumur darah yang ditulis di permukaan bata biru di atas kepala kami: “Wu Sanxing telah mencelakaiku. Aku disudutkan dan mati penasaran. Langit adalah saksiku – Xie Lianhuan.”
Ketika aku membaca ini, aku merasa jantungku mencelos dan dalam hati berpikir, ini kan bukan novel wuxia. “Apa artinya ini?” aku bertanya. “Siapa orang ini? Kenapa dia bilang Paman Ketiga telah mencelakainya?”
“Xie Lianhuan juga adalah salah satu anggota dari kelompok arkeologi itu,” Muka Datar berkata. “Dialah orang yang mati di atas karang koral dengan ikan tembaga beralis ular di tangannya.”
Aku bersuara pelan sebagai tanda memahami sementara benakku kembali tenggelam dalam kekacauan. Muka Datar mendorongku dan berkata, “Karena dia meninggalkan pesan di sini, itu berarti dia tak terjebak di sini. Terowongan perampok makam itu pasti ada di dekat sini. Sekarang tak ada waktu untuk memikirkan tentang arti kata-kata ini. Ayo cepat bergerak.”
Setelah memanjat beberapa langkah lagi, tiba-tiba aku teringat kenapa nama Xie Lianhuan kedengaran sangat familier – sepertinya kakekku pernah menyebutkan nama ini sebelumnya.