Grave Robber Chronicles - Chapter 66
Aku baru saja mulai merangkak maju, tapi ketika mendengar dia menanyakan ini, tanpa sadar aku menundukkan kepalaku. Barusan tadi aku merasa sangat gugup sehingga mengabaikannya, tapi sebenarnya, ketika kami berada di koridor di bawah sana, aku bisa merasa kalau luka-luka yang kudapat dari anak-anak panah waktu itu mulai menunjukkan tanda-tanda inflamasi. Pada saat itu rasanya memang benar-benar gatal tapi sekarang sepertinya sudah membauk. Aku mengangkat kausku dan memeriksa lukanya, hanya untuk mendapati bahwa warna merah dan bengkaknya sudah berkurang dan tak ada yang aneh di situ. “Aku tadi memang merasakannya,” ujarku padanya, “tapi sekarang sudah tidak gatal lagi. Di sini sangat lembab jadi mungkin kau cuma sensitif pada kelembaban di udara.”
Pangzi menggaruk dirinya kuat-kuat dan berkata, “Apa ada cara untuk mengobati gatal ini untuk sementara? Tadi aku berkeringat deras sekali dan sekarang sekujur tubuhku rasanya gatal.” Seraya bicara, dia terus menggosokkan punggungnya ke dinding, meninggalkan bercak-bercak berdarah pada batu di belakangnya. Aku langsung merasa kalau ada sesuatu yang salah dan buru-buru menyuruhnya menunjukkannya padaku. Dia berbalik sambil memutar tubuh bagian atasnya sehingga tangannya bisa terus menggaruk bagian yang gatal. Aku menepis tangannya jauh-jauh dan kemudian menyorotkan senterku pada punggungnya, hanya untuk melihat semacam lumut putih tumbuh dari luka-luka yang dihasilkan oleh anak-anak panah waktu itu. Penampakannya begitu menjijikkan sehingga aku langsung menceplos, “Pangzi, sudah berapa lama sejak kau terakhir mandi?”
Pangzi mendengus, “Mandi? Kenapa kau menanyakan itu? Itu urusan pribadi. Aku tak harus menjawabnya.”
“Kutebak kau ini sudah tidak mandi selama berhari-hari. Dengar, jangan kaget tapi punggungmu sepertinya sudah tertutup oleh semacam lumut – lumut putih, tepatnya. Ini mungkin bisa dianggap sebagai salah satu dari beberapa keajaiban dunia ini. Kalau kau membiarkannya terus tumbuh selama beberapa bulan lagi, kau mungkin bahkan akan bisa menumbuhkan jamur lingzi.”
Pangzi mendengarkan dengan kebingungan sebelum berkata, “Apa, lumut putih? Lumut bisa berwarna putih? Berhentilah bicara sembarangan dan katakan saja. Apa yang terjadi?”
Aku melirik pada Muka Datar dan melihat kalau dia sedang mengernyit. Tampaknya situasinya tidak bagus sehingga aku tak berani melanjutkan main-mainnya. Muka Datar bergeser mendekat dan menekankan tangannya pada punggung Pangzi, membuat darah kehitaman merembes keluar dari dalam luka-luka itu. “Kita punya masalah,” dia berbisik padaku. “Ada sesuatu yang salah dengan anak-anak panah itu.”
Aku merasa ini agak aneh. Aku juga telah ditembak dengan anak-anak panah itu sebelumnya jadi bicara secara logis, kondisiku seharusnya sama dengan Pangzi. Mungkinkah aku sudah mewarisi suatu keistimewaan khusus dari kakekku yang telah membuatku kebal? Buru-buru aku menunjukkan lukaku sendiri pada Muka Datar dan melontarkan tatapan bertanya kepadanya.
Dia memeriksa lukaku dan kemudian mendecakkan lehernya – sepertinya dia juga tak bisa memecahkan apa yang sedang terjadi. Pangzi, yang sampai di sini sudah mulai ketakutan, langsung berbalik ke arahku dan bertanya, “Lumut apa?! Omonganmu nggak masuk akal sama sekali! Di mana lumutnya tumbuh?”
Setelah berkata demikian, dia langsung meraih untuk meraba-raba punggungnya tapi aku buru-buru menangkap tangannya dan berkata, “Jangan bergerak. Sepertinya kau kena semacam penyakit kulit. Biarkan kami memeriksanya dengan lebih seksama untukmu, tapi jangan menggaruknya. Kalau tidak, akan berbekas.”
Dia gatal-gatal sedemikian parah sampai-sampai tak bisa tahan lagi, jadi aku berkata pada Muka Datar, “Dia tak bisa terus seperti ini. Kita harus mencari caranya. Kudengar beberapa orang yang punya penyakit kulit tak bisa menahan dorongan untuk menggaruk diri mereka sendiri dan berakhir bunuh diri!”
“Sekarang ini aku kepingin bunuh diri, sialan!” Pangzi memekik. “Rasa gatal ini membunuhku! Kita bisa mengikuti contoh Guan Yu* dan mengorek tulang-tulangku demi menyembuhkan luka-lukaku. Korek saja beberapa potong kulitku ini. Aku sanggup menahannya.”
(T/N: Menurut kisah Romansa Tiga Kerajaan, suatu ketika Guan Yu terkena panah beracun di lengannya racun itu merasuk hingga ke tulang. Untuk mengobatinya, tabib jenius Hua Tuo ‘mengoperasi’ luka itu dan mengorek hingga ke tulang untuk menghilangkan racunnya. Semua ini dilakukan tanpa memakai obat penahan sakit, jadi Hua Tuo mengalihkan perhatian Guan Yu dari rasa sakitnya dengan mengajaknya bermain catur)
Aku juga pernah mengalami penyakit kulit saat aku masih kecil jadi aku tahu sebuah obat buatan sendiri, tapi ini agak menjijikkan. “Tak perlu mengorek kulitmu,” aku berkata padanya. “Lagipula kau juga tak punya kulit cadangan. Dan aku juga bukan Hua Tuo. Tapi aku memang punya semacam salep yang mungkin akan membantu jadi biar aku mengoleskannya padamu. Rasanya mungkin akan sedikit sakit tapi cobalah untuk menahannya.”
Muka Datar membeku sejenak tapi Pangzi cuma mendengus dan berkata, “Kalian orang-orang kota ini rapuh sekali. Memangnya siapa yang membawa salep untuk pergi merampok makam? Lain kali, sekalian saja bawa satu set kartu remi. Dengan begitu, kita bisa bermain beberapa ronde saat kita terjebak.”
Tentu saja, aku tidak benar-benar membawa benda semacam ini jadi aku cuma meludahkan liur dua kali pada punggung Pangzi, mengenakan sarung tanganku, dan mulai mengusapkan liurku pada lukanya. Tak disangka-sangka, Pangzi tak sanggup menahan rasa sakitnya dan berteriak begitu ludah itu mengenai lukanya. Tubuhnya tersentak ke depan dan langsung memaki-maki, “Apa itu yang kau oleskan ke punggungku?! Bangsat, sekalian saja kau mengorek kulitku! Sekarang aku benar-benar akan bertemu dengan sang Pencipta.”
Aku melihat betapa efektif rasa sakit itu mengalihkan perhatiannya dan berkata, “Kalau melihat kondisimu, rasa sakit lebih baik daripada rasa gatal. Apa sekarang kau masih merasa gatal?”
Pangzi terus menggeliat-geliat selama beberapa saat sebelum kembali tenang dan berkata dengan suara kaget, “Hei, Xiao Wu, barang itu benar-benar efektif. Aku sudah merasa jauh lebih baik. Apa mereknya?”
Berpikir kalau dia mungkin akan membunuhku kalau dia tahu bahwa aku telah mengoleskan ludahku pada luka-lukanya, aku buru-buru berkata, “Jangan kayak cewek deh. Ayo pergi.”
Muka Datar tersenyum geli sebelum menggelengkan kepalanya. Ini adalah kali pertama aku melihat dia mengulas senyum tulus di wajahnya alih-alih tampang pahitnya yang biasa, dan mau tak mau aku jadi merasa kalau dia jadi sedikit lebih manusiawi. Tampaknya dia hanya perlu lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang.
Tapi senyumannya dengan cepat menghilang di balik muka datar tanpa ekspresi itu lagi dan kemudian dia mengisyaratkan pada kami agar melanjutkan perjalanan. Kami bertiga pun lanjut merangkak menaiki terowongan dalam waktu yang dibutuhkan untuk mengisap setengah batang rokok ketika dari arah depan Muka Datar tiba-tiba berkata, “Ada percabangan di terowongan ini.”
Aku mendesak maju dan melihat kalau benar-benar ada dua terowongan yang mengarah ke kiri dan kanan. Aku memakai senterku untuk memeriksa terowongan sebelah kiri dan melihat bahwa sebuah penghalang dari bata sudah dipasang sedikit lebih jauh di dalamnya, pada intinya membuat jalan ini menjadi jalan buntu. Tampaknya area di sisi lain bata-bata itu merupakan terowongan yang telah diambil oleh Muka Datar dan Pangzi ketika mereka melarikan diri dari ruangan samping. Aku tak tahu kenapa terowongan itu disegel. Mungkin Xie Lianhuan takut kalau sesuatu akan keluar dari dalam peti itu?
Tapi karena terowongan yang itu sudah disegel, berarti dia telah melarikan diri dengan memakai terowongan yang kanan. Muka Datar sepertinya punya ide sama denganku dan menunjuk ke arah terowongan itu bersamaan denganku. Tanpa berkata sepatah pun, kami bertiga lanjut merangkak.
Sejujurnya saja, sebelumnya aku tak pernah merangkak sedemikian lamanya dan aku sudah berkeringat seperti babi. Aku tahu kalau takkan terlalu melelahkan ataupun menyakitkan kalau merangkak melewati terowongan tanah yang normal karena tak ada apa-apa selain tanah di bawahmu, tapi terowongan yang ini memiliki pecahan-pecahan bata di bawahnya. Merangkak di atasnya murni sebuah siksaan dan aku bisa merasakan lututku terbakar oleh rasa sakit. Sepertinya masih ada manfaat terlahir menjadi manusia; aku akan harus berjuang untuk menjadi manusia lagi di kehidupanku yang selanjutnya.
Sementara pikiranku berputar tak terkendali, Muka Datar sudah berhenti dan mengisyaratkan padaku agar jangan bersuara. Pangzi tak bisa melihat apa yang sedang terjadi di depan dan bertanya pelan padaku, “Ada apa?”
Ketika aku buru-buru menyuruhnya diam, tiba-tiba Muka Datar mematikan senternya. Aku dan Pangzi bereaksi dengan cepat dan lansung ikut mematikan senter kami, memasukkan kami ke dalam kegelapan total. Pada saat ini aku sangat tenang, dan bahkan detak jantungku tak meningkat (ketika setelahnya aku memikirkannya, aku menyadari bahwa nyaris digencet sampai mati oleh dinding barusan tadi telah meninggalkan kesan yang begitu kuat pada diriku sampai-sampai aku sudah mengatasi rasa takutku pada makam kuno ini). Aku masih tak tahu apa niat Muka Datar, tapi di dalam sebuah makam kuno seperti ini, mendengarkan dia selalu merupakan jalan terbaik.
Kami tetap diam cukup lama hingga napas kami menjadi pelan dan keringat kami mengering, tapi pada saat ini, aku terperanjat ketika mendapati kalau aku bisa mendengar suara seseorang sedang berjalan pada bata di atas kami. Tampaknya kami sudah berada di bawah aula belakang atau koridor yang mengarah ke sana. Siapa orang ini? Mungkinkah A Ning? Atau mungkin Paman Ketiga?
Ketika aku menebak-nebak, tiba-tiba aku merasakan sensasi gatal di bagian belakang leherku. Dengan cemas aku mulai bertanya-tanya apakah juga ada lumut yang tumbuh di kulitku. Buru-buru aku menyentuhnya dengan tangan dan mendapati kalau ada suatu gumpalan basah menempel di leherku. Mengira kalau Pangzi sudah mendorong kepala berkeringatnya semakin dekat padaku, aku memaki dan mendorongnya mundur kuat-kuat, tapi ketika aku menarik kembali tanganku, aku mendapati kalau ada suatu zat lengket di bawah kukuku dan zat itu menguarkan keharuman samar.
Sepenuhnya merasa jijik, aku menyekakan zat itu pada bata di sampingku sambil memberitahu diriku sendiri bahwa Pangzi pasti sudah memakai terlalu banyak minyak rambut pada rambutnya yang berantakan itu. Kalau nanti kami akhirnya menemukan sekolam air, aku pasti akan menyuruhnya mencuci rambutnya sampai bersih. Sejauh yang kuketahui, sekarang minyak itu mungkin sudah ada di rambutnya selama berbulan-bulan.
Ketika aku memikirkan ini, leherku mulai terasa gatal lagi. Aku tak tahu apa yang sedang dilakukan si Pangzi sialan ini tapi aku jadi begitu marah sampai-sampai aku langsung mencengkeramnya dan menggencetnya ke dinding. Tapi pada saat inilah, tiba-tiba aku menyadari kalau ada sesuatu yang salah – kenapa kepala Pangzi kecil sekali? Saat aku bangkit dengan hati-hati dan menyentuhnya, kurasakan jantungku terlonjak. Kenapa onggokan basah itu rasanya seperti rambut? Aku menyentuh dua onggokan lagi dan mendapati kalau sepertinya ini adalah rambut yang menggumpal jadi satu. Dan untuk membuat urusannya jadi lebih parah, tanganku yang terjulur berakhir dengan terjerat dalam rambut kusut itu. Aku menelan ludah dan langsung berkeringat dingin. Pangzi jelas tak punya rambut sebanyak ini, jadi rambut siapa ini?
Tiba-tiba aku merasa kesulitan bernapas ketika aku teringat pada rambut pemakan manusia yang telah kami temui di dalam terowongan air di makam ini sebelumnya. Tapi aku tak berani menyalakan senterku karena makhluk ini sepertinya cuma berjarak beberapa sentimeter dariku dan aku akan melihatnya begitu aku menyalakan senterku. Aku tahu kalau aku pasti takkan sanggup bertahan dari rasa syoknya. Tapi ketika aku sedang memikirkan hal ini, tiba-tiba aku merasakan suatu tangan basah dan ramping menyentuh wajahku. Tangan itu sedingin es dan kuku-kukunya sangat tajam. Aku merasakan semua rambutku berdiri tegak dan otot-otot wajahku mulai berkedut tak terkendali.
Kuku-kuku tajam itu menggaruk leherku dan kemudian mundur, tapi aku bisa merasakan kalau kepala makhluk itu bergerak mendekatiku pada detik berikutnya. Aku menggertakkan gigiku karena jijik ketika rambut basahnya menempel ke wajahku, tapi persis ketika aku sudah hampir meledak, tiba-tiba aku mendengar suara seorang wanita muncul dari dalam gumpalan rambut itu dan berbisik di telingaku, “Siapa kamu?”
Suara itu luar biasa lirih tapi aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Persis ketika aku mulai merasa ketakutan, si wanita tiba-tiba menekankan tubuhnya padaku, menggerakkan tangannya pada bahuku, dan kemudian mengalungkan tangan rampingnya ke leherku. Bahkan ketika aku secara instingtif gemetaran, aku tahu kalau wanita ini sangat mungil. Aku benar-benar dibuat terbengong-bengong. Dengan mulutnya menempel begitu dekat ke telingaku, aku bisa merasakan betapa dingin napasnya ketika dia berkata padaku, “Peluklah aku.”
Ketika aku mendengar kata-kata ini, aku jadi seperti orang yang kerasukan. Walaupun aku berusaha keras untuk menolak, tanganku sama sekali tak mau mendengarkan otakku dan sebelum aku menyadarinya, lenganku sudah melingkari pinggangnya. Tapi posisi ini bahkan lebih parah lagi – aku bisa merasakan kalau wanita ini tak mengenakan apa-apa sama sekali dan kulitnya dingin namun secara mengejutkan terasa mulus. Kebingungan, tanpa sadar aku merona. Tetapi pada saat ini, mulut si wanita bergerak ke daguku dan aku merasakan bibirnya menempel di situ dua kali, seakan mengisyaratkan kalau aku harus menciumnya. Aku benar-benar hilang kendali dan sudah hampir langsung menciumnya ketika senter Muka Datar tiba-tiba menyala. Ketika aku melihat ‘makhluk’ yang sedang kupeluk erat ke dadaku, semua rambutku berdiri tegak dan hawa dingin merayapi punggungku.