Grave Robber Chronicles - Chapter 67
Tepat di depan mataku, dengan jarak kurang dari lebar satu telapak tangan, ada sebentuk wajah pucat yang sangat besar. Kulitnya bengkak dan tembus pandang seakan telah terendam air laut entah berapa tahun lamanya. Tapi hal paling menakutkan adalah bahwa sepasang matanya hitam sepenuhnya, tanpa sedikit pun warna putih di sekitar pinggirannya sama sekali. Sekilas, makhluk itu tampak seperti mayat membusuk yang matanya udah dicongkel keluar.
Aku begitu ketakutan sampai-sampai berteriak histeris, mendorongnya jauh-jauh, dan kemudian mati-matian merangkak maju dengan semua kemampuanku. Hanya ada satu kata dalam benakku: lari. Tapi sulit bagi dua orang untuk saling melewati dalam terowongan yang sempit ini, jadi aku dan Muka Datar berakhir dengan tersangkut jadi satu dan tak bisa bergerak. Karena tak bisa mendesak lewat, aku mencengkeramnya dan berseru, “Hantu! Ada hantu air!”
Dia menaruh tangannya menutupi mulutku dan berkata pelan, “Jangan teriak! Di mana hantu airnya?”
Aku berbalik dan menunjuk-nunjuk liar ke belakangku, “Persis di belakang, di….”
Kalimatku baru terucap separuh ketika tubuhku membeku. Tak ada apa-apa di belakangku – tak ada wajah, tak ada rambut, bahkan tak ada noda air setetes pun. Satu-satunya hal yang kulihat adalah jariku yang teracung, yang nyaris menusuk muka Pangzi. Dia memberiku tatapan kebingungan sebelum berkata, “Sialan kau, kau yang hantu air!”
Benar-benar kebingungan, buru-buru aku mengedarkan pandangan tapi tak melihatnya di mana pun. Makhluk itu benar-benar telah menghilang. Tapi itu tak mungkin benar. Yang tadi itu rasanya begitu nyata sehingga tak mungkin kalau sekedar ilusi. Apa aku sudah jadi gila gara-gara makam kuno ini? Jantungku masih berdebar kencang, benakku serasa berselimut kabut, dan aku tak tahu harus bagaimana.
Pangzi melihat wajah hijauku dan berkata dengan nada menenangkan, “Jangan cemas. Pelan-pelan dan katakan pada kami apa yang terjadi.”
“Aku baru saja melihat banyak rambut, wanita telanjang, dan hantu air!” gagapku. “Dia ingin menciumku!”
Pikiranku begitu kacau balau sampai-sampai setelah aku menghabiskan waktu lama untuk berusaha menjelaskannya, bahkan aku juga tak tahu lagi apa yang sedang kubicarakan. Akhirnya Pangzi jadi tidak sabar dan berkata, “Xiao Wu, kau pasti telah bermimpi. Kalau memang benar ada hantu air, dia akan harus memanjatku lebih dulu, kan?” Dia menepuk-nepuk bahuku dan menambahkan, “Tapi kau baru berusia dua puluhan. Merupakan hal lumrah kalau memimpikan wanita telanjang. Kenapa, ketika Pang Ye ini masih muda, aku juga memimpikan hal-hal semacam itu. Tak perlu malu.”
Aku memaki, “Jangan menceramahiku! Jelas-jelas aku tidak bermimpi barusan tadi! Kau lihat? Leherku masih basah dari ketika dia menempelkan diri padaku barusan tadi!” Saat aku menunjukkan leherku pada mereka, Muka Datar dan Pangzi menyentuhnya dengan tangan mereka lalu sama-sama mengernyit. Pangzi mendongak menatap langit-langit terowongan, berpikir kalau ada air yang telah merembes masuk dan menetesi leherku, tapi aku memberitahunya kalau hal ini mustahil. Lempung putih sudah dioleskan pada semua sambungan bata jadi makam ini kedap air.
Benar-benar kebingungan, Pangzi berkata, “Ini aneh. Cuma ada satu terowongan di sini, jadi logikanya, kalau sesuatu telah merayap ke arahmu, tak mungkin aku takkan tahu.”
“Mungkin kau yang ketiduran?” usulku. “Kalau kau ketiduran, kau takkan tahu jika seseorang telah merayap melewatimu.”
Pangzi langsung marah, “Kampret kau! Bahkan kalau aku ketiduran, bagaimana aku bisa tak merasakan kalau ada orang yang merayap di atasku? Selain itu, memangnya kau bisa tidur di tempat ini? Kalau kau tak memercayaiku, lihat apakah ada jejak kaki di punggungku!” Dia berbalik dan menyuruh kami melihat punggungnya.
Pada saat ini akhirnya aku sudah kembali tenang, tapi ketika Pangzi berbalik, aku terperanjat ketika melihat bahwa makhluk itu ternyata menempel di punggungnya. Makhluk itu memutar kepalanya ketika Pangzi bergerak dan bibirnya berakhir dengan menyentuh hidungku. Aku begitu ketakutan sampai-sampai tenggorokanku mengejang dan semua yang bisa kulakukan cuma mencicit. Buru-buru aku mundur beberapa langkah, tapi sebelum aku bisa pergi jauh, aku merasakan ada sesuatu yang membelit di kakiku. Aku menunduk dan mendapati bahwa entah sejak kapan betisku sudah tertutup rambut. Aku berusaha mati-matian untuk menarik kakiku tapi aku tak bisa melepaskan diri sama sekali. Pada saat bersamaan, lebih banyak lagi rambut yang mulai membelitku sebelum merayap tepat menuju mulutku. Rasa takut terbesarku dalam hidup adalah kalau ada rambut di dalam mulutku jadi aku buru-buru menutupinya dengan tanganku. Di tengah-tengah kekacauan itu, Muka Datar mencengkeram kerah bajuku dan menarikku ke arahnya.
Tapi dia hanya berhasil menarikku sejauh beberapa langkah sebelum tangannya sendiri jadi terjerat di dalam rambut itu dan dia tak bisa menarik lagi. Aku melihat ke belakang dan mendapati kalau rambut itu sudah membelit Pangzi dengan penampakan seperti hendak membentuk kepompong, dan dia sedang meronta-ronta di dalamnya. Makhluk itu sendiri sudah hilang, tapi seluruh terowongan makam jadi penuh dengan rambut, seakan kami telah memasuki versi hitam dari Gua Jaring Sutra* dari ‘Perjalanan ke Barat’.
(T/N: Gua Jaring Sutra adalah gua yang ditinggali oleh tujuh ekor siluman laba-laba dalam cerita Xi You Ji / Perjalanan Ke Barat. Siluman-siluman laba-laba itu berhasil menangkap Bhikkhu Tang sebelum kemudian, seperti biasa, sang Bhikkhu diselamatkan Sun Wukong)
Muka Datar menyentakkan tangannya hingga lepas dan buru-buru bertanya kepadaku, “Apa kau punya sesuatu yang bisa memantik api? Makhluk ini takut pada api!”
Aku meraba-raba ke dalam kantong-kantongku dan merasa kegirangan ketika aku menemukan pemantik tahan angin. Saat sebelumnya kami menyantap hotpot kepala ikan di atas kapal, aku sudah meminta pemantik ini dari si kapten, supaya aku bisa menyalakan tungku minyak tanah. Setelah aku selesai memakainya, aku pasti telah memasukkannya ke dalam kantongku tanpa mengembalikannya. Siapa yang akan menyangka kalau benda ini pada akhirnya menyelamatkan nyawa kami? Aku langsung mulai membakar rambut yang membelitku dan mendapati bahwa meski rambut ini basah, tapi terbakar dengan mudah. Beberapa menit kemudian, sejumlah besar rambut sudah terbakar dan aku berhasil membebaskan diri. Aku berlari menghampiri Pangzi dan bergerak untuk menariknya, tapi pada saat ini, sebentuk wajah besar tiba-tiba muncul dari dalam onggokan rambut di pinggir dan bergerak cepat menuju punggungku.
Aku langsung bisa melihat kalau situasiku tidak bagus. Tanpa ada waktu untuk mengelak, aku pun menundukkan kepalaku dan meninjunya. Gerakan ini murni merupakan tinju refleks yang terlahir dari rasa takut luar biasa. Aku tak tahu sebesar apa tenaga yang kukerahkan pada tinjuan itu, tapi aku mendengar suara derak keras dan melihat hidung makhluk itu patah dan cairan hitam memancar dari dalamnya. Untung saja, api dari pemantik tahan angin di tanganku tidak mati. Aku menggertakkan gigiku dan bersiap untuk memberinya tinjuan lagi tapi tiba-tiba makhluk itu gemetar dan mengerut mundur.
Aku girang bukan kepalang begitu melihat hal ini dan berpikir dalam hati, bagus sekali, ada jalan keluar dari ini! Ternyata, hantu dan dewa takut pada berandalan, dan yang satu ini terutama takut pada bogeman! Ketika aku memikirkan hal ini, kebingungan dalam benakku menghilang dan aku langsung jadi bersemangat. Kuangkat kakiku dan memberi tendangan antusias ke wajah makhluk itu, mengirimnya langsung ke dalam gumpalan rambut. Takut kalau aku akan kembali terjerat dalam rambut itu buru-buru aku mundur beberapa langkah, mengangkat pemantikku, dan menantangnya.
Wajah yang tersembunyi di dalam rambut itu menampakkan ekspresi penuh kebencian tapi dia juga takut pada api dari pemantik sehingga tak berani menyerbu maju lagi. Pada saat ini, Muka Datar mengeluarkan beberapa tongkat api basah entah dari mana dan menempelkannya pada pemantikku hingga mulai terbakar. Sekarang karena jumlah apinya sudah bertambah, monster itu mengeluarkan pekikan keras dan mulai kabur. Hanya dalam beberapa detik, makhluk itu sudah kabur sedemikian jauh sampai kami akhirnya bisa menarik Pangzi keluar. Aku langsung memanfaatkan kesempatan ini dan membakar habis rambut yang membelit kepala Pangzi.
Muka Datar terus mendesak mundur makhluk itu, tak mau menurunkan tangannya hingga makhluk itu benar-benar telah menghilang dalam kegelapan. Pada saat ini, tongkat apinya nyaris membakar tangannya. Aku menunduk menatap Pangzi dan mendapati kalau hidung dan mulutnya tersumpal dengan rambut dan wajahnya sudah membiru. Ketika aku buru-buru memukuli dadanya sekuat mungkin, dia pun mulai kembali bernapas dan gumpalan hitam tertumpah keluar dari lubang hidungnya.
Aku menghembuskan napas panjang yang tanpa sadar telah kutahan. Untung saja, Pangzi punya kapasitas paru-paru yang besar dan mampu membersihkan sendiri saluran udaranya. Kalau tidak, dia akan butuh napas buatan dari mulut-ke-mulut, tapi aku lebih memilih dia mati ketimbang melakukannya.
Setengah mati setelah kejadian itu, Pangzi tergeletak sambil terengah-engah selama beberapa saat dan baru berhasil bicara setelah membatukkan apa yang tersisa dalam tenggorokaannya. “Anjirlah, apa sebenarnya makhluk itu?”
Aku mematikan pemantik yang kugenggam di tanganku, tapi tak mau menyimpannya kembali meski benda itu panas membara dan rasanya seperti membakar kulitku sampai terkelupas. Aku melirik pada Muka Datar dan melihat kalau kondisinya tidak jauh lebih baik daripada aku. Dia mengibaskan tangannya dan berkata pada Pangzi, “Itu mungkin adalah Wanita Terlarang.”
Aku pernah mendengar Lao Hai dari Pasar Yingxiongshan menyebutkan hal ini sebelumnya tapi pada saat itu aku tak memercayainya. “Apa sesuatu semacam Wanita Terlarang itu benar-benar ada?” tanyaku.
Muka Datar mengangguk dan berkata, “Aku tak tahu bagaimana makhluk ini bisa mewujud, tapi saat ini ada banyak legenda tentangnya. Tebakanku semestinya tidak salah.”
Terkejut, aku langsung menanyakan detilnya pada Muka Datar tapi dia hanya menggelengkan kepalanya dan berkata, “Wanita Terlarang terlahir di dalam air. Aku tahu kalau dia takut pada api tapi aku tak terlalu tahu tentang yang lainnya. Dengan demikian, dia cukup mirip dengan mayat hidup – sejak masa kuno, kita sudah tahu kalau mayat hidup takut pada tapal keledai hitam tapi tidak jelas kenapa sebabnya. Aku cuma tak menyangka kalau makhluk ini punya kesadaran. Dia mungkin masih bersembunyi di belakang kita jadi kita harus berhati-hati.”
Pangzi masih merasakan sisa-sisa rasa takut setelah apa yang baru saja terjadi dan merayap sedikit lebih dekat pada kami sebelum berkata, “Aneh sekali. Makam ini punya feng shui yang benar-benar bagus jadi kenapa ada begitu banyak hal aneh di dalamnya?”
Sejujurnya aku tak yakin apakah feng shui dari makam ini bagus atau tidak, tapi aku sudah pernah menggali sejumlah informasi tentang Wanita Terlarang sebelumnya. Di wilayah pegunungan, Wanita Terlarang sebenarnya menunjukkan para cenayang dan dukun di antara etnik-etnik minoritas, tapi dalam legenda-legenda lama di wilayah pesisir, dia adalah hantu paling jahat di seluruh dunia. Aku tak tahu kenapa ada perbedaan sebesar itu di antara kedua wilayah, tapi pada umumnya Wanita Terlarang memiliki nasib mengerikan dibandingkan dengan hantu-hantu lainnya – kalau dia tertangkap, tangan dan kakinya biasanya dipenggal dan kemudian dia dikubur hidup-hidup. Beberapa versi legenda menyatakan bahwa asal-usul Wanita Terlarang pada umumnya berhubungan dengan wanita hamil jadi mungkin ada hubungan antara makhluk itu dengan ruang samping di mana peti inkubator mayatnya berada. Juga ada mural dengan sosok-sosok berperut besar itu yang pernah Paman Ketiga sebutkan sebelumnya. Tampaknya kemunculan Wanita Terlarang di sini bukan sekedar kebetulan. Sebenarnya, mungkin saja si pemilik makamlah yang telah menempatkannya di sini dengan sengaja.
Saat aku larut dalam lamunan, Muka Datar cemas kalau makhluk itu akan mengikuti kami lagi dan mengisyaratkan kami agar lanjut bergerak. Aku mendengarkan suara-suara yang berasal dari atas terowongan tapi kali ini tak mendengar apa-apa. Aku tak tahu siapa yang barusan tadi telah berjalan lewat, tapi kami telah membuat suara-suara yang begitu keras di bawah sini sampai mereka mungkin sudah mendengar kami. Bukan hanya akan buruk bagi kami untuk terus berlama-lama di sini, tapi bagaimanapun juga memang lebih baik bagi kami untuk terus bergerak.
Aku memeriksa kondisi Pangzi tapi dia bersikap seakan semuanya baik-baik saja. Aku menyadari kalau dia juga tak mau tetap berada di sini. Aku memintanya menyalakan senternya dan menggantung senter itu ke sabuknya sehingga kami bisa terus mengawasi semuanya sepanjang waktu. Kemudian, aku mengencangkan genggamanku pada pemantikku dan mulai kembali merayap maju.
Kami merangkak sedikit lebih jauh lagi dan mendapati kalau terowongannya tiba-tiba mulai berzigzag naik lagi. Aku melihat ke samping dan mendapati kalau Xie Lianhuan pasti telah menggali hingga kemari tapi berakhir bertemu dengan dinding makam. Mengetahui kalau di sisi luar ada air laut, dia mungkin tak punya pilihan selain mengubah arah dan mencari jalan ke atas. Mungkin dia punya pemikiran yang sama dengan kami dan ingin meloloskan diri dari puncak makam.
Butuh waktu kira-kira setengah jam bagi kami untuk sampai sejauh ini sejak pertama kali memasuki terowongan perampok makam ini, yang berarti bahwa makam bawah laut ini mungkin tak terlalu besar. Setelah berjalan menelusuri makam ini, aku punya kesan umum bahwa lebar dan panjangnya sebenarnya tak terlalu jauh. Masalah utamanya, meski demikian, adalah tingginya. Berdasarkan pada asumsiku saat ini, makam ini tingginya nyaris tiga puluh meter. Kalau kami memakai standar modern dan berkata bahwa ketinggian satu lantai sama dengan tiga meter, maka itu artinya makam ini pastilah sepuluh lantai di bawah dasar laut. Walaupun memang mengesankan, tetap tak bisa disebut keajaiban.
Kini tanpa ada jalan untuk berbalik, kami tak punya pilihan lain selain terus merangkak naik. Tetapi setelah merangkak dalam waktu yang dibutuhkan untuk mengisap sebatang rokok, tiba-tiba Muka Datar berhenti bergerak. “Saat aku mendorongnya, dia berbalik dan berkata pelan, “Ini jalan buntu.”
Aku membeku, sepenuhnya tertegun. Mustahil. Aku buru-buru mendesakkan diri melewatinya dan melihat kalau kami benar-benar telah menghadapi jalan buntu – jalan di atas kami terhadang oleh sebongkah lempengan granit biru besar. Aku mendorongnya dengan tanganku dan mendapati bahwa walaupun lempengan ini sangat berat, bukannya mustahil untuk menggerakkannya. Aku dan Muka Datar berusaha mengangkatnya dan pada akhirnya berhasil menggesernya sehingga sebuah celah kecil pun terbentuk. Kami langsung menyadari kalau ada setitik kecil cahaya yang masuk lewat celah dari ruang makam di atas sana. Tapi persis ketika kami sedang bertanya-tanya cahaya apa itu, bebannya menghilang dari tangan kami dan lempeng granit di atas kepala kami tiba-tiba menghilang.