Grave Robber Chronicles - Chapter 68
Aku agak terperanjat, tapi kemudian langsung kusadari kalau seseorang pasti telah mengangkat lempengan batu yang ada di atas. Pada saat itu, kukira yang melakukannya adalah Paman Ketiga atau A Ning karena tak ada orang lain yang bersama kami di dalam makam, tapi ketika aku mendongak, kulihat seekor monyet laut gempal dan bersisik. Punggungnya membungkuk dan dia menunduk menatapku dari atas. Aku mengintip dari sudut mataku dan melihat kalau bahunya berdarah dan ada sebatang tombak menancap di situ. Dalam hati aku mendesah – sepertinya pepatah bahwa musuh pasti akan bertemu sungguh-sungguh benar. Makhluk ini benar-benar terobsesi denganku.
Aku tak menyangka kalau hal sedramatis itu akan terjadi padaku jadi sejenak aku benar-benar kebingungan. Tapi pada saat inilah, tiba-tiba kurasakan seseorang menarik-narik celanaku. Aku menunduk dan melihat kalau yang melakukannya adalah Muka Datar. Dia mengisyaratkan padaku agar segera turun. Aku melirik kembali pada tubuh besar si monyet laut dan langsung tahu apa yang berusaha dilakukan oleh Muka Datar, jadi aku bergegas merangkak turun kembali. Terowongan di bawahku melandai dan sesak sehingga aku dan Muka Datar sudah berdesakan, yang membuat pergerakan jadi sangat sulit. Tapi sekarang karena aku sedang terburu-buru, jadinya bahkan lebih sulit lagi untuk bergerak, yang berarti aku lebih lambat daripada sebelumnya. Aku hanya berhasil merangkak beberapa langkah sebelum si monyet laut tiba-tiba mengeluarkan suara menggemuruh dan menjejalkan kepalanya ke dalam terowongan. Ketika aku melihat kalau kepala ganas si monyet laut datang langsung ke arahku, aku begitu ketakutan sampai-sampai kakiku terpeleset dan pantatku berakhir menghantam dinding terowongan.
Walaupun pantatku sakit, aku mengambil kesempatan ini untuk menggelincir menuruni terowongan, mengatakan pada diriku sendiri bahwa Langit telah memberkatiku karena aku bisa kabur dengan cepat seperti ini. Si monyet laut begitu besar sampai-sampai dia pasti takkan bisa masuk kemari tak peduli sekuat apa pun dia berusaha jadi akhirnya aku bisa memanfaatkan waktu sesaat untuk menenangkan jantungku yang berdebar cepat.
Aku berpikir bahwa pada saat itu merupakan keajaiban yang indah, tapi aku lupa kalau manusia berencana Langit menentukan – aku baru meluncur turun setengah meter ketika aku tiba-tiba menemukan Pangzi menghadang jalan di bawah. Dia sedang merayap gila-gilaan menaiki terowongan seraya berseru, “Naik! Naik! Sundal itu kembali kemari!”
Aku terperanjat ketika mendengarnya dan langsung melihat ke belakangnya, hanya untuk mendapati bahwa seonggokan besar rambut sedang merayapi kelokan terowongan yang terakhir. Dalam hati aku memaki, berkah tak pernah datang berpasangan tapi kemalangan tak pernah datang sendirian. Apa pun yang bisa jadi salah akan jadi salah. Buru-buru aku melemparkan pemantikku pada Pangzi supaya dia bisa membela diri dan kemudian mendongak untuk melihat apa yang terjadi di atas sana. Tapi tepat ketika aku menggerakkan leherku aku merasakan sakit yang tajam di bahuku. Aku menolehkan kepalaku dan melihat kalau bahu si monyet laut terlalu lebar untuk masuk ke dalam terowongan tapi lehernya masih sangat lentur dan bisa terjulur lumayan jauh. Barusan tadi aku tak memerhatikannya dan berakhir dengan digigit tepat di bahu kananku.
Aku tahu kalau sekarang aku sedang dalam masalah. Dia telah menggigitku sedemikian rupa hingga taring-taringnya telah membenam dalam ke dagingku sampai-sampai aku nyaris pingsan karena sakit, tapi giginya sama sekali tidak menembus tulang atau ototku. Baru saja aku berniat melawan ketika makhluk itu tiba-tiba menarikku kuat-kuat dan menyeretku keluar dari dalam terowongan.
Aku tergantung-gantung di udara, menggelantung dari gigi si monyet laut – kelihatannya dia tak berniat membunuhku saat ini juga, tapi aku tahu kalau dia bisa mengoyak bahuku hingga lepas begitu dia menyentakkan kepalanya. Walaupun saat ini aku benar-benar merasa ngeri, aku tahu kalau aku harus bertahan. Ketika melihat ke sekeliling dengan panik, tiba-tiba aku melihat tombak yang mencuat dari bahu si monyet laut lalu menendangnya kuat-kuat. Kali ini, aku berhasil mengenai tombak itu dengan tepat sehingga menancap lebih dalam lagi. Si monyet laut tiba-tiba melolong dan melemparku ke samping.
Aku menggunakan seluruh tenagaku untuk berusaha meredam pendaratanku dengan bergulingan sekitar tujuh atau delapan kali di lantai, tapi ketika aku berusaha berdiri lagi, aku mendapati kalau tangan kananku sudah benar-benar tak berguna. Si monyet laut mengamuk karena kesakitan, meraung beberapa kali, dan kemudian kembali menerjang ke arahku. Tapi kali ini, dia langsung menyasar leherku seolah hendak mengoyak lepas leherku.
Makhluk itu datang begitu cepat sehingga mustahil untuk mengelak dan aku tak punya pilihan selain menghalangi dengan tanganku. Walaupun ini seperti seekor belalang sembah yang berusaha menghentikan mobil, aku tahu bahwa kalau aku tidak berusaha mempertahankan diriku sendiri, mungkin aku akan kehilangan kepalaku. Tapi persis pada saat ini, tiba-tiba Pangzi datang dari arah belakang dan menangkap kaki si monyet laut, menyebabkannya tersandung dan terjerambab. Keduanya jatuh ke lantai pada saat bersamaan dan bergulingan menjadi bola yang terdiri dari tungkai-tungkai saling berbelit. Pangzi sangat gesit dan berusaha memanjat punggung makhluk itu seperti Wu Song melawan harimau, tapi si monyet laut juga sangat kuat sehingga Panzi sama sekali tak mampu menahannya dan berakhir dengan ditendang jauh-jauh.
Ketika aku melihat kalau Pangzi tak mampu mengalahkannya, aku tahu kalau urusannya akan jadi buruk. Dan benar saja, si monyet laut memamerkan taring-taringnya ke arah Pangzi, berbalik, dan kemudian kembali menyerbuku. Kenapa sih kau menarget aku?! Pekikku dalam hati. Buru-buru aku meraih senapan tombak yang menggelantung di pinggangku tapi kemudian aku baru ingat kalau aku sudah membuangnya ketika barusan tadi aku memanjat dinding batu supaya aku bisa lolos dengan lebih mulus sekarang senapan itu mungkin sudah digencet hingga menjadi kue tambang.
Tapi tak ada waktu untuk menyesalinya karena pada detik berikutnya si monyet laut sudah tiba di depanku. Berpikir kalau dia akan menggigit leherku dan mengoyak lepas kepalaku, aku pun memejamkan mataku dan menunggu datangnya maut, tapi yang mengejutkan, tampaknya makhluk itu ingin aku menderita. Dengan marah dia menginjak perutku dengan satu kaki, nyaris mematahkan tulang punggungku pada prosesnya. Aku muntah darah dan nyaris pingsan karena kesakitan, tapi si monyet laut tak berhenti sampai di sana – dia mengangkat kakinya dan bergeser untuk menginjak dadaku, tapi begitu dia melakukannya, terdengar suara debuman keras. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku melihat makhluk itu terlonter jauh dan bergulingan dari ujung ke ujung beberapa kali.
Aku memutar kepalaku dan melihat Pangzi berjalan mendekat bagaikan dewa pembalasan, cermin perunggu raksasa di tangannya masih bergetar karena benturannya. Aku menatapnya, benar-benar tak mampu berkata-kata. Tampaknya cermin inilah senjata penyerang yang barusan tadi telah menyebabkan suara keras. Tangan Pangzi benar-benar telah menghitam – kalau si monyet laut itu adalah manusia biasa, serangan semacam itu pasti akan sudah membunuhnya. Diam-diam aku memberitahu diriku sendiri bahwa kalau kami berhasil keluar hidup-hidup dari sini, aku jelas tak boleh menyinggung Pangzi di masa mendatang.
Kali ini Pangzi benar-benar mengamuk sehingga dia sudah menerjang si monyet laut dan kembali menghantamnya dengan cermin sebelum makhluk itu bahkan punya kesempatan untuk berdiri. Terdengarlah suara ‘bang’ keras yang sama dengan sebelumnya ketika wajah si monyet laut dihantam dan tubuhnya dilontarkan bergulingan hingga beberapa meter jauhnya. Tapi sayangnya, monyet laut ini sangat kuat sehingga cermin itu tidak terlalu menyebabkan banyak kerusakan pada tubuhnya. Tapi kini dia sudah tahu seberapa kuatnya Pangzi jadi dia tak berani menerjang kembali. Alih-alih, dia berlari ke pilar terdekat, memanjatnya, dan kemudian meraung pada Pangzi dari atas.
Pada titik ini, aku sudah menyadari kalau di sini adalah ruangan yang Muka Datar bilang merupakan tempat model Istana Langitnya berada. Bukti paling nyata adalah keempat lukisan bayangan raksasa pada keempat dinding ruangan itu. Aku tak sempat memeriksa dengan seksama apakah isi dari lukisan-lukisannya sesuai dengan deskripsi Muka Datar, tapi aku yakin kalau pemandangan di sini tidak pernah berubah sama sekali dalam dua puluh tahun sejak mereka pergi. Tapi yang mengejutkanku, ruangan ini ternyata tidak sebesar yang Muka Datar katakan. Satu-satunya hal yang akan kusebut megah adalah pilar-pilar nanmu emas di sisi ruangan yang begitu lebarnya, sampai-sampai tiga orang yang bergandengan tangan takkan mampu memeluk mengelilinginya. Semua hal lainnya paling-paling hanya bisa dianggap sebagai mewah.
Pangzi, setelah memenangkan babak pertamanya, menjadi arogan dan mulai memancing si monyet laut, “Payah kau! Aku sudah bunuh sedemikian banyaknya mayat hidup selama bertahun-tahun ini sampai-sampai tak bisa kuhitung lagi. Di hadapanku ini, kau itu cuma monyet setengah jadi yang pura-pura kuat. Beraninya kau tidak menganggap serius pada Pang Ye ini!” dia mencoba melemparkan cermin itu agar mengenai si monyet laut, tapi berat cerminnya terlalu besar baginya untuk bisa mengangkat benda itu melebihi pinggangnya. Pangzi telah memakai seluruh tenaganya ketika membuat dua hantaman yang barusan tadi, tapi kali ini dia tak bisa mengangkat cerminnya dan hanya berakhir terhuyung-huyung karena berat benda itu.
Si monyet laut itu sangat licik. Ketika melihat kalau Pangzi tak mampu mengerahkan tenaganya, tiba-tiba dia melompat turun dari pilar dan membanting Panzi ke lantai. Pangzi tak sempat bereaksi dan berakhir tertindih oleh beratnya, tak mampu mendorongnya menjauh. Alhasil, Panzi tak bisa menghindar dari tamparan keras yang diarahkan si monyet laut ke wajahnya, cakar makhluk itu mengoyak selapis kulit dalam prosesnya. Pangzi tak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya, jadi matanya tiba-tiba memerah dan dia mengeluarkan suara seperti raungan hewan buas sebelum menggigit muka si monyet laut. Makhluk itu memekik kesakitan dan kemudian melompat pergi.
Aku melihat sebongkah besar sisik si monyet laut sudah terkoyak dari wajahnya dan darah menetes-netes dari luka yang baru itu. Sekarang makhluk itu tampak lebih keji lagi, tapi dia juga dibuat bingung oleh serangan Pangzi dan mulai bertindak lebih hati-hati. Dia berdiri dan mengamati kami dari kejauhan seakan berusaha mencari kelemahan Pangzi. Pangzi juga berusaha memaksa dirinya sendiri untuk bertahan, tapi aku bisa melihat kalau napasnya sudah berat dan kekuatan fisiknya sudah terkuras.
Keduanya saling berhadap-hadapan selama beberapa menit tapi bagaimanapun juga si monyet laut tetaplah binatang. Dia tak mampu berkonsentrasi seperti manusia jadi perhatiannya pun mulai beralih. Dia menguap, memalingkan kepala, dan mulai melihat sekeliling. Pada saat itulah dia melihat Muka Datar – Muka Datar menggertakkan giginya ketika berusaha menggeser lempeng batu itu agar kembali menutupi pintu masuk terowongan perampok makam. Lempengan itu sangat berat sehingga sukar bagi satu orang mengangkatnya seorang diri, jadi Muka Datar hanya bisa menggesernya sedikit demi sedikit. Si monyet laut melihat kalau Muka Datar sendirian dan langsung berlari menyerbu Muka Datar dengan raungan keras, rasa haus darahnya bangkit kembali.
Aku terperanjat – tak kusangka makhluk ini bisa bertindak begitu mirip dengan manusia dan mengejar yang lemah alih-alih yang kuat. “Hati-hati!!” Aku segera berseru kepada Muka Datar.
Muka Datar sudah menyadari datangnya serangan dari belakang dan dengan cepat menjatuhkan lempengan batu itu untuk berguling ke sisi dan menghindari serangan. Ketika si monyet laut melihat kalau cakarnya tidak menyentuh sasaran, dia langsung melompat untuk melakukan serangan lain tapi aku tak terlalu cemas. Aku tahu kalau Muka Datar memiliki kemampuan untuk mengatasi makhluk ini. Dengan monyet laut mengikuti dekat di belakangnya, Muka Datar berlari beberapa langkah menuju pilar nanmu emas terdekat, melompat naik, menggunakan satu kaki untuk menendangkan tumpuan lompatan, berputar di tengah udara, dan kemudian menekankan lututnya pada bahu si monyet laut. Kekuatan benturannya menyebabkan tubuh si monyet laut membungkuk, nyaris membuatnya berlutut. Tak tahu ini kungfu macam apa, aku langsung jadi penasaran.
Si monyet laut begitu kuat sehingga dia nyaris tak tampak terpengaruh oleh jurus ini, tapi Muka Datar belum selesai. Alih-alih langsung melompat ke bawah, dia mengeratkan kakinya pada kepala makhluk itu dan kemudian memutar pinggangnya kuat-kuat. Terdengar suara derak nyaring dan kemudian kepala si monyet laut pun berputar seratus delapan puluh derajat lalu jatuh ke lantai.
Serangkaian gerakan ini semuanya dilakukan dalam hitungan detik, dan membunuh seketika. Aku dan Pangzi sama-sama ternganga karena syok dan mampu merasakan sakit bayangan di leher kami seakan otot kami tertarik. Tiba-tiba aku teringat pada kepala mayat darah dari Istana Tujuh Bintang Lu itu dan memutuskan bahwa Muka Datar pasti telah memakai metode ini untuk mengurusnya. Mau tak mau aku mendesah iba. Metode ini sangat kejam sampai-sampai aku bahkan merasa agak kasihan pada si monyet laut.
Setelah Muka Datar merayap turun dari mayat itu, dia langsung berlari kembali untuk menyelesaikan menggeser lempeng batu ke atas mulut terowongan. Aku sudah bisa melihat adanya onggokan rambut keluar dari dalam terowongan jadi aku buru-buru memanggil Pangzi agar datang membantu. Pangzi memakai metode awal kami dan membakar onggokan rambut itu dengan pemantik sebelum bekerja bersama-sama dengan Muka Datar untuk mengembalikan lempeng batu granitnya kembali ke tempat semula. Si Wanita Terlarang tak mau menyerah dan memukul-mukul lempeng batu itu beberapa kali, berusaha menggesernya. Pangzi takut kalau makhluk itu akan berhasil jadi dia duduk di atas lempeng batu itu, menindih benda itu dengan bobot tubuhnya.
Suara Wanita Terlarang memukul-mukul lempeng batu berlangsung selama sepuluh menit, tapi dengan Pangzi duduk di atasnya, sekarang jadi lebih sulit lagi untuk mengangkatnya. Ketika makhluk di bawah Pangzi mulai tenang, Pangzi pun memaki dan kemudian membaringkan tubuhnya yang kelelahan ke lantai untuk istirahat.
Melihat kalau bahaya sudah berlalu, aku menghembuskan napas lega. Pada saat ini, akhirnya tangan kananku kembali bisa merasakan dan bisa melakukan sedikit gerakan. Ketika aku melihat Muka Datar berjalan menuju sudut tenggara ruangan itu, aku pun buru-buru mengikutinya. Cerminnya sudah digeser dan memang ada sebuah lubang gelap di dalam dinding. Tingginya hanya separuh tubuh manusia dewasa dan kelihatan sangat dalam. Entah ke mana lubang itu mengarah.