Grave Robber Chronicles - Chapter 69
Lubang ini adalah titik kunci dari seluruh insiden tersebut. Ingatan Muka Datar terhenti di sini; yang terjadi setelahnya sepenuhnya merupakan misteri. Apa yang ada di dalam lubang ini, bagaimana dia keluar, dan apakah yang lainnya juga telah kehilangan ingatan mereka seperti dirinya; semuanya adalah spekulasi, tapi tidak ada fakta apa pun yang bisa dipakai untuk menarik kesimpulan.
Aku memeriksa lubang ini dengan sangat seksama. Dari sisi luar, lubang ini hanya bisa dideskripsikan sebagai bukaan yang dipasang dengan sangat buruk (kecuali untuk terowongan peperangan, aku tak pernah melihat ada siapa pun yang membuat bukaan di lokasi semacam ini). Dari apa yang bisa kulihat di dalam lubang ini, lubang ini terbuat dari bata mortar kuning yang sama dengan ruangan di luar. Keseluruhan strukturnya tampak sangat biasa. Sebenarnya, aku sudah pernah melihat begitu banyak lubang semacam ini di pabrik-pabrik pembuatan arang di Shanxi. Kesemua lubang ini dipakai sebagai bukaan pengganti udara untuk tungku-tungku pembakaran di sana, tapi meletakkan lubang ini di sini sangatlah aneh bila mempertimbangkan penampang dari makamnya. Aku tak tahu apa fungsinya.
Sejauh yang bisa kuingat, hampir semua makam memiliki struktur yang simetris. Merupakan hal langka kalau membuka terowongan ataupun memiliki ruangan tambahan tanpa sebab kecuali si pemilik makam memang punya hobi semacam itu. Kalau yang di sini bukan itu penyebabnya, maka hanya ada dua kemungkinan:
Pemikiran pertamaku adalah bahwa mungkin ada suatu barang-barang penguburan tersembunyi di dalamnya, yang takkan mengejutkan sama sekali. Menurut catatan kakek, ada banyak orang yang mendesain ruangan-ruangan tersembunyi di dalam makam mereka sendiri, tetapi pada umumnya disamarkan dengan baik. Akan tetapi lubang ini, tidak memiliki pintu jebakan maupun dikamuflasekan. Hanya ada sebuah cermin yang diletakkan di depannya, yang tampaknya agak konyol.
Kemungkinan kedua adalah bahwa lubang ini berhubungan dengan feng shui. Alasan aku memikirkan hal ini adalah karena cermin merupakan perlengkapan sangat penting dalam feng shui sehingga fakta bahwa cerminnya dilertakkan di sini semestinya memiliki suatu makna. Pada umumnya, membuat sebuah bukaan di dalam ruangan disebut ‘tong’ dalam feng shui, yang berarti bahwa ini adalah tempat yang akan dilewati oleh energi. Meletakkan cermin di depan bukaan ini entah akan menarik energi ke dalam atau melepaskannya kembali ke luar sehingga energinya tidak akan terperangkap.
Hal ini namanya ‘feng shui kecil’, dan sangat berbeda dari ‘feng shui besar’ dari masa kuno. Persis seperti Mahayana dan Hinayana dalam Buddhisme, feng shui kecil semuanya adalah tentang mencari cara untuk mengubah berbagai hal. Dengan kata lain, ini adalah tentang menggunakan metode-metode tertentu untuk mengubah situasi yang buruk di suatu area kecil menjadi situasi baik. Karena aku mendapati bahwa aspek feng shui yang ini menarik, aku tahu jauh lebih banyak tentang hal ini daripada yang kuketahui tentang feng shui besar.
Aku mengikuti arah cerminnya menghadap dan bergerak untuk melihat ke sekitar ruangan, berharap bisa menemukan suatu petunjuk berguna. Penampang dari seluruh ruangan ini sama persis dengan yang telah Muka Datar deskripsikan pada kami sebelumnya, tetapi karena ruangan ini tetap sama selama dua puluh tahun, maka cahaya hanya datang dari empat mutiara malam yang ada di keempat sisi dinding. Ini berarti bahwa model Istana Langit di bagian tengah tersembunyi di dalam kegelapan sehingga aku hanya bisa melihat sebagian-sebagian kecil darinya dengan senterku. Setelah memeriksa ruangan ini beberapa kali, tanpa sadar mataku jadi tertarik pada lukisan-lukisan bayangan di dinding.
Aku sudah membayangkan isi dari keempat lukisan ini berdasarkan dari deskripsi Muka Datar atas lukisan-lukisan ini. Lukisan-lukisan ini tampak sangat samar dan tidak jelas ketika aku mendengar dia mendespripsikannya, tapi sekarang karena aku bisa melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, aku mendapati kalau lukisan-lukisan ini ternyata sangat realistis. Asalkan kau melihat dengan cukup seksama, kau bisa melihat banyak sekali detil-detil spesifik.
Pertama, aku mendapati bahwa pegunungan bersalju di dalam lukisan itu mungkin adalah lereng utara dari Pegunungan Changbai di Jilin. Ini bukan karena ingatanku luar biasa, hanya saja puncak-puncak utama Pegunungan Changbai sangatlah mencolok sehingga siapa pun yang pernah ke sana akan bisa mengenalinya.
Hal kedua yang kusadari adalah bahwa pada lukisan kedua, para anggota prosesi pemakamannya semuanya mengenakan pakaian bergaya Yuan. Dengan kata lain, orang di dalam peti ini mungkin adalah seorang pembesar ternama dari Dinasti Yuan*. Kemungkinan besar ini berarti bahwa Istana Langit di Atas Awan dibangun pada penghujung Dinasti Yuan di mana sedang terjadi perubahan dinasti. Pemilik dari makam ini jelas bukan orang biasa kalau mereka masih memiliki kemampuan untuk membangun makam sebesar itu di dunia yang sekacau-balau itu.
(T/N: Dinasti Yuan (atau Mongolia) adalah dari tahun 1279 hingga 1368. Setelah Yuan, yang mengikuti adalah Dinasti Ming.)
Hal ketiga yang kusadari adalah bahwa semua orang dalam prosesi pemakaman itu adalah wanita. Hal ini bukan hanya mengejutkan tetapi juga tak bisa dipercaya. Aku tak tahu apa saja yang dilibatkan dalam upacara pemakaman gaya Mongolia, tapi benar-benar tak pernah diketahui adanya sebuah prosesi pemakaman yang seluruhnya terdiri dari wanita.
Ada begitu banyak detil kecil lainnya seperti ini, tapi aku tak tahu apakah kesemuanya ini merupakan petunjuk-petunjuk yang dengan sengaja ditinggalkan oleh sang seniman atau apakah ini hanya gaya pribadi mereka dalam melakukan sesuatu.
Setelah melihat semua detilnya, aku tahu kalau akan memungkinkan untuk menemukan lokasi dari Istana Langit ini – semua yang perlu kita lakukan adalah mencari seseorang dari desa pegunungan yang mengenal wilayah itu. Tetapi istana ini sudah terkubur di bawah salju selama ratusan tahun, dan lapisan saljunya sangat empuk. Satu gerakan salah saat menggali bisa menyebabkan terjadinya salju longsor kecil, yang sudah cukup untuk menjebakmu di dalam salju selamanya.
Namun petunjuk-petunjuk ini jelas tak ada hubungan apa pun dengan lubang di pojok ruangan. Aku ingin memeriksa dinding-dinding di belakang ketiga cermin lainnya tapi tak menemukan sesuatu yang istimewa. Tampaknya semua pertanyaan kami hanya bisa dijawab dengan memasuki lubang itu. Aku berjalan kembali ke depan lubang itu dan melihat kalau Muka Datar masih berdiri di tempat sambil memandanginya. Ada suatu ketidakyakinan langka di matanya, seakan dia sedang memikirkan sesuatu. Ketika dia melihatku datang, tiba-tiba dia berkata padaku, “Kurasa aku perlu masuk lagi ke sana.”
Sesaat aku terperangah dan berkata, “Nggak boleh! Apa kau sedang berusaha membuang nyawamu? Kalau kau sampai kehilangan ingatanmu selama dua puluh tahun lagi, maka semua yang telah kau lakukan hingga sejauh ini akan sia-sia belaka.”
“Aku berbeda darimu,” dia berkata acuh tak acuh. “Bagimu, apa yang terjadi di sini cuma suatu pengalaman ganjil, tapi bagiku, ini merupakan sebuah misteri besar. Kalau aku tak menemukan apa yang sebenarnya terjadi, aku takkan bisa hidup dengan damai bahkan meski aku mengingat semuanya.”
Begitu mendengar ini, aku jadi gelisah. Walaupun aku berkata tidak kepadanya, ini bukan karena aku tak memahami dia melainkan karena lingkungan kami saat ini tidak mengizinkan adanya masalah apa pun. Yang seharusnya kami perhatikan adalah keluar dari makam ini secepat mungkin. Kalau tidak, bahkan meski kami mengetahui semua rahasia di dunia, kesemuanya itu akan langsung kehilangan nilainya ketika udaranya habis dan kami semua mati sesak napas.
Ketika aku membagi kekhawatiran-kekhawatiranku padanya, secercah keraguan muncul di wajahnya dan dia bertanya padaku, “Seberapa besar keyakinanku kalau kita bisa keluar?”
Barulah setelah mendengar pertanyaan ini aku menyadari bahwa aku bahkan belum melihat langit-langit di tempat ini. Buru-buru aku mendongakkan kepalaku dan memeriksa langit-langitnya dengan seksama.
Dalam semua catatan yang pernah kubaca sebelumnya, bagian puncak makam Dinasti Ming digambarkan sebagai sangat kokoh karena mereka meletakkan balok-balok atap dalam formasi tujuh melintang dan delapan tegak lurus. Menurut pendapatku, langit-langit ruangan ini seharusnya memiliki struktur melengkung dengan titik tengah yang tinggi dan dua sisi rendah demi bisa menahan tekanan air, namun ternyata tampaknya makam ini telah mengikuti makam-makam tradisional yang berada di tanah dan berbentuk datar. Kalau begitu, tidak terlalu masalah di mana lubangnya dibuat.
Langit-langitnya berada lebih dari sepuluh meter jauhnya dari kami dan tak ada apa pun yang bisa kami pakai untuk memanjat hingga ke sana. Satu-satunya pilihan lain bagi kami adalah dengan membuat beberapa celah pada pilar-pilar itu dengan memakai kaki-kaki cermin, memanjat naik ke langit-langit, memecahkan lapisan luar dari lempung putih, dan kemudian mencari tahu bagaimana menangani bata-bata birunya. Kami tak perlu terlalu berhati-hati. Asalkan kami bisa memperhitungkan waktunya dengan tepat dan menghancurkan struktur penahan tekanan di atas, sebuah lubang akan muncul secara alami di langit-langit dan air laut akan mulai mengisi makam ini. Begitu makamnya terisi penuh, kami bisa keluar dengan mudah.
Bagian paling penting dari rencana ini adalah memperhitungkan waktunya dengan tepat. Kalau struktur penahan tekanannya tidak dihancurkan saat pasang surut, maka ada kemungkinan seluruh langit-langit akan runtuh ketika air laut menghambur masuk, secara efektif menggilas kami di dalamnya.
Aku menjelaskan hal ini pada Muka Datar dan menekankan padanya bahwa kita sebenarnya punya kesempatan sangat bagus untuk bisa keluar. Makam ini akan benar-benar berkompromi begitu kami melakukannya, tapi takkan menghilang dan semuanya tetap akan ada di dalam sini. Dia bisa kembali kemari beberapa hari kemudian dengan peralatan yang memadai dan mencari dengan santai.
Dia mengangguk, akhirnya diyakinkan oleh kata-kataku. Pangzi sudah tak tahan lagi dan berkata, “Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo kita mulai sekarang juga. Kita akan fokus pada pilarnya lebih dulu. Dengan begitu, kita takkan terlalu terburu-buru nantinya.”
Aku melirik jam tanganku. Masih ada waktu enam jam sebelum pasang surut, yang berarti kami masih punya banyak waktu. Aku menggelengkan kepalaku dan berkata, “Barusan tadi kita telah mengerahkan banyak tenaga dan belum makan sama sekali, jadi kondisi kita tak terlalu baik. Kita harus memanfaatkan waktu untuk istirahat sebentar karena tak ada yang tahu apa yang akan terjadi begitu kita keluar dari sini. kapalnya mungkin sudah pergi atau kita mungkin akan tenggelam kalau kita tak punya cukup tenaga untuk berenang. Menghadapi akhir semacam itu setelah semua yang sudah kita lalui akan benar-benar kampret.”
Mulanya Pangzi dipenuhi oleh motivasi, tapi kemudian jadi depresi setelah mendengar logika dalam kata-kataku. Dia menggaruk kepalanya dan berkata, “Sial, kita masih harus menunggu? Baiklah kalau begitu, aku akan tidur dulu sebentar. Panggil aku saat tiba waktunya untuk mulai bekerja.”
Aku juga mencari tempat untuk duduk di mana aku bisa bersandar ke dinding, tapi pikiran-pikiran yang tak terhitung banyaknya terus bermunculan dalam kepalaku. Aku memperhitungkan perkiraan tentang seberapa cepat ruangan ini akan dipenuhi oleh air begitu air lautnya mulai masuk. Terowongan yang mengarah ke tugu di dasar kolam itu saat ini tertutup, tetapi tidak disegel sehingga air laut pasti akan mengalir ke dalamnya, walaupun dengan kecepatan yang jauh lebih lambat daripada air yang masuk lewat langit-langit. Jadi, sebagian besar air laut pasti akan membanjir ke dalam lubang aneh di dinding itu terlebih dahulu. Tetapi masalahnya adalah, aku tak tahu ke mana lubang itu mengarah. Kalau lubang itu terhubung dengan ruangan-ruangan lain, maka hal itu pasti akan menyebabkan masalah karena pusaran air akan terbentuk dan mengisap kami ke dalam lubang tersebut.
Saat aku memikirkan hal ini, mau tak mau aku melirik ke kedalaman gelap lubang itu, bertanya-tanya apakah ada suatu cara untuk menutupnya. Kemudian aku menyadari kalau kami bisa memakai bagian-bagian dari model Istana Langit untuk melakukannya. Aku memperhitungkan tinggi dan lebar dari lubang itu, memikirkan tentang cara terbaik untuk menyumbatnya.
Tetapi begitu aku memusatkan perhatianku pada lubang itu, suatu perasaan yang sangat aneh tiba-tiba muncul dalam hatiku.
Di dalam kegelapan lubang itu, ada suatu kekuatan yang menarik pandanganku. Kekuatan semacam ini bukan hanya kuat tetapi juga memiliki suatu tekanan tertentu yang membuat sulit untuk berpaling. Aku berusaha memalingkan kepalaku tapi mendapati bahwa aku tak bisa menggerakkan leherku dan bahkan pandanganku juga tak bisa dialihkan.
Pada saat bersamaan, aku langsung merasakan suatu kegelisahan tak tergambarkan melandaku. Ini adalah perasaan yang sama dengan yang dimiliki oleh seorang kelaparan setelah menerima sekantong makanan tapi tak bisa membuka bungkusnya. Perasaan gelisah ini membangkitkan dorongan kuat untuk memasuki lubang itu dan melihat apa yang ada di dalam sana.
Semua itu terjadi dalam sekejap dan tanpa peringatan apa pun. Alhasil, pada saat kedua orang lainnya merasakan kalau ada sesuatu yang salah denganku, semuanya sudah terlambat. Muka Datar ada di depanku, tapi aku mendorongnya minggir lalu berlari ke dalam lubang itu. Karena aku sudah berada sangat dekat dengan mulut lubangnya, aku bisa berlari memasuki kegelapan tersebut sebelum Muka Datar punya kesempatan untuk menarikku kembali. Pada saat itu, aku sama sekali tidak memikirkan tentang apa yang sedang kulakukan, aku cuma ingin berlari ke bagian terdalam lubang itu untuk melihat apa yang ada di sana. Aku bahkan tak menyalakan senterku dan cuma terus berlari maju memasuki kegelapan, tidak memerhatikan apa yang ada di bawah kakiku atau apakah aku dikejar atau tidak.
Tetapi hanya setelah maju beberapa langkah, tiba-tiba suatu angin bertiup di belakangku dan kemudian rasa sakit membara menyengat lutut kiriku. Kakiku tertekuk dan kemudian aku jatuh ke tanah.
Jatuhku sangat buruk – dahiku menghantam tanah, kepalaku terasa berdengung karena sakitnya, dan hidungku berdarah. Tetapi setelah mengalami jatuh semacam itu, kegelisahan dalam hatiku tiba-tiba lenyap dan semuanya kembali normal.
Aku berdiri tertegun di sana selama beberapa saat, tak merasakan apa-apa selain perasaan ganjil dan tak tergambarkan. Lubang ini terlalu kuat jika mempertimbangkan bagaimana hanya dengan menatap ke dalam kegelapan itu bisa membuat orang kehilangan akal sehat mereka. Tampaknya aku sendiri nyaris takhluk pada trik itu barusan tadi.
Melihat ke belakang, kudapati Muka Datar dan Pangzi sudah mengejarku dan sebuah senter tergeletak di satu sisi tubuhku. Tampaknya itulah benda yang telah mengenai lututku barusan tadi.
Mereka berdua berjalan menghampiriku dan, tanpa bicara sepatah kata pun, meraih lenganku lalu mulai menyeretku keluar dari terowongan. Aku berusaha berdiri tapi mendapati bahwa lututku yang cidera sama sekali tak mampu menopang berat tubuhku. Mereka sedikit menyeretku tapi tak bisa mengangkatku di dalam terowongan sempit itu. Terlebih lagi, pancaran cahaya dari senter mereka terus berlarian ke mana-mana gara-gara gerakannya, yang membuat pemandangannya jadi tampak sangat kacau.
Pangzi melihat kalau tidak terlalu enak kalau menarikku dengan satu tangan, jadi dia menjepit senternya di bawah ketiak, melingkarkan kedua lengannya pada tubuhku, dan mulai menyeretku kembali ke mulut lubang. Gerakannya sangat kasar dan menyentak-nyentak sehingga aku nyaris dibuat syok.
Pada saat ini, senternya menyapu pada sebagian terowongan dan sesuatu tampak berkilat dari dalam kegelapan. Kupikir aku melihat ada orang sedang berjongkok di dalam kegelapan itu.
Cahayanya bergerak terlalu cepat jadi aku tak melihatnya dengan jelas, tapi aku yakin kalau yang di situ pasti adalah orang. Aku langsung terpikirkan tentang Paman Ketiga dan berseru, “Tunggu sebentar, ada orang di depan sana!”
Ketika Pangzi mendengar ini, dia menyapukan senternya kembali ke area itu. Kami melihat sepintas punggung orang itu, tapi dia sudah berdiri dan buru-buru berlari di sepanjang terowongan.
Walaupun kami terkejut, kami semua bisa melihat dengan jelas kalau yang itu adalah seorang manusia, tapi kami tak bisa melihat siapa orang itu. Muka Datar bereaksi paling cepat dan langsung berseru, “Cepat, ikuti dia!” Setelah berkata demikian, dia memelesat seperti peluru. Pangzi memaki keras tapi juga mengejarnya.
Aku berdiri dengan susah payah dan maju beberapa langkah, terpincang-pincang mengejar mereka. Pada saat ini, Muka Datar sudah menangkap orang itu dan sedang bergulat dengannya. Pangzi langsung melompat memasuki arena dan kedua pria itu pun berhasil menindih orang tersebut ke tanah. Pangzi mengeluarkan senternya dan mengarahkannya ke wajah orang itu. “Ah!” dia berseru. “Ternyata A Ning!”
Aku bergerak mendekat untuk melihatnya dan dibuat terkejut pada pemandangan yang menyambutku – rambutnya acak-acakan, wajahnya kotor, baju selamnya robek, dan baunya selangit aku juga bisa melihat kalau ada darah di hidung dan sudut mulutnya. Aku tak tahu apa yang telah terjadi padanya hingga membuatnya berada dalam kondisi seperti ini, tapi ketika aku memikirkannya, kami bertiga juga tidak jauh lebih baik. Terutama Pangzi yang tubuhnya dipenuhi oleh begitu banyak luka sehingga sulit untuk menatapnya tanpa berjengit.
Ketika Pangzi melihat A Ningi, dia langsung marah dan menuding hidung wanita ini, menghujaninya dengan makian. Tetapi setelah beberapa patah kata, tiba-tiba Muka Datar menghentikan Pangzi dan berkata, “Tunggu sebentar, ada yang salah dengannya!”