Grave Robber Chronicles - Chapter 70
Barulah setelah Muka Datar mengatakan hal ini aku menyadari kalau ekspresi A Ning begitu hampa dan matanya sangat nanar. Kondisinya cukup berbeda dari betapa dia sebelumnya penuh dengan kehidupan. Saat ini dia ditindih ke tanah oleh Muka Datar tapi dia tidak meronta, bicara, ataupun bahkan melihat kami, seakan seluruh situasi ini tidak ada hubungannya dengan dia.
Pangzi mengamatinya dengan keheranan sebelum berkata, “Memang agak aneh. Dia bahkan tak merespon ketika aku memaki dia barusan tadi. Biasanya, dia akan menendangku begitu aku mengeluarkan beberapa patah kata.”
Aku tahu kalau tangan Pangzi menghitam jadi aku bertanya kepadanya, “Apa barusan tadi kau sudah memukul dia terlalu keras? Lihat, dia bahkan tak bisa bicara. Taruhan ini karena kau telah memukul dia terlalu keras dan membuatnya jadi linglung.”
Pangzi langsung mengamuk dan berkata, “Bajingan, berhenti bicara sembarangan! Memangnya aku bakal memperlakukan seorang wanita seperti itu? Barusan tadi itu aku cuma menangkap kakinya! Dan aku melakukannya dengan sangat lembut tanpa meninggalkan satu memar pun! Kalau nggak percaya, tanya saja pada Xiao Ge.”
Muka Datar menyuruh kami agar berhenti berdebat dan berkata, “Jangan cemas, dia baik-baik saja tapi benaknya linglung. Dia mungkin cuma sedang syok.” Dia melambaikan tangannya di depan wajah A Ning dan menjentikkan jarinya, tapi A Ning tak bereaksi sama sekali.
Pangzi menggaruk kepalanya dan berpikir sejenak sebelum berkata, “Mungkin sundal ini telah melihat sesuatu dan dibuat ketakutan sampai jadi hilang akal?”
“Wanita ini kejam dan berkemampuan tinggi,” aku mendebat. “Kau lihat kan bagaimana dia telah memperlakukanku sebelumnya. Bagaimana bisa orang semacam itu dibuat ketakutan sampai hilang akal? Jangan tertipu olehnya. Dia mungkin cuma sedang pura-pura.”
Pangzi jadi curiga ketika mendengar ini dan berkata, “Kau benar. Wanita itu kejam dan licik. Kita harus hati-hati. Apa kita harus menamparnya beberapa kali dan lihat bagaimana reaksinya? Wanita ini sangat keras kepala, jadi mungkin beberapa tamparan akan membuatnya melepaskan sandiwaranya sebagai tokoh utama wanita yang polos dan — ”
Aku tak tahu di mana dia akan melanjutkannya tapi aku memutuskan untuk menyelanya, “Hentikan, kau sudah terlalu banyak menonton film-film revolusi. Apa kau sedang berusaha meniru mata-mata Kuomingtang* atau apalah? Lihat saja dia. Apa kau benar-benar berpikir kalau kau bisa memukul dia dalam kondisi seperti ini?”
(T/N: Kuomingtang adalah partai nasionalis Tiongkok)
Pangzi mengangkat tangannya yang besar dan berniat menampar wajah mungil A Ning dua kali tapi mendapati kalau dia benar-benar tak mampu melakukannya. Merasa kecil hati, dia berkata, “Sayangnya, Pang Ye ini tak pernah memukul wanita sebelumnya. Terus menurutmu apa yang harus kita lakukan selanjutnya?”
Aku belum melewatkan cukup banyak waktu dengan A Ning untuk bisa mengetahui apakah dia sedang berpura-pura atau tidak, jadi aku berkata pada Pangzi, “Mustahil untuk mengetahuinya saat ini. Menurutku kita harus mengikat dia dan membawa dia keluar dari sini lebih dulu. Saat waktunya tiba, kita akan panggil polisi dan biarkan mereka yang mengangani urusan ini.”
Pangzi jadi marah lagi, “Kau ini bego atau cuma pura-pura bego? Apa kau sudah lupa kalau kita bertiga ini kemari untuk merampok makam? Apa kau tahu apa arti dari istilah merampok makam? Berikan dia pada polisi… kepalamu terbentur dan jadi bodoh atau gimana?”
Pada mulanya aku benar-benar bingung, tapi ketika Pangzi mengatakan hal ini, tiba-tiba aku jadi ingin memukul diriku sendiri. Sial, tampaknya benakku masih belum menyesuaikan dengan fakta bahwa aku adalah seorang perampok makam; aku masih menganggap diriku sendiri sebagai seorang bos kecil dari sebuah toko barang antik. Buru-buru aku berkata pada Pangzi, “Aku baru dua kali merampok makam. Jangan mengharapkan sesuatu yang mustahil dariku! Sejatinya, aku ini masih seorang warga negara yang taat hukum yang terbiasa pergi mencari polisi ketika terjadi sesuatu yang buruk. Aku keceplosan yang barusan tadi tanpa pikir panjang, jadi anggap saja aku tak bilang apa-apa. Kita akan pikirkan sesuatu ketika waktunya tiba.”
Pangzi mengibaskan tangannya dan berkata, “Sudahlah, menurutku kau tak punya ide bagus. Kita lihat apa pendapat Xiao Ge. Kalau kita harus mengandalkanmu, semuanya akan terlambat.”
Aku tak marah dan alih-alih melirik pada Muka Datar. Dia sedang menyorotkan senternya ke mata A Ning, tapi kemudian dia berpaling pada kami dan berkata, “Jangan berdebat. Pupilnya melebar dan reaksinya lambat, yang berarti kondisinya jauh lebih serius daripada ‘dibuat ketakutan sampai jadi hilang akal’. Ini bukan sesuatu yang bisa dipalsukan.”
Dia kelihatan sangat yakin, dan tak ada alasan untuk meragukan dia, jadi aku pun bertanya, “Apa kau tahu penyebabnya?”
Muka Datar menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku cuma tahu sedikit tentang hal itu dari apa yang bisa kuingat mengenai soal tes medisku sendiri. Kalau kau ingin tahu lebih banyak, maka tak ada yang bisa kita lakukan selain mengirim dia ke rumah sakit.”
Aku mendesah, teringat betapa bersemangat dan cerianya wanita ini sebelumnya. “Yah, karena kita tak bisa mengetahui apa yang salah dengannya dalam waktu singkat, menurutku kita berhenti saja memikirkan hal ini dan bawa saja dia keluar lebih dulu,” ujarku padanya.
Tak satu pun dari mereka yang keberatan dengan usulanku, dan begitu kami semua sepakat tentang hal itu, Pangzi berkata pada Muka Datar, “Kita lakukan begini saja – tempat ini menakutkan jadi kita tak boleh berlama-lama di sini, tapi setidaknya kita bisa melihat dulu di sekitar sini. Kalau tak ada yang perlu diperhatikan, kita akan pergi secepatnya.”
Aku sudah melupakan di mana kami berada, tetapi ketika Pangzi mengatakan hal ini, semua kenyataannya kembali padaku dan aku langsung merasakan hawa dingin merayapi punggungku. Aku ingin pergi sekarang juga, tapi aku tahu kalau tak ada gunanya menyarankan hal itu karena mereka berdua punya tujuan mereka sendiri untuk berada di sini. Pada akhirnya, aku tak punya pilihan lain selain menelan rasa takutku dan mengangguk setuju.
Pangzi langsung berbalik dan mengarahkan senternya ke kedalaman terowongan itu. Aku mengikuti arah cahayanya dan melihat kalau lubang ini sebenarnya tak terlalu panjang dan berakhir setelah sekitar belasan langkah. Tapi senternya tidak cukup kuat untuk menerangi hingga sejauh itu jadi kami hanya bisa melihat garis luar yang samar.
Mataku tidak sebagus Pangzi jadi aku tak bisa melihat apakah ada sesuatu di sana tapi kuharap Pangzi juga takkan melihat apa-apa. Aku ingin dia menyerah sehingga kami bisa keluar dari sini sesegera mungkin; aku tak bisa tetap tinggal di tempat ini lebih lama semenit pun.
Pangzi melihat lebih seksama dan tiba-tiba mengernyit seakan dia melihat sesuatu. Aku mengikuti arah tatapannya tapi tak bisa melihat apa-apa. Kemudian dia bertanya pelan pada kami, “Teman-teman, apa kalian lihat itu? Di sana, di bagian paling dalam. Apa itu pohon?”
Aku mendengus, “Bagaimana bisa ada pohon di dalam makam kuno ini? Tak ada cahaya matahari juga tak ada seorang pun yang menyiraminya. Kalau di sana memang ada pohon, maka akan sudah membusuk sejak lama.”
Pangzi terus memandanginya dalam waktu lama, tapi dia pasti tidak merasa yakin soal itu karena dia dengan keras kepala terus menudingkan jarinya ke arah sana dan mengisyaratkan padaku agar melihat lebih dekat. Aku tak punya pilihan selain menuruti, tapi aku benar-benar tak bisa melihat apa-apa dengan jelas. Aku memaksa mataku untuk melihat tapi hanya bisa melihat samar-samar ada sesuatu yang kelihatan seperti ranting. Siluetnya sangat familier, tapi aku tak bisa ingat di mana aku telah melihatnya sebelum ini. “Aku tak bisa melihat dengan jelas tapi itu jelas bukan pohon,” kataku akhirnya pada Pangzi.
Pangzi memerhatikan lagi sebelum berkata keras kepala, “Menurutku kelihatan seperti pohon, tapi memancarkan cahaya keemasan. Kalau kau tak percaya padaku, ayo kita pergi dan lihat lebih dekat.”
Aku langsung jadi marah – jelas-jelas dia punya motif lain – dan berkata kepadanya, “Jangan kira aku tak tahu apa yang kau rencanakan ya! Bahkan meski di sana ada pohon emas, apa menurutmu kau bisa membawanya keluar?”
Pangzi mendapati kalau aku sudah membongkar muslihatnya, tapi dia tak menyerah, “Kita takkan tahu apakah itu adalah sesuatu yang bisa kita bawa keluar hingga kita melihat apa sebenarnya benda itu. Mungkin ada beberapa potongan kecil di sampingnya atau apalah. Takkan jadi masalah kalau kita tidak datang kemari sebelumnya, tapi sekarang karena kita sudah masuk dan melihat sesuatu yang bagus, kita harus memeriksanya! Selain itu, kita sudah pergi sejauh ini tanpa terjadi apa-apa. Tak ada yang perlu ditakutkan, kan?”
Aku merasa kesal, tapi tak ada yang bisa kulakukan soal itu. Lagipula, sampai di sini aku sangat mengenal logika Pangzi – setelah melihat-lihat sekitar dan memeriksa semuanya, sapu bersih tempatnya. Orang ini sungguh titisan setan; siapa pun yang bertemu dengannya dijamin bakal sial.
Aku sudah akan mengolok dia ketika kulihat Muka Datar mengisyaratkan pada kami agar berhenti bicara. “Ikuti aku,” dia berbisik pada kami. “Jangan ketinggalan.” Kemudian dia berjalan lurus menuju kegelapan tanpa melihat ke belakang.
Pangzi kegirangan. Dia mengangkat A Ning, menaruhnya di pungggung, dan kemudian mengikuti Muka Datar. Aku berpikir ini aneh, tapi Muka Datar bergerak cepat sekali. Aku tak sempat memikirkannya dengan seksama, jadi aku pun berjalan terpincang-pincang mengejar mereka.
Bagian dari terowongan tempat kami berdiri barusan tadi tampaknya adalah pertengahan, jadi langkah cepat Muka Datar berarti bahwa kami segera mencapai yang disebut sebagai pohon tadi di ujungnya. Sekarang kami berada di bagian paling dalam lubang batanya. Muka Datar mengangkat tangannya dan menyorotkan senternya ke arah ‘pohon’ itu, menampakkan bentuk aslinya.
Benda itu ternyata adalah sebongkah besar koral putih yang setinggi manusia dewasa dan memiliki dua belas ‘cabang’ yang mencuat dari batangnya. Bentuknya memang benar-benar mirip dengan pohon. Koral ini diukir dengan ahli, tetapi terbuat dari koral biasa yang tidak terlalu langka ataupun berharga.
Koralnya ditanam pada sebuah baskom porselen raksasa dengan banyak sekali kerikil mengelilingi batangnya dan banyak lonceng emas kecil menggantung dari cabang-cabangnya. Cahaya emas yang telah Pangzi lihat sebelumnya pasti adalah pancaran cahaya dari senter-senter kami yang terpantul pada lonceng-lonceng ini. Tapi lonceng-lonceng ini jelas tidak terbuat dari emas karena ada selapis patina* dalam retakan-retakannya. Kurasa bahan dasarnya adalah kuningan yang disepuh, itulah sebabnya kenapa lonceng-lonceng ini bisa mempertahankan kemilaunya yang sekarang.
(T/N: lapisan hijau atau coklat pada permukaan perunggu atau logam serupa, dihasilkan oleh oksidasi dalam waktu lama)
Pangzi sangat kecewa karena dia tak melihat pohon emas, tapi dia masih pantang menyerah. Dia mengayunkan senternya ke sekitar area ini dan bertanya padaku, “Xiao Wu, apa menurutmu koral ini ada nilainya?”
Aku sebenarnya pernah melakukan sedikit riset tentang barang semacam ini sebelumnya, tapi ketika aku teringat pada bagaimana dia berpura-pura barusan tadi, aku memutuskan untuk sedikit menggodanya “Maafkan telah merusak harapanmu, tapi dengan kualitas ini, harga pasar terbaik yang bisa kau dapatkan adalah delapan yuan per kilogram.”
Setelah mendengar ini, Pangzi jadi skeptis, tapi ketika dia bertanya pada Muka Datar dan menerima anggukan sebagai tanggapannya, tiba-tiba dia jadi depresi, “Kampret, kukira akhirnya kali ini aku bisa jadi kaya, tapi semua yang kudapat ternyata nihil!”
Aku terkekeh dan berkata, “Pangzi, jangan berkecil hati. Dengar, koralnya mungkin tak berharga, tapi lonceng-lonceng yang menggantung di situ adalah barang bagus.”
Pangzi tak memercayaiku dan berkata, “Aku sudah lihat cengiran di mukamu. Jangan mengarang-ngarang. Aku sudah pernah membawa banyak lonceng rusak macam ini dari beberapa makam sebelumnya, tapi nilainya kira-kira cuma seribu. Di dunia mana kau pikir lonceng-lonceng ini berharga?”
“Dengan otak bisnismu, tentu saja kau tak bisa melihatnya,” ujarku padanya. “Mengatakan yang sebenarnya padamu, aku tak bisa memperkirakan nilai spesifiknya, tapi benda ini jelas bernilai lebih daripada emas dalam berat yang sama. Lihatlah pola-pola pada lonceng-lonceng ini. Lonceng-lonceng ini lebih tua dari Dinasti Ming dan bahkan sudah dianggap sebagai benda antik pada masa itu. Apa kau mengerti maksudku?”
Pangzi dibuat tertegun oleh kata-kataku dan tak tahu apakah harus memercayainya atau tidak, tapi aku tak peduli. Aku cuma terus berdiam diri dan dengan senang hati melihat dia ragu-ragu. Sebenarnya, aku tidak yakin dari mana asal lonceng-lonceng ini. Benda-benda semacam ini biasanya tidak populer di bisnis barang antik sementara porselen dan gerabah pada umumnya laris manis. Barang-barang logam membutuhkan kondisi penyimpanan khusus karena akan berkarat, dan hanya museum-museum besar yang mampu memiliki teknologi-teknologi semacam itu. Tak peduli sekaya apa pun keluarga seseorang, mereka takkan mau membuang-buang uang mereka pada barang seperti itu. Terlebih lagi, lonceng merupakan peralatan logam yang relatif rumit yang terdiri dari banyak bagian-bagian kecil. Sangat mahal untuk menjaganya agar tetap awet dan utuh.
Pangzi menimbang-nimbang selama beberapa saat tapi masih tak memercayaiku. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk mencabut satu dari cabang dan memeriksanya. Tetapi sebelum dia bisa melakukannya, Muka Datar langsung mencekalnya dan berkata, “Jangan bergerak.”
Pangzi sudah menaruh satu kaki di atas baskom yang penuh dengan kerikil itu tapi langsung menariknya kembali karena tindakan Muka Datar. Terkejut, dia bertanya apa yang terjadi tapi Muka Datar mengabaikan dia dan bertanya kepadaku, “Apa kau ingat pernah melihat lonceng semacam ini di suatu tempat sebelumnya?”