Grave Robber Chronicles - Chapter 71
Begitu dia mengatakannya, aku langsung ingat pada apa yang terjadi beberapa minggu lalu.
Pada saat itu, kami dalam perjalanan menuju Istana Tujuh Bintang Lu. Kami melewati sebuah gua mayat dan menangkap seekor serangga pemakan bangkai besar. Ada lonceng seperti ini tergantung dari ekornya dan ada seekor kelabang hijau besar di dalam loncengnya. Ketika serangga pemakan bangkainya merayap, gerakannya akan membuat loncengnya berbunyi, yang kedengaran seperti bisikan sekumpulan hantu. Suara itu sepertinya memiliki semacam kekuatan misterius dan pada saat itu kami hampir tersihir olehnya. Tapi untung saja, kami terselamatkan berkat pemikiran cepat Muka Datar – dia menendang kami semua ke dalam air, yang langsung mengembalikan kesadaran kami.
Setelahnya Paman Ketiga memeriksa lonceng tersebut dan berkata bahwa benda ini berasal dari suatu dinasti sebelum Periode Negara Berperang, tapi dia tak tahu negara yang mana. Situasi pada saat itu sungguh serius jadi aku tak terlalu memikirkannya, terutama karena apa yang kemudian terjadi di dalam makam terasa seperti mimpi buruk. Sudah bagus sekali karena pada saat itu kami tak menjadi gila.
Aku tak ingat pernah melihat lonceng-lonceng semacam ini di tempat lain, tapi sekarang ketika aku melihat lonceng-lonceng di sini, aku jadi tak terlalu yakin apakah loncengnya sama. Persis seperti ruangan tempat kami berada sekarang ini, gua mayat pada waktu itu hanya memiliki pencahayaan redup dari beberapa lampu penambang dan tidak butuh waktu lama bagi Pan Zi untuk menghancurkan lonceng itu hingga pecah berkeping-keping. Singkatnya, mustahil untuk membandingkan keduanya, jadi aku hanya bisa melihatnya dari sudut pandang yang lebih umum.
Kalau ini benar-benar jenis lonceng yang sana dengan yang kami lihat di dalam gua mayat dan barusan tadi Pangzi telah menyentuhnya, maka urusannya akan berubah jadi buruk. Pada saat itu, satu lonceng saja sudah cukup untuk menyihir kami semua hingga hilang kendali, sementara di sini setidaknya ada empat puluh lonceng. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi bahkan dengan guncangan terkecil sekali pun.
Muka Datar melihat kalau aku ingat dan berkata, “Ada hal lain yang aneh tentang gua mayat itu. Gua itu mulanya merupakan makam berukuran sangat besar tapi aku tak tahu bagaimana gua itu berhubungan dengan Wang Zanghai.”
Pangzi pernah mendengar kami mendiskusikan masalah ini sebelumnya jadi dia tahu asal-usul lonceng-lonceng itu. “Kalian yakin kalau kalian tidak membuat kesalahan?” Dia bertanya. “Sepertinya terlalu kebetulan kalau sesuatu dari masa sebelum Periode Negara Berperang akan muncul di makam zaman Yuan akhir atau Ming awal ini. Mungkin si Wang Zanghai ini juga seorang perampok makam?”
Begitu dia berkata demikian, aku dan Muka Datar sama-sama membeku.
“Ada kemungkinan,” Muka Datar berkata setelah sejenak memikirkannya. “Tak ada seorang pun yang tahu apa yang dia kerjakan pada masa mudanya, dan dia mahir dalam feng shui. Akan mudah baginya untuk merampok makam. Tapi aku ingat kalau keluarganya memiliki latar belakang yang cukup ternama, dan telah menjadi ahli feng shui selama beberapa generasi. Mereka tak perlu mencemaskan soal kebutuhan hidup mereka jadi mereka takkan pernah melakukan pekerjaan memalukan seperti itu.”
Ketika Muka Datar mengucapkan kata ‘pekerjaan memalukan’, ekspresinya tidak berubah sama sekali. Tampaknya dia bahkan tak menyadari bahwa dia telah menghina kami.
“Menurutku tidak mungkin,” aku mendebat. “Kalau dia adalah perampok makam, dia pasti akan sudah meninggalkan suatu tanda di makamnya sehingga generasi mendatang akan menghindarinya. Apa kau melihat sesuatu yang seperti itu di sini?”
Muka Datar menggelengkan kepalanya. “Aku sudah mencari-cari tapi benar-benar tak ada satupun tanda-tanda macam itu.”
Pengetahuannya dalam lapangan pekerjaan ini tak terukur jadi kalau dia bilang tidak ada, maka itu pasti benar. “Lantas bagaimana kau menjelaskan soal keberadaan lonceng-lonceng di sini ini?” tanyaku. “Mungkinkah dia sendiri dulunya merupakan kolektor barang antik dan menguburkan koleksi kesayangannya di sini bersamanya?”
“Kita tak melihat barang-barang antik lainnya di sepanjang jalan jadi yang kau katakan tadi juga tidak benar. Menurutku mungkin ada situasi yang lain.” Pangzi sepertinya telah terpikirkan sesuatu karena ada raut songong di wajahnya. “Sebenarnya, selain perampok makam, ada kelompok orang lain yang sering bertemu dengan makam-makam kuno. Apa kalian tahu siapa yang sedang kubicarakan?”
Ketika dia mengatakan ini, aku langsung mengerti, “Maksudmu, lonceng-lonceng ini digali di suatu situs konstruksi ketika dia sedang mengerjakan sebuah proyek?”
Pangzi mengangguk, “Pria ini adalah kontraktor terbesar pada masa itu jadi tidak mengejutkan kalau dia akan bertemu dengan situasi macam ini. Saat kita keluar dari sini, kau bisa kembali dan memeriksa apakah pada waktu itu dia pernah pergi ke Kuil Biji di Shandong.”
Yang Pangzi katakan memang masuk akal, dan mau tak mau aku sedikit lebih mengaguminya, tapi satu hal yang kami ketahui dengan pasti adalah bahwa lonceng-lonceng ini tak boleh disentuh. Aku menduga kalau A Ning mungkin telah menyentuh pohon koralnya dan membuat banyak lonceng di sini berbunyi, yang menyebabkan kekacauan mentalnya. Aku cuma tak tahu halusinasi apa yang dihasilkan oleh lonceng-lonceng itu dalam otaknya sampai-sampai menghasilkan efek sekuat itu.
Orang biasanya mudah peka pada rangsangan, tapi menjadi jauh lebih buruk ketika kau berada di dalam sebuah makam kuno dengan suasana misterius dan syaraf-syarafmu sudah agak rentan. Siapa pun akan jadi gila. Aku menduga kalau bahkan amnesia Muka Datar mungkin juga disebabkan oleh lonceng-lonceng ini karena aku mendapati bahwa lonceng-lonceng ini diikat di tempat-tempat tertentu pada pohon koral dengan menggunakan kawat tembaga. Koral sangat bagus dalam mengalirkan suara karena dalamnya berlubang sehingga benda ini lebih seperti alat musik – benda ini bisa menghasilkan ribuan suara, salah satunya mungkin bahkan bisa membuat orang melupakan semuanya.
Tetapi ide-ideku memang agak berlebihan, dan aku terlalu malu untuk mengatakannya keras-keras. Untuk sesaat kami bertiga berdiri di tempat sebelum kemudian Pangzi berkata, “Sepertinya lonceng-lonceng di ujung terowongan ini cuma trik lain untuk memancing orang masuk kemari. Bagaimana kalau kita kembali?”
Karena aku merasa jauh lebih rileks begitu mengetahui bahwa tidak ada monster ataupun hantu di dalam terowongan ini, aku jadi tidak terburu-buru meninggalkan tempat ini. Tapi setelah melihat jamku, aku menyadari kalau sekarang hampir tiba waktunya untuk pasang surut dan rasanya membosankan kalau tetap tinggal di sini, jadi kami berempat pun mulai berjalan balik.
Ketika aku menyusuri jalan, masih ada dua hal yang mengganggu benakku. Yang pertama adalah bahwa dua puluh tahun yang lalu Muka Datar memasuki lubang ini semuanya adalah karena Paman Ketiga. Di mana orang-orang lainnya yang jatuh pingsan bersamanya? Apakah Paman Ketiga telah mengeluarkan mereka semua dari makam ini?
Yang kedua adalah bahwa ketika waktu itu Muka Datar memasuki lubang ini, dia telah mencium suatu aroma yang sangat aneh tapi sekarang sudah lenyap. Apakah berarti mungkin ada sesuatu yang lain di dalam lubang ini dua puluh tahun yang lalu?
Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa terjawab begitu kami menemukan Paman Ketiga.
Dan Paman Ketiga sudah menghilang lagi. Aku tak tahu apakah kami akan bisa menemukan dia, tapi kalau dia benar-benar menghilang, maka pertanyaan-pertanyaan ini akan menjadi rahasia yang abadi.
Kalau, seperti yang telah Pangzi katakan, Paman Ketiga dirasuki oleh hantu di dalam makam ini, maka ke mana dia akan pergi? Saat dia melihat foto dengan Muka Datar di dalamnya, dia telah berkata ‘aku mengerti’. Tapi apa persisnya yang dia mengerti?
Hanya memikirkan tentang hal itu saja sudah membuatku merasa kalau sepertinya ada sesuatu yang hilang dari keseluruhan puzzle-nya, dan aku tak bisa menyingkirkan perasaan bahwa asalkan aku memiliki satu petunjuk kecil, aku akan bisa menyambungkan semuanya. Instingku mengatakan padaku bahwa sesuatu ini seharusnya berhubungan dengan Istana Tujuh Bintang Lu.
Sementara aku larut dalam lamunan, kami berempat sudah keluar dari terowongan pendek itu. Pangzi meletakkan A Ning ke tanah dan berkata pada kami, “Waktunya sudah hampir tiba. Ayo kita mulai bekerja.”
Aku tahu kalau keluar dari sini adalah prioritas utama kami jadi aku mengesampingkan pemikiran-pemikiran ini untuk sekarang dan kembali mulai menjelaskan berbagai hal. Karena aku tak pernah benar-benar melubangi langit-langit makam Dinasti Ming sebelumnya dan tidak merasa terlalu percaya diri, aku hanya bisa maju selangkah demi selangkah.
Setelahnya, kami bertiga bertindak sesuai dengan rencana. Pangzi, yang kini telah menahan antusiasmenya dalam waktu lama, memungut salah satu kaki cermin dan mulai berusaha mencongkel pijakan-pijakan kaki pada salah satu pilar. Namun dia telah meremehkan seberapa kerasnya kayu nanmu emas. Setelah berusaha beberapa kali, dia sudah kehabisan napas tapi hanya berhasil membuat satu lekukan kecil pada pilarnya.
Menyadari bahwa ada sesuatu yang salah, dia berkata, “Xiao Wu, pilar ini terlalu kuat. Kalau kita berusaha melakukannya dengan cara ini, akan butuh waktu seminggu bagi kita untuk sampai ke puncak.”
“Jangan cemas,” ujarku menenangkan. “Asalkan kau berhasil memotong lapisan paling luar, bagian dalamnya akan mudah untuk diurus.”
Pangzi merasa ragu, tapi dia mencengkeram kaki cerminnya lebih kuat lagi dan kemudian menggunakan seluruh kekuatannya untuk kembali memukul pilarnya. Pada mulanya hampir tak ada kemajuan, tapi setelah beberapa hantaman lagi, akhirnya dia berhasil menembus lapisan luar kayunya yang seperti besi dan mencongkel keluar satu celah yang cukup untuk menampung satu kaki.
Barulah pada saat ini aku teringat bahwa lubang yang barusan tadi kami masuki adalah jalan buntu. Ketika air laut menerjang masuk, airnya hanya akan bisa merembes lewat celah-celah sambungan di bata jadi tak perlu mencemaskan soal pusaran air. Sekarang karena aku tak perlu mencari cara bagaimana menyumbat lubangnya, aku pun mengambil kaki cermin lainnya dan pergi untuk membantu Pangzi. Tetapi setelah dua kali hantaman, aku menyadari bahwa pekerjaan ini benar-benar tercipta untuk Pangzi – dia bukan hanya kuat tapi juga punya banyak stamina. Bahkan setelah mengalami begitu banyak kesukaran di sepanjang perjalanan, dia masih penuh energi dan ceria tanpa ada tanda-tanda kelelahan sama sekali. Aku telah bekerja di sisinya dalam jumlah waktu yang sama tapi aku sudah begitu lelah sampai-sampai hampir tak mampu mengangkat tanganku.
Kami bekerja luar biasa keras seperti ini selama sekitar tiga jam sebelum kami akhirnya berhasil membuat pijakan-pijakan yang dibutuhkan pada pilar itu. Pijakan yang ada di bawah merupakan yang terbaik sementara yang lebih dekat dengan bagian puncak hanya cukup dalam untuk kau meletakkan jari kakimu di situ. Ini karena kami harus memanjat naik menggunakan pijakan-pijakan yang sudah kami buat dan bergelantungan di udara, yang berarti kami tak bisa menggunakan kekuatan penuh kami. Tetapi tak menjadi masalah seberapa dangkal pun celah yang ada di bagian atas asalkan kami bisa menyelesaikan tugas kami.
Begitu membuat pijakan selesai, kami melepaskan baju selam kami dan memotongnya secara memanjang. Karena baju-baju selam itu sangat elastis, kami memutuskan untuk mengikat potongan-potongan itu menjadi seutas tali dan kemudian mengikatkan talinya di sekitar pilar sehingga berfungsi sebagai pengumban, persis seperti yang dilakukan oleh para pemanjat pohon Meksiko itu. Dengan kami bertiga berada di tiga arah berbeda, kami membentangkan talinya hingga kencang dan mulai memanjat naik.
(T/N: Contoh penggunaan pengumban:)
Aku tak tahu bagaimana kami akan bisa berhasil sampai ke puncak karena setiap gerakan terasa seakan kami tinggal sejengkal jaraknya dari maut. Tak lama setelah kami mulai memanjat, Pangzi berseru lelah, “Kenapa juga kita memutuskan kalau kalian akan mengikuti aku naik kemari? Aku kan bisa langsung naik dan membuat sendiri lubangnya. Begitu air mengalir masuk, kalian toh bisa mengambang naik. Tali ini rasanya seperti akan menggencetku menjadi daging babi Dongpo*. Xiao Wu, lebih baik kau turun atau aku takkan bisa bertahan lagi.”
(T/N: ini adalah masakan Hangzhou yang terbuat dari daging perut babi yang digoreng dan kemudian dimasak dengan bumbu merah. Daging babinya dipotong tebal-tebal, berbentuk persegi sekitar 5×5 cm, dan harus terdiri dari lemak dan daging dalam perbandingan yang sama. Kulitnya juga masih menempel)
“Kau kira aku mau naik ke sana?” balasku. “Tapi aku tak tahu seperti apa kondisi sebenarnya di atas sana dan aku tak mau kau mati. Mungkin saja ada lapisan pasir hisap di atas langit-langit, dan kalau kau menggali ke dalamnya, pasirnya akan tertumpah dan mengubur seluruh ruangan.”
Aku mengatakan yang sebenarnya. Lapisan-lapisan pasir hisap di dinding-dinding makam merupakan cara paling umum dalam mencegah perampokan makam. Seperti yang telah kusebutkan sebelumnya, cara ini cukup efektif. Kalau kau ingin memasuki sebuah makam besar dengan lapisan pasir hisap secara mulus, kau akan harus menggali lubang pembuangan yang terpisah dari terowongan perampok makammu dan membiarkan pasir hisapnya mengalir keluar terlebih dahulu. Terkadang, akan butuh waktu beberapa hari dan malam sebelum pasirnya benar-benar dikosongkan sepenuhnya dari dinding. Situasi semacam ini menunjukkan seberapa banyaknya pasir yang pasti telah digunakan. Tapi sekarang kami tidak dalam posisi untuk menggali lubang pembuangan. Kalau kami benar-benar bertemu dengan lapisan semacam itu di atas langit-langit, maka kami akan harus mencari jalan keluar lainnya. Tapi kalau bukan pasir hisap melainkan lapisan asam kuat atau minyak tanah, maka itu bahkan lebih parah lagi.
Pangzi sudah pernah menggali banyak makam jadi dia tentu saja tahu kalau yang kukatakan memang benar. Dia melambaikan tangannya dan mengisyaratkan pada kami agar terus memanjat.
Kami menggertakkan gigi dan memanjat selama setengah jam lagi sebelum akhirnya mencapai bagian puncak. Ketika Pangzi menemukan posisi yang stabil, dia sudah begitu kelelahan sampai-sampai cuma bergelantungan tak bergerak di pilar dan berkata pada kami, “Sial, kalau kau terus menyiksaku seperti ini, aku benar-benar bakal mati.”
Kami membiarkan dia mengatur napas terlebih dahulu karena kami akan harus mengandalkan dia untuk memecahkan bata-batanya. Ketika aku mengetuk langit-langit dengan seksama, Muka Datar mengisyaratkan agar aku terus melanjutkan sementara dia menekankan jari-jarinya pada langit-langit dan merasakan getarannya. Beberapa detik kemudian, dia berkata, “Ini padat.”
Setelah Pangzi mendengar kata-kata ini, dia tak berani beristirahat lebih lama lagi dan mulai menghancurkan lempung putih di langit-langit tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia takut menggunakan terlalu banyak tenaga karena tali dadakan kami benar-benar tak terlalu kuat. Kalau kebetulan talinya sampai putus, kami semua akan jatuh dan pasti akan terluka parah.
Aku dan Muka Datar mengulurkan tangan dan mencengkeram bahu Pangzi, berharap bahwa jika talinya sampai putus, kami akan bisa menjaganya dari terjatuh pada ketinggian sepuluh meter. Tapi dia begitu berkeringat sehingga kurasa kami takkan bisa mempertahankan pegangan kami padanya kalau pada akhirnya dia benar-benar jatuh.
Lempung putihnya sangat getas sehingga hanya butuh beberapa kali pukulan sebelum dia berhasil mengelupas satu bongkahan besar, menampakkan bata biru di belakangnya. Pangzi menatapnya dan memaki sebelum menyuruhku meraba bata-bata itu. Aku mengulurkan tanganku dan langsung membeku karena syok begitu aku menyentuhnya.
Besi telah dituangkan di antara sambungan-sambungan batanya.