Grave Robber Chronicles - Chapter 72
Kami bertiga saling berpandangan, ekspresi kami sangat jelek.
Setelah besi dituangkan ke dalam sambungan-sambungan batanya, maka semuanya menjadi seperti beton yang diperkuat. Tidak peduli meski kau punya palu godam dan berada di tanah datar – semuanya akan sia-sia. Hal ini khususnya benar dengan mempertimbangkan situasi kami saat ini.
Ditambah lagi, setidaknya ada tujuh lagi lapisan seperti ini di atasnya, dan kesemuanya saling berhubungan. Benar-benar mustahil untuk menggali menembus lapisan-lapisan ini tanpa menggunakan peralatan modern.
Merasa kesal, aku tahu kalaiu aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri karena tidak memikirkan kemungkinan semacam itu. Bagaimanapun juga, langit-langit datar tak mampu menahan tekanan sebaik langit-langit kubah jadi bata-batanya harus diperkuat dengan sesuatu. Pada makam-makam Dinasti Ming, hanya ada satu metode yang dipakai untuk melakukan ini – menuang besi leleh di antara sambungan-sambungannya untuk menyegel rapat makamnya. Aku telah mengandalkan sebuah buku catatan tua dan pengetahuanku yang terbatas dalam hal konstruksi untuk membuat rencana kabur kami, tapi ternyata, aku sama sekali tak tahu apa-apa. Sepanjang waktu ini aku cuma mengoceh tak karuan dan sekarang kami akan menderita gara-gara hal itu.
Pangzi menatapku dan bertanya, “Sekarang apa, Rekan Arsitek? Ada ide lagi?”
Aku masih ingin menjajal peruntunganku jadi aku berkata, “Apa lagi yang bisa kita lakukan? Jangan menyerah dan teruslah berusaha memecahnya dengan kaki cermin. Sudah lewat lebih dari dua ratus tahun jadi aku ragu kalau lapisannya masih sekuat sebelumnya.”
Pangzi tak berpikir kalau masalahnya terlalu serius karena dia tak melihatku panik jadi dia lanjut berusaha memecah lapisan bata-bata itu. Bata-bata yang kopong mudah untuk dipecahkan, tapi ikatan besi yang telah dipadatkan dalam sambungannya masih ada. Pangzi memukulnya sekuat tenaga tapi hanya berhasil meninggalkan beberapa goresan di permukaannya. Begitu dia melihat ini, dia pun tahu kalau ada sesuatu yang salah dan berkata padaku, “Ini mustahil. Pengikat-pengikat dari besi ini setebal telapak tangan. Bahkan menabraknya dengan truk tronton juga mungkin tak menghasilkan apa-apa.”
Barulah setelah aku sendiri berusaha memukulnya beberapa kali dan berakhir dengan telapak tangan yang mati rasa aku menyadari bahwa ini adalah sesuatu yang tak bisa ditangani dengan kekuatan fisik saja. Merasa berkecil hati, aku berkata pada mereka, “Sepertinya kita sudah meremehkan teknologi kuno. Mereka menggunakan besi murni seperti ini untuk menyegel sambungan-sambungan batanya sehingga kita takkan bisa memecahkan sambungannya yang sudah mengeras ini sama sekali.”
“Bagaimana kalau kita berusaha mengikisnya?” Pangzi bertanya. “Bukankah orang kuno bilang bahwa asalkan kau bekerja keras, bahkan tongkat besi juga bisa dikikis menjadi jarum?”
“Lupakan saja ide itu. Kalau kau berusaha mengikis sambungan-sambungan besi tebal ini, kita akan berada di sini selamanya,” ujarku. “Kita punya waktu dua puluh menit hingga arus airnya mulai menyurut. Pada saat kau selesai mengikis, kita akan sudah mati.”
Pangzi langsung mengamuk, “Lantas kita harus bagaimana?! Bukankah kau sudah dengar apa kata wanita itu? Musim topan di area ini akan segera datang dan akan berlangsung setidaknya selama satu minggu. Kalau kita tak bisa keluar sekarang juga, kita akan terjebak di sini selama tujuh hari.” Dia terdiam dna kemudian berkata dengan penuh penekanan, “Tujuh hari! Kalau kita tidak mati sesak, kita akan mati kelaparan.”
Mengetahui betapa seriusnya masalah ini, aku berkata pada mereka, “Kalian punya lebih banyak pengalaman dalam hal ini daripada aku. Apa yang akan kalian lakukan kalau kalian bertemu dengan dinding makam semacam ini pada situasi biasa?”
Pangzi dan Muka Datar bahkan tidak terdiam untuk memikirkannya sebelum berkata berbarengan, “Peledak!”
Pangzi melihatku menatap nanar pada mereka dan menjelaskan, “Jangan kaget. Dinding semacam ini jauh lebih kuat daripada yang kau kira. Aku sudah pernah merampok makam yang seperti ini beberapa kali. Kalau aku bertemu dengan dinding semacam ini ketika menggali terowongan perampok makamku, satu-satunya cara untuk melewatinya adalah dengan menggunakan peledak.”
Aku merasa sedih ketika mendengar hal ini. Aku tahu kalau yang dia katakan memang benar, tapi di mana kami harus mencari peledak di dalam makam berumur ratusan tahun ini? Tiba-tiba aku teringat kalau A Ning sudah pernah bertanya kepadaku apakah aku ingin membawa sejumlah peledak sebelum aku turun ke air. Pada saat itu, aku masih agak takut gara-gara ledakan di Istana Tujuh Bintang Lu jadi aku sangat menolak ide itu dan melemparkan kembali peledak-peledaknya ke dalam kabin kapal. Tapi sekarang aku benar-benar menyesali keputusan itu. Kalau saja Paman Ketiga ada pada saat itu, dia pasti akan membawanya.
Sekarang ketika aku memikirkannya, aku menyadari betapa naifnya pemikiranku. Andai saja ada lain kali, aku pasti akan memastikan kalau aku takkan bertindak sedemikian kekanak-kanakan seperti itu.
Melihat kalau tak ada harapan untuk meloloskaan diri dari atas, aku tak punya pilihan lain selain menyerah “Kalau begitu, sepertinya metode ini takkan berhasil,” ujarku pada mereka. “Kita akan harus meluangkan sedikit waktu dan memikirkan pendekatan lainnya.”
“Bukannya kita masih terburu-buru ya?” Pangzi bertanya. “Kita cuma punya sisa waktu kurang dari dua puluh menit, kan? Kalau memang benar-benar tak ada harapan, maka menurutku kita kembali saja ke tempat kita datang. Mungkin saja ruang samping yang ada peralatan selam kita sudah kembali.”
Aku mengangguk. Walaupun aku benar-benar tak ingin kembali ke dalam terowongan perampok makam itu – hanya memikirkan tentang menghadapi monster itu lagi saja sudah cukup untuk memberiku sakit kepala – sekarang sudah tak ada jalan keluar lainnya.
Namun tepat pada saat ini, tiba-tiba Muka Datar berkata, “Tunggu! Tetap di sini dan jangan bergerak! Aku sudah terpikirkan tempat di mana mungkin ada peledak!”
Sebelum kami bahkan sempat bereaksi, tiba-tiba dia melonggarkan talinya dan menggelincir turun dari pilar.
Pangzi menatap kebingungan padaku, tapi aku menggelengkan kepalaku untuk menunjukkan kalau aku juga tak mengerti.
Muka Datar adalah tipe orang yang serius jadi mustahil baginya untuk berkelakar, tapi aku benar-benar tak bisa memikirkan suatu tempat di dalam makam kuno ini di mana dia mungkin bisa menemukan peledak. Seperti kami, dia sudah bertelanjang dada hingga ke pakaian dalamnya sehingga dia tak mungkin bisa menyembunyikan apa-apa. Aku mengawasi ketika dia melompat turun dari pilar dan kemudian berlari menuju panggung batu di bagian tengah ruangan di mana model Istana Langit berdiri di atasnya. Mengikuti pancaran cahaya dari senternya, aku melihat dia melompat ke atas panggung, berkowtow di depan mumi dalam posisi meditasi di bagian tengah, dan mulai meraba-raba di sekelilingnya. Tampak jelas kalau dia sedang berusaha mencari sesuatu.
Mumi ini pastilah tubuh emas yang telah dia sebutkan sebelumnya tapi aku tak tah apa yang sedang dia cari. Akan tetapi, setelah memikirkannya, tiba-tiba aku mendapat pencerahan. Itu dia!
“Apa-apaan yang dia lakukan itu?” Pangzi bertanya padaku.
“Kurasa mungkin ada suatu mekanisme di dalam mumi itu,” jawabku. “Damaru*-nya mungkin berfungsi sebagai pemicu untuk mekanismenya dan mungkin ada peledak di dalamnya. Kalau kau bersikap tidak hormat kepada jenazah dan berusaha mengambil harta yang ada di dalam tubuhnya, jenazah itu mungkin akan meledak.”
(T/N: dalam naskah aslinya tertulis 八宝转子, yang bisa diterjemahkan secara langsung sebagai ‘Pemutar Delapan Pusaka’. Ini adalah semacam drum kecil yang digenggam oleh para lama Tibet dan digerakkan ke depan dan belakang)
Pangzi terperanjat. “Bagaimana dia bisa tahu hal semacam itu?”
“Dua puluh tahun yang lalu, ketika dia memeriksa jenazahnya, pada saat itu dia mungkin telah menemukannya. Tapi perhatikan bagaimana dia berkata kalau peledaknya ‘mungkin’ ada di sana. Berarti dia tidak yakin,” aku menjelaskan. “Satu-satunya masalah adalah, kita tak bisa yakin apakah peledak berumur ratusan tahun ini masih akan bekerja.”
Sementara aku bicara, Muka Datar sudah memindahkan mumi itu ke dasar pilar dan berkata pada kami, “Turun dan bantu aku.”
Aku menyadari kalau akan jadi terlalu merepotkan bagi Pangzi untuk turun dan naik kembali jadi aku memberitahu dia agar diam di tempat dan kemudian merayap turun sendirian. Muka Datar menaruh mumi itu ke punggungku, mengikatnya dengan tali, dan berkata, “Jangan membentur apa-apa. Kalau mekanisme di dalamnya masih bekerja, maka akan langsung terpicu saat itu juga.”
Saat aku melihat tubuh emas ini dalam jarak sedemikian dekatnya, pemikiran pertamaku adalah bahwa deskripsi Muka Datar sangat jauh dari kenyataannya. Sekujur tubuh mayat itu sudah menghitam sampai-sampai kelihatan nyaris mengkilat, dan tak terlalu kelihatan seperti tubuh yang terbuat dari daging serta lebih seperti patung yang diukir dari suatu bahan yang berkilat. Otot-ototnya menyusut masuk, terutama yang ada di bagian sudut-sudut mulutnya, yang membentuk wajah separuh tersenyum, membuat bulu-bulu halus di tubuhku berdiri begitu aku melihatnya. Singkatnya, jenazah ini tidak kelihatan seperti rahib-rahib senior yang akan kau lihat di kuil. Alih-alih, jenazah ini menguarkan suatu perasaan yang sangat tidak mengenakkan.
Takut menyentuhnya setelah melihat hal ini, buru-buru aku bertanya pada Muka Datar, “Apa kau yakin jenazah ini tak bermasalah? Aku tak bisa menyingkirkan perasaan kalau dia kelihatan seperti sedang merencanakan sesuatu. Lihatlah wajahnya, kenapa kelihatan sangat… sangat….”
“Jahat,” Muka Datar menyelesaikan kalimatku. “Aku tak tahu. Jenazah ini memang membuat orang merasa gelisah, tapi dia sudah mengering jadi pasti takkan bisa berubah menjadi mayat hidup.”
Keringat dinginku mengucur tapi aku mengangguk dan berkata, Baguslah. Apa kau yakin peledak di dalamnya masih bisa dipakai?”
“Asalkan damaru-nya masih bekerja, maka peledaknya pasti bisa dipakai. Aku cuma khawatir karena mekanismenya sangat tua.”
Aku merasa tidak nyaman membawa jenazah yang sudah jadi mumi di punggungku, terutama saat aku melihat kuku-kukunya yang panjang berada di depan wajahku. Pemandangan mengerikan ini sudah cukup untuk membuat kakiku lemas. Tiba-tiba aku jadi terpikirkan tentang pemindah mayat di Xiangxi* – seperti aku, mereka membawa jenazah di punggung mereka, tapi mereka punya enam lapis pakaian yang memisahkan mereka dari mayatnya. Sementara aku, di sisi lain, berada dalam situasi yang benar-benar berbeda. Bukan cuma muminya telanjang, tapi aku juga telanjang jadi aku bisa merasakan kulitnya yang kerin menempel pada kulitku. Rasa benar-benar dingin di punggung telanjangku.
(T/N: Di Xiangxi, ada suatu praktek khusus di mana orang-orang tertentu yang disebut sebagai ‘pemindah mayat’ diberi tugas memindahkan jenazah orang setempat yang meninggal di tempat lain untuk dibawa pulang. Mereka akan menaruh jenazahnya di punggung mereka dan, dengan melakukan perjalanan di malam hari, membawanya pulang ke kerabat yang bersangkutan untuk dikuburkan. Kalau jumlah jenazahnya lebih dari satu, mereka akan memakai tongkat bambu untuk diselipkan di bawah ketiak jenazah-jenazahnya lalu mengikat lengan jenazah-jenazah itu ke tongkat. Kemudian, dua orang pemindah mayat akan menaruh ujung-ujung tongkatnya ke bahu mereka dan menggotongnya. Kelenturan tongkat bambunya akan membuatnya berayun naik turun ketika bergerak, yang menyebabkan jenazah-jenazahnya juga ikut berayun naik turun. Hal ini membuat jenazahnya tampak seperti hidup dan bergerak seperti melompat-lompat, yang kemudian melahirkan legenda mayat hidup (lompat) ala Tiongkok / Jiangshi)
Tapi sekarang tak ada yang bisa kulakukan soal itu. Untung saja, masih ada cukup cahaya bagiku untuk masih bisa melihat dengan jelas sehingga imajinasiku tidak lari ke mana-mana. Aku menggertakkan giggiku dan mulai memanjat naik selangkah demi selangkah, memberitahu diriku sendiri bahwa tak ada apa-apa selain sebuah kantongan di punggungku. Muka Datar memanjat naik di belakangku, bersiap menangkapku kalau-kalau aku terpeleset dan jatuh.
Tapi setelah memanjat sejauh lima atau enam langkah, tiba-tiba aku merasa kalau ada sesuatu yang salah dengan jenazah kering ini. Karena punggungku menempel tepat pada kulitnya, aku bisa merasakan dengan sangat jelas kalau jenazah ini sepertinya tiba-tiba sudah jadi lebih besar. Aku terdiam untuk mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya telah kurasakan, tapi setelahnya aku tak merasakan adanya sesuatu yang aneh.
Aku menunduk menatap Muka Datar. Karena dia berada persis di bawahku, dia seharusnya bisa langsung mengetahui kalau ada sesuatu yang aneh telah terjadi pada jenazahnya, tapi sepertinya dia sama sekali tak menyadari apa-apa. Apa memang aku yang terlalu paranoid?
Ini tidak mengejutkan. Bagaimanapun juga, sulit untuk tidak paranoid ketika membawa jenazah yang sedemikian mengerikan di punggungmu.
Ketika aku memikirkan ini, tiba-tiba kudengar Pangzi mendesakku dari atas. Walaupun aku tahu kalau aku harus terus maju, aku begitu gugup sehingga kakiku agak gemetaran. Tapi aku ingin mengakhiri situasi ini sesegera mungkin jadi aku memaksa diriku sendiri agar menaiki beberapa undakan terakhir dan akhirnya berhasil sampai ke puncak.
Pangzi sudah pernah melihat tak terhitung banyaknya mayat sebelumnya, tapi bahkan dia juga tampak tidak nyaman setelah melihat jenazah di punggungku dengan lebih seksama. Bagaimanapun juga, menggantung jenazah dengan tali dari jarak sekitar dua atau tiga kepalan tangan adalah satu hal, tapi sekarang dia akan harus berada sangat dekat dan menempel dengan jenazah itu, persis seperti dua orang yang menempel lekat-lekat dalam tarian waltz. Aku tahu akan jadi setidaknyaman apa rasanya.
Aku mengerahkan keberanianku dan berkata kepadanya, “Ikat ini ke puncak langit-langit dan kemudian langsung turun. Kita akan memicunya dari bawah. Kalau mekanisme di dalamnya masih bekerja, seharusnya takkan ada masalah.”
Pangzi menatap langit-langit dan berkata, “Kau bercanda ya? Memangnya aku harus mengikatnya ke mana? Apa, kau ingin kau mengikuti contoh Dong Cunrui*?”
(T/N: Dong Cunrui adalah seorang prajurit Komunis Tiongkok dalam Pasukan Pembebasan Rakyat pada masa Perang Sipil yang meledakkan dirinya sendiri demi menghancurkan bunker Kuomingtang (Partai Nasionalis Tiongkok) yang menjaga sebuah jembatan penting di Wilayah Longhua)
Aku mendongak dan melihat kalau memang tak ada apa-apa di langit-langit tempat kami bisa mengikatkan muminya. Tapi kalau kami ingin memanfaatkan kekuatan penuh dari peledaknya, maka kami harus mengikatkan jenazah ini erat-erat ke langit-langit. Ini memang sebuah masalah.
Sejenak aku memikirkannya lalu berkata, “Kalau tidak bisa, maka ikatkan saja pada posisi terbalik pada pilar ini. Tapi cepatlah. Waktunya hampir tiba.”
Dengan hati-hati Pangzi menarik lepas jenazah ini dari punggungku, mengatur posisinya di pilar, dan kemudian berkata padaku, “Hei, ini aneh. Kenapa jenazah ini punya ekor?”