Grave Robber Chronicles - Chapter 73
“Ekor? Kau lihat ekor di mana? Kenapa barusan tadi aku tak menyadarinya?” Berpikir kalau dia sedang mengerjaiku, aku berkata kepadanya, “Jangan main-main denganku.”
“Bukannya itu adalah itu ya?” Pangzi menunjuknya dengan ekspresi wajah serius. “Apa, jadi matamu sebegitu hebatnya sampai-sampai kau tak bisa melihat sesuatu sekecil tonjolan ini?”
Aku melihat ke arah yang ditunjuk Pangzi dan mendapati bahwa benar-benar ada tonjolan pada tulang ekor jenazah itu. Warnanya gelap dan sepertinya memiliki panjang sekitar tiga inci dan tebalnya dua jari. Tonjolan itu tampak sama keringnya dengan tubuh itu sendiri, hampir seperti ekor sapi yang telah mengeras yang melengkung naik.
Aku agak kebingungan. Aku tak ingat telah melihat tonjolan ini ketika kami memindahkan mayatnya barusan tadi, jadi apa berarti ekor itu telah tumbuh dalam beberapa menit terakhir ini?
Tapi setelah memikirkannya selama beberapa saat, aku masih tak dapat petunjuk. Barusan tadi aku begitu gugup sampai-sampai tak bisa ingat dengan jelas apakah aku sudah melihatnya atau tidak, tapi tiba-tiba aku merasakan hawa dingin merayap di punggungku – aku mendapat firasat samar bahwa sesuatu akan terjadi.
Aku langsung mengingatkan diri kalau sekarang bukan waktunya untuk ketakutan. Ditambah lagi, mayat ini sendiri sudah begitu kering dan keriput sampai-sampai aku bahkan tak bisa yakin apakah ini memang ekor. “Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan,” kataku pada Pangzi. “Bagaimana bisa manusia menumbuhkan ekor? Mungkin ini cuma burungnya. Bagaimana kalau kau maju dan memeriksa dengan lebih seksama?”
“Sialan kau,” Pangzi tertawa sepenuh hati. “Memangnya burung bisa tumbuh dari pantatmu? Selain itu, kalau dia sudah mati, kenapa begitu… begitu….”
Mengetahui apa yang ingin dia katakan, aku langsung menyelanya, “Oke, oke. Sudah cukup. Berhenti mencemaskan soal benda apa ini. Bagaimanapun, toh takkan ada yang tersisa setelah kita meledakkan dia. Kalau kau terus mengamatinya, beberapa tahun lagi orang lain akan datang kemari untuk mengamati kita.”
Kata-kataku mengingatkan Pangzi akan kondisi kami saat ini dan dia langsung berhenti mengamati tonjolan aneh itu lalu mulai bekerja.
Aku membantu dia membalikkan jenazah ini dan kemudian mengikatkannya pada pilar dengan tali yang sebelumnya kupakai untuk memanjat kemari. Tak mungkin bisa memperhitungkan sekuat apa ledakan yang akan terjadi, tapi aku ingat bahwa ketika aku sedang mendengarkan ‘Tiga Pahlawan dan Lima Kesatria’*, disebutkan adanya peledak-peledak dalam bentuk bidak-bidak mahjong yang mampu meledakkan hingga sepuluh lapis batu berlian. Bicara secara logis, mekanisme dalam jenazah ini semestinya tidak terlalu berbeda.
(T/N: Three Heroes and Five Gallant / Sanxia Wuyi, adalah novel wuxia tahun 1879 karya Shi Yukun. Kisah utamanya adalah menceritakan tentang Hakim Bao yang dibantu oleh para kesatria di dunia persilatan seperti Zhan Zhao, Bai Yutang, dan sebagainya. Hingga saat ini sudah banyak sekali karya adaptasinya)
Setelah dengan terburu-buru mengikatkan jenazah itu ke pilar, aku menarik tali buatan kami kuat-kuat dan mendapati bahwa meski simpulnya tidak terlalu kencang, seharusnya sudah bisa bertahan cukup lama untuk menjalankan tujuan kami.
Aku tak mau berlama-lama di atas sana jadi aku memeriksa semuanya sekali lagi untuk memastikan bahwa semuanya sudah benar dan kemudian bersiap untuk turun.
Mau tak mau aku merasa gugup pada pemikiran bahwa waktu untuk menyalakan peledaknya datang dengan sangat cepat – rencana ini berhasil atau tidak semuanya akan tergantung pada satu langkah ini. Saat ini, tak ada yang tersisa selain berdoa kepada Langit. Semua yang lainnya bisa menunggu hingga kami keluar dari makam ini. Aku tak berani mengharapkan hal yang mustahil, setidaknya cukup kalau nyawaku ini selamat.
Ketika aku larut dalam lamunan, tiba-tiba Pangzi meraihku dan berkata, “Tunggu sebentar. Aku merasa sepertinya ada yang kurang.”
Sudah memeriksa semuanya sekali lagi barusan tadi, aku langsung kebingungan ketika dia berkata demikian. “Apa yang kurang? Bukankah semuanya sudah di sana?”
Pangzi memberitahuku agar jangan turun dulu dan kemudian menolehkan kepalanya lalu berkata kepada jenazah kering itu, “Leluhur berekor, tak peduli kau adalah monyet atau manusia, kau sudah mati dan tubuh fanamu sudah tak lagi berguna bagimu. Walaupun agak keterlaluan karena kami menggunakannya sebagai bungkusan peledak, kami terpaksa melakukannya karena situasi saat ini. Anda adalah orang yang bijak dan murah hati, jadi mohon jangan tersinggung atas perbuatan kami. Beberapa saat lagi, Anda akan menguap seperti uap di sauna dan berada jauh dari urusan keduniawian serta terbebas dari semua belenggu.” Setelah mengucapkan semua itu, dia memberikan bungkukan simbolis kepada tubuh emas tersebut.
Aku langsung marah dan mulai memegangi baju dalamnya lalu menarik-nariknya turun, “Sial, kau masih sempat-sempatnya main-main bahkan pada saat seperti ini?!”
Dia meluncur turun dari pilar di sampingku dan berkata, “Kau tak mengerti! Benda ini kelihatan jahat jadi sulit untuk menjamin kalau dia takkan memberi kesialan bagi kita di masa mendatang. Selain itu, sebelumnya dia sudah duduk-duduk ganteng dan rapi di sana sampai kita memutuskan untuk memakai dia sebagai bungkus peledak. Di sini kitalah yang salah, jadi kita harus mengatakan ini setidaknya untuk memberi muka.”
Aku memaki sambil lanjut merayap turun, “Yang benar saja! Apa kau melakukan itu saat sebelumnya kau mengeluarkan jenazah bertangan dua belas dari dalam peti? Kenapa aku belum pernah melihatmu berkowtow pada yang lainnya? Dia itu cuma punya ekor panjang. Kenapa rempong begitu sih?”
Memang persis inilah bagaimana konflik antara perampok makam aliran utara dan selatan bisa sampai muncul. Bisa dibilang semuanya merupakan perbedaan dalam hal ideologi. Pangzi tidak senang dengan sikapku dan memberi dengusan kesal sebelum berpaling dan mengabaikanku.
Ketika kami akhirnya berhasil sampai ke tanah, kami melihat Muka Datar sudah menaruh A Ning di punggungnya dan mengisyaratkan pada kami agar pergi ke pojok ruangan. Kami menggeser cermin-cermin perunggu lain ke depan kami untuk dipakai sebagai tameng kalau-kalau bomnya terlalu kuat. Dengan demikian, kami bisa menghindari cidera tak disengaja kalau-kalau reruntuhannya sampai terlontar gara-gara kekuatan ledakannya. Begitu hal ini sudah beres, maka akhirnya semuanya siap. Semua yang perlu kami lakukan tinggal menunggu datangnya waktu yang tepat, di mana kami akan mengandalkan keahlian melempar tepat Muka Datar untuk melempar salah satu kaki cermin ke arah jenazah dan memicu mekanisme di perutnya. Dia hampir membunuh Pangzi ketika dia melemparkan belatinya di Istana Tujuh Bintang Lu jadi hal ini seharusnya tidak menjadi masalah baginya. Bagaimanapun juga, tak ada gunanya berusaha memikirkan metode lain pada saat ini. Seraya mulai berdoa, aku memusatkan perhatianku pada jam tanganku.
Pasang surutnya air laut memiliki pola yang tetap: pasang naik terjadi dua kali sehari, jarak waktunya dua belas jam. Pada umumnya, pasang naik bisa berlangsung selama lebih dari satu jam sebelum pasangnya mulai menyurut, dan pasang surut terjadi dua kali sehari di antara kedua pasang naik itu. Pada saat inilah ketinggian laut menjadi paling rendah, dan terkadang bahkan dasar lautnya akan terlihat.
Namun dasar laut di sini takkan sedangkal itu; kalau tidak, akan ada lebih banyak kapal yang karam di sini daripada yang sudah ada. Kurasa situasi kami akan sangat ideal kalau permukaan air lautnya turun menjadi dua meter atau kurang.
Aku tak tahu berapa lama pasang surutnya akan berlangsung – sejauh yang bisa kuingat, seharusnya sangat singkat – tapi kami harus menunggu hingga airnya masuk lewat celah di atas, yang akan butuh waktu beberapa saat. Ini berarti begitu semuanya dimulai, kami tak bisa menunda-nunda bahkan semenit pun.
Walaupun aku berkata demikian, ini masih merupakan perkiraan optimis. Bagaimanapun juga, hal-hal lain yang tak diharapkan mungkin saja terjadi, yang akan membuat kami harus menyesuaikan diri berdasarkan pada situasinya. Semakin aku terus bicara tentang rencana yang telah kupikirkan, aku jadi semakin dan semakin tidak yakin. Kalau situasinya tidak berlangsung sesuai dengan yang kuharapkan dan seluruh langit-langitnya runtuh, maka aku akan benar-benar bersalah kepada yang lainnya. Dengan pemikiran-pemikiran ini terus berputar di kepalaku, mau tak mau aku jadi gugup. Pangzi, melihat ekspresiku dan tampaknya menyadari kalau aku merasa agak tidak tenang, bertanya cemas, “Kalian berdua, katakan yang sebenarnya padaku. Apa kalian tidak yakin kalau ini akan berhasil?”
Aku tak tahu bagaimana harus menanggapi jadi aku hanya memberikan jawaban mengambang, “Sulit untuk menerka bagaimana semuanya akan berjalan berdasarkan pada situasi kita saat ini. Bagaimanapun juga, sekarang sudah terlambat untuk mundur. Kita hanya bisa menunggu dan melihatnya.”
Pangzi mendesah, “Sumpah, semakin kau bertingkah seperti itu, semakin panik aku jadinya. Kau bilang harus menunggu, tapi bagaimana kalau benda itu tidak meledak? Apa kalian punya rencana cadangan? Kalau punya, cepat katakan padaku sehingga pikiranku bisa tenang.”
“Ada satu cara,” kataku padanya. “Yaitu seperti yang telah kau katakan sebelumnya – kembali melewati jalan yang sama dengan saat kita datang dan lihat apakah ruang kiri tempat kita memasuki makam ini sudah muncul kembali. Kalau tidak, satu-satunya alternatif kita lainnya adalah tetap tinggal di sini dan menunggu kelompok orang ketiga masuk dan menyelamatkan kita.”
“Dan berapa lama kita akan harus menunggu?” Pangzi bertanya. “Apa yang harus kita lakukan kalau mereka tidak masuk? Menunggu seumur hidup? Kalau begitu makam ini akan menjadi makam mayat hidup di bawah laut Xisha, dan Mojin Xiaowei akan punah.”
“Maksudku, walaupun tempat ini aneh dan berbahaya serta kita takkan bisa pergi selama beberapa waktu, belum tentu kita akan langsung mati,” kataku meyakinkan. “Asalkan kita punya waktu, kita bisa memikirkan rencana-rencana kita dalam jangka panjang dan mencari jalan keluar. Kau lihat, di sini ada banyak ruang jadi ada cukup udara untuk bertahan selama beberapa hari. Kurasa mungkin bahkan cukup untuk bertahan selama seminggu kalau kita lebih banyak tidur, tidak terlalu banyak bergerak, dan berusaha menghemat udara sebanyak mungkin.”
Pangzi tak percaya dan berkata, “Mungkin memang udaranya cukup tapi kau kan juga harus makan. Kita ini bukan berada di gunung atau hutan. Jelas tak ada apa-apa di sini, bahkan tak ada angin baratlaut untuk diminum*. Aku lebih suka mati sesak daripada mati kelaparan.”
(T/N: frase aslinya adalah ‘meminum angin baratlaut’, yang berarti hidup hanya dengan menghirup udara. Ini adalah suatu kondisi dalam Tao di mana tak perlu makan atau minum apa-apa lagi. Saat ini, istilah ini biasanya berarti tak punya apa-apa untuk dimakan saking miskinnya.)
Aku tertawa dan berkata, “Manusia selalu bisa menemukan pemecahannya. Lihatlah tubuh gemukmu ini. Kau takkan mati kelaparan dalam waktu seminggu, tapi kalau kau memang benar-benar lapar, selalu ada si monyet laut. Kalau kau masih lapar setelah memakannya, maka ada Wanita Terlarang di bawah sana. Kita bisa menangkap dia dan mengeluarkan isi perutnya.”
Pangzi mulai jadi ceria ketika mendengarnya – dia adalah jenis orang yang akan jadi bersemangat asalkan ada orang yang berdebat dengannya – dan kemudian menepuk-nepuk bahuku, “Luar biasa, yang kau bilang itu memang cocok dengan gayaku. Untuk membuat revolusi, orang harus tak kenal takut. Sepertinya kali ini kau benar-benar sudah jauh lebih dewasa.”
Aku juga cukup terkejut ketika menyadari apa yang baru saja kukatakan, dan mau tak mau aku jadi bertanya-tanya kenapa aku mulai bicara sembarangan seperti itu. Tampaknya Pangzi sudah memengaruhiku bahkan tanpa kusadari. Tapi tidak, aku tak boleh jadi seperti Pangzi. Aku tak mau terus berdebat dan memusatkan perhatianku pada jam tanganku sebagai gantinya. Masih ada sisa waktu lima menit tapi aku memberitahu Muka Datar untuk mulai bersiap-siap. Bagaimanapun juga, kalau kami ingin menyulut bom pada saat ini, seharusnya tak terlalu banyak perbedaan. Ditambah lagi aku tak mau kami menunggu terlalu lama dan melewatkan kesempatan kami – jenazahnya tidak terikat kencang pada pilar jadi kalau sampai jatuh dan meledak di bawah, urusannya jelas takkan jadi bagus.
Muka datar menimang-nimang kaki cermin di tangannya dan mengangguk mengiyakan, tapi pada saat ini, mendadak Pangzi berseru, “Apa-apaan? Di mana muminya?” Begitu mendengar perkataan ini, kami langsung mendongak dan mendapati bahwa jenazah itu tak lagi ada di pilar. Pemikiran pertamaku adalah bahwa kami mengikatnya terlalu kendur dan jenazahnya sudah jatuh, tapi saat aku melihat ke tanah di bawah, aku sama sekali tak melihat apa-apa di sana. Tanpa sadar aku memaki – kami benar-benar telah bertemu dengan situasi yang aneh!
Tak pernah terpikirkan olehku kalau sesuatu seperti ini akan terjadi di titik ini. Tadi aku sudah berusaha menenangkan diri dengan memberitahu diriku sendiri agar bersiap untuk berimprovisasi tak peduli apa pun yang terjadi, tapi sejujurnya saja aku tak menyangka kalau kebutuhan untuk itu akan muncul secepat ini.
“Lihat, Lihat! Sudah kubilang kan? Makhluk berbuntut sialan itu pasti jahat!” Pangzi berseru, “Cepat temukan di mana dia!”
Kami semua berlari menghampiri dan melihat bahwa benda yang kami cari-cari sedang bergelantungan ke langit-langit di belakang pilar, kuku-kukunya menancap dalam-dalam ke ukuran relief. Kulitnya yang menghitam dan keras semuanya retak-retak dan menyerpih sepotong demi sepotong, menampakkan suatu lapisan berdarah di bawahnya. Tapi dari jarak ini, aku tak bisa melihat apa sebenarnya itu dengan jelas.
Aku juga bisa melihat kalau talinya masih terikat di pinggangnya. Karena tali itu terbuat dari carikan baju selam elastis kami, tali itu masih terikat kuat di tubuhnya sehingga dia tak bisa melepaskan diri, tapi menilik dari situasi saat ini, hal itu takkan berlangsung lama.
Pangzi memandanginya dan berseru, “Cepat! Nyalakan bomnya sebelum dia kabur!!”
Pangzi tak perlu meributkannya – sebelum kata-kata itu bahkan sempat keluar dari mulutnya, Muka Datar sudah bergerak. Aku mendengar suara dari sesuatu yang membelah udara dan cahaya hijau kebiruan memelesat lalu mengenai mumi itu tepat di bagian perut.