Grave Robber Chronicles - Chapter 74
Muka Datar bergerak begitu cepat sampai-sampai aku hanya sempat berteriak. Kami semua masih berdiri di tengah ruangan, sepenuhnya tak terlindung, jadi kami pasti akan terkena dampak kalau bomnya benar-benar meledak.
Tapi pada saat aku terpikir untuk memperingatkan dia, semua sudah terlambat – aku melihat cahaya putih tiba-tiba memancar di depan mataku dan kemudian Pangzi melemparku ke tanah. Terdengar suara keras yang dengan cepat diikuti oleh seluruh makam terguncang hebat dan kemudian gelombang udara panas yang dihasilkan oleh ledakan membuat kami terpelanting. Aku berputar enam atau tujuh kali di udara sebelum menghantam dinding yang terletak sepuluh meter jauhnya.
Rasanya sungguh menyakitkan, tapi untuk saja, Pangzi telah melemparku ke tanah sebelumnya. Kalau tidak, leherku pasti akan sudah patah. Sesaat aku kehilangan kesadaran ketika menghantam dinding dan mengira kalau aku sudah mati karena tak bisa melihat apa-apa dan semua yang bisa kudengar adalah dengungan di telingaku. Tapi beberapa saat kemudian, tiba-tiba muncul cahaya di depan mataku. Aku berusaha membukanya tapi langsung disambut oleh pemandangan langit dan bumi yang berpusar memusingkan lalu awan kekuningan dan debu kelabu memenuhi pandanganku. Aku merasa sangat pusing hingga rasanya ingin muntah.
Aku bisa mendengar suara-suara tak beraturan ketika aku terhuyung bangkit, tapi tak tahu suara apa itu. Semua yang kutahu adalah ada banyak suara dan sekarang kepalaku rasanya seperti dibelah. Tapi di tengah-tengah semua kekacauan ini, Muka Datar yang terbatuk-batuk tiba-tiba berlari dari tengah asap dan bertanya, “Kau tak apa-apa?”
Rasanya aku kesulitan untuk berkata-kata, jadi aku hanya melambaikan tanganku padanya untuk mengindikasikan kalau aku baik-baik saja. Kemudian, kami berdua menutupi mulut kami lalu pergi mencari Pangzi. Aku baru berjalan beberapa langkah sebelum tiba-tiba melihat dia sedang terduduk di tanah, sepotong kecil daging telah hilang dari bahunya. Bagian ini pasti telah tersambar lepas oleh sebongkah bata yang terlontar akibat ledakannya. Begitu dia melihat Muka Datar, dia langsung mengeluarkan serentetan makian, “Kampret, kau bergerak terlalu cepat! Setidaknya tunggu hingga kami mundur beberapa langkah lebih dulu! Kalau saja aku berdiri dua senti saja lebih ke samping, sekarang ini aku akan sudah kehilangan satu tangan!”
Muka Datar mengulurkan tangannya sehingga kami bisa melihat kaki cermin yang masih digenggamnya. “Kau salah sangka, yang barusan tadi bukan aku.”
“Eh?! Jadi bukan kamu?!” Kami sama-sama syok berbarengan.
Kekuatan yang barusan tadi, ketepatannya… jelas pasti berasal dari orang yang lihai. Tapi kalau bukan dia, maka siapa lagi? Pangzi barusan tadi berdiri di sebelahku, dan hanya dengan melihat dia saja aku sudah tahu kalau daya incarnya tidak terlalu bagus. Aku jelas-jelas tak mampu melakukan hal semacam itu, yang berarti sisanya hanya ada satu orang. Mendadak aku dapat inspirasi dan buru-buru berbalik untuk melihat di mana A Ning berada.
Pangzi memikirkan hal yang sama denganku, jadi kami berdua pun berlari ke sudut untuk memeriksa apakah dia masih ada di sana. Tapi saat kami sampai ke sana, kami tak bisa menemukan jejaknya sedikit pun. Pangzi memaki, “Si Jalang itu! Ternyata dia memang pura-pura!”
Ekspresi Muka Datar sarat dengan ketidakpercayaan – tampaknya dia yakin dengan penilaiannya barusan tadi dan bahkan tidak pernah membayangkan kalau dia mungkin akan membuat kesalahan. Diam-diam aku memberitahu diriku sendiri kalau aku akan harus menilai ulang semua yang kuketahui tentang wanita ini. “Dia benar-benar hebat,” kataku. “Aku sudah pernah melihat beberapa orang cerdik dalam bisnis ini tapi aku tak pernah melihat ada orang yang bisa berpura-pura gila seperti itu.”
“Menurutku dia bukan cuma cerdik,” Pangzi berkata, “dia pantas dapat Oscar. Lain kali kalau aku menangkap dia, aku nggak akan percaya pada apa pun yang dia lakukan.” Setelah berkata demikian, Pangzi mengambil sebuah benda untuk dijadikan senjata dan mulai mencari A Ning, tapi Muka Datar langsung mencekalnya dan berkata, “Sudah tak ada waktu, lupakan saja.”
Aku juga berusaha membujuknya, “Jangan sampai teralihkan. Yang paling penting bagi kita saat ini adalah melihat apakah langit-langitnya sudah berhasil diledakkan atau belum! Kalau kau tak bisa melepaskan amarahmu, maka tunggulah sampai kita berhasil keluar dari sini.” Tapi bahkan sebelum kata-kata itu meninggalkan mulutku, suatu suara yang sangat dipanjangkan dan penuh duka tiba-tiba terdengar dari atas, seakan ada sesuatu yang sedang patah perlahan. Suara itu tidak keras tapi sudah cukup untuk membuat jantungku melompat ke tenggorokan. Nggak mungkin, batinku dalam hati. Kau sudah siap untuk runtuh setelah cuma kena satu ledakan? Ayo beri aku muka sedikit saja.
Pada mulanya Pangzi masih tak terima, tapi ketika dia mendengar suara ini, wajahnya memucat dan dia bertanya padaku, “Suara apaan itu? Xiao Wu, melihat situasi ini, tampaknya lubang hasil ledakannya lebih serius daripada yang kau bilang.”
Aku mendongak untuk menatap lubang yang dihasilkan oleh ledakannya dan dibuat tak mampu berkata-kata. Bom yang ada di dalam perut mumi itu ternyata sangat kuat jauh melampaui perkiraanku – sambungan-sambungan besi yang ada di langit-langit telah diledakkan, menciptakan lubang yang diameternya kurang dari setengah meter, dan lapisan kedap air yang tersegel rapat di atasnya sudah tertembus, yang berarti air lautnya sekarang tertumpah ke dalam makam seperti air terjun kecil. Suara aneh yang barusan kudengar tadi adalah suara air terjunnya yang semakin dan semakin membesar. Kurasa hanya butuh waktu sebentar sebelum lubangnya benar-benar runtuh.
Pilar nanmu emas di samping juga terkena dampak ledakannya – sebuah retakan besar kini menjalar dari atas hingga ke dasar, dan ada tanda-tanda kalau pilarnya akan roboh. Sekarang pilar yang berharga ini tak lebih dari kayu rongsokan.
Salah satu balok langit-langit yang ditopang oleh pilar ini juga sepertinya telah terpengaruh oleh ledakan dan kelihatan siap untuk runtuh. Berdasarkan suara yang keluar darinya, pasti ada retakan-retakan yang mulai menjalar di sepanjang balok itu. Bahkan meski sekarang belum, sebentar lagi pasti akan jatuh.
“Tidak apa-apa,” aku menenangkan Pangzi, “Jangan khawatir. Makam ini jauh lebih kuat daripada makam-makam biasa. Asalkan tak terjadi gempa bumi, makam ini pasti takkan runtuh.”
Tapi sebelum aku selesai bicara, tanah di bawah kaki kami tiba-tiba mulai berguncang. Aku sudah lama mengantisipasi bahwa struktur kedap udara dari makam bawah air ini akan dihancurkan oleh ledakan itu dan air laut dari bawah akan mulai naik, tapi aku tak mengangka kalau hal itu akan terjadi secepat ini. Aku begitu gugup sehingga mau tak mau mulai merasa pusing.
Intensitas guncangannya yang semakin meningkat benar-benar menakutkan, tapi aku lebih fokus pada rasa takut yang lebih terpapang nyata – kalau situasinya terus berkembang pada kecepatan ini, maka lantai tempat kami berdiri mungkin akan runtuh sebelum langit-langitnya. Pangzi begitu ketakutan sampai-sampai dia mulai berseru, “Ada apa ini?! Kenapa tanahnya berguncang sekuat ini? Apa ini benar-benar gempa bumi? Kubilang, Xiao Wu, sebenarnya apa yang barusan tadi telah kita ledakkan?”
Aku menjelaskan apa yang sedang terjadi dan kemudian berkata, “Tidak apa-apa, ini sepenuhnya normal. Tapi bersiaplah. Tak lama lagi air mungkin akan menyembur dari semua retakan di sini. Kau harus berjaga-jaga karena tekanannya begitu kuat sehingga akan terasa seperti kalau kau ditinju dan mungkin bahkan akan membuatmu pingsan.” Begitu aku berkata demikian, tiba-tiba kami semua mendengar suatu suara aneh, dan kemudian lempeng batu yang telah menutupi terowongan perampok makamnya tiba-tiba dilontarkan ke udara oleh arus air yang deras, air laut menyembur setinggi kira-kira tujuh atau delapan meter seperti air mancur. Tapi sebelum aku bisa bereaksi, kulihat ada benda lain yang datang memelesat keluar dari dalam terowongan, menabrak langit-langit, dan kemudian terjatuh kembali ke atas panggung batu di tengah ruangan. Aku tak bisa melihat benda apa itu karena semuanya terjadi sedemikian cepatnya, tapi tak ada hal lain di dalam terowongan itu selain si Wanita Terlarang.
Akan jadi masalah kecil kalau benda itu memang dia, tapi kemudian lagi, ini mungkin bisa jadi masalah besar karena tak mungkin bisa membakar dia di dalam air. Ditambah lagi, kami akan benar-benar tamat kalau kami sampai terjerat lagi dalam rambutnya.
Tapi sayangnya, saat ini aku tak sempat memikirkan soal dia. Seluruh lantai di sekitar terowongan perampok makam menggembung seperti erupsi gunung berapi karena airnya terus mendesak naik, mengisi ruangan dengan kecepatan sangat tinggi. Permukaan air naik dengan sangat cepat, sebenarnya, hampir seketika kami sudah mengambang setinggi lima atau enam meter di atas permukaan tanah.
Aku mengedarkan pandangan untuk mencari A Ning karena pada saat ini asap dari ledakan sudah hampir memudar, tapi aku masih tak bisa melihat dia. Kurasa dia sedang bersembunyi di belakang pilar-pilar itu. Pangzi bukan perenang yang terlalu hebat dan sedang berjuang untuk bisa terus mengambang jadi dia tak sempat memikirkan soal A Ning lagi, tapi hanya ada satu jalan keluar di sini. Tak peduli apa pun yang terjadi, beberapa menit lagi kami pasti akan berpapasan satu sama lain. Pangzi mengedip padaku – mungkin masih ingin mempersulit A Ning – tapi aku tahu kalau aku takkan bisa membuat diriku sendiri memukul seorang wanita jadi aku mengabaikan saja Pangzi.
Kami mengambang selama beberapa menit lagi hingga akhirnya kepala kami mencapai langit-langit dan kemudian tiba-tiba Pangzi berenang ke samping. Aku tak tahu apa yang ingin dia lakukan jadi aku berseru padanya, “Semuanya akan berakhir kalau kau tidak bergegas dan kembali kemari! Apa yang kau lakukan? Kau nggak mau hidup lagi?”
Dia berenang lurus menuju salah satu mutiara malam di langit-langit, menjatuhkannya dengan benda yang masih digenggamnya, dan kemudian menjejalkan mutiara itu ke dalam kolornya sebelum berenang kembali ke arah kami. “Aku cuma ingin satu barang kecil untuk mengkompensasi guncangan mental yang telah kualami,” dia berkata. “Siapa tahu, mungkin saja aku akan dapat keuntungan lumayan dari benda ini.”
Aku hampir memutuskan untuk mencekik dia akrena aku tak bisa memikirkan kata-kata yang cukup untuk memaki dia, tapi waktunya tidak cukup – tiba-tiba air sudah mencapai mataku. Aku memiringkan hidungku dan dengan rakus berusaha menarik napas dalam-dalam beberapa kali. Beberapa detik kemudian, telingaku terasa dingin dan sekujur tubuhku pun terbenam dalam air.
Aku mengisyaratkan pada Pangzi agar naik duluan karena dia adalah perenang terburuk, tapi dia menggelengkan kepalanya dan menunjuk pada perutnya, mengindikasikan kalau dia terlalu gemuk. Kalau dia sampai menyangkut di dalam lubang, maka semua orang akan mati sama-sama di bawah sini. Aku mengangguk dan berenang lebih dulu ke dalam lubang, mendapati bahwa lubang ini lebar di bagian bawah dan menyempit di atas. Begitu aku mencapai puncaknya, aku bertemu dengan lapisan pasir longgar yang tebalnya sekitar tujuh belas atau delapan belas jengkal. Pasir itu terus berjatuhan ke dalam lubang, membentuk kabut putih di dalam air yang membuatku mustahil membuka mata. Aku menendangkan kakiku kuat-kuat dan pada akhirnya berhasil berenang naik dan keluar dari dalam lubang.
Kami telah memperhitungkan waktunya dengan sempurna sehingga permukaan airnya rendah, tapi aku sudah mencapai batasanku dan tak sanggup lagi menahan napas. Rasanya aku seperti akan pingsan ketika mati-matian berenang naik, tapi dengan cepat kepalaku memecah permukaan air dan aku langsung menghirup udara banyak-banyak.
Beberapa detik kemudian, Pangzi dan Muka Datar juga muncul di permukaan nyaris bersamaan. Pangzi mulai tersedak, batuk-batuk, dan tertawa pada saat bersamaan, “Kampret! Nggak pernah kusangka kalau ini akan berhasil! Wang Pangzi akhirnya berhasil keluar! Haha!”
Aku menenangkan diri dan melihat sekelilingku, mendapati kalau saat ini matahari sudah terbenam. Awan-awan kemerahan di cakrawala terpantul pada permukaan air, menjadikannya suatu pemandangan yang amat memikat, dan matahari itu sendiri tampak merah pekat, cahaya redupnya membungkus semuanya dalam pendar lembut dan remang. Seluruh pemandangan ini luar biasa indah dan syahdu.
Dalam perjalanan kami kemari, aku sudah melihat matahari terbenam beberapa kali, tapi aku tak pernah melihat yang secantik ini. Mau tak mau hatiku jadi dipenuhi oleh emosi, tapi kemudian perhatianku teralihkan ketika kakiku mulai keram. Buru-buru aku menoleh untuk mencari kapal kami dan menghembuskan napas lega ketika aku mendapatinya tertambat di karang tak jauh dari tempatku berada. Dengan adanya kapal di sini, aku bisa keluar dari lautan penderitaan ini dan tidur dengan nyenyak.
Setelah kesadaran Pangzi kembali, dia sepertinya teringat sesuatu dan tiba-tiba kembali menyelam ke dalam air. Aku mengikuti dia, hanya untuk melihat bahwa A Ning sedang terjebak di dalam lubang. Dia sedang meronta mati-matian tapi sepertinya tak bisa keluar.
Aneh sekali. Wanita ini jauh lebih kurus daripada Pangzi, dan Pangzi berhasil keluar dengan baik. Tidak masuk akal kalau dia sampai menyangkut seperti ini.
Tampak jelas kalau A Ning sudah hampir kehabisan napas. Kemudian, tiba-tiba tenggorokannya mengencang, aliran gelembung dalam jumlah besar keluar dari dalam mulutnya, dan matanya mulai berputar ke belakang kepalanya. Aku dan Pangzi menyelam dan masing-masing dari kami meraih satu lengannya lalu mulai menariknya naik.
Barulah pada saat ini aku menyadari bahwa ada suatu kekuatan yang menarik dia kembali ke dalam lubang, tapi pada akhirnya kekuatan gabungan dari kami lebih unggul. Setelah hanya melakukan tarik tambang satu putaran, akhirnya A Ning berhasil ditarik keluar dari dalam lubang. Ada seonggokan besar rambut membelitnya, dan aku langsung tahu apa yang sedang terjadi.
Kini lubang itu tertutup oleh rambut hitam, yang berarti bahwa si Wanita Terlarang mungkin akan segera merayap keluar. Lebih baik tidak berlama-lama lagi di dalam air. Begitu kami sampai ke permukaan, Pangzi memeriksa apakah A Ning masih hidup. Sekujur tubuhnya lemas seakan dia telah kehilangan seluruh tenaganya tapi dia masih bernapas. Kami bertiga pun berenang kembali ke kapal dan menarik dia naik, tapi kami langsung tahu kalau urusannya tidak bagus karena dia terus-terusan memuntahkan air dan matanya berputar ke belakang.
Aku tak terlalu banyak tahu soal menyadarkan orang yang tenggelam jadi aku berseru, “Kapten! Ada yang tersedak air! Cepat kemari dan tolonglah!”
Aku berteriak dua kali tapi terkejut ketika aku tak mendapat respon sama sekali. Aku menyuruh Pangzi agar terus mengawasi A Ning dan kemudian berjalan memasuki kabin kapal untuk melihat keadaan. Setelah memutari seluruh kapal, mau tak mau aku jadi bertanya-tanya kenapa tak ada seorang pun di sini. Tiba-tiba suatu perasaan ganjil menyergapku dan dalam hati aku berpikir, mustahil. Kami kan ada jauh di tengah laut jadi bagaimana bisa semua orang yang ada di dalam kapal menghilang? Kalau mereka pergi berenang, mereka seharusnya meninggalkan setidaknya beberapa orang untuk mengawasi kapalnya.
Aku berteriak beberapa kali lagi tapi Pangzi adalah satu-satunya orang yang merespon. Ketika dia berlari masuk dan bertanya apa yang sedang kulakukan, aku mengisyaratkan pada kabin yang kosong dan berkata, “Kita dapat masalah. Tak ada seorang pun di kapal ini!”
Sedetik Pangzi membeku dan kemudian juga melihat sekeliling. Ketika dia menyadari kalau aku tidak bercanda, dia menggaruk kepalanya dan berkata, “Benar-benar tak ada seorang pun di sini. Tapi ikan di dalam palka masih hidup, yang berarti bahwa mereka masih memancing setengah jam yang lalu. Mereka bisa pergi ke mana dalam waktu sesingkat ini?”