Heroine Saves A Gentleman - Chapter 2
Setelah hidup seperti ini selama dua hari, Zhou Xiaoxiao dibangunkan oleh suara mendadak saat dirinya tidur di kamar pelayan pada suatu malam.
Dia berbalik untuk turun dari ranjang setelah mendengar ribut-ribut yang datang dari kerumunan di luar.
“Bandit! Bandit! Mereka adalah bandit gunung!” seseorang berseru.
Zhou Xiaoxiao berlari keluar dari kamarnya dan melihat pemandangan samar di bawah cahaya obor. Di luar pintu masuk halaman, para pria berteriak, dan kuda-kuda meringkik; suaranya sungguh memekakkan telinga.
Di dalam halaman bahkan lebih heboh lagi; beberapa orang wanita pelayan yang lebih tua hanya menyampirkan baju mereka di atas tubuh, dan rambut mereka juga berantakan. Mereka berlarian ke segala penjuru, tidak memahami situasi yang sedang mereka alami. Para prajurit berlalu-lalang dengan cepat dengan membawa pentungan.
Bibi Li, yang selalu memakai otoritasnya untuk menganiaya Dujuan kini sedang panik. Rambutnya bahkan tidak diikat dengan benar saat dia berteriak pada Zhou Xiaoxiao, “Apa yang harus kita lakukan sekarang, Dujuan?! Para bandit akan datang!”
Saat dia melihat pemandangan yang kacau-balau itu, Zhou Xiaoxiao memutar matanya dengan dalam perenungan. Kemudian, dia tiba-tiba menyadari kalau ini mungkin adalah kesempatan terbaiknya untuk melarikan diri.
Para bandit gunung menjarah tempat itu. Meski mereka tidak mendobrak ke dalam halaman, bukanlah hal besar bila seseorang menghilang. Tak ada seorang pun yang akan sempat mencarinya setelah insiden tersebut. Sekarang saat semua orang pergi ke bagian depan halaman selama terjadi kekacauan, dia bisa pergi lewat pintu belakang dan berjalan mendaki gunung, akan lebih mudah baginya untuk bersembunyi di dalam gua. Tetapi kalau dia tidak pergi sebelum para bandit mendobrak masuk untuk merampok dan membunuh, maka kecelakaan bisa saja terjadi.
Setelah menetapkan pikirannya, dia langsung bertindak. Zhou Xiaoxiao berbalik dan berjalan memasukikamar untuk mengenakan celana dan baju katunnya. Dia menghindari kerumunan dan pergi langsung menuju ke halaman belakang.
Saat dia melewati Kamar Timur, dia menyadari betapa sunyi nan menggiriskannya tempat itu. Zhou Xiaoxiao tiba-tiba dapat ide baru. Dia berjalan ke arah pintu dan dengan hati-hati mengintip ke dalam dan melihat kalau tak ada seorang pun di dalam kamar itu.
Dia merundukkan punggungnya seperti seekor kucing dan berjalan ke dalam ruangan. Tak ada sebatang lilin pun yang dinyalakan dan ruangan itu gelap serta sunyi. Zhou Xiaoxiao diam-diam mencari di antara kotak-kotak di situ dan menemukan sebuah kotak harta dari cendana merah. Membuka kotak itu, dia menemukan banyak harta, peralatan, dan kumala.
Dia tak bisa menahan senyumannya, berpikir kalau dia takkan perlu mencemaskan tentang bagaimana dia akan bertahan hidup di periode waktu yang tidak dikenalnya sama sekali. Dia memilih beberapa barang kumala yang ringan dan memasukkannya ke dalam tasnya, siap untuk pergi.
Cahaya bulan menyorot ke dalam ruangan lewat jendela, Zhou Xiaoxiao tiba-tiba menyadari kalau ada sepasang mata yang mengawasi dirinya.
Hawa dingin yang mendadak merembet naik di punggungnya, membuatnya bergidik.
Perlahan dia berbalik dan melihat sebentuk bayangan panjang dalam ruang gelap di belakangnya. Ternyata itu adalah seseorang dengan tangan terikat ke atas palang atap dan tubuhnya perlahan berputar di udara karena kakinya tak mampu mencapai lantai. Sepasang mata yang hampa dan dingin menatap lurus ke arahnya.
Zhou Xiaoxiao nyaris memekik kaget. Menyadari bahwa tak ada suara sedikit pun yang keluar dari orang itu, perlahan dia menenangkan dirinya sendiri.
Dia menghampiri lebih dekat pada orang itu dengan bantuan cahaya bulan dan mendapati kalau orang ini adalah pria yang yang telah dia temui dua hari yang lalu. Tangannya terikat naik pada balok atap dan orang itu bahkan tak bersuara saat dalam diam mengamati Zhou Xiaoxiao dengan sepasang mata yang berair.
Zhou Xiaoxiao mengalami konflik batin dengan dirinya sendiri, namun sekali lagi kebaikannya menang. Dia membantu orang itu turun dari balok atap.
Orang itu terluka parah; dia hanya meronta beberapa kali sebelum jatuh terbaring di lantai, kelelahan.
Zhou Xiaoxiao mengeluarkan sebilah pedang tajam dari dinding dan memotong tali yang mengikat pria itu. Setelahnya, dia mengambil mantel wol untuk menyelimuti tubuh pria itu yang tak bergerak.
“Tempat ini telah diterobos oleh para bandit gunung dan saat ini kondisinya luar biasa kacau-balau. Kau… harus berdoa memohon keajaiban kepada para dewa agar bisa keluar dari sini hidup-hidup.” Dia meninggalkan kalimat tersebut pada pria itu saat dia memelesat ke dalam cahaya bulan dan menyelinap ke dalam hutan yang penuh dengan salju.
Hutan saljunya sunyi senyap dengan langit kelabu dan bayang-bayang mengancam yang mengintai di dekatnya. Kesunyian tanpa akhir dalam kegelapan menghadirkan rasa takut paling mendasarnya.
Zhou Xiaoxiao terseok-seok di atas salju, meninggalkan jejak kaki dalam yang diikuti oleh jejak kaki ringan, namun dia mau tak mau jadi menyesalinya. Meski dia sangat mengenal hutan ini, ternyata dia masih meremehkan horor saat berjalan di gunung pada malam musim dingin yang bersalju.
Tak usah menyebutkan bahwa suhu udaranya telah turun hingga dua puluh derajat, kegelapan dan kesunyian di dalam hutan ini saja telah mendatangkan tekanan mental tanpa akhir; terutama pada Zhou Xiaoxiao, yang dahulu tinggal di kota yang makmur. Kesunyian yang senyap di dalam hutan membuatnya tak mampu menekan rasa takutnya.
Bukit yang sepertinya begitu mudah untuk didaki saat siang hari kini rasanya seperti sebuah perjalanan tanpa akhir dalam cuaca yang membekukan dan gelap ini. Kau bisa melakukannya, Zhou Xiaoxiao. Jangan takut, sekarang kau bukan wanita yang tak berdaya. Kau adalah Zhou Dujuan. Seberapa kuat tubuh Zhou Dujuan? Tubuhnya lebih kuat daripada sapi, dan bahkan bisa disejajarkan dengan King Kong! Tak ada yang perlu ditakutkan. Dia mengulang-ulang kalimat itu pada dirinya sendiri seraya mengabaikan suara-suara menakutkan yang datang dari dalam hutan.
Dia bisa mendengar suara samar dari kuda yang berderap di belakangnya saat perlahan-lahan menjadi lebih dan lebih keras lagi.
Zhou Xiaoxiao segera bersembunyi di belakang sebatang pohon besar. Dia melihat seekor kuda putih berkeliaran tanpa tujuan di sepanjang jalan dengan seseorang berada di atas punggungnya. Dia tak tahu apakah orang itu sudah mati atau masih hidup.
Saat kuda itu semakin dekat, hewan itu melambat dan orang yang menungganginya terjatuh. Tubuh orang itu terbaring tak bergerak pada tanah bersalju.
Apa orang ini sudah mati? Zhou Xiaoxiao mengamati selama sesaat dari balik pohon, kemudian akhirnya menampakkan dirinya sendiri dan mengulurkan tangan pada tali kekang si kuda. Kalau dia menunggangi kuda itu, maka akan jadi jauh lebih cepat.
Persis saat tangannya mencapai tali kekang, suatu suara memelesat dari belakang dan tiba-tiba, sebilah pedang yang dingin dan tajam menempel pada lehernya.
Dari sudut matanya, dia melihat seorang pria berdiri di belakangnya sambil menggenggam sebilah pedang yang berkilau.
Pedang itu menggeseknya. Begitu menyentuh kulitnya, dirasakannya setitik darah menetes dari lehernya dan mengenai dadanya. Sekujur tubuh Zhou Xiaoxiao menjadi kaku dan rasa takut mencekam hatinya.
Dirinya terbunuh pada kehidupannya yang lampau oleh senjata tajam dan pelakunya adalah seorang laki-laki. Ingatan mengerikan saat menyaksikan dirinya sendiri terbaring di atas tanah yang dingin dengan darah terkuras dari tubuhnya menelan dirinya.
Bibirnya gemetar, dan dia memohon dengan suara gemetar, “Jangan… jangan bunuh aku….”
“Kamu?” Sebuah suara yang dalam terdengar dari belakang.
Pedang yang dingin di lehernya menghilang.
Zhou Xiaoxiao berbalik dan melihat pria yang sebelumnya telah dilepaskannya dari balok atap.
Pria itu mengenakan mantel kulit yang Zhou Xiaoxiao kenakan pada dirinya sebelum pergi dan menggenggam pedang yang Zhou Xiaoxiao pergunakan untuk memotong tali yang mengikatnya. Pedang itu nyaris memotong kepalanya barusan tadi.
Kaki si pria tampak tidak cocok untuk berjalan; dia nyaris tak bisa berdiri bahkan dengan bantuan sarung pedang. Dia mengarahkan ujung pedangnya ke tanah dan memakainya sebagai penopan untuk menyeret kakinya yang patah, bergerak dua langkah dan duduk di bawah pohon cedar di tepi jalan.
Zhou Xiaoxiao merasa agak menyesal, karena dia bersikap begitu panik barusan tadi. Dia seharusnya bersikap lebih tenang. Bagaimana bisa dia dibuat ketakutan oleh orang yang sedang terluka parah?
Untung saja, orang ini cukup etis sehingga tidak membalas air susu dengan air tuba. Zhou Xiaoxiao menepuk-nepuk dadanya untuk menenangkan hatinya.
“Kau bisa pergi.” Orang itu berkata pelan, “Bawa kudanya.”
Zhou Xiaoxiao gembira dan mengangguk. Orang yang baik. Ini adalah orang yang baik. Dia jelas tahu bagaimana membayar kebaikannya. Buru-buru Zhou Xiaoxiao naik ke atas kuda itu dan mengarahkan kudanya untuk maju beberapa langkah, hingga dia teringat untuk berbalik dan melihat ke belakang.
Dilihatnya orang itu duduk di bawah pohon cedar besar, wajah cekungnya sepucat salju dengan alis bertaut erat dan bulu matanya yang merunduk rendah tampak seperti kipas. Rambut panjangnya yang berantakan terseret di atas tanah bersama dengan mantel kulitnya.
Haruskah Zhou Xiaoxiao membiarkannya mati di sini?
Aku akan membawa dia sampai jarak tertentu dan membiarkan dia menunggangi kudanya sendirian di tengah jalan.
Zhou Xiaoxiao mengarahkan kudanya maju dengan cambuk seraya merenung dalam hati.
Dunia ini masih sangat tergantung pada penampilan. Kalau dia tak punya wajah tampan ini, kenapa aku mau melakukan hal sebodoh ini? Seorang pelarian dengan membawa beban, oh tidak, ini sial sekali. Aku harus meninggalkan dia di tengah jalan.
Kemalangan tak pernah datang sendirian. Entah apakah karena cuaca dingin atau karena kondisi jalan yang buruk atau apakah karena si kuda tidak familier dengan penunggangnya, si kuda putih tiba-tiba mengeluarkan ringkikan panjang di tengah jalan. Hewan itu menendangkan kuku-kukunya ke udara dan melontarkan kedua orang itu dari punggungnya, kemudian si kuda berbalik dan berlari kembali ke rute tempat mereka berasal.
Si kuda berlari cepat dan sudah berada begitu jauh ketika Zhou Xiaoxiao bangkit dari tanah. Dia hanya mampu menatap orang lainnya yang sedang duduk di atas onggokan salju dengan mata dan mulut terbuka lebar.
Orang itu tersenyum mengolok diri sendiri, kemudian membersihkan salju pada pakaiannya dan berdiri untuk membungkuk pada Zhou Xiaoxiao. “Namaku Yu Xingzhi, tulisannya seperti karakter burung kukuk. Boleh kutahu namamu?”
Suaranya istimewa. Pada mulanya, terdengar seperti suara sumber air pada musim salju, namun saat Zhou Xiaoxiao mendengarkannya lagi, suaranya jadi seperti sungai musim semi yang hangat. Zhou Xiaoxiao jadi agak melamun dibuatnya.
“Aku… um… saya… uh bukan… hamba… uhuk” Ini terlalu aneh, “Namaku Zhou Dujuan.”
“Nona Dujuan, aku berasal dari Jingcheng. Ayahku – Yu Dunsu, Duke Wei, sekarang tinggal di kediaman Duke di Jingdu. Kakakku – Yu Xingyi, adalah seorang prajurit dari Dingyuan, sekarang sedang melindungi Kediaman Feng Xiang. Kalau suatu hari, kamu kebetulan melewati kedua tempat ini, silakan kirim pesan kepadaku.” Yu Xingzhi menjeda dan kemudian berkata lembut, “Katakan saja… katakan kalau aku ada di tempat ini.”
Apa yang dia maksud ‘ada di tempat ini’? Zhou Xiaoxiao terdiam sejenak, kemudian tiba-tiba memahami apa yang pria itu maksudkan. Dia ingin Zhou Xiaoxiao memberitahu anggota keluarganya kalau dia mati di tempat ini, atau dia terbunuh di sini. Bagaimanapun, dia sedang menyampaikan kata-kata terakhirnya.
“Kita masih belum sampai pada tahap itu. Aku sangat kuat, aku bisa menggendongmu sampai cukup jauh.”
Zhou Xiaoxiao memang memiliki kekuatan alamiah, sehingga mudah baginya untuk menggendong seorang pria dewasa. Akan tetapi, dalam cuaca minus dua puluh derajad ini, masih tidak mudah untuk menggendong seseorang melewati hutan salju.
Kepingan-kepingan salju mulai berguguran dari langit.
Zhou Xiaoxiao tak tahu sudah berapa lama dia berjalan di salju.
Dia sepertinya sudah tak bisa merasakan kakinya, dan jadi semakin sulit untuk bernapas. Dirinya terengah-engah, dan jantungnya berdebar kencang.
Tidak, aku tak bisa berjalan lagi.
Tinggalkan dia dan berjalanlah sendiri, Zhou Xiaoxiao terus mengulang kalimat ini dalam hati.
Namun Yu Xingzhi terus berkata di telinganya, “Biarkan aku turun, Nona Dujuan. Aku hanya perlu istirahat sebentar dan aku bisa berjalan sendiri.”
“Diamlah.” Zhou Xiaoxiao bernapas dengan berat dan kemudian mengangkat pria itu lebih tinggi lagi, “Aku tak pernah melihat ada orang yang kakinya patah tapi masih bisa berjalan.”
“Tolong turunkan aku. Kau dan aku baru saja bertemu, tapi aku telah mendapatkan begitu banyak kebaikanmu, jadi aku tak boleh menjadi bebanmu dan membuatmu mati di sini bersamaku.”
“Kita berdua takkan mati.” Zhou Xiaoxiao dibuat kesal oleh ocehan tanpa henti pria itu, jadi dia harus mengatakan rencananya pada pria itu seraya bernapas dengan berat, “Aku punya rencanaku sendiri. Setelah… setelah bukit ini, ada… akan ada pepohonan pinus yang berjajar, dan ada gua… di belakangnya… kita akan sembunyi di sana.”
Orang di punggungnya akhirnya terdiam.
Zhou Xiaoxiao menggertakkan giginya dan berjalan maju selangkah demi selangkah. Kakinya tiba-tiba terpeleset, dan dia pun terjatuh ke tanah, kehilangan semua kesadarannya.