I Raised A Sick And Weak Prince - Chapter 23
Ketika si anak berpisah jalan dengan Zhong Ganping dan berjalan kembali ke jalan utama untuk mencari bank pribadi supaya bisa menyimpan seratus dua puluh tael peraknya, Su Xi merasakan kegembiraan karena telah menghasilkan uang sendiri dan bahkan sampai membuka akun bank!
Kini karena poinnya telah mencapai 23, dia pun meminta sistem membuka dua bagian peta lagi.
Yang satu adalah Jalan Utama Ibu Kota – dia sudah lama ingin melihat Ibu Kota yang ramai.
Su Xi belum memikirkan tentang lokasi lainnya. Supaya tidak membuang-buang kesempatan membuka bagian baru, dia berniat mengesampingkan kesempatan ini terlebih dahulu untuk sementara waktu.
Karenanya, sekarang dia bisa melihat anak itu berjalan memasuki bank pribadi, menukarkan sebagian besar peraknya dengan cek dan menyimpannya, sementara sedikit uang yang tersisa tetap disimpan dalam kantongnya.
Lu Huan berjalan keluar, dengan Chang Gongwu masih mengikutinya, tak rela untuk berpisah.
Mulanya anak itu selalu sendirian, tapi sekarang ada satu orang yang sekurus lidi mengikuti di belakangnya, membuat mereka tampak seperti sepasang majikan dan pelayan.
Su Xi merasa gembira untuknya, tetapi kemudian dia melihat sosok bulat bermantel hitam anak itu berputar, lalu berkata kepada Chang Gongwu dengan ekspresi acuh tak acuh: “Jangan ikuti aku, pergilah.”
Su Xi: Sial, tak punya perasaan!
Chang Gongwu tampak hampir menangis dan nyaris berlutut: “Tuan Penolong, saya tak punya tempat tujuan! Biarkanlah saya mengikuti Anda!”
Si anak menatapnya dingin, lalu mengernyit.
Setelah menimbang-nimbang sesaat, Lu Huan memberi Chang Gongwu sebongkah perak, menyuruhnya agar membantunya menjaga kediaman di kota bagian luar serta sepetak lahan pertanian yang berada di luar Ibu Kota.
Tiba-tiba Chang Gongwu merasa seperti mendapatkan tempatnya, menyusut ingusnya, dan barulah kemudian dia pergi seraya mengekspresikan beribu terima kasih, menjalankan misi menjaga petak lahan pertanian milik anak itu.
Kemudian anak itu menurunkan pinggiran topinya dan berjalan pulang.
Saat ini di jalan utama sudah hampir senja, matahari perlahan terbenam di balik tepian dinding-dinding merah dan genting atap hijau. Banyak orang datang dan pergi, namun siluet kecil anak itu dipanjangkan oleh mentari petang untuk waktu yang lama.
Baju hitam dan bayangan kelabunya tampak hampir menyatu.
Lingkungan sekelilingnya sangat ramai. Permen, lukisan, dan kue-kue yang panas mengepul dijajakan, namun anak itu tampak tak bisa menyatu di dalamnya.
Dia sepertinya tak berminat untuk melihat-lihat, batinnya hanya punya satu tujuan dan dengan langkah-langkah bertenaga, dia menghilang dari ujung jalan utama.
Mulanya Su Xi mengira bahwa sangat sulit bagi anak itu untuk tumbuh seorang diri di Ning Wangfu sejak masih kanak-kanak. Kalau saja ada seseorang yang menemani di sisinya, anak itu pasti sangat menyukainnya.
… Tetapi kenapa anak itu tidak kelihatan membutuhkan kehadiran Chang Gongwu, ataupun orang lain di sisinya?
Dengan kata lain, dalam hati Lu Huan, hanya Su Xi yang bisa membuat anak itu berharap dan melekat secara sentimental.
Keunikan semacam ini membuat Su Xi tak tahu apakah dia harus merasa gembira atau cemas.
Gembira karena anak yang menunggu dirinya online setiap hari sangatlah imut. Cemas karena apa yang akan terjadi kalau anak itu terus tidak punya teman….
****
Di sisi lain, setelah Lu Huan berjalan pulang dari bank pribadi ke Ning Wangfu, dia melihat para pelayan bersama dengan seorang tabib istana berjalan tergesa-gesa menuju griya milik Lu Wenxiu. Tabib muda misterius itu tak bisa ditemukan, tentu saja, maka mereka hanya bisa meminta tabib istana untuk memeriksa.
Tabib istana sudah bolak-balik kemari berkali-kali, tetapi obat yang dia berikan kepada Lu Wenxiu malah membuat yang bersangkutan mengalami demam dan muntah-muntah tanpa henti….
Mulanya, di tepi sungai pada waktu itu, setelah Lu Wenxiu diselamatkan oleh Lu Huan, yang bersangkutan langsung dikelilingi oleh pelayan, yang membantu Lu Wenxiu mengeringkan airnya. Kalau saja tubuh Lu Wenxiu sedikit lebih kuat dan dia berlatih beladiri dengan lebih serius, setelah dirawat sedemikian lamanya oleh tabib istana, semestinya dia sudah menunjukkan tanda-tanda pemulihan sejak lama.
Akan tetapi Lu Wenxiu, si tolol payah ini, cuma tampak kuat di luar tapi sebenarnya lemah. Latihan-latihan harian itu tak lebih dari pertunjukan di luaran, apalagi mengenai kemampuannya untuk pulih setelah jatuh ke dalam sungai yang membeku.
Lu Huan sudah melepaskan mantel hitamnya dan mengenakan baju sehari-hari biasa. Langit sudah menjadi gelap, para pelayan yang melewatinya dengan tergesa-gesa juga tak merasakan sesuatu yang tidak biasanya.
Lentera kelinci di bawah atap Griya Kayu Bakar berayun dihembus angin, cahaya lilinnya yang benderang tampak seperti menantikan dirinya pulang. Lu Huan masih berada jauh di tengah hutan bambu. Ketika dia melihat pendar api lilin mungil itu, hatinya langsung merasakan setitik kehangatan.
Sebelumnya, kamarnya selalu hitam pekat, tetapi sejak orang itu memberinya lentera kelinci, setiap hari sebelum dia pergi, secara khusus dia akan memilin sumbu lenteranya, lalu menyalakannya.
… Dengan cara ini, ketika dia pulang saat petang, akan ada sesuatu yang menunggunya.
Dia kembali ke Griya Kayu Bakar dan bergegas melangkah ke dalam kamar. Tentu saja, hal pertama yang dia lakukan adalah memeriksa ukiran kayu yang ada di atas meja. Beberapa hari ini, dia telah mengukir sejumlah mainan sebagai hadiah untuk orang itu, dan tanpa disangka-sangka orang itu menerima semuanya.
Meski orang itu tak meninggalkan pesan sepatah kata pun, pertukaran di antara mereka berdua, setidaknya telah meyakinkan Lu Huan – bahwa orang itu masih ada, orang itu belum menghilang secara tiba-tiba.
Hari ini juga sama, benda kecil yang telah dia ukir pada malam sebelumnya sudah diambil.
Berarti, semalam orang itu juga datang.
Di bawah cahaya lilin, Lu Huan menatap meja tempat ukiran itu telah diambil, wajah bersihnya berselimut cahaya hangat, sorot dingin di matanya telah sedikit menghangat.
… Namun segera setelahnya, seakan timbul suatu pemikiran tiba-tiba, cahaya sekilas di matanya mendadak lenyap.
Dengan membisu Lu Huan menatap meja yang ada di sudut.
Meski telah ditentukan bahwa orang itu masih ada, bagaimanapun, sebelas hari telah berlalu, namun dia masih tak bisa mendapatkan informasi apa-apa tentang orang itu.
Dia masih tak tahu mengapa orang ini muncul di sisinya, mengapa orang ini selalu menemani dirinya seperti ini.
Dia tak tahu di mana orang ini berada, apa yang mereka sukai, penampilan mereka, dan kisah hidup mereka.
Bahkan tidak tahu – apakah suatu hari nanti orang itu akan tiba-tiba menghilang.
Selain dari hal ini… pada dasarnya manusia memang akan selalu bersifat tamak.
Kali pertama dia menyadari bahwa orang itu telah mengambil sabuk mutiara dan tusuk rambut peraknya, hatinya lebih merasa kaget dengan gembira, namun kini, dia berharap semuanya bukan hanya begitu saja.
Dia memberi hadiah, orang itu membalas dengan lebih banyak lagi, namun tak pernah meninggalkan pesan apa pun.
Sebaliknya, dengan tamak dia ingin berkomunikasi lebih banyak lagi, bahkan meski pihak lainnya takkan pernah menampakkan diri. Sekedar bertukar pesan saja, juga tak mengapa….
Kalau tidak, jika semuanya terus seperti ini selamanya, bukankah orang itu akan bisa menghilang kapan saja, seakan mereka tak pernah ada, dan dia sendiri takkan pernah bisa menemukan orang itu?
Lu Huan larut dalam pemikiran, sorot matanya tampak sedikit sedih, namun ditutupi dengan seksama, tak disadari oleh yang lainnya.
****
Sementara itu, konsentrasi Su Xi tidak terletak pada si anak. Ada sebentuk bayangan gelap di luar griya — dia hanya melihat bahwa pada saat itu, di luar griya kayu bakar tampak sesosok bayangan mengendap-endap mendekat. Sejak Nyonya Besar memberi perintah agar tidak membiarkan siapa pun mengganggu anak itu, tak ada seorang pun yang berani datang kemari, jadi sekarang apa yang terjadi?
Su Xi takut kalau Ning Wangfei akan membuat masalah lagi, jadi dia bergegas mengganti antarmukanya ke halaman.
Bayangan hitam itu mengenakan seragam penjaga, pinggangnya ditekuk ke depan, berjalan menyusuri dinding, dan diam-diam berjalan ke arah kandang ayam.
Su Xi membesarkan layarnya, mengecilkan jarak. Sekali lihat, dia pun tahu kalau orang yang mengendap-endap ini ternyata adalah Penjaga Nomor Tiga?!
Tentu saja, Su Xi tak mengenali karakter-karakter dengan tampang orang lewat itu, terlebih lagi, wajah karakter ini ditutupi dengan kain. Satu-satunya alasan Su Xi mengenali orang ini adalah karena tiga kata besar-besar ‘Penjaga Nomor Tiga’ tertulis di atas kepalanya.
Apa yang ingin dia lakukan?
Su Xi hanya melihat Penjaga Nomor Tiga melompat gugup ke dalam kandang ayam, bergegas menjepit paruh seekor ayam untuk menghentikan hewan itu membuat keributan, dan kemudian berencana untuk buru-buru menyelinap pergi. Ayam-ayam lainnya tetap berada di tempat, sepenuhnya melupakan kewaspadaan mereka, dan bahkan tidak berkotek.
Walah walah, mencuri ayam?
Kenapa bisa jadi begini?
Selama dua hari ini Su Xi sibuk mengurus tugas-tugas utama hingga hampir lupa bahwa dia masih punya tugas sampingan tentang Penjaga Nomor Tiga dan Koki Ding. Mereka masih belum tahu kalau anak itu telah membantu mereka.
Su Xi baru saja memutuskan untuk mencubit pantat salah satu ayamnya untuk membuat hewan itu memekik keras dan membangkitkan kewaspadaan si anak, tetapi kemudian dia melihat si anak sudah berjalan keluar dari dalam kamar.
Su Xi langsung merasa lega. Benar saja, anak itu memang waspada.
Setelahnya, dia melihat anak itu bergerak dengan cepat dan gesit. Sebelum Penjaga Nomor Tiga berhasil memanjat keluar dari dinding tinggi, anak itu sudah menangkap pergelangan kakinya, lalu melemparkan tubuh besar berotot Penjaga Nomor Tiga ke tanah.
Penjaga Nomor Tiga yang terbanting hanya bisa tertegun, bintang-bintang emas berputar-putar di atas kepalanya.
Pada saat ini, si ayam mengepakkan sayap, berkotek-kotek, lalu berlari kembali ke kandangnya.
Penjaga Nomor Tiga bisa dianggap sebagai penjaga yang cukup kuat di Ning Wangfu, mulanya dia berpikir bahwa bahkan kalau ayamnya membuat keributan, dia masih bisa menyelinap kabur sebelum Tuan Muda Ketiga menyadarinya. Lagipula, kamar Tuan Muda Ketiga masih cukup jauh dari kandang ayamnya!
Akan tetapi, dia tak pernah menyangka kalau Tuan Muda Ketiga telah mendengar pergerakan sejak saat dirinya tiba! Barulah ketika dia hendak menyelinap pergi, dirinya tertangkap?
Lu Huan membungkuk dan menarik lepas kain dari wajah Penjaga Nomor Tiga, lalu mengernyitkan alisnya: “Ternyata kamu?”
Penjaga Nomor Tiga gagal mencuri ayam, dan bahkan tertangkap basah. Bukan hanya merasa malu, dia juga ketakutan.
Tak masalah kalau hal ini terjadi di masa lalu, tetapi kini sang Nyonya Besar sudah agak menyukai Tuan Muda Ketiga. Kalau Tuan Muda Ketiga memberitahu Nyonya Besar, maka dirinya pasti akan diusir!
Hatinya panik, jadi dia pun buru-buru berlutut dan mengaku salah: “Tuan Muda Ketiga, saya telah khilaf, mohon Anda lepaskanlah saya!”
Takut kalau dinding luar bertelinga, Lu Huan menyuruhnya meletakkan ayamnya, membawanya ke dalam kamar, lalu berbalik dan bertanya dingin kepadanya: “Kenapa kau mencuri?”
Penjaga Nomor Tiga hanya bisa bicara apa adanya, berujar: “Tuan Muda Ketiga, sebenarnya, saja juga tak punya jalan lain. Anda mungkin tahu tentang tabib misterius yang akhir-akhir ini tenar di Ibu Kota, kan? Sebelumnya, ketika ayah angkat saya sakit parah, tabib misterius itu telah secara khusus mengantarkan obat dan meletakkannya di sisi ranjang ayah angkat saya!”
“Setelah ayah angkat saya meminum obatnya, Beliau langsung sembuh! Kalau bukan berkat tabib misterius itu, takutnya ayah angkat saya takkan ada di sini sekarang, jadi bagaimana mungkin kami tidak membayar hutang budi tersebut?”
“Hanya saja tabungan saya dan ayah angkat sudah sejak lama dihabiskan karena penyakit parah itu, dan ayah angkat juga telah diusir oleh pengurus rumah. Saya benar-benar tak mampu memikirkan jalan lain untuk membalas budi kepada tabib misterius itu. Sebagai hasil dari ketidakmampuan dan kebodohan saya, saya jadi dapat ide untuk mencuri ayam….”
Penjaga Nomor Tiga terus bicara tanpa henti sambil terisak dan tersedu, namun hanya merasa kalau wajah Tuan Muda Ketiga semakin lama tampak semakin buruk.
Lu Huan berdiri di tempat dan mengepalkan tangannya, tulang-tulang jarinya mengerahkan kekuatan. Wajahnya berada di balik cahaya lilin, dan ekspresi suramnya tidak terlihat jelas.
Sejenak dia membisu, lalu perlahan bertanya: “Orang itu, juga membantumu?”
Untuk suatu alasan yang tidak diketahui, tanpa disangka-sangka hatinya merasakan suatu kemuraman yang tak bisa dijelaskan…. Kalau orang itu tidak datang untuk bersenang-senang, dan hanya membantu dirinya karena kasihan, maka, orang itu juga bisa membantu yang lainnya. Hal itu wajar saja….
Bagi orang itu, mau membantu dirinya ataupun membantu penjaga di hadapannya, kesemuanya itu sama seperti berhadapan dengan hewan liar, hanya sedikit bersimpati. Karenanya, ada kemungkinan bahwa di mata orang itu, tak ada bedanya antara dirinya dan penjaga di hadapannya ini —
Selain itu, kini karena dia sudah mendapatkan kebaikan dari orang itu, maka tak ada alasan untuk meminta orang itu agar hanya berbuat baik kepada dirinya seorang….
Akan tetapi dia masih saja, begitu tahu kalau orang itu juga telah secara diam-diam meletakkan obat di kepala ranjang si penjaga, untuk sesaat hatinya dilingkupi oleh awan hitam… bahkan perbuatan diam-diam meletakkan obatnya juga sama persis, orang itu juga bisa saja merawat ayah di penjaga dengan cara yang sama, kan?!
Pemikiran semacam itu membuat hatinya merasa kesal.
Tiba-tiba muncul gejolak emosi dalam hati Lu Huan yang bahkan dia sendiri tak tahu apa namanya….
Posesif?
Dengan pemikiran mendadak akan satu kata ini dalam benaknya, kelopak mata Lu Huan berkedut.
****
Di luar layar, Su Xi terus mengkritik si Penjaga Nomor Tiga ini. Anak itu selalu memberinya uang setiap kalinya, membuat dia bisa merawat ayah angkatnya, jadi bagaimana bisa dia begitu tak tahu terima kasih sampai-sampai datang untuk mencuri ayam?!
Tetapi melihat si anak menautkan kedua tangannya di belakang punggung sambil mendengarkan kata-kata Penjaga Nomor Tiga dengan wajah bulat yang tenang, tampak sangat jelas kalau insiden pencurian ayam itu telah membuat si anak murka.
… Perlahan-lahan puncak kepala anak itu mengeluarkan sebuah gelembung dialog, di dalamnya terdapat sebentuk awan gelap.
Su Xi:….
Amarah ini kelihatannya tidak sepele ah. Ternyata si anak sepicik ini, tak satu ekor ayam pun yang boleh kurang.
“Ya, semua berkat tabib misterius itu, kesehatan ayah angkat saya bisa pulih!” Penjaga Nomor Tiga tidak sadar sedikit pun tentang apa yang sedang dipikirkan oleh Tuan Muda Ketiga. Dia hanya mengira kalau Tuan Muda Ketiga sangat marah karena insiden pencurian ayam ini.
Dia merasa kalau tatapan yang ada di atas kepalanya semakin lama semakin dingin. Punggungnya gemetar, dan kecepatan bicaranya semakin meningkat: “Tuan Muda Ketiga, saya mohon Anda jangan menyebarkan insiden ini. Nanti saya pasti akan membantu Anda menjual telur lebih banyak lagi!”
Tetapi kemudian dia mendengar Tuan Muda Ketiga bertanya kepadanya: “Bagaimana dengan orang yang telah membantumu. Kau tak punya ayam, lantas bagaimana kau berencana membalas budinya?!”
Penjaga Nomor Tiga menjawab: “Balasan apa pun yang diinginkan oleh orang itu, maka itulah yang akan saya bayar. Mau itu bekerja seperti lembu dan kuda, meyerahkan jiwa raga saya, apa saja boleh!”
Ketika kata-kata Penjaga Nomor Tiga baru saja terucap, Su Xi melihat si anak menatap dingin pada yang bersangkutan. Meski wajahnya masih tanpa ekspresi, dada anak itu mendadak mengempis, dan awan hitam di puncak kepalanya langsung tumbuh semakin besar. Dalam sekejap mata, sudah berubah menjadi tiga gumpal awan!
Satu baris seragam! Hitam! Awan badai akan datang!
Su Xi: ….
“Baiklah, kau boleh pergi.” Anak itu, seakan tak mau peduli tentang Penjaga Nomor Tiga ini, memasang wajah seperti balok es.
Namun tepat pada saat inilah, Penjaga Nomor Tiga melihat kertas di atas meja Tuan Muda Ketiga, dengan tulisan di atasnya – matanya pun langsung melebar.
Tunggu dulu! Tulisan tangan Tuan Muda Ketiga dan tulisan pada potongan kertas yang ditinggalkan oleh orang itu ternyata sama persis ah?!
Tiba-tiba Penjaga Nomor Tiga menyadari sesuatu. Mungkinkah — bahwa saat ini dia ternyata mencuri ayam milik tuan penolongnya?!
Astaganaga, apa yang telah dia lakukan?!
Seketika, wajahnya jadi kelabu. Dengan suara ‘duk’, dia jatuh berlutut dan mengeluarkan lembaran bungkus obat yang sejak lama disimpannya.
Suaranya bergetar: “Tuan Muda Ketiga, saya bersalah! Ternyata Andalah yang telah menolong saya dan ayah angkat, kami bahkan lupa berterima kasih!”
Rasanya dia sungguh ingin menampar dirinya sendiri.
Lu Huan mengernyit menatap kertas di tangan Penjaga Nomor Tiga dan membaca —
Tulisan pada potongan kertas itu memang adalah tulisan tangannya, tapi dia tak pernah menuliskannya, dan tak pernah punya waktu luang untuk melakukan sesuatu seperti mengirim obat.
Tapi….
Sesaat kemudian, tiba-tiba Lu Huan bereaksi —
Jadi, orang itu sebenarnya bukan mengirimkan obat untuk Penjaga Nomor Tiga dan ayah angkatnya, melainkan membantu dirinya mengambil hati Penjaga Nomor Tiga dan Koki Ding?! Itulah sebabnya kenapa orang itu meninggalkan obat dan menulis catatan dengan memakai tulisan tangannya?
Orang itu selalu melakukan segalanya dengan suatu tujuan. Juga, Koki Ding memang ahli dalam bercocok tanam, dia sudah sejak lama mendengarnya. Jadi, inikah sebabnya?
Orang itu melakukan hal ini untuknya?
“.…”
Tiba-tiba amarah Lu Huan menyusut drastis. Merundukkan tatapannya pada Penjaga Nomor Tiga, dia berkata: “Berdirilah, ayamnya untukmu.”
Penjaga Nomor Tiga: …???
Di sisi lain, Su Xi yang ada di luar layar hanya melihat kalau suasana hati anak itu berubah lebih cepat daripada orang yang membalikkan halaman buku.
Ketika awan gelap di atas kepala Lu Huan barusan tadi tiba-tiba menghilang, dan di puncak kepalanya muncul sebuah matahari yang sangat mungil.
Matahari kecil itu tetap berada di atas kepala Lu Huan, persis seperti bohlam yang bersinar, sedikit melompat-lompat girang, agak arogan, dan juga sekilas puas.
Dengan sangat was-was Penjaga Nomor Tiga mendongakkan kepalanya, dan baru merasa kalau Penjaga Nomor Tiga tidak semarah sebelumnya, sampai-sampai dia tak tahu apakah semua ini cuma perasaannya saja yang salah. Sudut-sudut mulut Tuan Muda Ketiga jelas-jelas tertarik membentuk senyuman, cara Tuan Muda Ketiga menatap dirinya juga mengandung suatu ekspresi ‘aku punya sesuatu yang tidak kau miliki’ dan tampak agak bangga.
Penjaga Nomor Tiga tak bisa menahan diri untuk bertanya: “Tuan Muda Ketiga, apa Anda sangat gembira?”
Su Xi melihat anak itu berkata dengan sangat tenang: “Tidak, aku tak merasa gembira.”
Namun, matahari di puncak kepalanya dalam sekejap jelas-jelas sudah menjadi dua.
Penjaga Nomor Tiga: ….
Su Xi: ….
———-
Pengarang ingin bilang sesuatu:
Su Xi: Travel Frog keluar untuk membuat banyak teman, tapi apa yang harus kulakukan kalau anakku tidak berusaha berteman?! Haruskah hari pemilihan istri dimajukan?