I Raised A Sick And Weak Prince - Chapter 30 (Part 2)
Langit sudah sepenuhnya gelap, dan area di sekeliling begitu sunyi dan senyap. Terkadang, beberapa kuntum bunga pir tertiup gugur oleh angin dingin, bagai salju kecil dengan partikel-partikel halus.
Si anak duduk memeluk lutut di bawah pohon dengan wajah tanpa ekspresi.
Seakan telah menunggu lama, ada onggokan putih di atas bahunya, dan antisipasi di matanya telah dipudarkan oleh angin dingin.
Dia mengenakan baju merah dan hitam. Tak ada darah, tetapi warna bajunya sudah menjadi gelap dan kotor, dengan hanya sedikit percikan darah pada leher dan wajah putihnya. Rambut hitam panjangnya sedikit acak-acakan. Ada tujuh batang anak panah tersisa pada wadah panah di sebelah kanannya, dan di sisi kirinya tergeletak kepala serigala putih, yang tampak mengerikan namun memiliki keindahan akan kekuatan mutlak.
Ada sejumlah jejak tak beraturan di mulut gua terdekat.
Angin dingin bertiup menerpa lehernya, membuat bajunya berkelepakan, tapi sepertinya dia tak merasakannya seraya masih menunggu di sini.
Sudah berapa lama dia menunggu?
Meski Su Xi tahu bahwa anak itu penuh dengan kegelisahan dan telah berharap untuk bisa bertemu dengannya, Su Xi sama sekali tak bisa melakukannya. Pada akhirnya, hasilnya cuma bisa jadi begini….
Ketika si anak membunuh raja serigala, dia telah pergi ke pohon tersebut untuk menunggu orang itu. Dia melihat waktu terus berlalu, tapi sama sekali tak ada satu orang pun yang muncul, dan cahaya di matanya sedikit meredup. Akhirnya menyadari bahwa orang itu sama sekali takkan datang, matanya pun sepenuhnya berubah menjadi danau yang tenang.
… Su Xi masih sangat bersedih ketika melihat pemandangan ini.
Game ini jelas-jelas melampaui jangkauan dari game-game biasa. Walaupun Su Xi terikat pada sistem, sebelumnya dia menganggap semua karakter di dalam game ini sebagai orang-orangan kartun, berpikir kalau Lu Huan hanyalah sesosok tokoh utama yang pemrogramannya terlalu cerdas dan realistis.
Tapi kini, melihat pemandangan di hadapannya, Su Xi merasa kalau anak itu adalah orang sungguhan di ruang dan waktu yang berbeda, dan semakin dia memikirkan tentang bagaimana dia tak bisa bertemu anak itu, semakin besar rasa bersalah yang dia rasakan.
Anak itu telah menunggunya sedemikian lama di tengah angin dingin sampai-sampai darah di wajahnya telah membeku. Anak itu telah berharap, tetapi harapan itu perlahan-lahan berubah menjadi kegelisahan, lalu akhirnya, berubah menjadi kekecewaan.
Aku seharusnya tak membiarkannya terus menunggu. Andai saja aku tahu, aku akan meninggalkan beberapa gambar dan memberitahu dia kalau aku tak bisa datang….
Su Xi tak menyangka kalau anak itu akan menunggu sedemikian lamanya dengan keras kepala.
Terlebih lagi, dia tak menyangka kalau hatinya akan bergetar ketika dia meng-ghosting karakter game.
****
Di luar layar, Su Xi membisu. Di dalam layar, si anak juga sangat diam.
….
Mulanya, masih tersisa waktu sekitar satu batang dupa, hingga tiba saat bagi para pemburu untuk kembali ke perkemahan. Tetapi gara-gara upaya pembunuhan terhadap Pangeran Kedua di kaki gunung, terompet tanduk pun ditiup lebih cepat.
Jadi para tuan muda itu pun kembali satu persatu ke perkemahan.
Tempat ini terpencil dan dekat dengan gua raja serigala salju, jadi di sini masih sunyi senyap.
Su Xi berpikir bahwa pada saat ini, karena si anak belum melihat ada siapa pun yang datang, maka sudah tiba waktunya untuk menyerah dan menuruni bukit.
Terjadi kekacauan di perkemahan di kaki gunung. Ada suara teriakan minta tolong yang lantang dan Lu Huan juga telah mendengarnya.
Tapi siapa sangka anak itu masih tak mau bergerak, masih saja menunggu.
Barulah ketika batang dupa terbakar sepenuhnya, dan langit sudah menjadi hitam pekat, Lu Huan menyadari bahwa mustahil bagi orang itu untuk datang, dan api kecil yang tersisa di dalam matanya akhirnya ‘pet’, dan lenyap sepenuhnya. Barulah kemudian, dengan berpegangan pada pohon, dia berdiri.
Lu Huan berdiri selama beberapa saat, menatap ke langit malam tanpa batas, dan kemudian mengambil kepala raja serigala saljunya, melepas ikatan kekang kuda, lalu membimbing kudanya menuruni bukit.
Su Xi mengamati sosok kecil si anak berjalan di tengah malam yang dingin, hati ibu tuanya serasa ditusuk-tusuk hingga jadi seperti saringan. Kalau saja dia tak takut membuat si anak ketakutan karena berpikir telah melihat hantu, betapa dia ingin menarik si anak kembali dan memberitahunya bahwa dia sebenarnya ada di sini.
****
Lu Huan menuntun kudanya dan berjalan menuruni bukit dengan menenteng kepala raja serigala, bulu matanya merunduk, bibirnya sedikit berkerut, dan tanpa ada ekspresi di wajahnya.
Orang itu tidak datang sama sekali.
Pada akhirnya orang itu tidak akan datang. Sebenarnya, semua ini hanyalah harapannya. Sejak awal, orang itu telah menghindari dirinya dan memberinya berbagai barang, yang terang-terangan menunjukkan bahwa orang itu tak mau mengungkapkan identitas mereka.
Dia benar-benar memaksakan permintaan pertemuan terakhir itu secara sepihak.
… Dia hanya berpikir bahwa setelah berkomunikasi selama beberapa waktu ini, orang itu takkan ingin melihat dirinya bersedih, dan ada kemungkinan 1/10000 kalau orang itu akan bersedia mengabulkan permintaan sekecil itu. Tapi hari ini, dari siang hingga malam, orang itu tak pernah menampakkan satu jejak pun.
Sepertinya dia telah menganggap dirinya sendiri terlalu tinggi.
Walaupun sebelum hari ini Lu Huan dipenuhi oleh kerinduan dan mengharapkan pertemuan ini, dia takkan sampai hilang arah seakan ada seember air dingin disiramkan padanya. Meski memang dadanya merasakan kehilangan, dia takkan terlalu bersedih.
Lagipula, dia sudah siap menunggu sepanjang hari.
Terlebih lagi, hanya karena orang itu tidak muncul bukan berarti orang itu telah meninggalkan dirinya.
Asalkan orang itu masih ada, tidak menjadi masalah apakah dia bisa melihatnya atau tidak.
Berpikir demikian, Lu Huan memusatkan pikirannya, berusaha menaikkan sudut mulutnya yang tadi menurun karena kecewa, dan berjalan cepat menuju perkemahan di kaki gunung.
****
Pada saat ini, perkemahan di kaki gunung telah menjadi kacau balau. Telah terjadi upaya pembunuhan terhadap Pangeran Kedua pada acara perburuan, jadi ini adalah masalah yang sangat serius.
Kemudian Su Xi memindahkan layar, dan ketika si anak muncul dengan menenteng kepala raja serigala salju, para tuan muda dari semua generasi pun terperanjat.
Si anak berjalan di antara kerumunan seakan tak ada orang di sana, lalu menyerahkan kepala raja serigala salju kepada penjaga dari Ning Wangfu, lalu meminta si penjaga menyerahkannya sebagai persembahan. Setidaknya mata separuh dari orang-orang di situ tertarik ke arahnya.
Ketika para tuan muda itu datang untuk memberi selamat kepada si anak, Su Xi merasa lebih baik.
Anak itu tampak sedang rendah semangatnya ketika duduk di bawah pohon pir, tetapi sekarang dia kelihatan lebih baik. Meski dirinya masih tanpa ekspresi, ketegangan di antara alisnya sudah sedikit memudar.
Barulah pada saat itu Su Xi merasa sedikit lebih tenang.
Sebelum Su Xi menyadarinya, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh ketika ibunya mengetuk pintu dan berkata, “Su Xi, apa kau sudah selesai belajarnya? Ayo makan malam.”
Tiba-tiba Su Xi mendongak, melihat jam, dan kemudian menatap buku pelajaran di atas mejanya. Sial, dia hampir lupa belajar untuk ulangan besok!
Su Xi buru-buru meletakkan ponselnya dan keluar untuk makan malam.
****
Setelah Su Xi mematikan game-nya, semua pangeran di perkemahan berkumpul di sekitar Pangeran Kedua yang terluka. Luka pada tubuh Pangeran Kedua sangat dalam, tapi entah kenapa, dirinya berlumuran obat Jinchuang, jadi dia sudah sadar dari komanya.
Putra Mahkota bersungguh-sungguh ingin mengirim orang untuk mencari tahu apa yang telah terjadi pada upaya pembunuhan hari ini dan siapa yang telah melakukannya. Para penjaga di sekitarnya berlarian kacau.
Di sebelah api unggun, Pangeran Kelima duduk dengan raut cemas di samping Pangeran Kedua dan berkata kepada Pangeran Kedua, “Kak, kau sudah membuatku ketakutan setengah mati. Aku senang kau baik-baik saja. Apa kau bisa melihat wajah orang-orang yang dikirim untuk membunuhmu?”
Pangeran Ketiga, yang berdiri di sebelah tabib istana, menatap lentera tambahan itu dan mengolok seenaknya, “Kak, ini adalah orang yang telah menyelamatkanmu. Entah dewa perburuan gunung atau putri penjaga mana yang telah membantumu. Ini bisa menjadi cerita yang bagus.”
Pangeran Kedua berjuang untuk duduk dengan bantuan para pengawal. Dia mengernyit dan berkata lemah, “Bagaimana kau tahu kalau orang itu adalah wanita? Tak banyak wanita yang ada di gunung ini. Saat aku sadar, aku mendapati diriku diseret dari sungai ke dekat perkemahan. Wanita tak punya tenaga sebesar itu.”
“Oh.” Tiba-tiba Pangeran Ketiga jadi tampak bosan.
“Mungkin juga dia adalah pelayan atau anggota rombongan keluarga seorang tuan muda. Bagaimanapun juga, aku pasti akan membalas budi karena telah menyelamatkan adik keduaku.” Putra Mahkota berkata, “Biarkan para tetua datang dan memeriksa milik siapa lentera itu.”
Para tetua pun berdatangan satu persatu.
Lentera itu tak bisa lebih biasa lagi. Jeraminya cuma diikat, dan bahkan para pelayan dari rumah mereka bisa memakai lentera minyak murahan semacam itu.
Hanya saja ada sebaris pendek kata-kata mungil pada gagang lentera tersebut. Para pangeran mengamatinya secara seksama dan mendapati kalau mereka tak bisa memahaminya sama sekali.
Bentuk garis-garis cetakan sekecil kepala lalat ini meliuk-liuk, seperti kecebong. Tulisannya kelihatan sangat aneh, seperti bahasa asing, tapi juga tampak seperti diukir menggunakan pisau bambu, yang sama sekali tidak masuk akal.
Cetakan kecil di baris ini berbunyi: ‘Dibuat di toko game.’
Apa artinya itu?
Para pangeran tak bisa menemukan jawabannya, jadi mereka menganggap kalimat ini sebagai pola tanpa arti dan mengabaikannya.
Tetapi ketika lentera itu jatuh ke tangan Lu Huan, Lu Huan memandanginya, dan bulu mata hitamnya bergetar dengan gugup.
Dengan perasaan takjub, pandangannya tertuju pada obat yang dioleskan pada dada Pangeran Kedua. Sesaat kemudian, matanya yang berat kembali tertuju pada lentera itu. Masih bernoda darah, ekspresi wajahnya menjadi buruk.
Barisan kata-kata mungil tanpa arti ini juga ada di lentera kelinci yang telah diberikan orang itu kepadanya.
Setiap pagi dia telah menurunkan lentera kelincinya dari bawah tepian atap, menyalakan lilinnya, lalu menggantungnya di senja hari. Hari demi hari dengan gembira dia membelai lentera kelinci itu. Cat pada gagang panjang lenteranya sudah hampir terhapus olehnya. Bagaimana mungkin dia bisa tidak tahu?
Sebelumnya dia hanya berpikir bahwa barisan itu hanyalah pola pada gagang panjang lenteranya.
Tapi tanpa disangka-sangka, barisan itu juga ada pada lentera jerami ini.
Jadi, lentera ini adalah milik orang itu.
Pangeran Kedua juga diselamatkan oleh orang itu… huh?
Ya, obat ini punya efek yang mujarab. Ini adalah obat yang hanya bisa diberikan oleh orang itu. Menyelamatkan Pangeran Kedua tanpa mengungkapkan identitasnya adalah hal yang akan dilakukan oleh orang itu.
Lu Huan berdiri di sana, mengerutkan bibirnya, tanpa mengcapkan sepatah kata pun. Ekspresinya tampak datar, dan dia tak banyak bergerak. Dia hanya memandangi lentera di tangannya.
Kali terakhir orang itu menyelamatkan Koki Ding, hal itu adalah demi dirinya. Tapi kali ini, orang itu menyelamatkan Pangeran Kedua. Seharusnya hal itu tak ada hubungannya dengan dia.
Kenapa orang itu menyelamatkan Pangeran Kedua? Apakah orang itu punya rencana lain?
Ini bukanlah sesuatu yang seharusnya membuat Lu Huan merasa kesal. Sebenarnya, dia tak punya hak untuk ikut campur dengan apa yang dilakukan orang itu.
Akan konyol jika dia menyalahkan orang itu atas sikap posesif tidak jelas dan tidak masuk akal yang samar-samar muncul dalam hatinya, membuatnya tak berani mengakuinya.
Namun pada saat ini, benaknya terasa kosong, dan terus-terusan melintaskan pemikiran ‘ternyata orang itu tidak hanya baik padaku saja’, dan dia jadi tak mampu memikirkan hal lainnya. Jemarinya yang menggenggam lentera sepertinya menjadi sedikit mendingin.
….
Dia kira orang itu tidak datang sama sekali.
Tapi ternyata orang itu juga datang kemari, tapi tidak pergi menemuinya, dan malah menyelamatkan Pangeran Kedua?
Bulu mata Lu Huan bergetar dan perlahan wajahnya kehilangan rona.
———–
Pengarang ingin bilang sesuatu:
‘Dibuat di toko game’
Su Xi: Sial. Aku tak tahu kalau lentera yang dibeli di permainan bego ini ada labelnya.
Si Anak: Hatiku sudah mati, sungguh. Orang itu pasti peduli pada Pangeran Kedua dan berusaha begitu keras demi menyelamatkannya.
Pangeran Kedua: Kampret, aku nggak tahu anjing mana yang memaksaku agar selamat. Dia tak punya perasaan dan menyeretku di tanah. Bokongku rasanya mau pecah.
Pangeran Kelima: Sayang sekali Kakak Kedua tidak mati.