I Raised A Sick And Weak Prince - Chapter 34
Sebenarnya, masih ada banyak pertanyaan di dalam hati Lu Huan, seperti – Kenapa datang ke sisiku? Kenapa memperlakukanku dengan begitu baik? Kenapa menemaniku? Kenapa ini terjadi padaku?
Apa kau berharap bisa mendapatkan sesuatu dariku, atau membuatku terlibat di dalam perebutan kekuasaan Ibu Kota sehingga bisa mencapai sesuatu untukmu?
Akan tetapi, pada saat ini, dia bisa merasakan orang itu di sisinya, membelainya dengan hembusan angin lembut… dan pertanyaan-pertanyaan ini jadi tak terasa penting lagi.
Yang lebih dia pedulikan adalah —
Apakah orang ini bisa tetap di sisinya dalam waktu lama?
Pada suatu hari, akankah orang ini pergi?
Apakah orang ini juga telah memperlakukan yang lainnya dengan sebaik ini sebelumnya… dan kelak, bisakah orang ini tidak menginginkan yang lainnnya, dan hanya bersama dengannya?
Tak terhitung banyaknya emosi samar bergulung-gulung di dalam hatinya harapan, kesukacitaan, kegelisahan – lapis demi lapis, bagai ombak berdebur yang menerpa pantai… seraya mengikuti debaran jantungnya inni, suara-suara tidak penting lainnya perlahan memudar satu demi satu, dan pada akhirnya, hanya pikiran yang paling penting dan paling pasti yang tersisa.
— Hantu ini yang muncul di sisinya, datang ke sisinya, adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupnya.
Dia tidak takut pada yang lainnya, dia hanya takut kalau mereka akan menghilang tiba-tiba.
…
Berpikir hingga saat ini, Lu Huan kemudian teringat kembali bahwa pihak lainnya telah pergi jauh tanpa ada kabar apa pun selama delapan hari terakhir ini, seperti memutus hubungan secara mendadak. Dia tak tahu apa yang terjadi, selalu berjaga di dalam griya, tetapi setelah melihat matahari terbit dan terbenam selama delapan hari, dia telah menunggu dengan sia-sia.
… Kalau nanti hantu ini muncul sekali lagi, mungkin dia masih takkan tahu harus mencari ke mana.
Walaupun Lu Huan tidak ingin menunjukkan betapa cemas dirinya pada delapan hari terakhir ini karena menunggu hantu ini, dia juga sungguh ingin tahu, karenanya dia berusaha menyimpan perasaannya dalam hati, namun akhirnya tetap saja tak mampu menahan diri dan menceplos, “Delapan hari kau pergi ini, apa terjadi sesuatu?”
Di mata Su Xi, si anak di dalam layar tampak seperti seorang bocah kecil yang telah ditahan di dalam TK selama delapan hari penuh tanpa dijemput: seluruh wajahnya tampak mengenaskan dan sedih, juga ada kepahitan tersimpan di dalam ekspresinya. Sama sekali tidak mudah menunggu hingga akhirnya Su Xi datang, jadi anak itu buru-buru menggenggam tangan Su Xi, mendongakkan wajahnya yang seperti roti kukus, dan dengan tidak sabaran menanyakan kepadanya ke mana sebenarnya dia pergi, kenapa dia tidak datang juga untuk menjemputnya.
Pertanyaan-pertanyaan mendetil tidak menjadi masalah, tapi anak itu masih saja bersikeras memasang raut tak peduli dan ‘bertanya dengan santai’….
Su Xi langsung roboh, sungguh meleleh karena keimutannya.
Dia merasa bahwa dirinya mungkin saja sudah diracuni oleh game itu, oh, kenapa semua yang dilakukan oleh si anak membuatnya merasa kalau anak itu sungguh imut?!
Tapi, bagaimana dia akan menjelaskan bahwa dia pergi untuk mengikuti ujian?
Bukan hanya satu ujian ini membutuhkan waktu dua setengah hari, tapi ponselnya juga disita?!
Su Xi menggaruk kepalanya, memutar otaknya selama beberapa saat, dan kemudian dari seberang layar membentangkan kertas di depan meja si anak. Kemudian setelahnya, dia mengangkat kuas, memeragakan gambaran menulis di atas meja, dan terakhir, dia melemparkan kuas ke samping dan menggulung kertas itu, membuka jendela untuk memakai angin meniupnya, dan kemudian membentuk gambaran sedang menyelinap keluar.
Su Xi berusaha memberitahu anak itu – di tempatnya, dia juga harus menghadiri ‘Akademi Tai’ dan juga harus mengikuti ujian. Terlebih lagi, meski mereka berhasil mencapai peringkat tiga besar di kelas, mereka masih tak bisa masuk ke Ibu Kota sebagai lulusan tertinggi, dan harus lanjut masuk ke universitas, mengambil jurusan dan belajar agar lulus. Singkatnya, pemerasan tenaga yang sangat pahit.
Namun proses sepanjang itu tentu saja tak bisa dijelaskan dengan baik.
Si anak menatap angin di depannya meniup keras-kertas hingga berantakan, membuat jendela membuka dan menutup. Dia sama sekali tak keberatan. Sebaliknya, matanya sedikit berbinar, dan dia berkata penuh spekulasi: “Apa maksudmu adalah – selama beberapa hari ini, jiwamu ditahan di alam baka. Di alam baka kau juga harus mengikuti ujian, dan barulah setelah lulus kau bisa keluar?”
Tulisan yang ada di atas meja – ujian.
Membuka jendela dan angin bertiup – keluar.
Su Xi mendengar kata-kata si anak, dan nyaris jatuh dari ranjang, tak tahu harus tertawa atau menangis. Hantu apa ah, alam baka apa ah?! Apakah si anak mengira dirinya sebagai semacam hantu wanita?!
Tetapi mengesampingkan status hantu ini, tebakan-tebakan lainnya sudah hampir benar. Bukankah sekolah dan alam baka memang tak ada bedanya? Dan, kau baru bisa meninggalkan sekolah setelah ikut ujian.
Pokoknya, karena hal ini tak bisa dijelaskan, maka biarkan saja anak itu menganggapnya seperti ini.
Sudut mulut Su Xi terangkat membentuk seulas senyum nakal, dan dia lalu menyenggol tangan kiri si anak — ya.
Lu Huan tak pernah memercayai kisah-kisah aneh tentang hantu atau dewa-dewa sebelumnya, tapi kini dia tak punya pilihan selain memercayainya. Terlebih lagi, para roh mungkin juga punya aturan untuk roh. Walaupun mereka memiliki kekuatan yang melampaui manusia biasa, hal lainnya tetap sama seperti di dunia manusia, masih ada hukum yang harus ditaati….
Perlahan benak Lu Huan membentuk pemandangan alam baka, iblis dan monster, berwujud mengerikan dan beraneka ragam, lalu mulai menerka-nerka: kalau begitu, hantu yang datang ke sisinya ini, apakah karena alam baka telah memberinya tugas, sehingga membuatnya tak ada pilihan selain menaati?
Lagipula, hantu yang hanya ada di sisinya ini, selain dari memperlakukan dirinya dengan penuh perhatian, juga telah melakukan banyak hal dengan tujuan tertentu.
Mungkin ada sistem hadiah dan hukuman.
… Membuat mereka harus melakukan ujian itu lewat dirinya, atau dengan kata lain, dengan bantuannya, menyelesaikan beberapa tugas.
Kalau mengatakannya seperti ini, ada banyak hal yang bisa dijelaskan dengan baik.
Meski dia telah mencurigai sampai sejauh ini, kondisi batin Lu Huan tidak bergejolak, dan sudut matanya masih berbinar cerah. Tak peduli apa pun tujuan hantu ini, setidaknya, Lu Huan telah berhasil sedikit memastikan bahwa hantu ini benar-benar tak punya niat buruk terhadap dirinya, bahkan telah memperlakukannya dengan penuh perhatian sejak awal hingga akhir.
Mereka adalah teman pertama dan satu-satunya bagi dia… dan juga sinar harapan yang paling ingin disentuhnya.
“Aku mengerti,” Lu Huan menggumam.
Dia melihat ke bawah cahaya lilin di mana tulisan-tulisan tadi telah dibakar habis olehnya, hanya menyisakan tumpukan abu, lalu tertawa pada dirinya sendiri: “Selama beberapa hari ini, aku bahkan mengira kalau… kau takkan pernah kembali lagi.”
Su Xi, yang ada di luar layar, menatap si anak. Si anak merundukkan tatapannya dengan acuh tak acuh, wajah roti kukusnya tampak luar biasa tenang, namun hati ibu tua dalam diri Su Xi tiba-tiba merasa amat menyesal. Meninggalkanmu seorang diri di TK juga bukan hal yang kuinginkan….
Dia menatap si anak, dan tak tahan untuk melakukan satu hal yang selalu ingin dia lakukan – mengulurkan dua jarinya, memegang wajah si anak yang seperti roti kukus, lalu mencubitnya ringan.
Walaupun dia tak bisa merasakan apa yang dilakukan oleh ujung-ujung jemarinya, melihat gambar sederhana dari wajah si anak yang ditarik pelan, dan sekedar memikirkan tentang perasaan empuk nan kenyal itu, rasanya Su Xi seperti dimabukkan.
Ah ah ah, akhirnya dia mencubit wajah si anak! Biarkan dia mati saja! Rasanya aku mau mati!
Sementara itu, si anak di dalam layar terperanjat, seakan ada petir menyambar, dirinya tersengat, dan tak bisa bergerak!
Dia menatap nanar ketika merasakan angin lembut itu turun ke pipinya, dan telinganya belum juga mulai perlahan memerah ketika angin itu mencubit wajahnya–
Orang itu menyentuh wajahnya?!
Seluruh diri Lu Huan menjadi kaku seperti batu. Dia tak pernah bertemu dengan apa pun yang selancang itu! Tanpa sadar dia ingin menangkap tangan orang itu dari wajahnya, tapi kemudian lagi dia tidak yakin tentang keberadaan orang itu, dan dia takut kalau perbuatannya akan melukai orang itu.
Karenanya dia hanya bisa berdiri diam, tak bergerak, dengan sorot mata terpana, membiarkan pipi kirinya ditarik lalu membal kembali.
Lu Huan: “….”
Walaupun dia dan si hantu sudah saling mengenal cukup lama, hal ini masih agak terlalu, terlalu kurang ajar — akan tetapi, karakter si hantu ini memang terbuka. Mungkin mereka tak merasa kalau ada yang salah dalam hal ini.
Orang itu telah mengiriminya banyak barang, memperlakukan dirinya dengan begitu baik, dan telah menjadi temannya satu-satunya…. Kalau ingin sedikit bermain-main, itu… terserah orang itu.
Setelah angin itu mencubit wajahnya, seakan masih belum pergi, sentuhan mereka masih bertahan selama beberapa saat.
Warna merah di telinga Lu Huan langsung menyebar hingga ke lehernya.
Hingga Su Xi melepaskannya, lehernya masih berwarna merah padam.
“… Dasar pengacau.” Lu Huan merenung cukup lama, dan kemudian menceploskan kedua kata itu.
Walaupun dia berkata demikian, api lilin telah menerakan cahaya pada wajah si pemuda, menyinari wajah tampannya yang merona seperti awan kemerahan di cakrawala, tidak ada setitik pun ketidaksenangan di matanya. Alih-alih, mata itu dipenuhi oleh senyuman dan binar-binar samar. Pada wajah yang senantiasa dingin bagaikan kumala putih, karena telah terlalu memerah, jadi agak menambah kesan menggairahkan.
Akan tetapi, karena hal ini terjadi, emosi-emosi sedih di hati Lu Huan bisa disapu bersih.
Lu Huan menatap ke samping, dan berusaha tampak agak tidak puas: “Karena kau sudah mengambil keuntungan dariku, maka kau harus menjanjikan satu hal kepadaku.”
Su Xi menarik kembali tangannya, merasa sangat puas, lalu mengetuk meja satu kali, berarti: hal apa?
Lu Huan mengerutkan bibirnya, dan berusaha sebaik mungkin berpura-pura menyebutkannya secara santai, berujar, “Nanti, jangan tiba-tiba menghilang lagi.”
Setelah dia mengajukan permintaan itu, sekujur tubuh Lu Huan tampak tegang.
Akan tetapi orang itu segera menyetujuinya, dan menarik tangan kirinya, mengisyaratkan, ‘baiklah’.
Serta merta jantung Lu Huan terlonjak kegirangan, tapi dia berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan diri, lalu kembali bertanya: “Kelak, saat kau datang –”
Arah pandangannya tertuju pada biji bunga pir di atas meja, terpikirkan sebuah ide, lalu langsung berkata: “Kelak, saat kau datang, letakkan sehelai kelopak bunga pir di telapak tanganku, dan saat kau pergi, ambil kelopak itu dari tanganku, bagaimana?”
Su Xi, yang ada di luar layar, menimbang-nimbang permintaan si anak. Dia benar-benar ingin mengeluhkan soal kecerdasan anak itu, tapi tunggu, bagaimana dia dan si anak tiba-tiba berkembang menjadi teman online yang harus memberitahu satu sama lain ketika hendak online atau offline? Bukankah dia yang memainkan game ini?!
Su Xi merasa agak lelah. Tapi dia masih menarik tangan kiri si anak, menyatakan ‘baiklah’.
Seperti ini bagus juga, memberitahu saat online dan offline di masa mendatang, sehingga si anak takkan perlu menunggu sia-sia.
Setelah mengatur hal-hal ini, ekspresi pada wajah Lu Huan jelas-jelas tampak jadi lebih cerah. Selain itu, dia buru-buru menanyakan banyak hal sekaligus, bertanya kepada Su Xi di mana rumahnya sebelum menjadi hantu. Su Xi tak bisa menjawabnya, dan hanya bisa bilang kalau rumahnya ada di tempat yang sangat, sangat jauh sekali. Si anak masih menanyakan banyak hal lainnya, dan walaupun Su Xi tidak memberikan satu pun jawaban konkrit, dia masih menemani anak itu bercakap-cakap.
Si anak tampaknya tak peduli tentang seberapa banyak informasi yang dia dapatkan, tapi dia masih berusaha keras, membayangkan suara orang itu, penampilan dan sosoknya di dalam kepala.
…
Sebelumnya Lu Huan tak pernah berpikir dia bisa mendapatkan begitu banyak informasi, tapi sekarang, meski dia tak bisa menyentuh pihak lainnya, bagaimanapun juga, ini jauh lebih baik dibandingkan berkomunikasi satu arah lewat pesan seperti sebelumnya.
Lu Huan berdiri di depan jendela dan menerawang pada langit malam yang gelap. Untuk pertama kali dalam hidupnya, matanya begitu cerah bagai bintang-bintang. Dia tampak seperti orang luar biasa kehausan yang telah melakukan perjalanan amat panjang dan akhirnya menemukan sebuah mata air nan jernih, semangatnya memuncak tajam.
Akan tetapi, tiba-tiba Lu Huan terpikirkan suatu hal —
Dengan ragu dia bertanya: “Kapan kau tiba hari ini? Saat aku duduk di depan kamar sore ini… apa kau juga melihatnya?”
Mendadak tangan kirinya diketuk.
Lu Huan: “….”
Seketika darahnya mengalir deras, dan rona wajahnya menjadi merah padam!
Jadi bisa dibilang, ketika dia duduk termangu-mangu di ambang pintu, berpikir bahwa pihak lainnya takkan datang lagi, semuanya itu kelihatan? Dan ketika dia menulis barusan tadi itu, dengan munafiknya bilang kalau dirinya sama sekali tidak merasa gelisah selama berhari-hari ini dan berkata bahwa dia tidak keberatan, semuanya itu juga terlihat oleh orang itu–?
Juga,
“Ukiran-ukiran kayu itu —”
Belum sempat Lu Huan berbicara, tapi ketika sekarang memikirkan tentang hal itu dia juga tahu, setiap hari dia telah mengukir mainan-mainan kecil tersebut untuk diberikan kepada orang itu, tapi pada pesan dia berkata bahwa dia telah menemukannya sambil lalu di kota… orang itu juga pasti tahu tentang semua hal tersebut! Warna merah pada wajah Lu Huan langsung menyebar, membuat lehernya merah merona.
Su Xi yang ada di luar layar menatap si anak yang sedang merundukkan bulu matanya dengan pasrah, detak jantung semakin cepat, seluruh dirinya sungguh ingin mencari lubang untuk dimasuki. Su Xi sudah hampir mengila karena kegirangan.
Kalau kau hidup dalam kebohongan, cepat atau lambat kau akan harus membayarnya. Siapa suruh si anak bermuka dua sebelumnya!
Lu Huan kembali memikirkannya pada saat ini, wajahnya memerah, orang itu juga pasti bisa melihatnya, dan hatinya langsung jadi lebih cemas lagi. Dalam ketergesaan dia berjalan beberapa langkah, berbelok ke satu sisi, dan memijit kepalanya kuat-kuat, berkata: “Untuk sementara ini, kau berputarlah.”
Su Xi tertawa sambil mengait jari Lu Huan, mengindikasikan bahwa dia sudah berputar, tapi di luar layar masih tersenyum gembira, memancangkan matanya pada anak itu.
Roti kukus kecil nan imut ini telah digoda hingga tak bisa kabur ke mana-mana, berdiri di pojokan sambil menggosok wajah kuat-kuat, memaksa diri untuk tenang, utututu imut banget!
****
Sejenak kemudian, akhirnya Lu Huan sedikit tenang. Dia berusaha sebaik mungkin untuk melupakan apa yang barusan telah terjadi, dan berusaha tetap tenang, berpura-pura tak terjadi apa-apa.
Dia berbalik, berjalan ke depan meja, mengambil biji bunga pir dari kotak pertama, lalu berkata: “Karena kau telah memberiku biji-biji bunga pir ini, maka aku akan menanam beberapa di sini dan di pertanian sana. Kau mau ikut denganku?”
Matanya mengandung pengharapan. Lagipula, dia tak pernah melakukan sesuatu bersama-sama dengan orang itu.
Su Xi menarik tangan kiri si anak, mengekspresikan persetujuan.
Lu Huan mendorong pintu hingga terbuka, berniat menunggu sebentar seakan menantikan si hantu keluar bersamanya, kemudian menutup gerbangnya.
Dia berjalan menuju sepetak kecil tanah yang sebelumnya telah dia gali, di mana tadinya dia berniat mengubahnya menjadi kolam ikan ketika musim semi tiba, mengambil sekop lalu berjongkok, mulai mengubur biji-biji bunga pir di dalam situ.
Su Xi hanya menonton manusia kecil itu menanam pohon.
Tetapi kondisi sekarang berbeda dari sebelumnya. Meski sebelumnya dia juga telah menonton si anak melakukan berbagai hal, tidaklah mungkin untuk berkomunikasi dengan anak itu, karena dia takut sesuatu yang tidak diharapkan akan muncul tanpa terduga, membuat si anak ketakutan.
Akan tetapi kini — Su Xi mengambil ember di pojok. Ember itu tampak melayang di udara kosong, lalu sedikit dimiringkan ke arah tempat si anak menanam bijinya. Kalau ini terjadi, maka keberadaan Su Xi akan jadi lebih kuat lagi.
Lu Huan mengerutkan bibirnya dan matanya berkilauan, sudut bibirnya naik tak tertahankan.
Dia selalu makan dan tidur seorang diri, membawa air dan memotong kayu bakar seorang diri, melakukan semuanya sendirian. Tak pernah dia berpikir bahwa akan ada hari ketika dia akan mendapatkan orang lain untuk menemani di sisinya.
Walaupun orang ini adalah arwah, dan tak bisa dilihat maupun disentuh, sudah cukup kalau dia tahu bahwa orang itu ada di sana.
Setelah pohonnya ditanam, masih ada proses mengubur dengan tanah, ketika salju ringan tiba-tiba jatuh dari langit.
Salju ini menjadi semakin lebat, perlahan berubah menjadi kepingan-kepingan salju yang besar.
Lu Huan menjelaskan ke sampingnya: “Ini seharusnya adalah hujan salju terakhir di Negara Yan. Sayang sekali di Ibu Kota turun salju, sementara di wilayah Utara begitu kering.”
Salju turun dengan lebat, Lu Huan tak bisa menahan diri untuk melirik ke sampingnya. Dia berdiri lalu berlari kembali ke dalam kamar untuk mengambil sebuah payung dari kertas minyak.
Dia membuka payung kertas minyak itu, memasangnya di tanah, lalu berkata kepada angin di sisinya: “Kau masuklah kemari, jongkok saja di sini.”
Kepingan-kepingan salju besar-besar berjatuhan di atas payung kertas minyak, dan dengan sangat cepat lapisan pun terbentuk tanpa suara, seperti selapis es putih yang tebal.
Su Xi menjadi angin, bergerak ke bawah payung, dan berpura-pura kalau dirinya sudah masuk ke situ, namun dia merasa agak aneh – ketika sebelumnya di Ibu Kota turun salju, dia tak pernah melihat si anak memakai payung. Payung kertas minyak ini diletakkan di belakang pintu, tapi dia bahkan tak pernah melihat si anak memakainya.
Terlebih lagi, dirinya hanyalah hantu, apa gunanya memasangkan payung?
Su Xi merasa agak ingin tertawa, tapi kemudian melihat di layar muncul kata-kata si anak. Si anak berjongkok di sampingnya, berlumuran tanah ketika menjelaskan: “Walaupun di mana rumahmu, dari mana kau berasal, namamu, dan seperti apa penampilanmu tak bisa diberitahukan kepadaku, sifatmu begitu murni. Kau pasti telah memiliki lingkungan yang bahagia dan hangat di sepanjang hidupmu, serta anggota-anggota keluarga yang menyayangimu. Kalau mereka, mereka pasti takkan membiarkanmu jatuh sakit karena terkena hujan salju.”
Terdiam sejenak, Lu Huan menatap payung di sisinya, seakan menatap penuh perhatian kepada gadis muda di bawah payung, lalu berkata lembut: “Sekarang karena kau sudah datang ke sisiku, merupakan giliranku untuk melakukan hal ini. Aku tak mau memperlakukanmu dengan tidak benar.”
Salju lebat menari-nari di udara. Raut di wajah si pemuda tak tergoyahkan, ekspresinya tenang dan serius.
Tak ada cahaya bulan, hanya ada cahaya lilin di bawah tepian atap nun jauh di sana, samar-samar menerangi wajah anak itu, selapis cahaya melingkupi wajahnya yang seputih salju.
“.…” Entah kenapa, hati Su Xi seakan tiba-tiba diketuk lembut.
Di tengah salju, si anak bundar kecil berjongkok, sebuah payung diletakkan di sampingnya, sama sekali tidak peduli pada dirinya sendiri. Dia terlahir dalam lingkungan yang keras, berkata bahwa kehidupannya sulit dan bagai rawa kotor tidaklah berlebihan, akan tetapi dia mengucapkan kata-kata semacam ini kepada Su Xi.
———-
Si pengarang ingin bilang sesuatu:
Si Anak: Nakal! Lancang! Sembarangan!
Su Xi: Kalau begitu aku takkan menyentuhmu lagi!
Si Anak: … Nggak, itu, sebenarnya…. senyumperlahanpudar.jpg