I Raised A Sick And Weak Prince - Chapter 39 (Part 1)
Sementara si anak melakukan push-up, Su Xi menggerakkan ‘Strategi Seratus Peperangan’ ke arahnya dan membuka halaman pertama buku itu, sehingga si anak bisa membaca buku tersebut sambil push up.
Ada banyak buku yang telah ditukar dari toko, yang meski jelas-jelas tampak kuno, tidak ada di Negara Yan. Si anak belum pernah melihat buku-buku ini sebelumnya, jadi semuanya tampak sangat unik baginya.
Lu Huan adalah seorang siswa yang baik dan berdedikasi, dan tak lama kemudian, dia sudah bisa memahami penjelasan mendetil tentang hukum-hukum militer.
Pada saat bersamaan, di luar layar, Su Xi mengisi baterai ponselnya, meletakkannya di atas meja, membuka kertas tugasnya dan -sat set sat set – mulai mengerjakan PR-nya.
Kamar Su Xi sangat sunyi, dengan pengecualian ketika Ibu Su masuk untuk mengantarkan secangkir susu dan Su Xi buru-buru memakai kertas tugasnya untuk menutupi ponselnya. Tak ada orang lain lagi yang mengganggunya.
Griya Kayu Bakar Lu Huan juga sangat sunyi, hanya terdengar suara angin bertiup.
Dua orang di sisi layar yang berlawanan melakukan hal yang sama, saling menemani satu sama lain.
Su Xi meminum susunya dan melihat pada si anak yang ada di layar, serta tak bisa menahan senyumnya. Kekuatan tekadnya tak terlalu kuat. Kalau dia harus menjawab kertas-kertas tugasnya seorang diri, mungkin, karena dia akan merasa sangat bosan, maka sesekali dia akan membuka-buka weibo.
Namun si anak ambius dan sabar, mengerjakan berbagai hal dengan penuh konsentrasi. Su Xi terpengaruh, rasanya seakan dirinya telah terinspirasi, dan takkan merasa terlalu kesepian dengan adanya seseorang yang menemaninya sementara dia mengerjakan PR.
Sesekali, si anak di layar akan mendongak dan menatap ke udara kosong, seakan hendak memastikan kalau si hantu masih ada di sana.
Su Xi takkan menunggu sampai si anak bertanya. Dia akan membelai kepala kecil si anak untuk menunjukkan kalau dia masih bersama dengannya, dan dengan setitik rasa lega tampak di wajahnya, si anak akan melengkungkan sudut-sudut bibirnya dan menundukkan kepala untuk lanjut membaca.
Jemari ramping Lu Huan menyentuh permukaan halaman untuk membalikkannya, namun tanpa bisa dikendalikan benaknya terus-terusan tertuju pada hantu di sisinya. Dia menaikkan pandangannya dan menatap ke arah lentera kuning terang yang berayun dihembus angin. Cahaya lentera itu, persis seperti aliran yang hangat, bukan hanya menerpa halaman bukunya, melainkan juga mengenai dirinya.
Semuanya sepi dan sunyi.
Ada seulas senyum damai di mata Lu Huan.
Si hantu masih ada di sana.
Sepertinya untuk pertama kalinya, ketika Lu Huan sedang membaca di malam hari dalam Griya Kayu Bakar yang dingin dan berangin, ada seseorang di sisinya.
Walaupun dia tak tahu apa yang sedang dilakukan oleh si hantu pada saat ini, mungkin sedang terkantuk-kantuk di atas ranjang, atau sedang bengong, atau mungkin sedang membuka buku untuk membaca tentang dunia hantu – keberadaannya sudah cukup untuk menghibur Lu Huan.
Lu Huan tak pernah berpikir bahwa pada suatu hari akan ada seseorang di sekitarnya yang akan membuat ruang kosong di dalam hatinya tidak lagi terasa gersang dan dingin, tidak lagi menyedihkan dan mendung, namun dipenuhi oleh kedamaian dan kehangatan.
Pada saat ini, suasananya hangat dan syahdu, membuat orang merasa terikat secara sentimentil. Dia ingin waktu berhenti di sini.
….
Sejak saat itu, setiap malam keduanya akan belajar dengan cara seperti ini, saling menemani.
Su Xi membentangkan kertas, dan si anak di layar tampaknya mengerti apa yang si hantu ingin dia lakukan. Dia mulai melakukan push-up, mengangkat ember, memanah, dan berlatih ilmu pedang, seraya membaca buku-buku yang diberikan si hantu kepadanya.
Dia bisa mengingat berbagai hal hanya dengan sekali lihat, dan membaca buku dengan sedemikian cepat sampai-sampai Su Xi harus menukar banyak buku untuknya dari toko.
Setelah membaca buku-buku yang paling penting, Lu Huan beralih ke teknik konstruksi, konservasi air dengan sistem Tutian, taksiran atas pengangkatan dan pemberhentian pejabat, penilaian ujian kekaisaran, dan lebih banyak lagi yang merupakan lingkup pengetahuan dari Kementerian Perang. Karena kelak Lu Huan akan mencoba masuk ke situ, dia harus tahu sesuatu tentangnya.
(T/N: Tutian adalah sistem agrikultur negara yang berasal dari Dinasti Han Barat)
Ditambah lagi, ada berbagai macam buku lainnya di toko yang tidak tersedia di Negara Yan, termasuk beberapa catatan perjalanan, budaya-budaya dari dinasti lain serta orang-orang setempat, dan sebagainya.
Su Xi melihat kalau si anak membaca sedemikian cepatnya sehingga dia harus membeli lebih banyak lagi dengan mata uang game untuk anak itu, dan anak itu begitu pandai dalam hal ini sampai-sampai dia bahkan mulai membaca-baca beberapa buku bergambar.
Tampaknya Lu Huan agak penasaran tentang seperti apa penampakan dari buku-buku bergambar dari alam baka, dan ingin tahu dunia tempat Su Xi tinggal.
Su Xi: ….
Selain dari mengenakan mantel dan pergi ke pertanian untuk mengunjungi rumah kaca dan tanaman pangannya, si anak tetap tinggal di dalam kamar untuk membaca, lupa makan dan tidur demi berlatih dengan pedang dan tombak, bangun dini hari dan tidur larut malam.
Dengan pola seperti ini, kemajuan pun telah dibuat dengan sangat pesat.
Hati seorang ibu tua milik Su Xi merasa luar biasa nyaman. Apa yang bisa lebih memuaskan daripada melihat anaknya membaca dan membuat kemajuan tanpa kenal lelah?
Akan tetapi, si anak telah bekerja sedemikian kerasnya, namun poin-poin keahlian dan kekuatan fisiknya belum juga meningkat.
Sistem: “Push-up, angkat besi, latihan pedang, memancang tiang. Masing-masingnya harus dilakukan sebanyak sepuluh ribu kali sebelum poinnya bisa terkumpul.
Su Xi: ???
Setelah sepuluh ribu kali memancang, dia akan berubah jadi mesin pemancang. Kurasa kau sedang mempersulit anakku ini.
Akan tetapi, karena poin di bagian ini sangat sulit untuk ditingkatkan, Su Xi tidak terburu-buru. Lagipula, dia tidak membuat si anak melakukan hal ini demi mendapat poin, melainkan demi mencegah si anak terluka pada misinya di utara kelak.
Di sisi lain, si anak sepertinya punya rencananya sendiri. Walaupun di atidak tahu tentang tugas Su Xi, dialah orang yang paling tahu tentang bekerja keras demi memperoleh hal-hal besar.
Dengan cara ini, sepuluh hari pun telah berlalu di dalam game.
Sepuluh hari kemudian, pelajaran musim semi pun dimulai di Akademi Tai.
Ada tujuh orang guru di Akademi Tai. Selain dari instruktur senior, enam guru lainnya mengajarkan etika, musik, memanah, pendidikan negara, kaligrafi, dan matematika.
Akademi Tai merupakan tempat paling ternama di Negara Yan, tapi tak peduli seberapa pandai pun guru-guru ini, yang telah mereka lihat dan dengar hanya berasal dari sejarah Yan dan pengalaman-pengalaman mereka dari negara-negara lain.
Di sisi lain, banyak dari buku-buku kuno yang telah Su Xi beli di toko tak pernah dilihat oleh guru-guru ini.
Tempat yang Lu Huan, pada awal usia remajanya, ingin melangkah ke dalamnya adalah Akademi Tai, namun Lu Huan yang berusia lima belas tahun, setelah membaca buku-buku kuno itu, jadi merasa kalau pengajaran di Akademi Tai sangat kurang.
Pada hari pertama anak itu bersekolah, sang Nyonya Besar mengantarkan banyak barang, sementara Su Xi membeli sebuah tas kain yang kokoh dari toko untuk dijadikan sebagai tas sekolah.
Si ibu tua yang melihat hari pertama si anak masuk sekolah, lebih bersemangat ketimbang si anak itu sendiri, dan bergegas pulang ke rumah pada hari itu demi berkonsentrasi mengantar anaknya pergi bersekolah. Dia juga memberi Lu Huan kuas-kuas kaligrafi besar dan kecil, kertas, batu tinta, dan sebagainya. Dengan sangat murah hati dia menaruh semuanya di atas meja si anak.
Pagi-pagi sekali, ketika matahari pagi pertama kali muncul dan Lu Huan melihat barang-barang yang ada di atas meja, rasanya seperti kalau mentari yang hangat sedang menyinari wajahnya.
Walaupun kemungkinan besar dia takkan menggunakan barang-barang itu, dia masih memasukkan semuanya ke dalam tas kainnya. Dia sama sekali tak keberatan dengan beratnya, lagipula, semua ini berasal dari niat baik si hantu.
Ketika dulu dia masih dipaksa mengangkat air dan melakukan kerja keras sepanjang hari di Ning Wangfu, dan ketika dirinya dipukuli dan difitnah, dia juga berpikir bahwa suatu hari nanti dia akan melangkah keluar dari rawa ini dan memasuki gerbang Akademi Kekaisaran dengan kekuatannya sendiri.
Namun pada saat itu, hatinya penuh dengan kepedihan, dingin, kebencian nan kelam, berpikir bahwa meski dia melangkah keluar dari gerbang Ning Wangfu, takkan ada kebahagiaan di dalam hatinya, dan dia akan tetap sendirian.
Tak ada seorang pun yang akan menghangatkan arak untuknya, tak ada seorang pun yang akan merasa gembira untuknya.
Pada saat itu dia tak berpikir kalau pada suatu hari akan ada seseorang yang menyertainya….
Orang yang akan menemaninya membaca dan menulis tiap malam, mendengarkan rintik hujan, tetap bersamanya dari Ning Wangfu hingga memasuki istana, dan menghadapi pusaran serta gelombang gelap berikutnya bersama-sama.
Menemani dirinya dalam menyadari harapan yang dia idamkan sejak kecil untuk memasuki Akademi Tai, dan merasa gembira serta bahagia untuknya, mempersiapkan kuas, kertas, batu tinta, dan tas kain untuknya sejak awal – sosok itu menantikan untuk melakukan semuanya itu demi kepentingannya, dan bahkan lebih gembira serta lebih bersemangat ketimbang dirinya sendiri.
Lu Huan merasa dia telah menemukan rumah.
Dia menatap udara di dalam rumah, sorot matanya cerah, dan berbisik, “Terima kasih karena telah melakukan semua ini untukku.”
Di luar layar, Su Xi sedang makan malam, menunggu si anak bangun pagi-pagi sekali dan pergi bersekolah.
Dia melihat si anak menggendong tas kainnya dan mengenakan jubah brokat bersulam phoenix terbang merah cerah yang merupakan pakaian pendamping dari tingkat sembilan, dengan mata hitam besar yang amat memikat pada wajah kartun putih bundarnya. Anak itu belum berangkat ke sekolah, dan masih secara membuta mengatakan sesuatu keras-keras.
Su Xi mengulurkan tangan dan mendorongnya, mengindikasikan kalau dia harus segera berangkat ke sekolah, kalau tidak akan terlambat.
Lu Huan dikejutkan oleh kemunculan si hantu, karena akhir-akhir ini si hantu selalu datang di malam hari. Dia girang bukan kepalang dengan kemunculan mendadak si hantu pagi-pagi sekali.
“Apa hari ini kau sedang senggang?” Di layar, sebuah gelembung dialog muncul di atas kepala si anak.
Su Xi menarik tangan kanan anak itu.
Lu Huan langsung tahu kalau si hantu sedang sibuk pagi ini, tapi mungkin tak mau melewatkan hari pertamanya bersekolah, jadi si hantu pun datang untuk menemani dirinya.
Hati Lu Huan tergerak, dan mata gelapnya yang menatap udara kosong tampak cerah.