I Raised A Sick And Weak Prince - Chapter 43 (Part 2)
Kekacauan di divisi militer kedua berakhir dengan begitu saja: di antara waktu yang singkat itu, semua orang di divisi militer kedua pun dibuat takhluk oleh si anak.
Tugas sampingan [Menakhlukkan Hati Divisi Militer Kedua] di pihak Su Xi pun juga terlihat sudah selesai, menambahkan dua poin lagi.
Su Xi belum memikirkan dengan seksama bagian mana yang akan dia buka dengan memakai poin baru ini, jadi dengan gembira dia menyimpannya untuk sementara waktu.
Sementara itu bagi si anak, selain hadir di kantornya di divisi militer kedua, dia masih harus lanjut pergi ke Akademi Tai.
Cendekia Shangguan sudah dipenjara, dan si anak lanjut belajar dengan santai di Akademi Tai.
Memanfaatkan kesempatan ini, si anak, yang sangat haus akan pengetahuan, sekali lagi mengambil kesempatan ini untuk membaca lebih banyak lagi buku di Paviliun Pustaka, terus membaca hingga hari gelap.
Ada beberapa kali ketika, sebelum Su Xi offline, dia akan menarik-narik lengan baju si anak untuk mendesaknya agar pulang dan tidur. Lu Huan akan mengiyakan, namun ketika Su Xi sudah pergi, dia akan berbalik dan kembali ke tempat itu.
Namun hasilnya, ketika Su Xi online pada hari kedua, dia menemukan si anak sedang tertidur nyenyak di Paviliun Pustaka.
Melihat si anak yang berbaring seadanya di atas tikar di lantai, tidur dengan mengenakan baju polos sambil masih memegang buku, Su Xi pun dipenuhi oleh amarah.
Anak yang dia besarkan ini sangat menyukai belajar, harus bagaimana dong?! wajah roti kukusnya bahkan jadi kurus gara-gara belajar!
Su Xi tak sampai hati mengganggu si anak. Lagipula, si anak sudah memegang posisi wakil pimpinan di kantor publik, jadi sedikit terlambat bukan masalah. Karena itu, Su Xi membeli selimut wol bulu domba dari toko game, lalu dengan lembut menyelimuti si bulat kecil di lantai itu.
Setelah menyelimutinya, Su Xi kembali berusaha mengambil buku <Doktrin Urusan Negara> dari pelukan si anak.
Namun pad saat inilah ketika sebuah buku lain tanpa disangka-sangka terjatuh dari balik sampul buku <Doktrin Urusan Negara>, hampir membentur lantai dengan suara ‘pak’ dan membangunkan si anak. Buru-buru Su Xi menggunakan tangannya untuk menangkap kedua buku itu.
Di luar layar, Su Xi merasa agak geli. Apakah si anak sama seperti ketika mereka (Su Xi dan teman-temannya) berada di kelas, membungkus novel di balik sampul buku-buku pelajaran bahasa dan matematika? Menggemaskan sekali.
Namun segera setelahnya, ketika Su Xi melihat buku apa yang ada di bawah sampul buku itu, dia terdiam.
….
Ini adalah buku <Kebangkitan Arwah> yang hampir usang karena sering dibolak-balik.
….
Di luar layar, Su Xi meletakkan ponselnya ke meja, memijit bagian di antara alisnya, dan menatap ke luar jendela.
Di luar jendela, bulan terang menggantung tinggi, dan gedung-gedung pencakar langit berdiri berjajar laksana hutan, baris demi baris. Karena mereka belum pindah ke rumah yang baru, suara lalu lintas dan mobil-mobil yang berseliweran di bawah masih bisa terdengar. Dia berpaling untuk mengedarkan pandangan ke kamarnya, pada pengatur suhu udara, selimut electrothermal, dan komputer, yang mengeluarkan suara dengung samar karena masih menyala.
Semua ini mengingatkan Su Xi bahwa, walaupun si anak bukan sekedar karakter di dalam game, dirinya dan anak itu berada dalam dua dunia yang berbeda.
Karena mereka berada di dunia yang berbeda, bagaimana mungkin mereka bisa berada di tempat yang sama?
Si anak, karena ingin bisa melihat dirinya, sepertinya mendambakan ilusi semu untuk terlibat dengan arwah, namun anak itu tak mau Su Xi tahu karenanya selalu mencari-cari berbagai cara berbeda secara diam-diam.
Akan tetapi, hal ini sama sekali mustahil. Su Xi tak mungkin bisa masuk ke dalam layar. Cara-cara membangkitkan hantu dan arwah yang diyakini oleh si anak juga sepenuhnya mustahil.
Semakin saat ini si anak berharap, pada suatu hari kelak ketika dia menyadari bahwa semua yang dia nantikan bagaikan rembulan di permukaan air, semakin dia akan merasa kecewa.
Pada hari pertama Su Xi membuka game itu, ketika dia melihat si karakter game kcil membawa kayu bakar ke dalam rumah reyot mungilnya dengan luka-luka di sekujur tubuh, hatinya tak terlalu tergerak, hanya merasa kalau ini menggelikan dan mengibakan.
Pada saat itu, Su Xi tak pernah berpikir kalau dia akan menemani anak itu setiap hari, dan perlahan-lahan akan menumbuhkan perasaan tidak rela berpisah dengannya. Kini, setelah sekedar berpikir bahwa anak itu akan jadi sangat, sangat sedih, tanpa disangka-sangka jantungnya serasa diremas.
Si anak sudah cukup menderita ketika tumbuh dewasa. Su Xi tak ingin menjadi salah satu hal yang membuat anak itu bersedih.
Karenanya, di dalam Akademi Tai, ketika Yun Xiupang lagi-lagi menemui si anak, Su Xi menatap si gendut kecil ini. Dalam hatinya pun tumbuh ide supaya si anak memiliki teman-teman dan orang-orang yang disayanginya di dunianya sendiri.
Dengan demikian, kalau ada orang di sana yang bisa menemani si anak Su Xi akan merasa lebih lega.
Dengan cara ini, bahkan jika suatu hari, ketika si anak akhirnya menyadari bahwa Su Xi adalah orang dari dunia lain, terpisah dari anak itu oleh jarak yang mustahil, dan bukanlah hantu yang bisa dihubungi, si anak semestinya takkan merasa terlalu bersedih.
Namun begitu dia berpikir demikian, sebaliknya hati Su Xi, terasa agak masam.
Kalau kelak hari seperti itu benar-benar terjadi, dan dengan mata kepalanya sendiri Su Xi melihat si anak menikah dan berkarir, ditemani oleh orang yang dekat dengannya, maka Su Xi takkan lagi menjadi orang paling penting bagi anak itu. Waktunya akan terbagi dan diberikan kepada orang lain, dan tidak lagi akan dihabiskan dengan tanpa daya untuk menunggu Su Xi muncul tiap hari. Anak itu takkan lagi mengantar Su Xi offline sementara dirinya sendiri kesepian… tapi akankah Su Xi benar-benar merasa gembira?
Apakah kebahagiaannya sendiri penting atau tidak, Su Xi berpikir kembali, satu-satunya hal yang penting adalah bahwa si anak bisa menjalani hari-harinya dengan bahagia di dunianya sendiri.
Yun Xiupang ingin berjalan bersama dengan si anak, tapi si anak, melihat kalau orang ini lagi-lagi mengikuti dirinya, malah merasakan sakit kepala, dan buru-buru merapikan tasnya, lalu bergegas menyelinap pergi lewat pintu samping Akademi Tai.
Tapi dia sudah terlalu sering menyelinap pergi, dan Yun Xiupang juga tak sebodoh itu. Hari ini Yun Xiupang berhasil memergokinya di pintu samping, berlari terengah-engah: “Lu Huan, tunggu aku, apa yang membuatmu jalan secepat itu?! Ayahku bilang, aku harus lebih sering bersama denganmu!”
Di atas kepala si anak di dalam layar terdapat serentetan titik-titik: ……
Lu Huan sudah akan menambah kecepatan untuk menyingkirkan Yun Xiupang, tapi angin di sisinya tiba-tiba melonjak, menarik lengan bajunya, memeganginya kuat-kuat dan tidak mau melepaskan.
Lu Huan: “….”
Langkah kakinya akhirnya berhenti persis seperti keinginan Su Xi, namun ekspresi di wajahnya tampak agak tidak senang.
Dia menatap dingin pada Yun Xiupang yang masih cukup jauh di belakangnya, dan menggunakan sepatunya untuk menendangi kerikil di dekat kakinya, berkata dengan nada kesal: “Kau ingin main dengan si gendut kecil itu lagi?”
Su Xi di luar layar takut kalau Lu Huan akan salah paham dan mengira kalau dia peduli pada si gemuk kecil itu lebih daripada dirinya, jadi Su Xi buru-buru menarik lengan baju kiri si anak sebelum mendorong punggungnya ke arah si gemuk kecil di sana itu, dengan gelisah berusaha menyampaikan serentetan isyarat.
Si anak sangat cerdas, dan karenanya langsung mengerti, lalu berkata: “kau berharap aku mau main dengan si gendut kecil itu?”
Su Xi di luar layar sungguh ingin mengacungkan jempol pada si anak. Nak, kau itu sungguh seperti mesin yang bisa membacaku ah!
Tapi si anak masih tampak sangat tidak senang, merundukkan bulu matanya, dan sesaat kemudian berkata tanpa semangat: “Aku tahu.”
Yun Xiupang akhirnya berhasil menyusul dengan susah payah. Menyeka keringatnya dan sambil terengah-engah keras dia berkata, “Kau, kenapa kau, jalan, jalannya cepat sekali. Hari ini aku juga ingin pergi ke kantor publik, apa aku bisa ikut denganmu?”
Lu Huan meliriknya. Sungguh langka baginya untuk tidak langsung memalingkan kepala dan berjalan pergi, lalu berujar, “Terserah.”
Yun Xiupang langsung kegirangan, kemudian melangkah bersisian dengan Lu Huan di jalan kota.
Karena sifat pengecutnya, Yun Xiupang tak punya teman satu pun di Akademi Tai, bahkan menjadi sasaran penindasan dari yang lain. Kini berjalan di sebelah Lu HUan, dia merasa kalau akhirnya bisa berteman dengan orang ini, dan hatinya terasa gembira dan damai, karena itu dia terus-terusan bertanya pada Lu Huan tentang soal-soal yang dibicarakan oleh guru pada hari itu.
Lu Huan menjawab semuanya satu persatu, di ekspresinya juga tak tampak ketidaksabaran.
Di satu sisi Yun Xiupang kegirangan, di sisi lain juga merasa agak terharu.
Sementara Su Xi yang menonton dari luar layar, juga merasakan perasaan penuh syukur seperti yang dimiliki seorang ibu tua.
Menunggu hingga Yun Xiupang pergi, si anak lalu kembali ke dalam kediaman petugas.
Dia duduk dan menyeduh sepoci teh, lalu langsung menenggak dua teguk penuh, seakan bicara dengan Yun Xiupang sangatlah melelahkan sampai-sampai mulut dan lidahnya terasa kering.
Tiba-tiba Su Xi merasa agak menyesal dan gundah: Nak, menerima teman yang tak terlalu pintar pasti sulit bagimu.
Kemudian, si anak tidak bicara untuk waktu yang lama.
Si anak cuma duduk diam di sana, sementara di atas kepalanya terus-terusan mengeluarkan “…..”, seakan dia sedang mempertimbangkan sesuatu, tapi tak mampu membuka mulutnya untuk waktu yang lama.
Petangnya, cahaya di dalam game perlahan meredup. Cahaya dari matahari terbenam di halaman kediaman petugas menerobos masuk lewat jendela kertas yang tipis, menyorot area di antara alisnya. Mata Lu Huan tampak mengandung setitik rasa pahit.
Su Xi menepuk-nepuk kepala anak itu, yang berarti — ada apa?
Si anak menundukkan wajah roti kukusnya, mengerutkan bibir, dan terdiam selama beberapa saat sebelum tak bisa lagi menahan diri untuk bertanya, “Kau… apa kau merasa bahwa karena Yun Xiupang memiliki situasi tidak menyenangkan yang serupa dengan yang kualami dulu, kau jadi mulai merasa kasihan kepadanya, menganggapnya sebagai aku yang kedua, sehingga kemudian kau menjadikan aku, menjadikan aku….”
Bicara sampai akhir, dia tak sanggup bicara lagi, dan tampak agak malu. Bulu matanya bergetar, dan dia berdiri lalu berjalan ke tengah halaman.
Cahaya matahari terbenam di tengah halaman menyinari tubuh si anak: seorang anak bertubuh kecil, dan sebuah jendela kecil.
… Su Xi terpana: dia tak pernah menyangka kalau si anak akan berpikir demikian.
Ternyata si anak berpikir bahwa alasan kenapa Su Xi selalu menyuruhnya sedikit lebih memedulikan Yun Xiupang adalah karena Su Xi menganggap si gemuk kecil itu sebagai dirinya yang kedua, dan Su Xi bersimpati kepada si gemuk kecil itu?
Kesalahpahaman ini sungguh besar ah!
Buru-buru Su Xi mengubah antarmuka ke bagian tengah halaman, berusaha menjelaskan dengan segala cara.
Permainan ini benar-benar terlalu curang. Kalau si anak bicara kepadanya maka akan muncul kotak-kotak dialog, tapi dia harus mencapai seratus poin, dan barulah pada saat itu dia bisa bicara pada si anak! Setelah memainkan game ini, Su Xi merasa kalau dirinya sudah akan berubah jadi orang bisu yang cuma bisa membuat gerakan-gerakan heboh untuk bicara!
Si roti kukus kecil masih berada di tengah halaman, terus berduka. Su Xi menggaruk kepalanya. Melihat tumpukan kayu bakar di sudut, dia pun langsung menarik si anak ke tumpukan itu.
Sebuah tanda tanya yang diwarnai oleh kesedihan muncul di atas kepala si anak: ?
Su Xi mengeluarkan sebatang ranting dari antara kayu bakar itu, melemparkannya ke depan si anak. Artinya adalah – apa kau lihat, dari seluruh tumpukan kayu bakar ini, nenek ini cuma menginginkan satu.
Si anak kelihatan seakan tidak mengerti sama sekali maksud Su Xi. Wajahnya masih tanpa ekspresi, dan area di antara alisnya masih tampak agak sedih.
Su Xi jadi panik. Dia meletakkan ranting itu kembali ke tempatnya, kemudian mengambil dua batang ranting lagi dari tumpukan kayu bakar. Yang satu adalah potongan kayu bakar yang tinggi dan kurus, sementara satunya lagi adalah kayu bakar yang tebal dan gemuk, lalu meletakkannya di hadapan si anak.
Kemudian, dengan ‘paak’, potongan kayu yang tebal dilempar hingga melayang. Maknanya adalah – kau lihat kan, nenek ini tak menginginkan si gemuk kecil, cuma mau si roti kukus kecil.
Sudut-sudut mulut si anak kelihatan naik dengan cepat, tapi pada detik berikutnya, bagian di antara alisnya berkerut. Dia menautkan tangannya di belakang tubuh dan berdiri di sana, dengan wajah roti kukus tampak tertekan, berkata: “Aku tak mengerti maksudmu.”
Su Xi di luar layar sudah hampir gila dibuatnya: “Ah ah ah ah!”
Dia menggaruk kepala, kembali meletakkan sepotong kayu bakar di sisi kiri si anak, dan kemudian kali ini meletakkan dua potong kayu bakar di sisi kanan si anak lagi. Setelahnya, dia membuat tongkat yang kiri berdiri tegak, lalu melemparkan dua potong kayu bakar yang ada di kanan ke luar halaman.
Kali ini, alis si anak bergerak, tampak mengerti, berusaha menimbang-nimbang selama beberapa saat, kemudian berkata ragu: “Maksudmu, aku unik dan tiada duanya?”
(T/N: unik dan tiada duanya, muncul dari idiom ‘hanya ada satu bukan dua’. itulah sebabnya Su Xi melempar dua potong kayu bakarnya.)
Su Xi menarik-narik tangan kiri si anak kuat-kuat.
Si anak di dalam layar berdiri tak bergerak, namun sudut mulutnya yang terangkat tak bisa diturunkan lagi. Telinganya sudah agak memerah, dan matanya bahkan lebih terang daripada matahari senja. Meski demikian, dia berkata acuh tak acuh: “Oh, benarkah?”
Anak itu bergaya amat acuh tak acuh ketika mengatakannya, namun sebuah gelembung putih yang dibanjiri oleh hati-hati kecil nan ceria muncul di atas kepalanya — “Aku tahu kok.”
Su Xi: …..
Nak, bukankah kau itu terlalu melodramatis?
————
Pengarang ingin bilang sesuatu:
Si Anak: A-a-a-a-aku tiada duanya! (telinga memerah sepanjang malam)
Su Xi: Anak ini sudah sinting.