Life After Marriage - Chapter 1
Dini hari, aku berdiri di depan sebuah bar yang lumayan terkenal. Aku menarik napas dalam-dalam dan sambil memberanikan diri mendorong pintu bar itu hingga terbuka, lalu berjalan masuk.
Alasan kenapa bar ini begitu terkenal adalah karena besarnya kemungkinan sukses mengalami hubungan cinta satu malam. Para pria dan wanita yang saat ini sedang berada di tempat ini, hanya ingin melibatkan diri dalam pertemuan asmara, memainkan permainan “kugoda kau, kau goda aku”, setelah fajar lalu mengatakan bahwa permainan berakhir tanpa perlu mempertanggungjawabkan yang sudah terjadi.
Alasanku kemari pun sangat jelas, bahwa aku ingin terlibat dalam permainan tersebut dan memainkan permainan cinta satu malam.
Jangan menganggapku sebagai orang yang terlalu berpemikiran terbuka (menganggap s*ks bebas sebagai hal yang wajar). Sebenarnya, hal seperti ini baru pertama kali kulakukan. Selama dua puluh lima tahun, aku menjalani kehidupanku sebagai wanita baik-baik. Maksudku, aku berpemikiran terbuka tapi tubuhku konservatif (masih perawan). Namun, di usiaku yang tepat dua puluh lima tahun ini, kuputuskan untuk menelanjangi tubuhku, dan menemukan seorang pria sebagai hadiah ulang tahun untuk diriku!
Sebenarnya, aku sadar bahwa ini tidak mudah. Hanya saja, semua tekanan dan stres ini nyaris membuatku gila. Faktanya, secara berturut-turut kelima mantan pacarku memutuskanku karena alasan konyol yang sama: “Kau mengeluarkan aura seperti Maria si Perawan Suci; maaf, tapi aku tak bisa lagi melanjutkan hubungan kita.”
Hey! Apa mereka pikir aura suci merupakan sesuatu yang bisa dimiliki setiap wanita? Alasan mereka memutuskanku terdengar begitu agung, faktanya, mereka cuma menyalahkanku karena menolak untuk tidur dengan mereka. Jangan bilang bahwa itu merupakan salah satu aturan pacaran?
Meskipun aku sangat ingin membalas mereka dan tahu bahwa hubungan cinta satu malam merupakan langkah yang tak logis, aku tak mungkin berubah pikiran dan mundur sekarang. Mungkin karena terlalu banyak membaca novel romantis, ide yang terlalu berani ini selalu bertengger dalam pikiranku, dan malam ini adalah malam yang sempurna untuk melakukannya.
Lampu-lampu di bar sangat banyak, remang-remang, dan samar. Lampu-lampu itu menyebabkan sulit untuk melihat satu sama lain, jelas meningkatkan kesan misterius dari setiap orang yang ada di sana. Musik di bar juga sangat berguna, keras tapi tidak terlalu kasar, dibuat sedemikian rupa supaya dua orang yang hendak bercakap-cakap jadi perlu mendekatkan diri satu sama lain, mengambil langkah yang provokatif.
Karena ini merupakan pengalaman pertamaku mengunjungi bar, aku perlu waktu untuk untuk beradaptasi dengan lingkungan semacam ini. Musik yang memekakkan agak membuat kepalaku sakit dan penerangan yang gelap memburamkan penglihatanku.
Setelah beradaptasi dengan sekelilingku, kutemukan bahwa semua tipe pria dan wanita, ada di dalam bar. Para wanita tersenyum dan menunggu para pria untuk membelikan mereka minuman sementara para pria dengan penuh percaya diri merangkul para wanita yang sedang menari dan berbisik dengan mesra ke telinga mereka. Melihat pemandangan ini, aku mulai merasa malu dan kurasakan wajahku memanas.
Mataku beralih dari para pria menuju para wanita, dari lantai dansa menuju deretan meja bundar. Kebanyakan wanita tampak muda, cantik, dengan bentuk tubuh yang indah, dan mengenakan riasan tebal serta pakaian terbuka. Mencoba membandingkan pakaian minim mereka, aku menatap ke bawah pada pakaianku: jeans, kaus berkerah bulat, sneakers, dan wajah yang tanpa riasan. Sangat mustahil bagiku menyaingi mereka. Meskipun tubuhku bagus, jika aku tidak menampakkan apa yang kupunya, maka tak akan ada seorangpun yang tahu sebagus apapun tubuhku. Semakin aku memperhatikan para wanita itu semakin aku ingin menampar diriku sendiri. Kenapa aku tidak mengganti pakaianku sebelum kemari?
Seorang pelayan membawaku ke konter pojok dan dengan baik hati membantuku memesan sebotol bir dengan kandungan alkohol 10%. Melihat perbuatannya, tampaknya dia menganggapku sebagai wanita baik-baik yang cuma ingin meredakan stres dengan datang kemari dan belajar tentang pergaulan. Dia pasti mengira bahwa aku hanya akan menonton dan tidak melibatkan diri.
Dengan tak berdaya aku duduk di pojokan itu. Karena tak tahu bagaimana harus memulai, diam-diam aku hanya mengamati para pria beruntung yang mungkin akan menjadi hadiah ulang tahunku malam ini.
Sambil bersandar ke dinding dan menyesap bir di pojokan yang tersembunyi, aku melirik ke sekelilingku pada para pria di dalam bar. Karena karakter dasar dari bar ini, pria-pria yang datang kemari pun semuanya sangat berkualitas. Kebanyakan mereka sangat mampu mengendalikan perilaku ambigu mereka, bebas tapi sopan. Aku melihat sekeliling berkali-kali, tampaknya kebanyakan pria sudah menemukan partner mereka masing-masing. Selain seorang pria muda yang sedang duduk di pojokan dan tampak meminum birnya sepertiku, semuanya sudah berpasangan.
Aku pun segera memutuskan bahwa dialah yang akan menjadi si pria beruntung. Karena dia tampak sulit didekati, dia pasti lebih bersih. Karena itu pula, sepertinya ini akan sulit. Aku butuh lebih banyak keberanian.
Aku pun melambai ke arah bartender dan memesan sebuah minuman beralkohol tinggi untuk memunculkan keberanianku.
Berkat film Detective Conan, aku jadi bisa memesan beberapa tipe minuman beralkohol: Calvados, Tequila, Piske, Shirley, Vodka, Chianti, Cohen, dan Whiskey.
Si bartender tampak tak setuju dan menolak memberikan minuman apapun. Dari tatapan mencelanya, sepertinya dia salah mengiraku sebagai remaja di bawah umur dan tak bertanggung jawab.
Oke, kuakui penampilanku memang agak kekanakkan, tapi, bukannya yang kuminta hanya segelas minuman beralkohol?
Pada akhirnya, setelah berdebat dengan si bartender dengan mengerahkan segala cara bahkan sampai menunjukkan hampir semua kartu identitasku, dengan segan si bartender menyodorkan segelas wine tak dikenal.
Karena toleransiku terhadap alkohol cukup baik, aku memilih minuman beralkohol tinggi. Gelas berisi wine yang tak kutahu ini ternyata memang sangat kuat. Baru satu gelas dan aku sudah bisa merasakan efeknya, kepalaku terasa melayang dan penglihatanku agak kabur. Aku melotot ke arah si bartender. Bukannya tadi dia yang menolak memberiku minuman beralkohol tinggi? Kenapa dia malah memberiku minuman dengan kandungan alkohol yang sangat kuat, yang bahkan melampui batas toleransiku?
Aku menarik napas dalam-dalam dan meninggalkan konter. Meskipun agak pusing, langkah kakiku masih tegap. Aku menghindari pengunjung lain dan langsung berjalan ke arah pria yang sedang duduk di pojokan itu.
Aku berdiri di depannya dan aku bisa melihat bahwa ada keterkejutan, keraguan, dan kebingungan di matanya.
Dengan kaku aku menelan ludah, duduk di sampingnya, dan menatap ke depan selama beberapa detik sebelum aku menghadap ke arahnya dengan tubuh yang mencondong ke depan.
Tepat saat aku hendak menyentuhnya, seluruh tubuhnya tersentak. Aku menyeringai, mataku tenggelam dalam seringaiku, aku mencoba untuk terus maju, terus mencondongkan tubuhku ke depan, mendekatkan bibirku ke telinganya, mengabaikan tubuhnya yang mengkaku, dan dengan suara keras berkata: “Kita sejenis, kok!”
Usai mengucapkan kalimat tersebut, aku mendadak merasa malu, tak tahu mau bilang apa lagi.
Anehnya, dia pun mendadak menatapku dengan tatapan kaget dan tampak merenungkan perkataanku dengan hati-hati.
Tiba-tiba, dia meraih tanganku dan segera membawaku keluar dari bar itu sebelum aku sadar dengan apa yang baru saja terjadi.
Nyaliku mendadak ciut setelah duduk di dalam mobil mersinya. Aku tak menyangka diriku bisa melakukan hal seberani ini.
Aku menoleh dan memungungi pria yang sedang menyetir itu dan mendapati bahwa dia bukanlah pria biasa, melainkan pria dengan kualitas sangat tinggi. Kesan pertamaku saat melihatnya di bar memang dia sangat tampan, tapi, aku sama sekali tak menyangka bahwa dia akan setampan ini. Aku menatapnya sambil menyeringai, tak menduga bahwa aku akan seberuntung ini dan memilih seorang pria dengan kualitas sempurna.
Ternyata benar, kualitas tempat menentukan kualitas pengunjungnya.
Meskipun jumlah kendaraan saat dini hari tidak banyak, saat berpapasan dengan lampu lalu lintas, pria itu tetap mematuhi aturan untuk menghentikan mobilnya. Aku masih menatapnya dengan tatapan polos, dan secara tiba-tiba dia berbalik ke arahku dan mencium bibirku.
Walaupun ini bukan ciuman pertamaku, dibandingkan pengalaman-pengalamanku sebelumnya, ciumannya jauh lebih intens dan bergairah.
Aku menatap matanya, dan dia balik menatapku, dan aku menyadari bahwa tatapannya dipenuhi keraguan, keterkejutan, dan perasaan lega.
Lampu hijau menyala. Dia menghentikan ciumannya dan kembali menyetir. Aku duduk dengan wajah yang memerah dan kurasakan kepalaku semakin pusing. Aku tak tahu apa ini disebabkan oleh alkohol atau ciumannya yang membara.
Begitu sadar, kutemukan diriku sedang berbaring di atas sebuah ranjang. Pria itu mengangkangi tubuhku dan mulai menanggalkan pakaiannya.
Lampu di ruangan itu mati, tapi dengan bantuan cahaya bulan, aku masih bisa melihat tubuhnya yang mengesankan. Walau terlihat agak kurus, tubuhnya kuat dan tegap. Tanpa sadar aku menikmati pemandangan tersebut dan dengan gugup menelan ludah. Pikiranku bahkan lebih kacau lagi.
Perlahan aku menutup mataku, merasakan sentuhannya yang lembut dan penuh kasih sayang.
Dia mencium kening, mata, hidung, dan meninggalkan sebuah ciuman berkesan manis di bibirku. Tangannya tak tinggal diam dan mulai melucuti pakaianku. Saat dia hendak melepaskan celanaku, aku mendadak teringat akan sesuatu dan mendorongnya menjauh. Di bawah tatapan herannya, aku mengeluarkan sebuah benda dari kantong celanaku dan menunjukkan benda itu padanya. Dia menatap kond*m di tanganku dan menunjukkan seulas senyum s*ksi. Dia kemudian mengambil benda itu dan meletakkannya di samping bantal. Dia lalu kembali menjatuhkan tubuhnya ke tubuhku sambil menciumi dan membelaiku dengan lembut.
Bibirnya yang panas dan lembab bergeser turun ke leherku, menghisap dan mengigitinya, membuatku merasa geli dan ngilu sekaligus. Dia lalu pindah ke dadaku, memainkan kedua payudaraku dengan tangannya sambil menjilati keduanya. Gerakan yang asing dan cepat itu mendorongku untuk mengerang dalam kenikmatan.
Dia memaksa menempatkan tubuhnya di antara kakiku dan menggesekkan tubuhnya ke tubuhku. Sentuhan tangannya membakar setiap bagian tubuhku yang semakin terasa panas.
Aku menutup mataku sementara menikmati kenikmatan yang dia bawa padaku dengan gerakan kaku. Tiba-tiba, aku menyadari bahwa tubuhnya beranjak dari tubuhku. Begitu membuka mata, kutemukan bahwa kami sudah sampai pada langkah yang mengharuskannya memakai kond*m.
Aku memunggungi dadanya dengan wajah memerah sepenuhnya. Dadanya mencondong semakin dekat dan lebih dekat lagi kepadaku. Oh, dia kembali menimpakan tubuhnya ke tubuhku.
Aku meraih sprei dengan tanganku dan menutup mata, menunggu rasa sakit yang khas itu. Dia menegakkan punggungnya dan, AH! Sungguh, ini benar-benar sakit!
Tak ada yang bisa kulakukan selain mengerutkan alisku dan menunggu rasa sakit itu beralih menjadi kenikmatan. Secara tak terduga, dia tak segera melanjutkan gerakan pistonnya (gerakan memompa), dan justru bergeming sambil mulai menciumiku dari waktu ke waktu.
Kuakui bahwa saat ini aku benar-benar berterima kasih padanya, jadi, setelah rasa sakit itu mereda, aku mengambil inisiatif untuk mencium bibirnya dan secara aktif menggoyangkan pinggangku, sehingga kami berdua bisa sama-sama menikmati kenikmatan tersebut.
Selanjutnya, aku hanya bisa mendengar suara eranganku yang memalukan, hembusan napasnya, suara tubuh yang saling beradu satu sama lain, dan suara ranjang yang bergeser.
Sedetik sebelum kehilangan kesadaran, aku memperingatkan diri: Xia Ying oh Xia Ying, ingatlah untuk pergi sebelum fajar!