Life After Marriage - Chapter 2
Aku tak tahu pukul berapa sekarang dan di mana aku berada, aku hanya tahu otakku sedang kacau dan seluruh tubuhku lemas tak bertenaga.
Tiba-tiba, terdengar suara ledakan isakan yang emosional diikuti derap langkah kaki yang terburu-buru. Setelah beberapa menit, suara langkah kaki itu kembali terdengar dan mendekat, lalu mendadak berhenti di dekat telingaku.
Aku mengganti posisi tidurku dari menyamping jadi menelentang, dengan enggan membuka mataku dan segera mendapati pemandangan yang kabur. Aku memejamkan mataku sekali lagi, dan mau tak mau mengerutkan alisku karena merasakan sakit kepala yang menjengkelkan. Sial, wine itu benar-benar kuat! Bartender itu, apa dia hanya pura-pura saat bersikeras menolak memberiku minuman?
Tiba-tiba, aku merasakan tanganku seperti diselipi sebuah pena. Aku berjuang untuk membuka mataku kembali dan menemukan bahwa ada sebuah dokumen di depanku.
Karena mataku agak rabun, disamping baru saja terbangun, bahkan setelah memperhatikan dokumen tersebut untuk waktu yang lama, aku tetap tak tahu informasi apa saja yang tertera di atasnya.
“Ini paketmu, silakan tanda tangan di sini.” Suara seorang wanita yang terdengar menyenangkan secara perlahan melayang ke telingaku. Jika mendengarkan dengan seksama, ada jejak kecemasan di suaranya.
Oh iya, temanku mengatakan bahwa dia hendak mengirimkan sesuatu padaku, sepertinya dia memilih menggunakan jasa pengiriman kilat.
Sekedar informasi, manusia cenderung lebih mudah ditipu dan melakukan kesalahan di pagi hari, saat dirinya masih dalam keadaan mengantuk. Nah, aku ini termasuk jenis yang mudah melakukan kesalahan seperti bocah, aku bahkan sedang menandatangani dokumen yang tak kuketahui apa isinya.
Namun, tepat setelah berhasil menuliskan karakter terakhir dari namaku, aku mendadak tersadar. Bukannya semalam, aku melakukan hubungan cinta satu malam? Bukankah aku tidur dengan seorang pria? Bukankah aku tidak sedang berada di rumah? Lalu, dokumen jasa pengiriman kilat apa yang baru saja kutandatangani?
Bukan saatnya memperdulikan ketidaknyamanan yang kurasakan di tubuhku. Aku berjuang untuk menyingkir dari tempat tidur dan secara tak terduga melihat seorang wanita yang luar biasa cantik.
Oh Tuhan, jangan bilang aku memilih pria yang sudah beristri? Bahkan tertangkap basah sedang bersama di atas ranjang? Demi langit, aku sama sekali tak tertarik menjadi seorang wanita simpanan. Sedikitpun tak tertarik!
Namun, wanita di hadapanku ini tingkahnya agak aneh; dia bukan hanya tidak marah, kesal, cemas, atau mencaci-maki, dia justru tersenyum dengan salinan dokumen itu di tangannya. Senyuman itu nampak seperti seringai bodoh yang berasal dari hati yang dipenuhi kebanggaan dan kepuasan.
Kulit kepalaku terasa ngilu saat mengulurkan tanganku ke arahnya. Baru aku akan mengatakan sesuatu, aku malah melihatnya pergi dengan gerakan yang anggun dan ekspresi puas, dia bahkan menyempatkan menutup pintu di belakangnya dengan sopan.
Dengan tanganku yang masih terulur ke udara dan mulutku yang masih menganga terbuka, aku menoleh ke samping, dan melihat sepasang mata yang dipenuhi tanda tanya namun indah.
Bagus sekali, tampaknya si tokoh utama pria juga sudah bangun.
Awalnya, dia kembali menutup matanya, mengerutkan keningnya dan merenung sesaat, lalu dengan tiba-tiba bangun untuk duduk, buru-buru mengarahkan dirinya ke meja laci di samping tempat tidur, mengambil sepasang kacamata tanpa bingkai dan memakainya.
Tak salah lagi, dia adalah pria yang bisa mengubah temperamen dan daya tariknya hanya dengan sepasang kacamata. Tanpa kacamata, dia memikat, gila, liar, penuh gairah, dan nakal; saat memakai kacamatanya, dia menjadi karismatik, rasional, tenang, dingin, dan … pemalu. Dia adalah gabungan dari dua kepribadian yang berbeda dalam satu tubuh.
Dia yang sedang memakai kacamatanya seperti ini, benar-benar tampan. Begitu pandangan matanya sampai ke tubuhku, dia langsung mengalihkan tatapannya, wajah tampannya juga agak memerah, menampakkan kepolosan yang menggemaskan.
Aku mengikuti arah tatapannya barusan. Ternyata, saat aku duduk, selimut yang menutupi tubuhku merosot turun sampai ke pinggang, sehingga dadaku yang membusung dalam kondisi telanjang sempurna, puas menyapanya dengan begitu saja.
Menyadari hal ini, aku berlagak tenang, dan secara perlahan menarik kembali selimut itu sampai ke leherku, menahannya dengan daguku, lalu menatap pria itu dengan serius; dia yang juga sedang duduk dalam kondisi bertelanjang dada. Dengan kepala yang agak menunduk, poninya yang tampak lembut menutupi kacamatanya, menciptakan bayangan yang membuat orang lain tak bisa melihat ekspresinya.
Baiklah, kuakui bahwa semua ini adalah salahku karena gagal pergi sebelum fajar, namun, bagaimanapun, aku harus mencari tahu ada apa sebenarnya di balik dokumen yang sudah terlanjur kutandatangani karena ditipu tadi itu.
“Um …” Aku memutuskan untuk memulai percakapan dan menyadari bahwa suaraku agak serak. Mungkin ini bayaran yang harus kuterima karena kegilaan yang terjadi semalam. “Barusan, ada seorang wanita yang membuatku menandatangani sebuah dokumen, apa kau tahu sesuatu tentang dokumen itu?”
Usai mendengar kalimatku barusan, dia segera menoleh ke arahku, namun, ekspresinya …
“Jangan tatap aku seolah kau sedang menatap orang bodoh … oke, kuakui aku memang bodoh, tapi, kau tak bisa mengharapkan seorang wanita yang baru saja terbangun untuk memiliki pikiran yang jernih, bukan?”
“Ah …”, dia mendesau pelan.
“Hei! Aku hanya ingin tahu apa sebenarnya isi dokumen itu. Cepat kau beritahu aku, lalu kita berpisah dengan damai.”
Setelah hening selama beberapa saat, dia lalu mengatakan dengan tegas, “… dokumen itu adalah surat perjanjian pernikahan.”
Suaranya sangat enak didengar, sangat memikat, sejuk seperti angin musim semi yang berhembus di bulan Maret. Hanya saja … kenapa yang kudengar berupa pesan yang mengerikan?
Dia bilang, dokumen itu adalah surat perjanjian pernikahan … ?!
Aku meminjam kamar mandinya dan segera membersihkan tubuhku, lalu sekali lagi mengenakan pakaian yang kemarin kukenakan.
Aku naik ke atas tempat tidur, duduk bersila di hadapan dia yang juga baru selesai mandi dan memasang ekspresi serius.
“Jadi, maksudmu, wanita cantik yang barusan itu adalah ibumu. Karena selama ini kau enggan menikah, demi mendorongmu agar segera menikah, beliau lebih dulu menyiapkan surat perjanjian pernikahan. Dan demi menunjukkan baktimu kepada orang tuamu, kau segera menandatangani dokumen tersebut. Lalu, pagi ini, ibumu mampir dan secara kebetulan menyaksikan semua ini. Beliau salah paham dan jadi terlalu bersemangat sampai-sampai menipuku agar menandatangani surat perjanjian pernikahan itu. Jadi, disebabkan oleh kebodohanku, kesimpulan akhirnya adalah kita baru saja menikah kilat, begitukah?”
Dia menganggukkan kepalanya tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa sesuatu yang sangat-tidak-masuk-akal baru saja terjadi! Meskipun aku belum pernah menikah sebelumnya, apa menikah memang segampang ini? Hanya dengan menggoreskan tanda tanganmu di atas selembar kertas?
Karena menyadari keraguanku, dia lantas menjelaskan dengan ramah, “Tak ada gunanya menyangsikan hal ini. Kepala kantor pencatatan sipil adalah teman baik ibuku. Terlebih lagi, mereka akan melakukan segala cara demi membuatku menikah. Jadi, kita benar-benar sudah menikah kilat.”
Sepertinya kita harus percaya bahwa di dunia ini memang ada ibu yang begitu gila seperti ibunya.
Oke, bagus sekali, setelah sebuah hubungan cinta satu malam, aku malah memperoleh seorang suami. Suami yang bahkan nama dan identitasnya tak kuketahui.
Dilihat dari nada bicaranya yang tegas, saat ini ibunya pasti sudah sampai di kantor pencatatan sipil. Dengan kata lain, kami akan segera menjadi suami-istri yang sah di mata hukum.
Aku menarik napas dalam-dalam, terkulai, dan mengeluh dengan suara pelan, “Kenapa kau bisa sebodoh ini, malah membawa pasangan cinta satu malammu ke rumah? Apa tak ada hotel?”
Pria itu lantas menjawab dengan polos, “Ini pengalaman pertamaku!”
Hei, jangan mengatakan kalimat yang membuatku terdengar seolah sudah terbiasa melakukan hal seperti ini. Aku juga baru pertama kali melakukan hal ini!
Jelas sekali, dia juga menyadari bahwa ini adalah pengalaman pertamaku, karena diam-diam, kami berdua sama-sama memperhatikan noda berwarna merah mencolok yang tertinggal di atas sprei putih itu dengan seksama.
“Bisa kau beritahu aku apa alasanmu, um, alasanmu, memilihku?” Aku tidak lupa bagaimana dia telah menolak semua semua wanita yang berusaha mendekatinya semalam.
“Karena kau bilang kita adalah jenis orang yang sama!” Dia terdengar agak emosional dan nada bicaranya mengandung kesan menyalahkan.
“Sebenarnya, yang kumaksud dengan mengatakan bahwa kita sejenis adalah bahwa kau dan aku sama-sama orang yang datang ke bar hanya untuk minum-minum …”
Luar biasa, aku berhasil mendapatkan seorang suami hanya karena mengatakan kalimat itu. Hadiah ulang tahunku kali ini, tampaknya benar-benar tak biasa.
Sepertinya dia sudah mengantisipasi hal ini hingga kemudian dengan tenang mengatakan, “Jadi bagaimana sekarang? Apa kau bersedia menikah denganku, atau …”
Aku menoleh ke arahnya dan sambil tersenyum manis mengatakan, “Menikah! Pastinya!”
Sebenarnya aku belum mau menikah, tapi, keuntungan yang mungkin bisa kuperoleh dengan menikahinya, banyak. Dan yang terpenting adalah karena aku jadi memiliki alasan untuk meninggalkan rumah dan keluarga yang begitu melelahkan dan memalukan itu.
Meskipun ini adalah langkah yang memalukan dan beresiko, aku berani mencobanya karena partnerku adalah dia.
Pria ini masih muda dan tampan, tak ada alasan untuk menolak kesempatan baik yang langka ini, bukan? Jika nantinya kami ternyata tidak cocok, kami hanya perlu bercerai seperti yang dilakukan oleh kedua orang tuaku …
Sungguh, ini adalah perbuatan paling gila yang dilakukan seorang wanita baik-baik yang terlambat melewatkan periode memberontaknya.
Suasana hatiku benar-benar bagus usai membuat keputusan. Namun, masih ada satu masalah penting yang perlu kami selesaikan terlebih dahulu.
Aku lalu mendekatinya secara perlahan dan seketika menyadari bahwa ada jarak yang cukup jauh di antara kami. Jelas sekali, ini bukanlah tempat tidur yang besar, tapi, aku tak menduga bahwa aku harus merangkak beberapa langkah sebelum sampai tepat di depannya. Saat dia melihat gerakanku, tanpa sadar dia melakukan gerakan mengelak.
Aku yang suasana hatinya sedang bagus tak terlalu memperhatikan gerakan kecil yang dia buat. Ketika jarakku dengannya hanya tersisa sekitar satu kali panjang lengan, aku duduk kembali dan menunjukkan seulas senyuman, lalu mengulurkan tangan kananku dan dengan ceria mengatakan: “Hai, Namaku Xia Ying. Jika tak ada masalah, seharusnya sekarang aku sudah menjadi istrimu. Jadi, suamiku sayang, bolehkah aku mengetahui namamu?”
Dia memandangi tangan kananku yang terulur dan tampak ragu-ragu selama beberapa saat sebelum akhirnya mengulurkan tangannya dan berkata dengan suara pelan, “Han Lei.”
Aku kembali tersenyum. Baguslah, ternyata nama Hubby-ku adalah Han Lei.
(Hubby: panggilan sayang yang digunakan kebanyakan istri untuk memanggil suaminya)