Life After Marriage - Chapter 3
Hubungan antara ibu mertua dan menantu wanita merupakan hubungan yang luar biasa yang bisa mengarah pada jurang penderitaan atau pada keharmonisan, dan hubungan ini berada dalam posisi yang sangat penting di dalam sebuah pernikahan.
Jika suamimu adalah seorang anak yang berbakti, selama sang ibu mertua merasa tak puas, bahkan jika ia mencintaimu, dia tak akan berdaya membantahnya. Tapi jika suamimu bukan anak yang berbakti, maka akan lain lagi ceritanya.
Suamiku jelas anak yang berbakti.
Tak dapat disangkal, bahwa aku telah mengalami banyak hubungan, hubungan ayah-anak, hubungan ibu-anak, hubungan teman sekelas, hubungan guru-murid, hubungan rekan kerja, hubungan persahabatan, dan bahkan hubungan antara pria dan wanita. Hanya hubungan antara ibu mertua dan menantu saja yang belum pernah kualami, jadi, BOHONG jika mengatakan bahwa aku tidak penasaran, tidak berharap-harap cemas, dan tidak merasa gugup.
Yang paling membuatku cemas adalah fakta bahwa kami tak hanya tertangkap basah sedang bersama di tempat tidur oleh ibu mertua, tapi kami juga tidak menikah karena cinta.
Terlebih lagi, dalamnya pengaruh drama TVB Hong Kong, “Ibu Mertua yang Brutal”, cukup berdampak padaku sampai-sampai membuatku merasakan ketakutan yang besar terkait hubungan antara ibu mertua dan menantu yang akan segera kuhadapi. Rasa takutku menjadi dua kali lipat setelah ditambah dengan memori akan kesalahan ibuku yang membuatku memiliki bayangan gelap dari masa kecilku yang tak bisa kulenyapkan.
Tapi, berdasarkan tindakan konyol ibu mertua pagi ini, bukankah dia tak nampak seperti jenis ibu mertua brutal yang legendaris itu?
Sebagai pria dan wanita dari abad ke-21 yang mengutamakan aksi, usai memastikan bahwa kami benar-benar sudah menjadi suami-istri yang sah, Han Lei segera membawaku kembali ke rumahku untuk berkemas dan pindah ke rumahnya. Atas perintah ibu mertuaku, aku harus pindah ke rumah putranya hari ini, lalu pergi ke kediaman keluarga Han untuk makan malam bersama.
Untungnya, Han Lei sudah pindah dari rumah orang tuanya dan tinggal di rumahnya sendiri, sungguh cerdas.
Meskipun aku masih tinggal di rumah orang tuaku, aku merupakan jenis anggota keluarga yang senantiasa tembus pandang dan terlupakan (dianggap tak ada/diabaikan), jadi, mudah saja bagiku saat mengurus kepindahanku, disamping karena aku memang tidak memiliki terlalu banyak barang yang bersifat pribadi.
Separah apa aku diabaikan di rumahku sendiri membuat Han Lei tercengang. Orang-orang di rumah, mereka sama sekali tak bereaksi terhadap kami yang menciptakan suara-suara gaduh di kamarku. Melihatku pindah dengan orang asing pun, mereka tak mengatakan apa-apa, sebab, orang-orang di rumah bukanlah keluargaku yang sesungguhnya. Bagiku, mereka adalah orang asing, dan untungnya, mereka juga berpikiran sama denganku.
Dalam perjalanan pulang ke rumah Han Lei, sambil ia mengendarai mobilnya, Han Lei nampak seperti ingin mengatakan beberapa kalimat dengan maksud menghiburku, tapi aku mencegahnya dengan tersenyum dan menggelengkan kepalaku. Aku tak membutuhkan simpatinya, sebaliknya, aku ingin berterima kasih kepadanya, berterima kasih karena telah memberiku kesempatan untuk keluar dari sangkar dan menikmati kebebasan.
Sekali lagi memasuki rumah Han Lei, aku memperhatikan sekeliling dengan seksama, rumah itu sangat besar dan bersih, gaya interiornya cukup sederhana, seperti caranya membuat orang lain merasa sangat nyaman. Hal ini membuatku sangat menyukai rumah ini, sangat puas, sangat senang.
Di masa depan, rumah ini akan menjadi rumahku juga.
Han Lei membawaku ke kamar tamu di samping kamar tidurnya, lalu membantuku memindahkan barang-barangku ke dalam. Seketika, kamar tidurku pun tercipta.
Perhatikan kalimatku baik-baik! Aku tidur di kamar tamu, tak salah lagi, ruangan itu benar-benar kamar tamu.
Bukankah kita sudah menikah? Bukankah pasangan yang sudah menikah seharusnya tidur di kamar yang sama? Aku menatap punggung Han Lei, baiklah, jika dia memang sepemalu itu, karena ini baru permulaan tak apalah jika kami harus tidur terpisah.
Setelah semuanya siap, Han Lei mengantarku ke kediaman keluarga Han untuk makan malam.
Sepanjang jalan, dia memperlakukanku dengan sangat sopan, dan dia hampir tidak pernah menyentuhku. Jarak yang begitu kentara antara aku dan dia membuatku agak bingung. Apa dia benar-benar pria semalam, dengan gairah, keliaran, dan pancaran aura nakal dan berbahayanya? Yakin mereka orang yang sama?
Kediaman keluarga Han berada tak jauh dari rumah Han Lei, jaraknya hanya dua puluh menit jika ditempuh dengan mobil.
Kami berdiri di depan pintu masuk kediaman Han. Awalnya, Han Lei agak ragu, tapi kemudian dia mulai berinisiatif untuk memegang tanganku. Tangannya agak dingin, agak sungkan, dan agak bersusah-payah.
Kami pun memasuki ruang tamu dengan suasana yang begitu ramai sambil berpegangan tangan. Dari yang kulihat, ada delapan orang dewasa yang sedang duduk di atas sofa. Tampaknya, keluarga Han Lei adalah keluarga yang cukup besar.
Han Lei sengaja terbatuk dua kali untuk memberitahukan kedatangan kami. Ke delapan orang yang sedang duduk di sofa pun segera menoleh ke arah kami. Selama beberapa saat, ruang tamu yang semula berisik berubah sunyi dengan kesunyian yang ganjil. Ketika mereka mengalihkan pandangan mereka ke tangan kami, mereka bahkan terlihat semakin heran, terkejut, dan tak berani mempercayai yang mereka saksikan.
Hei, siapa yang bisa menjelaskan situasi yang tengah terjadi saat ini? Bukankah kami hanya berpegangan tangan?
Semua orang hanya membeku, dan terus tinggal dalam kekakuan. Pemandangan ini agak memalukan, sehingga lambat laun aku jadi tak sanggup mempertahankan senyumku.
Akhirnya, wanita cantik yang kulihat tadi pagi yang ternyata adalah ibu Han Lei, ibu mertuaku kembali ke kondisi normalnya seperti sedia kala. Beliau menyambutku dengan memegang tanganku dan menggiringku berjalan menuju meja makan bersama-sama.
Melihat ini, mereka semua segera berpindah menuju meja makan. Ibu mertuaku lalu memerintahkan pelayannya agar mulai menyajikan hidangan.
Sepertinya, aku sudah menikah dengan orang kaya!
Ibu mertua duduk di sampingku, dan tersenyum sambil memperkenalkan anggota keluarga lainnya kepadaku.
“Pria tua berwajah tampan yang sedang duduk di sampingku ini adalah ayah Han Lei, juga ayah mertuamu. Berurutan dari yang paling kanan di seberangmu adalah kakak laki-laki tertua: Han Si, istrinya: Su Yue Yan, saudara laki-laki kedua: Han Yu, kakak perempuan tertua: Han Min, suaminya: Guan Yi, adik perempuan: Han Hui, dan aku, yang tentu saja adalah ibu mertuamu!”
Dengan sopan aku menyapa mereka satu per satu sambil memperhatikan berbagai emosi berbeda yang terpancar di mata mereka: ada rasa syukur, keingintahuan, kelegaan, kekaguman, perasaan memuja, kepuasan, dan kegembiraan.
Selesai makan, aku menyadari bahwa keluarga Han Lei sangat aktif dan supel. Semua orang begitu lucu dan memiliki hubungan yang baik terhadap satu sama lain, kebalikan dari keluargaku, keluarga ini membuatku merasa hangat. Suasana ini pun terasa sangat menarik, sangat menyenangkan.
Usai makan malam, semua orang sekali lagi pindah ke sofa untuk melanjutkan kegiatan saling mengejek mereka terhadap satu sama lain, sementara ibu mertua menarik tanganku ke dalam sebuah ruangan.
Bagus sekali, konfrontasi pertama antara ibu mertua dan menantu kami akan segera terjadi.
Sesampainya di dalam ruangan, ibu mertua kembali menarik tanganku dan membuatku duduk di atas sebuah tempat tidur berukuran besar. Tangannya begitu hangat, menghangatkan seluruh hatiku.
Ibu mertua tak mengatakan apa-apa, hanya menatapku dengan wajah yang dipenuhi ekspresi kepuasan, sampai-sampai aku merasa kulit kepalaku ngilu.
“Apa kau tahu, kau adalah wanita pertama yang Han Lei, bocah ini, bawa ke rumah. Terlebih lagi, kau adalah satu-satunya!” kata ibu mertua dengan riang gembira.
Aku melepaskan tawa yang dipaksakan, semoga saja hal ini bisa dianggap sebagai sebuah tanggapan.
Jangan suruh aku mengatakan bahwa kami hanya pasangan cinta satu malam, dan bahwa si bodoh itu sebenarnya telah bertindak dengan begitu bodohnya sampai membawaku pulang ke rumahnya, oke?
“Kau pasti berpikir bahwa caraku membuatmu menikah tidak tepat, tapi, sungguh … kau tak tahu berapa lama aku menunggu hari ini!”
Kenapa kalimatnya cenderung terdengar seperti keluhan?
“Han Lei, si bocah nakal itu, tahun ini akan berusia 28 tahun. Jangankan membicarakan pernikahan, dia bahkan belum pernah memiliki pacar. Dari hasil pengamatanku, aku menyadari bahwa anak ini tampaknya enggan bersentuhan dengan wanita, meskipun belum sampai pada titik yang mengkhawatirkan seperti takut pada wanita. Dia mencoba untuk tidak menyentuh wanita semaksimal mungkin, sampai-sampai kami sudah bersiap untuk menerimanya sebagai seorang gay. Lagipula, kami berpikir bahwa yang terpenting baginya adalah kebahagiaannya, jadi kami tidak peduli apa dia menyukai pria atau wanita. Namun, bertentangan dengan prediksi kami, ternyata dia juga tidak menyukai pria, singkatnya dia hanyalah anak yang aneh.”
(gay: penyuka sesama jenis)
“Makanya!” Ibu mertua tiba-tiba menatapku dengan mata basah, memegang erat tanganku, dan melanjutkan, “Saat aku melihat kalian berdua berbaring di atas tempat tidur seolah itu merupakan hal yang sudah sewajarnya, bisakah kau memahami kegembiraan dan gairah yang kualami saat itu? Ternyata anakku masih normal, jadi, tolong maafkan aku atas perbuatan tercelaku! “
Aku hanya tertawa dan menghiburnya dengan mengatakan bahwa aku tak keberatan. Masalahnya … apa gunanya lagi menunjukkan keberatanku, sekarang?
Pantas saja aku menganggap Han Lei cukup aneh. Sejak kami masih di bar dia menghindariku, dan tidak menyentuhku setelah dia bangun. Letak masalahnya ternyata bukan pada buruknya pesonaku, melainkan disebabkan oleh gejala apatisnya terhadap wanita.
(Apatis adalah istilah psikologis untuk keadaan cuek atau acuh tak acuh; di mana seseorang tidak tanggap atau “cuek” terhadap aspek emosional, sosial, atau kehidupan fisik)
Pasti hal ini pula yang menjadi alasan kenapa dia malah membuatku tidur di kamar tamu.
Namun, berdasarkan keterangan ibu mertua, sekarang dia bersedia tidur denganku dan bersedia mengambil inisiatif untuk memegang tanganku, ini menunjukkan bahwa dia sangat memandangku, meskipun yang dilakukannya membuatnya merasa tak nyaman.
Ibu mertua dengan serius menatapku, dan bertanya dengan hati-hati, “Kalian, tidur bersama, kan?”
Aku tersenyum dan menggeleng, menjawab dengan suara pelan: “Sekarang, kita turuti saja dulu apa maunya, aku tidur di kamar tamu.”
Ada rasa kekalahan dan kekecewaan yang dalam muncul di mata ibu mertua.
Aku tak tahan melihat ekspresi yang ditunjukkan ibu mertuaku. Aku pun tersenyum dan memeluknya, menepuk dadaku dan berjanji, “Jangan khawatir, aku akan membuatnya tertarik lagi pada wanita! Coba saja, dia harus menghadapi cara-caraku medisiplinkannya … ”
Ya ampun, tanpa sadar aku mengatakan bahwa aku akan mendisiplinkan anak mereka di depan ibunya. Frasa ini, seharusnya aku hanya mengatakannya di dalam pikiranku, tapi, tanpa sadar aku malah mengatakannya dengan lantang, aku benar-benar latah.
Secara tak terduga, alih-alih merasa tak senang, ibu mertua justru menatapku dengan mata yang berkilauan, dan mengutarakan persetujuannya, “Benar sekali! Disiplin adalah kata yang tepat! Anak itu memang sangat perlu didisiplinkan! ”
Hei, hei, lihatlah, secara tak terduga, pikiran kami ternyata cocok!
“Menantuku yang baik! Sekarang, di bawah perintah ibu mertua, misi terpentingmu adalah membuat suamimu tertarik pada wanita! ”
Kami melakukan kontak mata, tersenyum, tertawa, dan tos untuk merayakan kelahiran aliansi kami.
Kabarnya, ketika kami sibuk membuat aliansi, Han Lei bersin cukup keras di ruang tamu, dan menengok ke sekeliling dengan tatapan curiga.
Usai mengucapkan selamat tinggal pada ibu mertua, sambil tersenyum kami pun pulang ke rumah.
Kami berdua harus pergi kerja keesokan harinya, jadi, setelah berdiskusi singkat perihal keseharian kami, kami pun kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
Karena kamar kami tepat bersebelahan satu sama lain, dan aku perlu melewati kamarnya untuk sampai ke kamarku, bisa dibilang, aku mengantarnya ke kamarnya.
Setelah menunggunya masuk ke dalam kamar, aku sengaja berdiri di depan pintu kamarnya, meletakkan telingaku di pintu, dan secara tak terduga mendengarnya mengunci pintu..
Aku tertegun.
Hei! Apa maksudnya, dia takut jika aku akan menyerangnya malam-malam? Dia benar-benar mengunci pintu kamarnya! Dia sama sekali tak menganggapku!
Bagus sekali, Baaaaaaagus sekaliiiii! Han Lei oh Han Lei, kau telah berhasil memprovokasiku!
Berdiri di depan pintunya, aku menyeringai, menunjukkan gigi-gigiku yang putih, mencengkeram erat tinjuku dan bersumpah dari lubuk hatiku bahwa aku harus mendisiplinkannya dengan baik.
Bukan hanya karena aliansiku dan ibu mertua.
Lebih dari itu, ini kulakukan untuk membuktikan daya tarikku sebagai wanita!
Suamiku tercinta! Tunggu saja bagaimana aku akan mendisiplinkanmu!