Life After Marriage - Chapter 4
Hari kedua pernikahanku jatuh pada hari Minggu, maka, aku pun memutuskan untuk melakukan kegiatan yang sangat menyenangkan, yaitu tidur hingga terbangun dengan sendirinya.
Meskipun pada malam sebelumnya aku menderita kekalahan yang cukup telak, aku masih bisa tidur dengan nyenyak, dan baru membuka mataku setelah tengah hari.
Usai menyegarkan diri di kamar mandi sebelah, aku berjalan keluar kamar dengan hanya mengenakan sehelai kaus longgar dan sepotong celana pendek, bermaksud mencari makanan di dalam kulkas di dapur.
Dapur rumah Han Lei sangat luas dengan konsep terbuka, sampai-sampai meja makan pun termasuk bagian dari interior. Begitu memasuki dapur, secara tak terduga aku menemukan sosok Han Lei sudah lebih dulu berada di sana. Dia tampak sedang menyiapkan sebuah mangkuk dan sumpit di atas meja makan. Melihat kedatanganku, Han Lei membeku sesaat, lalu berbalik dan mengambilkan mangkuk serta sepasang sumpit lainnya untukku.
Dengan konyol aku terus saja berdiri beberapa meter dari meja makan, merasa kalah. Saat itu, aku jelas sedang mengenakan celana pendek seksi, sehelai kaus longgar yang hanya menutupi sampai ke bokongku yang mungil, dan dengan murah hati memamerkan sepasang kaki mulus nan indah – aku jelas berpenampilan menggoda. Namun, Han Lei hanya melirikku sekali dan secara tak terduga … mengabaikanku!
Han Lei meraup dua mangkuk nasi dan menoleh pada sosokku yang konyol. Dia tak bisa menahan tawanya dan berkata, “Sungguh, aku tak tahu kau cukup pandai untuk bangun di saat yang tepat. Kau bangun tepat setelah aku selesai masak, apa, perutmu tak lapar? “
Mendengar perkataannya, perasaan gagalku sebagai wanita seketika menghilang. Aku pun berinisiatif untuk bergegas dan duduk di meja makan, lalu menatap empat hidangan mewah dan semangkuk sup. Hidangan itu, ah, aroma itu, ah, menatap mereka hanya akan membuatku semakin berselera.
Aku lantas menatap Han Lei dengan ekspresi terkejut, tak mampu mengekspresikan diriku dengan benar. Sungguh, tak bisa memang, menilai seseorang hanya dari penampilan mereka semata. Sama sekali tak terpikir olehku bahwa Han Lei akan memiliki keterampilan memasak sehebat ini, sungguh merupakan perwujudan seorang pria baik-baik lagi teladan yang sempurna.
Etiket makan Han Lei sangat bagus. Dia tak banyak bicara saat makan, jadi, aku pun harus menutup mulutku dan berkonsentrasi menyantap makananku. Yep! Keterampilannya dalam memasak memang sangat, sangat bagus!
Selesai makan, aku bergegas mencuci piring. Bagaimanapun, aku harus membalas budi baik dengan budi. Aku tak bisa mempermalukan wanita lebih banyak dari ini, dan yang kulakukan merupakan cara ampuh untuk membangun citra wanita Cina yang ramah, lembut, dan pekerja keras.
Karena kamarku terletak di ujung, jika aku ingin kembali ke kamar, aku harus melewati: pertama, ruang kerja, dan kedua, kamar tidur Han Lei.
Selesai mencuci piring, awalnya aku berencana untuk kembali ke kamarku, namun, saat aku melewati ruang kerja yang tak tertutup, tanpa sengaja aku melihat sosok Han Lei. Aku terpancing untuk menghentikan langkahku dan memperhatikan Han Lei yang sedang membaca buku sambil menimbang-nimbang situasi.
Han Lei sedang mengenakan kacamata tanpa bingkainya, dan poninya agak menutupi sekitar matanya. Dia duduk tepat di depan meja kerjanya, dengan sebuah komputer yang menyala di sampingnya. Dia membaca buku di atas meja dengan ekspresi serius, sementara sinar matahari menyinari sosoknya melalui tirai yang terbuka. Pemandangan di dalam ruang kerja itu nampak seperti lukisan minyak yang begitu hidup, indah, mempesona, dan menawan.
Mungkin, tatapanku yang terlalu kuat memancing Han Lei untuk mendongak, sehingga matanya kemudian berpapasan dengan tatapanku.
Karena aku memandanginya terang-terangan, dan tujuanku toh memang hendak menemuinya, aku jadi terlalu malas untuk menunjukkan sikap malu-malu atau membuat gerakan yang dibuat-buat seperti tersentak begitu melihatnya menatapku.
Han Lei menatapku lekat-lekat, dan tiba-tiba menunjukkan ekspresi seolah baru saja menerima pencerahan, dia lalu berkata dengan suara yang terdengar menyenangkan, “Apa kau juga ingin menggunakan ruang kerja? Kalau begitu, masuklah, mejaku cukup besar kok, kau bisa memakai setengahnya!”
Baiklah, karena dia mengundangku dengan tulus, aku akan masuk dengan senang hati dan melihat-lihat. Ngomong-ngomong, buku apa yang sedang dia baca? Aku sangat berharap, buku itu adalah versi luar negeri ‘Hua Hua Gong Zi’.
(Hua Hua Gong Zi: artinya Playboy, telusuri Google untuk detail lebih lanjut)
Tentu saja, Han lei tidak sedang membaca versi luar negeri ‘Hua Hua Gong Zi’, bahkan bukan versi domestik ‘Nan Ren Zhuang’. Ternyata dia sedang membaca sebuah buku mahakarya terkenal dunia, dan versi bahasa Inggrisnya.
(Nan Ren Zhuang – For Him Magazine)
Karena bosan, mataku mulai menelusuri benda-benda di permukaan mejanya, dan secara tiba-tiba melihat kop surat khusus milik perusahaan tempatku bekerja.
Aku menepuk lengan Han Lei dengan penuh semangat dan berhasil mendapatkan perhatiannya. Dengan riang, aku pun menunjuk nama perusahaan di sisi kop surat dan bertanya: “Apa kau juga seorang staf di perusahaan kami?”
Jelas sekali bahwa topik ini mampu menarik perhatiannya. Dia menutup buku yang sedang dibacanya dan mengangguk dengan wajah penuh senyuman.
“Ya ampun! Kebetulan sekali! Aku dari Departemen Desain, bagaimana denganmu? Kau dari departemen mana? ”
“Aku…” dia merenung, “Seharusnya sih aku ada di Departemen Sumber Daya Manusia (HRD).”
“Pantas saja aku belum pernah bertemu denganmu,” aku berhenti sejenak, beralih memasang wajah bodoh untuk mulai membicarakan gosip, “Hey, apa kau pernah bertemu presiden kita? Kudengar, dia adalah seorang pria yang sangat muda.”
Matanya sekilas berkedip, sebelum berkata sambil tersenyum, “En, pernah bertemu kok beberapa kali, orangnya cukup baik.”
“Lalu, apa sekretarisnya benar-benar seorang pria?”
“En, apa itu tak pantas?”
“Tentu saja! Bukankah kebanyakan presiden, biasanya menyukai sekretaris wanita yang cantik-cantik? Selain itu, bukankah mereka seharusnya memiliki tim sekretaris yang juga terdiri dari para wanita cantik, yang cakap dan menarik, dan juga … hehe … ” dengan konyol, aku malah menunjukkan senyuman nakal dan ambigu.
Melihat ekspresiku, Han Lei tak bisa menahan tawanya, dan akhirnya menyimpulkan, “Kau terlalu banyak membaca novel roman, siapa bilang sekretaris presiden harus seorang wanita cantik. Soal alasannya memilih sekretaris pria … jika sudah saatnya, kau tanyakan saja sendiri padanya! ”
Aku menatapnya dengan frustasi, tanpa daya berkata, “Ya kalau aku punya kesempatan. Dengan peranku yang begitu kecil ini, tak mungkin aku bisa memiliki kesempatan untuk menanyakan pertanyaan bodoh semacam ini secara langsung kepadanya.”
Han Lei tak menjawab, hanya tersenyum misterius.
Selanjutnya, kami berbincang mengenai hal-hal menarik yang telah terjadi di perusahaan selama beberapa saat dan menemukan bahwa ada banyak hal yang bisa kami bicarakan satu sama lain, yah, benar-benar sebuah fenomena.
Selama mengobrol, aku menyadari bahwa Han Lei sebenarnya adalah pria yang sangat menawan, sopan, lembut, lucu, dan tenang. Tapi, ada hal yang tak bisa kupahami, Han Lei jelas bisa dianggap sebagai pria berkualitas tinggi, lalu, kenapa dia tak tertarik dengan wanita? Benar-benar membingungkan.
Tepat ketika kami sedang asyik mengobrol, ponsel Han Lei tiba-tiba berdering, dia melirik untuk melihat identitas si penelepon, lalu mengerutkan kening dan menjawabnya. Selama panggilan itu berlangsung dia tak mengucapkan sepatah kata pun. Pada akhirnya, dia kembali mengerutkan kening dan menutup teleponnya.
Dia lantas berdiri, meminta maaf kepadaku dan berkata, “Maaf soal barusan, kakak pertama dan kakak keduaku mengajakku keluar sebentar, apa kau mau ikut pergi denganku?”
Mendengar itu, aku mengedipkan kedua mataku, lalu berkata sambil tersenyum, “Aku tak mau mengganggu pertemuanmu dan saudara-saudara laki-lakimu. Santai saja dan pergilah. Sementara kau pergi, aku akan mengobrol dengan teman-temanku melalui MSN.”
(MSN: MSN yang dirujuk Xia Ying adalah MSN MESSENGER atau Windows Live Messenger, sebuah program pengirim pesan instant buatan Microsoft.)
Senyumku tampak sangat berseri-seri, jelas sekali mengandung harapan. Ya, aku memang berharap Han Lei akan pergi keluar.
Menyaksikan Han Lei meninggalkan rumah, aku tak bisa menahan senyum jahatku.
…
Berdiri di depan pintu kamar tidur Han Lei, aku mencoba memutar gagang pintu kamar itu. Sesuai dugaanku, pintu itu tak berhasil kubuka dengan tanganku. “Bagus sekali, yakin bahwa dengan mengunci pintu sudah cukup untuk menghalangiku masuk, hah? Heh, heh …” aku menyeringai mengejek dua kali dan bergegas kembali ke kamarku untuk mengambil harta karunku dari dalam sebuah kotak kecil dan berlari kembali ke pintu kamar Han Lei.
Benda di tanganku yang kusebut harta karun itu sebenarnya hanyalah sebuah kawat, tapi, jangan meremehkannya, kawat itu adalah alat paling efektif untuk mencungkil lubang kunci. Mengingat kembali ke masa lalu saat aku masih di universitas, seorang senior wanitaku lah yang telah memaksaku mempelajari keterampilan ini – mencungkil lubang kunci; pada akhirnya, aku dipaksa untuk menerima harta karun itu. Siapa sangka, aku akan memilliki kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan harta karun warisan ini. Wahai kakak senior, aku mencintaimu!
Aku berjongkok di depan pintu kamar Han Lei bak seorang pencuri, dengan serius berusaha mencungkil lubang kunci. Tak perlu waktu lama, dan akhirnya … “ka cha”, pintu itu terbuka. Aku pun tertawa, merasa bangga pada diriku sendiri.
Sekali lagi aku berdiri, dan sekali lagi berjalan dengan sombong memasuki kamar Han Lei.
Tujuanku sangat sederhana – menggeledah dan mengeluarkan majalah dan CD jorok apapun, sebab, aku tak yakin bahwa di dalam kamar pria dewasa tak mungkin tidak ada satu pun benda-benda semacam ini.
Kamar Han Lei diatur dengan bersih dan rapi, membandingkannya dengan kamarku, mau tak mau aku harus merasa malu.
Dengan hati-hati, aku pun mulai mencari-cari benda-benda itu di kamarnya, di rak buku, di dalam laci, di setiap pojokan, di tempat tidur, bahkan aku juga memeriksa kolong tempat tidurnya dengan teliti. Namun, pada akhirnya aku tak bisa mempercayai hasil yang kudapat.
Merasa kalah, aku pun terjatuh ke lantai, dengan wajah dipenuhi ekspresi malu, aku yang seorang wanita ini saja setidaknya menyimpan beberapa manga jorok (seperti karya-karya sensei Mayu Shinjo) di kamarku, novel hardcore (novel berisi adegan-adegan erotis disertai kebrutalan), dan beberapa CD anime tentang BG dan BL. Bahkan di dalam komputerku, ada beberapa koleksi AV berkualitas tinggi. Tapi, Han Lei, sebagai seorang pria dewasa, ternyata dia sama sekali tak menyimpan benda-benda seperti itu di dalam kamarnya. Oh, Tuhan! Dia bukan seorang GAY sungguhan, kan?
(sensei: istilah dalam bahasa jepang yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memiliki keahlian di bidang pekerjaan tertentu, seperti penulis,mangaka, dsb.)
(BG: Boy and Girl; BL: Boys Love; AV: Adult Video/Video P*rno )
(Gay: pria penyuka sesama jenis)
Meskipun aku sempat menduga bahwa dia mungkin menyembunyikan AV di komputernya, namun, saat aku bergegas untuk membantunya mematikan komputer beberapa saat lalu, aku mencuri kesempatan itu untuk memeriksa komputernya, dan tetap tak berhasil menemukan secuil pun video dan file jorok.
Tepat ketika aku baru saja duduk bersila di atas lantai sambil gigih memikirkan cara untuk mendisiplinkannya, telepon di ruang tamu tiba-tiba berdering, mengejutkan jantung kecilku dan membuat debarannya menjadi tak teratur. Aku buru-buru melompat berdiri, menutup pintu, dan melesat menuju ruang tamu.
Memang benar, manusia tak boleh sembarangan melakukan hal-hal yang tidak baik. Lihat kan, bagaimana aku dihantui rasa bersalah seperti barusan.
Terus-menerus menatap telepon yang masih berdering, aku merasa ragu antara harus mengangkatnya atau tidak, sebab, telepon ini sudah pasti bukan untukku. Aku kan baru saja pindah kemari. Terlebih lagi, aku bahkan tak tahu nomor telepon ini.
Namun, karena aku tak tahan dengan suara dering telepon itu, aku pun mengangkatnya.
Setelah mengganti pakaianku dengan busana santai yang nyaman dan feminin, aku pun naik taksi dan bergegas menuju sebuah PUB.
(PUB: Bar minum.)
Panggilan malam sesaat lalu ternyata dari Han Lei. Benar sekali, panggilan itu memang terjadi di malam hari. Ternyata, aku sudah melamun di kamarnya selama berjam-jam. Katanya, karena dia tidak mengetahui nomor ponselku, jadi dia hanya bisa menghubungi telepon rumah. Kalimatnya terdengar seolah mengatakan: Untunglah, kau cukup pintar untuk menjawab telepon itu.
Isi dari percakapan itu sangat sederhana. Karena kakak laki-laki pertama dan kedua mengancam dengan nyawa mereka bahwa bagaimanapun, mereka ingin aku keluar dan bermain dengan mereka. Alhasil, mereka mengundangku untuk minum di PUB.
Dengan demikian, maka tiba lah aku di pintu masuk PUB itu.
Orang yang keluar untuk menjemputku adalah kakak kedua Han Lei – Han Yu, yang memiliki penampilan seperti karakter seorang playboy di dalam games, dia menatapku sambil tersenyum.
Sejujurnya, ketiga bersaudara ini, faktanya sama-sama memiliki penampilan yang bagaikan dewa, namun dengan pembawaan yang sedikit berbeda: kakak laki-laki pertama serius, kakak laki-laki kedua nakal, sementara dia, Han Lei, tenang.
Mengikuti Han Yu memasuki PUB yang berisik itu, aku berani bertaruh bahwa pasti dia yang memilih tempat ini.
Suasana di PUB sangat mirip dengan bar yang aku datangi hari itu, gadis-gadis muda semuanya mengenakan pakaian seksi dan minim, dari waktu ke waktu mengambil inisiatif untuk merayu para pria.
Saat Han Yu dan aku berjalan beriringan menuju tempat di mana Han Lei dan Han Si duduk – lokasi mereka berada tepat di depan dek, kami menemukan bahwa Han Lei dengan suasana hati yang buruk sedang sibuk menolaki banyak gadis yang berdatangan untuk memancing percakapan.
Melihat pemandangan ini, aku tak bisa menahan diri untuk menarik lengan baju Han Yu. Begitu dia membungkuk, aku pun bertanya di samping telinganya, “Apa adikmu benar-benar tidak pernah mendekati wanita?”
Han Yu tidak menjawabku, hanya dengan tegas menganggukkan kepalanya.
Aku tidak menyerah, sekali lagi bertanya, “Apa kau yakin bahwa dia bukan GAY?”
Dia masih tidak menjawabku, kali ini hanya menggelengkan kepalanya dengan ragu-ragu.
Melihat kemunculanku, Han Lei bersikap seolah sedang melihat sang penyelamat hidupnya, berinisiatif untuk berdiri dan menarikku agar duduk.
Oleh karena itu, di bawah tatapan mengejek Han Yu dan Han Si, aku pun duduk dengan malu-malu.
Tepat setelah aku duduk, seorang gadis muda yang tidak tahu cara membaca raut wajah, mengambil inisiatif untuk duduk di sisi lain Han Lei, mengabaikan tatapan risih Han Lei, lalu sejengkal demi sejengkal mendekatinya.
Han Lei menatap gadis itu sambil bergerak mendekatiku, sampai dia benar-benar menyentuhku.
Sebenarnya, aku sangat berterima kasih pada gadis yang cukup berani ini, setidaknya dia telah memberiku kesempatan untuk menguji seberapa parah kondisi ‘penyakit’ Han Lei.
Hasilnya, Han Lei memelukku, lalu mengatakan dengan tegas kepada gadis itu, “Aku seorang pria yang sudah beristri; karena itu, berhentilah menggangguku!”
Hei, lihat, ini adalah gerakan yang tanpa sadar dilakukan Han Lei saat dirinya berada di bawah tekanan. Kalau bukan begitu, bagaimana mungkin dia berinisiatif untuk kembali memelukku? Atau jangan-jangan, dia hanya tidak menganggapku sebagai wanita?
Sambil menahan malu, aku lantas memaksakan tawaku pada gadis yang ketakutan itu.
Akhirnya, di bawah tawa tertahan Han Yu dan Han Si yang pecah, dengan sedih aku menyadari bahwa suami kesayanganku ini benar-benar tidak bisa berdekatan dengan wanita!
Bagaimana ini? Sepertinya, perjalananku untuk mendisiplinkannya akan menjadi perjalanan yang panjang dan sulit…