Like Wind on A Dry Branch - Chapter 122
Di bawah pengawasan bisu Killian, Ferdian memulai ceritanya.
“Yang Anda maksudkan pasti adalah ketika saya telah memasuki Axias… sebelum bergabung dengan kelompok Pendeta Kekaisaran, dan menampakkan diri di rumah Rietta…. Saya ingin menjelaskan maksudnya.”
Dia lanjut bicara di sela-sela beberapa kali jeda. “Pusat Penelitian Demonologi Kekaisaran… sedang sangat membutuhkan seorang cendekia untuk dikirim ke Axias demi sebuah proyek yang sedang berjalan. Pusat menyebutnya sebagai pendaftaran, tapi… akibat insiden di Kuil Havitas dan kabar tentang wabah di Axias, saya adalah pendaftar satu-satunya.”
Dia tidak bicara seantusias sebelumnya. Cerita yang tidak teratur itu pun berlanjut.
“Saya memberanikan diri untuk mengakui bahwa… saya punya motif lain untuk mendaftar. Saya berharap untuk bertemu dengan Anda dan dia… dan saya berpikir bahwa mungkin ini adalah kesempatan untuk melakukannya. Saya mendaftar untuk posisi itu, dan diterima. Begitulah bagaimana saya berakhir datang kemari.”
Kata-kata yang tak dipersiapkan dengan baik itu keluar dari mulutnya. Dia bicara dengan sedikit takut dan terkadang ragu.
“Pada mulanya saya tak bermaksud untuk menyembunyikan identitas saya, karena saya pikir saya akan bisa bertemu dengan Anda dan memberitahu Anda.”
Killian mendengarkan seraya melontarkan tatapan dingin pada Ferdian.
Menundukkan kepalanya, Ferdian meneruskan ceritanya. “Akan tetapi, ketika saya tiba di kota kecil di dekat Axias untuk melakukan pekerjaan…. Saya berpapasan dengan Cedric Caballam, yang sedang dirawat di dekat situ.”
Bulu matanya menerakan bayangan di atas mata kelabu gelapnya.
“Saat itulah saya mengetahui bahwa…. Frederick telah mengirim dia ke tempat Rietta.”
“Cedric?”
“Tuan F-Ferdian….”
“Ap-apa yang terjadi…. Bukankah kau ada di Sevitas? Apa yang kau lakukan di sini?”
“Saya, uh….”
“Apakah Frederick?”
“.…”
“Apa Frederick mengirimmu ke sini… ke tempat Rietta?”
“Di sana, dari Cedric saya mendengar tentang Anda dan Rietta. Dia bilang bahwa Rietta Tristi sudah mati karena wabah.”
Ferdian meneruskan. “Kembali… dan jangan pernah lagi mencari Rietta Tristi. Yang Mulia murka karena membeli seorang wanita sakit dengan harga tinggi.… Mulai saat ini, Sevitas jangan pernah lagi menarik perhatian Beliau.”
Dia mendecakkan bibirnya dan merundukkan tatapannya. “Dia terus memberitahu saya bahwa Rietta sudah mati… tapi saya tak bisa memercayainya. Saya belum pernah mendengar kabar itu ketika berada di Sevitas karena pada saat itu saya ada di dekat Axias… dan di sini dia adalah orang terkenal.”
Mata acuh tak acuh Killian, tak mengandung ekspresi emosional apa pun, terpancang pada Ferdian.
Ferdian meringkas ceritanya. “Saya mendengar tentang dia ke mana pun saya pergi. Selain dari Cedric, tak ada seorang pun yang memberitahu saya bahwa pemberi berkat sang Duke Agung Axias sudah meninggal. Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menemukan bahwa dia belum mati.”
Dia mengarahkan matanya ke bawah ketika dia bicara dengan nada agak gugup. “Saya mengerti bahwa Anda bermaksud memperingatkan saya, lewat Cedric Caballam, agar menganggap Rietta sudah mati. Tapi….”
Dia menelan ludah dan kembali mendecakkan bibirnya. “Di luar keinginan pribadi saya untuk bertemu dengan Anda, saya punya pekerjaan yang harus dilakukan sebagai cendekia di akademi… dan saya harus pergi ke Axias.”
Dengan hati-hati Ferdian memilih kata-katanya. “Akan tetapi, setelah mendengar dari Cedric… saya….” Dia menundukkan kepalanya. “Saya tahu bahwa saya tidak akan diizinkan untuk memasuki Axias dan tidak akan selamat kalau saya memakai nama asli saya.”
Dia mengigit bibirnya dengan gugup. “Ini… adalah alasan kenapa… saya memasuki Axias denan memakai nama palsu.”
Killian menatap bisu pada Ferdian. Cerita itu diterjemahkan ke dalam otaknya sebagai, ‘Aku sedang membenarkan kepentingan pribadiku untuk bertemu Rietta dengan memakai tugas profesionalku sebagai alasan.’
Ferdian terdiam, namun Killian hanya menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kebisuannya memberi izin tersirat untuk meneruskan. Ferdian pun melanjutkan.
Dalam suratnya kepada Akademi Kekaisaran, Ferdian memberitahu pihak pimpinan bahwa dirinya telah tinggal secara ilegal di Axias tetapi sedang menjalankan tugas-tugas mendesak, dan menunggu tanggapan.
Semua yang terjadi setelahnya tak ada hubungannya dengan niat Ferdian – pihak pimpinan yang mengurusnya.
Meski tak ada yang aneh soal memerintahkannya segera kembali, pihak pimpinan tidak membawanya pulang. Alih-alih meerka menambahkan Ferdian sebagai salah satu cendekia dari kelompok pendeta petarung yang ditunjuk untuk pemberangkatan delegasi ke Axias.
Mungkin mereka tak bisa menemukan pengganti atau sedang sangat terburu-buru. Daripada mengirim cendekia lain untuk menggantikannya, mereka telah memutuskan untuk melanggar aturan dengan menjadikan kunjungan ilegal sebagai kunjungan legal. Dengan demikian, Count Calligo pun secara resmi menjadi pengunjung Axias yang disetujui, seorang anggota delegasi bantuan yang menjalankan perintah Kaisar.
Tak ada seorang pun yang bisa mempermasalahkan cara ini karena hal ini kebetulan sesuai dengan imunitas diplomatis yang diterapkan pada delegasi Kaisar. Alhasil, Ferdian Calligo secara resmi menjadi anggota delegasi, dan pelanggaran yang telah dia lakukan terhadap tugas terlalu kecil untuk memicu tindak pendisiplinan. Meski kedengarannya konyol, hal ini legal.
Bukan hal tidak biasanya bagi para anggota delegasi untuk bergabung belakangan di tengah jalan menuju tujuan utama. Alasan mereka tak bercela – sesuatu yang akan dilakukan oleh pihak pimpinan senior. Alasan itu bekerja secara sempurna dengan situasi dan secara mengejutkan memang masuk akal sehingga kedengaran seperti kebenaran.
“.…”
Akan tetapi, Killian merasakan ada sesuatu yang ganjil. Ada sesuatu yang tidak alamiah dan sejumlah detilnya sungguh mencolok – promosi seorang cendekia yang cepat dengan tidak biasa, perlindungan terhadap delegasi, dan proyek penelitian yang mendesak.
Perilaku Ferdian telah menjadi terlalu berani untuk seorang cendekia junior, dan tanggapan para Pendeta Istana terhadap tindakan-tindakannya begitu gesit dan kooperatif. Mereka jauh terlalu murah hati kepada seorang cendekia rendahan. Yang bahkan lebih aneh lagi adalah ketika mempertimbangkan fakta bahwa para Pendeta Istana memiliki hubungan baik dengan Duke Agung Axias namun tidak dengan para cendekia. Terlebih lagi, Killian tahu macam apa wilayah Calligo, tanah yang diwariskan pada Ferdian itu.
Killian memicingkan matanya. “Katakan padaku apa yang ingin kau katakan padaku.”
Ferdian menutup mulutnya.
Killian menyanggakan sikunya pada sandaran tangan dan memiringkan kepala. “Kau pasti punya alasan untuk ingin bertemu denganku.” Dia mengangkat dagunya, mendorong Ferdian untuk bicara.
Akan tetapi, begitu diberi tempat, Ferdian malah tak tahu dari mana harus memulai. Dirinya menegang dan ragu-ragu untuk membuka mulutnya.
Mata merah Killian semakin dingin. “Katakan. Apa yang ada dalam pikiranmu.”
Tekanannya tidak mengizinkan Ferdian untuk berpikir. Dia menggigit bagian dalam pipinya sebelum mulai tergagap. “Pada saat itu, saya… saya ingin bertemu Rietta untuk minta maaf… dan cukup sombong untuk percaya kalau saya bisa membantunya.”
“.…” Killian menatapnya.
Ferdian tergagap, “Waktu itu saya… saya berpikir kalau bukan ide bagus jika dia pergi bersama Anda….”
Lihatlah dirimu. Killian terkekeh. “Jadi lebih baik dia mati daripada dijual kepadaku sebagai mainan?”
Tercengang, Ferdian mengangkat kepalanya. “Bu-bukan, Yang Mulia. Saya tak pernah bermaksud untuk bilang begitu.”
Wajah tersenyum dan ketegangan di dalam ruangan itu menggantikan Killian dalam mengekspresikan kondisi emosionalnya.
Ferdian memucat. Dengan gugup dia menata kata-katanya seakan sedang berjalan di atas lapisan es tipis. “Dia sangat lurus, dan saya pikir Anda tidak akan menyukai dirinya. Saya pikir Rietta akan diusir tak lama setelahnya…. Saya juga ingin mengusulkan kepada Anda… bahwa itu bukan ide buruk. Saya hanya….”
Dia menundukkan kepalanya. “Saat itu saya tak tau apa-apa. Terlebih lagi, Rietta tak menginginkan bantuan saya-”
“Apa kau menawarkan untuk ‘membantu’ Rietta?” Killian menyela Ferdian dengan senyum membekukan tulang tetap bertengger di wajahnya.
Ferdian merasakan bahwa Killian, yang duduk diam di kursinya, tidak menikmati percakapan ini. Tapi dia tak bisa berhenti menjelaskan.
“Sekarang saya tahu… bahwa Anda bukan jenis orang seperti yang dikira oleh seluruh dunia, dan bahwa Anda sangat peduli pada Rietta. Akan tetapi, pada saat itu….”
Rambut perak terangnya menerakan bayang-bayang pada paras belia cendekia yang bersalah itu.
“Karena itu adalah keputusan opresif yang dibuat berlawanan dengan keinginannya… saya beranggapan bahwa…. Rietta ingin kabur… bahwa dia tak ingin tinggal di sini.”
Tatapan Killian memudar di balik seulas senyum kaku.
Setelah menjeda sejenak, Ferdian berkata, “Saya mohon pengertian dari Anda. Saya harap Anda bersedia mempertimbangkan bahwa… Rietta telah dijual untuk membayar hutang Sevitas, dan dia tak bisa menolak dalam prosesnya.”
Killian menyilangkan kakinya seraya bersandar pada kursi. Perlahan dia tersenyum miring dan menyangga dagunya dengan tangan. Baiklah, lanjutkan. Kita akan liat sejauh apa kau akan melakukannya.
“Jadi,” Killian bertanya dengan sikap menakutkan, “apa yang ingin kau lakukan ketika kau bertemu dengan Rietta? Menculik kembali wanita yang yang sudah kalian jual?”
Ferdian memucat. “Ti-tidak akan pernah. Pada mulanya… saya berniat membayar hutang itu kepada Anda dan meminta agar Anda mengirimkan dia kembali.”
Killian mengerutkan bibirnya. “Mengirim dia kembali?” Sampai di sini dia lebih condong pada keheranan daripada marah, yang cukup membuatnya tenang.
Dengan sorot merendahkan dia menunduk menatap Ferdian. Meski dia memilih untuk tidak bicara soal ‘membeli’ dan ‘nilai uang’ ketika menyebut Rietta, dia juga merasakan dorongan hebat untuk menghajar pria itu. Dia menukas, “Kau seharusnya tahu berapa banyak yang telah kubayar untuk membawa Rietta.”
“Dua puluh juta emas….” Ferdian berbisik.
Energi ganas itu menerjang Ferdian, yang bukan seorang kesatria terlatih. Dia mengarahkan matanya ke bawah, maju selangkah mendekati Killian, lalu berlutut.
Dia menjatuhkan dirinya ke tanah. “Saya merasa sangat berduka atas semua yang telah Rietta lalui di Sevitas. Saya juga merasa malu karena hutang ayah saya telah dibatalkan untuk ditukar dengan nyawanya.”
Dia meneruskan. “Walaupun saya telah memutuskan hubungan dengan Sevitas, saya merasa bertanggungjawab atas insiden itu dan juga atas hutangnya, karena bagaimanapun juga saya tetap putra dari Cassarius Sevitas.”
Killian tidak bergerak dan hanya membuka mulutnya untuk bertanya, “Jadi?”
“Waktu itu saya tak berdaya,” Ferdian berkata dengan suara lebih percaya diri, “Tetapi kini saya bisa melakukan lebih banyak. Kalau Anda memberi saya kesempatan, saya ingin memperbaiki kesalahan saya.”
“Bagaimana?” Killian bertanya. Satu sudut bibirnya melengkung naik.
Ferdian berlutut di lantai dan merendahkan dirinya sendiri. “Saya… akan membayar hutang itu.”
Killian memberinya tatapan apatis.
“Saya tidak akan minta apa-apa,” Ferdian menambahkan. “Saya tak keberatan di mana dia akan tinggal. Harap izinkanlah saya untuk sekedar membayar jumlah yang telah Anda bayarkan untuk membawa Rietta.”
Killian membuka mulutnya, yang dari sela-selanya terlolos sebuah suara mengintimidasi. “Apa yang akan kau lakukan jika aku benar-benar memintamu untuk membayarnya?”
“Saya bisa membayarnya.”
Rasa frustrasi merayap naik dalam perut Killian. Aku benci cara dia bicara.
“Sudahlah, kau tak perlu menjawab itu.” Killian langsung menarik kembali kata-katanya. “Tapi, kenapa baru sekarang?”
Ferdian memejamkan matanya. “Seperti yang sudah Anda katakan, saya mengerti betapa tak tahu malunya saya untuk muncul saat ini. Tetapi kondisinya sudah berbeda dari waktu itu dan-”
“Mengubur dia hidup-hidup bisa diterima tapi menjual dia kepadaku tidak?” Killian mengucapkan kata-kata itu dengan galak.
“Bukan itu maksud saya.”
“Hentikan omong kosongmu, Ferdian Sevitas,” Killian menghardiknya. “Kalau kau cukup cemas dan putus asa untuk sampai berupaya masuk secara ilegal, kau tidak akan cuma berdiri di tempat dan menonton dia seperti itu pada pemakaman ayahmu.”
Tenggorokan Ferdian bergerak naik turun, seakan dia sedang menelan kata-katanya sendiri.
Berkebalikan dari dugaan kalau Ferdian akan tetap diam, pria itu malah kembali membuka mulutnya. “Hal itu sudah menjadi ide lampau yang pada saat ini tak bisa mengubah apa-apa, tetapi kalau Anda bisa mengizinkan saya….” Dia menutupi wajahnya yang penuh duka dan memejamkan matanya yang bergetar. “Saya… sudah berusaha untuk menyelamatkan Rietta.”
Mata Killian berkedut.
Ferdian mengulas senyum merendahkan diri. “Anda mungkin tertawa pada ide konyol itu, tapi… saya telah memasang sebuah alat sihir di dalam peti yang akan dia masuki. Rencana saya adalah untuk mengeluarkan dia pada malam itu, menyamarkannya sebagai perampokan makam.”
“.…”
Suara cendekia bertubuh kurus itu bergema lembut di dalam ruang penerimaan tamu. “Rietta hanya perlu tetap tertidur dalam pengaruh alucino dan bertahan di dalam sana selama satu malam. Sihirnya akan membantu dia mempertahankan nyawanya.”
Dia menjatuhkan tatapannya pada jari-jari kakinya. “Akan tetapi, Rietta terus-terusan diawasi, jadi saya tak punya kesempatan untuk memberitahukan rencana itu kepadanya. Rasanya pasti menyakitkan ketika membayangkan berada di dalam peti di bawah tanah tanpa mengetahui hal ini, beranggapan bahwa dia akan mati. Saya juga tak bisa menjamin rencananya akan berhasil.”
“Tetapi….” Ferdian menggumam dengan suara parau, “Waktu itu, itulah hal terbaik yang bisa saya lakukan.”
Dia memaksakan seulas senyum untuk menyembunyikan penderitaan di wajahnya, untuk mempertahankan ketenangannya dengan raut positif.
“Terima kasih karena Anda telah menyelamatkan dia dengan cara yang lebih baik….” Pada akhirnya, suara Ferdian bergetar. “Dan karena telah menjaganya dengan baik.”