Like Wind on A Dry Branch - Chapter 197
“Killian….” Rietta memanggil nama Killian.
“Aku ada di sini,” Killian menjawab.
Rietta memejamkan matanya dan menggumamkan sesuatu seraya menguburkan wajahnya dalam pelukan Killian.
Killian menempelkan bibirnya pada jemari mereka yang bertautan. “Ya. Aku akan selalu ada untukmu.”
Rietta menahan cairan berkilauan di matanya dan mengeluarkan desahan lega. Dia menggenggam lebih erat jemari Killian yang bertautan di antara jemarinya. “Aku terus-terusan menangis tanpa alasan. Aku pasti sedang sangat gembira,” dia berbisik dengan suara yang hampir tak bisa Killian dengar.
“Pasti begitu,” Killian berkata dan memberikan kecupan pada kelopak mata Rietta.
Kecupan menenangkan itu memberitahu Rietta bahwa tak apa-apa kalau menangis. Rietta pun mengulas senyum tenang.
“Tidurlah lagi,” Killian berbisik, mengalungkan satu lengan pada Riettta untuk menariknya lebih dekat.
Memeluk erat dalam dekapan Killian, Rietta memejamkan matanya.
Cincin itu bersinar pada jemarinya yan bertautan di atas selimut.
“Aku akan membuatmu gembira selama sisa hidupmu,” adalah semua yang Killian katakan kepadanya secara lantang, tetapi pria itu telah membuat banyak janji yang belum Rietta dengar juga – aku akan mencintaimu untuk seumur hidupku; esok aku akan mencintaimu lebih daripada hari ini, dan lebih banyak lagi pada esok lusa; aku akan menegakkan keadilan bagimu, bahkan meski kau tidak mengingatnya; aku akan menanggung dukamu, mereka yang kau ingat dan mereka yang telah kau lupakan.
Mengulas senyum damai, Rietta kembali tertidur dalam pelukan Killian.
***
“Ingatan yang hilang itu tidak permanen?”
“Tidak, Yang Mulia. Kami tidak sepenuhnya yakin, tetapi menurut Mordes, ini sepertinya merupakan sihir semi-permanen yang bisa dibalikkan. Kami mencapai kesimpulan ini karena -”
“Tunggu.” Killian menyela sang Santa. “Sebelum itu, aku ingin kau memberitahuku bagaimana kau bisa memulihkan ingatan.”
“Tentu.” Sang Santa duduk untuk mulai bicara. “Pada umumnya, sihir seperti pemberkatan akan melemah seiring dengan berlalunya waktu. Tetapi sihir yang kuat seperti segel akan tetap efektif dalam waktu lama. Ada tiga cara utama untuk menguraikan sihir semacam itu.”
Pertama, cara paksa.
“Anda bisa menghancurkan sihir itu dengan sihir lain yang lebih kuat, walaupun hampir mustahil. Sihir yang dibutuhkan harus beberapa kali lipat lebih kuat daripada segelnya.”
Killian merenungkannya sebelum meneruskan. “Jadi mustahil? Tapi bukankah segel ingatan Rietta terbuka dengan cara itu?”
Sang Santa mengangguk. “Benar. Sihir iblis mimpi yang telah menyegel ingatan Rietta retak di bawah tekanan sihir terpusat yang intens pada saat terjadinya upacara pemberkatan besar. Ingatan-ingatan itu tidak datang sekaligus, tapi perlahan-lahan kembali padanya seiring dengan berjalannya waktu.”
Jika ingatannya kembali perlahan-lahan, mungkin ini adalah cara terbaik, bahkan meski periode transisi yang membingungkan mungkin akan terjadi. Killian tertarik pada solusi yang bisa dicoba oleh orang awam ini.
Akan tetapi, sang Santa langsung memupuskan harapannya. “Sayangnya, cara ini takkan bekerja pada Rietta.”
“Kenapa tidak?”
Sang Santa memungut botol kaca di atas meja. “Sama seperti kaca yang pecah karena perubahan suhu yang drastis. Tekanan tiba-tiba dari energi suci mengguncang dan meretakkan sihir di dalamnya.”
Sang Santa mengaktifkan energi sucinya dan memusatkannya ke dalam segumpal cahaya seukuran telur di dalam botol.
“Dulu cara ini memang bisa dipakai untuk memberi kejutan pada Rietta seperti ini.” Santa Tania mengguncangkan botol kaca itu. Energi suci di dalamnya berputar dan berderak seperti kelereng. “Tapi sekarang, energi suci Rietta sudah jadi terlalu kuat. Dan sihir yang mengenainya sudah terbiasa pada energi sucinya yang intens.”
Energi suci di dalam botol itu menguat, memenuhi botol dengan cahaya menyilaukan. Sang Santa mengambil lagi botol itu, tetapi cahaya di dalamnya tidak bergerak karena sudah berubah menjadi bongkahan besar.
“Kau tak bisa mengguncangnya jika di dalam sini sangat padat. Kemungkinan besar, kita tak bisa memakai strategi yang sama seperti kali terakhir pada Rietta karena tak ada tingkatan upacara pemberkatan besar apa pun yang mampu melampaui kekuatan suci yang Rietta miliki.”
“Cara lain apa yang kita punya?” Tatapan Killian beralih dari botol itu menuju sang Santa.
Pilihan kedua adalah menyuruh siapa pun yang telah membuat sihir itu membatalkannya.
“Orang yang memberikan sihir itu bisa menguraikannya sendiri, atau sihirnya akan kehilangan kekuatan secara alami seiring dengan waktu setelah orang itu mati. Kematian sang penyihir tak selalu bisa menguraikan sihirnya, tapi aku yakin Anda sendiri sudah tahu contohnya, Yang Mulia. Mungkin Andalah yang lebih dulu terpikirkan tentang insiden ini.”
“Sihir pada Rhodminue terurai setelah Pendeta Tinggi Rutenfeld mati,” Killian menjawab.
Sang Santa mengangguk. “Benar. Ketika kakak dari Baginda Kaisar, atau paman Anda, meninggal ketika berada di kuil di wilayah pengasingan, sihir berkat semi-permanen yang telah dia pasang pada Rhodminue kehilangan kekuatannya seiring dengan berlalunya waktu. Itu adalah contoh yang bagus.”
Meninggal saat berada di tempat pengasingan. Kata-kata itu kedengaran sangat indah. Killian mengerutkan bibirnya.
Pendeta Tinggi Rutenfeld telah berbuat tak senonoh kepada ibu Rietta dan mendorong sang Putri ke panggung eksekusi demi menutupi kesalahannya. Seharusnya dia bertanggungjawab atas semua perbuatannya. Akan tetapi, sang Kaisar tak punya nyali untuk mengungkapkan skandal Rutenfeld yang melibatkan sang Putri Suci dan sebagai gantinya mengasingkan kakaknya itu atas tuntutan berbeda. Rutenfeld mati di sana.
Karena pelanggarannya telah menyebabkan kutukan dari Ratu Esahilde dan melepaskan para iblis ke seluruh benua, tidak salah jika berpendapat bahwa dialah yang telah memulai semuanya.
Sang Santa tak repot-repot mengungkit sejarah itu.
“Semua tergantung pada kemampuan si penyihir, dan setiap sihir itu berbeda, jadi kematian si penyihir tidak menjamin kalau sihirnya akan terurai. Kita harus menyelidikinya. Sebenarnya, sihir semi-permanen punya kemungkinan lebih besar untuk bertahan dalam waktu lama ketimbang melemah.”
“Apa ada cara untuk mencari tahu sebenarnya ini masalah yang mana?”
“Pertama-tama kita harus mencari tahu siapa yang telah merapalkan sihir ini. Harap jangan berusaha untuk langsung membunuh mereka saat itu juga.”
Killian terdiam. Aku tak berusaha membunuh mereka. Dia anggap aku ini apa? Jelas, Killian sebenarnya sudah memikirkan hal itu.
“Kita harus menyelidikinya lebih dulu,” sang Santa kembali menekankan. “Kita mungkin takkan pernah bisa melepaskan sihir itu begitu pelakunya mati. Harap jangan bunuh mereka. Kita bahkan tak tahu siapa pelakunya.”
Rietta, yang telah melihat kejadian itu lewat penglihatan masa depan, sudah menyatakan bahwa sang Permaisuri-lah yang bertanggungjawab. Akan tetapi, sang Permaisuri sendiri tak memiliki kekuatan sihir. Pelakunya bisa saja seseorang yang tak bisa diperintah oleh Permaisuri untuk melepaskan sihir itu. Berdasarkan pada pernyataan Ferdian, Kardinal Racionel kemungkinan besar adalah tersangkanya, karena dia punya hubungan dengan Permaisuri.
Tetapi menurut kogika, mereka tak bisa mengesampingkan para penyihir dari kelompok luar yang punya hubungan dengan kekaisaran. Terlebih lagi, Kardinal Racionel telah menjauhkan dirinya dari sang Permaisuri, pendukung terbesarnya, dalam upaya untuk mengejar kekuasaan yang lebih besar. Seorang calon teratas untuk menjadi paus takkan semudah itu mengambil sendiri risikonya, terutama melihat dari obsesinya atas kekuatan suci.
Meski Ferdian memandang sang Kardinal sebagai sosok yang sangat kompeten dan memperingatkan Killian agar jauh-jauh darinya, Ferdian mungkin saja jadi bias setelah terkena pengaruh selama bertahun-tahun atau karena dendam pribadi. Killian tahu jelas bagaimana perasaan pribadi bisa menutupi penilaian seseorang.
“Apa solusi terakhirnya?”
Kemungkinan ketiga adalah membukanya dengan kunci.
Sang Santa mengangkat tiga jari untuk menjelaskan alternatif ketiga. “Si penyihir mungkin telah meninggalkan petunjuk ketika mereka merapal sihir itu. Dengan kata lain, Anda bisa melepaskan sihir itu dengan memenuhi persyaratannya.”
Killian teringat pada kutukan Lamenta dan tongkat yang berisi kata-kata terakhir dari Putri Beatrice.
“Semua ini berdasarkan pada teori umum,” Tania meneruskan seraya menautkan jemarinya. “Mordes berpikir bahwa sihir ingatan Rietta ada hubungannya dengan sesosok iblis mimpi bernama Oblivious.”
“Oblivious?” Killian tak pernah mendengar nama itu sebelumnya. “Apa itu iblis terkenal?”
“Dia adalah iblis mimpi milik Putri Beatrice, yang kami curigai telah menyegel ingatan Rietta seperti yang disebutkan pada kasus pertama. Inilah sebabnya kenapa kami menerka bahwa hilangnya ingatan Rietta mungkin tidak permanen.”
****
Menatap Rietta yang sedang tidur, Killian merenung. Dia teringat bagaimana Rietta tak mau berpaling dari Abiditas, iblis air yang menyiksa Ferdian.
“Apa kau mengetahui sesuatu yang tidak diketahui pendeta lainnya?” Killian pernah bertanya pada Rietta.
“Aku kenal iblis itu. Dia adalah iblis air yang menakhluk pada Eulatio.”
Bahkan meski Lamenta telah menakhlukkan banyak iblis, mereka yang telah membuat kontrak dengan kerajaan masih sulit untuk ditemukan. Namun entah bagaimana Killian terus terlibat dengan iblis-iblis yang menakhluk pada Lamenta.
****
Gema sunyi terdengar dari celah-celah kesadarannya yang berkabut. Suatu penglihatan, sebuah kepingan entah dari masa lalu atau masa depan, melompat-lompat di antara ilusi dan kenyataan.
“Ibu….”
Dia mendengar suara seorang anak kecil. Seberkas cahaya putih bersinar dan menyebar ke segala arah. Rietta membuka matanya di atas ranjang.
Suara di dalam mimpinya terus bergema di telinganya. Apa aku baru saja memimpikan tentang masa kecilku?
Killian tidak ada di sisinya. Sebagai gantinya, pria itu telah meletakkan sebuah kantong yang penuh berisi air panas untuk menjaga ranjangnya tetap hangat.
Rietta mengulet dan berbalik di ranjang. Cahaya fajar menyinari tongkat ibunya yang menggantung di sisi lemari.
Dia memutuskan untuk tidak mengulurkan tangannya demi menarik tongkat itu lebih dekat, hanya menatap barang peninggalan sang ibu yang berisi wasiatnya. Tongkat itu belum mengizinkan Rietta mendengar wasiatnya.
Mata biru Rietta menggelap.
Dia sudah membuat pilihan. Dia sudah kembali berdiri dan berjalan mengejar kebahagiaannya sendiri, meyakini bahwa ibunya takkan ingin dia mengorbanan kebahagiaannya demi berduka atas semua kehilangannya. Dan dia pikir dirinya sudah siap untuk mendengarkan apa pun yang perlu dikatakan oleh ibunya.
Akan tetapi, sihirnya tidak percaya pada hal itu. Waktunya belum tiba.
Rietta tak lagi meragukan dirinya sendiri, namun tetap saja, hatinya terkadang akan terombang-ambing di antara keraguan dan rasa bersalah. Dia sudah memaafkan dirinya sendiri karena jatuh cinta kepada Killian, tetapi bisakah dia memaafkan sang Kaisar? Apakah dia diizinkan menganugerahkan maaf karena dialah kunci untuk melepaskan kutukan itu?
Jawabannya tidak jelas. Mengesampingkan rasa takut bahwa sang Kaisar bisa saja telah melakukan hal-hal yang jauh lebih buruk, dia adalah putri dari ibunya, bukan ibunya.
Kuharap aku bisa mendengar kata-kata terakhir Ibu. Perlahan Rietta memejamkan matanya. Kalau begitu, Ibu, kurasa aku bisa terus melangkah maju.
Pada saat itulah dia merasakan suatu energi sihir yang familier di bawah. Morbidus? Rietta duduk tegak di ranjang, senang karena Morbidus kembali ada di sisinya.
Selimutnya merosot jatuh dari bahunya, memaparkan kulitnya pada udara musim dingin. Hawa dingin mengaliri lengannya. Ke mana perginya pakaianku? Wajahnya merona karena malu bahkan meski tak ada seorang pun yang melihatnya.
*****
“Para pemeriksa sedang mengawasi Rietta. Berhati-hatilah.”
Killian berjengit begitu mendengar suara Morbidus yang datang dari belakangnya. Dia langsung menatap vas kaca yang ada di atas mantel untuk melihat bagaimana penampilannya. Bagus. Dia berpakaian lengkap, walaupun mengenakan lapisan lebih sedikit daripada biasanya. Setidaknya iblis itu tidak akan menghunus sabitnya karena marah.
“Aku tahu,” dia menjawab. “Tidak bermaksud menyinggung, tapi kau seharusnya lebih berhati-hati. Bukankah itu sebabnya kenapa kau berjanji untuk tidak dekat-dekat dengan Rietta selama beberapa waktu?”
Killian berjongkok dan membungkus apa yang sedang dikerjakannya, kemudian menepuk-nepuk debu dari kedua tangannya lalu berbalik. “Terutama si bocah itu,” dia berkata, menunjuk dengan dagunya. “Dia tidak dalam kontrak apa pun juga tak tahu bagaimana harus bersikap di sekitar manusia. Dia tak terkendali.”
Sang iblis tidak menghela napas tapi anggap saja ingin melakukannya. Morbidus berpaling ke samping dan menyilangkan lengannya. “Aku tahu,” dia menjawab. “Aku yang akan mengurus dia, jadi tak usah mencemaskannya.”
Killian berpaling. Dia dan Morbidus sudah berkelahi seperti anjing dan kucing untuk memperebutkan Rietta. Tetapi saat ini rasanya sungguh aneh ketika berdiri di depan sang iblis. Entah kenapa dia berharap sang iblis tidak mengetahui tentang apa yang telah terjadi antara dia dan Rietta.
Kenapa pula aku peduli pada apa yang dia pikirkan? Mungkin Killian tiak merasa bangga soal pengaturan waktu saat dia memutuskan untuk menikahi Rietta. Killian mengernyitkan alisnya, merasakan emosi-emosi yang tak ingin diakuinya. Kini dia sudah kehilangan semua rasa permusuhan terhadap Morbidus karena mereka memiliki musuh bersama, atau mungkin untuk alasan-alasan lainnya.
Dia menyugar rambutnya ke belakang dengan jemarinya dan bertanya, “Kenapa kau mendatangiku sebelum menemui Rietta?”
Morbidus melemparkan selembar kertas pada Killian, yang mengambilnya dengan satu tangan. Ini adalah pesan dari Santa Tania.
Beberapa orang pemeriksa membocorkan informasi lewat para pendeta petarung kekaisaran dan pelayan Axias.
Mereka bilang ingin memeriksa Rietta dan membantu Anda menemukan jawabannya dengan lingkaran sihir pencari iblis mereka, tapi mereka belum menghubungi Anda karena takut membuat Anda atau aku marah.
“Kupikir kau mungkin akan tergoda pada tawaran itu,” Morbidus berkata.
Killian memang tergoda. Kalau saja dia bisa menemukan sihir apa yang telah menyerang Rietta atau siapa yang telah memasang sihir itu padanya. Sihir adalah sihir, demi Rietta ide itu kedengarannya pantas untuk dipertimbangkan. Bagaimanapun juga, para pemeriksa, menghasilkan diagnosa sihir iblis paling akurat. Jelas, Killian tak memercayai mereka; dan Rietta, sebagai seseorang yang dekat dengan iblis, harus mendekati sihir pencari iblis dan para pemeriksa dengan sangat hati-hati.
Morbidus meneruskan, “Para pemeriksa mungkin saja menyarankan untuk mencari jejak-jejak iblis pada diri Rietta, menyatakan bahwa mereka bisa membantumu mengidentifikasi iblis mimpi yang telah menyerangnya. Aku datang untuk memberitahumu agar jangan membiarkan mereka sampai menggodamu hanya karena Rietta tidak berada dalam kontrak apa pun.”
“Dan kenapa aku tak boleh tergoda?”
“Para pemeriksa akan menemukan jejak-jejak iblis jika mereka mencari pada dirinya.”
Benarkah? Killian mengernyit ketika dia menatap si iblis. “Bagaimana bisa? Rietta kan tidak berada dalam kontrak. Dia bahkan bukan penyihir hitam, dan kau tak selalu ada di sekitarnya.”
Morbidus bereaksi dengan amat aneh. Dia tak mau menatap mata Killian.
Killian menyeringai. “Apa yang terjadi? Katakan padaku.”
“Hal itu terjadi bertahun-tahun yang lalu,” Morbidus berkata. Tapi dia berhenti di situ seakan sedang berpikir.
“Apa yang telah kau lakukan pada Rietta?” Killian menggeram, merasakan bahwa sesuatu telah terjadi.
Morbidus mengarahkan matanya pada Killian. Sejenak kemudian dia memejamkan mata dan tersenyum miring. “Bukan apa-apa,” gumamnya menampik.
“Katakan padaku,” tuntut Killian.
Morbidus menyilangkan lengannya dan menghela napas. “Bantu aku panggil Rietta kemari. Kurasa kalian berdua harus mendengarnya. Tapi sebelum itu….” Sang iblis menampakkan raut tegang dan tersenyum. “Apa kau bisa menjanjikan suatu hal padaku? Anggap saja sebagai kesepakatan, atau kontrak, kalau kau mau.”